Ada harapan Kardinal untuk bangsa, “semoga kita semua umat beragama, bersama tokoh-tokoh mampu meluhurkan dan memuliakan Tuhan dengan cara jujur, dan dengan syarat untuk memuliakan manusia”.
Harapan tersebut disampaikan oleh Julius Riyadi Darmaatmadja yang pada 20 Desember 2014 lalu, menginjak usia 80 tahun. Perayaan ulang tahun Kardinal tersebut dirayakan dan diisi dengan peluncuran Buku, Refleksi: Agama, Moral, dan Masa Depan Bangsa, dilanjutkan dengan Perayaan Syukuran dengan santap siang bersama, pada Sabtu (10/1), di Jakarta.
Acara dibuka dimulai pada pukul 10.00 WIB pada Sabtu (12/01). Kegiatan dihadiri para Undangan dari berbagai lembaga dan tokoh masyarakat seperti: sejumlah Uskup, para pastor (seperti Rm. Magnis Suseno, dan lain-lain), suster, tokoh agama (seperti Din Samsudin, Ketua MUI) dan tokoh Masyarakat (Jakob Utama, CEO, Kompas, JB Sumarlin, mantan Menteri pada masa Orde Baru).
Peluncuran Buku
Diawali dengan Kata pengantar dari Direktur Obor, Romo Agustinus Surianto, H. Dia mengatakan bahwa Buku dengan 3 judul ini diselesaikan kurang lebih (5) lima tahun. Ide tersebut muncul dari inspirasi dan keprihatinan perlunya “Buku” yang merangkum warisan nilai-nilai dan keteladanan dari Kardinal dibagikan kepada umat dan masyarakat umum.Ketiga judul buku tersebut: (a) Terlahir untuk Mengabdi, (b) Di Mata pasa Sahabat dan (c) Alam Pikiran dan Kharisma.
Selanjutnya ada Sambutan Mgr Agustinus Agus, Ketua Perkumpulan Rohani, Penerbit Obor. Mgr Agus, panggilan akrab Uskup Agung Pontianak ini menyampaikan ucapan terimakasih sehingga buku ini selesai dengan baik dan dapat diluncurkan.
Peluncuran Buku, diawali dengan pemberian ketiga buku tersebut kepada dan Kardinal, JB Sumarlin, Buya Ahmad Syafii Maarif kemudian kepada berbagai tokoh lainnya oleh Penerbit Obor. Terakhir, pemberian buku kepada semua tamu undangan yang hadir.
Refleksi: Agama, Moral, dan Masa Depan Bangsa
Acara Refleksi dalam syukuran atas 80 tahun Kardinal ini, diisi dengan pemaparan pemikiran dari para Narasumber, yang juga tokoh bangsa dan nasional, yaitu: Pdt. Andreas Yewangoe, Bhikkhu Sri Pannyavaro Mahathera, Buya Ahmad Syafii Maarif,dan dimoderatori oleh Rikard Bagun (Kompas).
Moderator dan Para Narasumber (foto: Pormadi) |
Pendeta Andreas Yewangoe, tokoh agama Kristen dan Tokoh Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia, menyampaikan keprihatinannya tentang kehidupan beragama di Indonesia. Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa beragama. Benarkah Indonesia sudah beragama? Beragama dan mempunyai agama merupakan 2 (dua) hal yang berbeda. Mempunyai agama bisa saja hanya di KTP, dan di kulitnya saja, credentia tanpa agenda.. Sedangkan beragama adala soal substansi terkait dengan sikap dan perbuatan, selalu mengarah kepada semua orang.
Kemudian bermoral tidak sama dengan bermoral. Ada orang bermoral, tapi belum tentu beragama. Maka untu membangun masa depan bangsa Indonesia adalah mewujudkan orang beragama, mewujudkan substansi beragama yang benar.
Bhikkhu Sri Pannyavaro Mahathera juga menyampaikan keprihatinnya atas persoalan bangsa. Senada dengan Pendeta Yewangoe, mengatakan bahwa orang yang belum jelas identitas agamanya, belum tentu tidak bermoral, belum tentu jahat. Sebaliknya, janganlah mengangga orang beragama itu sudah pasti adalah orang yang memiliki cinta kasih, suka menolong dan lain-lain.
Kejujuran semakin lama semakin langka. Banyak kantin kejujuran yang didirikan 2 tahun lalu sekarang sudah mulai hilang, barang habis, uang hilang. Yang bertahan, Cuma kantin kejujuran di KPK. Mungkin lebih baik Kantin Kejujuran didirikan di Kementerian Agama (audiens tertawa. Red. Sindiran?).
Pendidikan merupakan satu-satunya cara membangun bangsa ini. Mendidik diri sendiri, memulai dari diri sendiri, mendidik anak-anak. Orang tua adalah guru bagi anak-anak di rumah. Guru di sekolah adalah orang tua bagi murid-murid. Penting peran pendidikan, Bhikkhu Sri Pannyavaro Mahathera mengangkat ucapan Kaisar Jepang, ketika bangsa Jepang sudah kalah dari Sekutu, “Kita masih punya guru-guru”.
Buya Ahmad Syafii Maarif membacakan presentasinya dalam sebuah tulisan puitis untuk menunjukkan bahwa persahabatannya dengan Kardinal Julius Darmaatmadja sudah berlangsung cukup lama. Sejak tragedi 11 September 2001, tuduhan Islam sebagai sumber terorisme menyebar. Oleh sebab itu, atas prakarsa Deplu, tokoh lintas agama pada bulan Februari 2003 berangkat ke Vatikan dipimpin oleh Kardinal Julius Riyadi Darmaatmadja, SJ, untuk meluruskan bahwa sayap utama umat Islam Indonesia bersikap damai, moderat dan toleran. Hubungan antara pemeluk agama di Indonesia cukup baik. Misi yang dipimpin berhasil dan berjalan dengan baik.
Menjelang Pilpres tahun 2014, Buya Syafii Maarif berbicara melalui telepon bahwa sikap umat Katolik Indonesia kompak dalam pilihannya. Pembicaraan kami lebih banyak tentang masalah moral bangsa yang masih memprihatinkan. Bagi Kardinal, kemanusiaan adlah tunggal tak dapat dipecah. Siapapun yang ditimpa malapetaka, perlu ditolong tanpa melihat latar belakang, agama, suku, dan warna kulitnya. Dia juga satu suara dengan Kardinal bahwa agama yang tidak hirau dengan persoalan kemanusiaan, lambat atau cepat akan ditinggalkan pengikutnya. Agama juga di tangan pengikut yang terlepas dari kawalan moral dan keadaban bisa menjadi sumber kegaduhan dan konflik yang banyak membawa korban sia-sia.
Rikard Bagun, selaku moderator, berkomentar bahwa kita semua berada dalam perahau yang sama dalam memperjuangkan revolusi mental. Kita bergerak dan hidup menumpang di tempat yang sama.
Untuk menambah pandangan terkait refleksi ini, moderator meminta pandangan Mgr. Ignatius Suharyo, SJ, Uskup Agung Jakarta atas pemaparan para narasumber.
Uskup Agung Jakarta, Mgr. Suharyo terkesan dengan dua istilah yang disebut-sebut dalam Refleksi ini. Istilah tersebut adalah Artikulasi dan personifikasi. Artikulasi maksudnya ide-ide dapat dirumuskan dengan baik dan mengena. Personifikasi maksudnya masih ada harapan dari tokoh-tokoh yang telada-teladan bagi perbaikan masa depan bangsa. Kita masih mempunyai terang-terang kecil yang membawa harapan untuk masa depan bangsa.
Perayaan Syukur 80 Tahun Kardinal Julius Darmaatmadja, SJ
Perayaan syukur 80 ulang tahun Kardinal Julius Darmaatmadja, SJ diawali dengan sambutan singkat dari Kardinal sendiri. Dalam sambutannya, Kardinal berharap, “semoga kita semua umat beragama, bersama tokoh-tokoh mampu meluhurkan dan memuliakan Tuhan dengan cara jujur, dan dengan syarat untuk memuliakan manusia”
Kemudian dialnjutkan acara pemotongan tumpeng, yang pertama-tama diberikan kepada Jakob Utama, CEOP Kompas, dan kemudian kepada kakak Kardinal yang mewakili besar Kardinal. Acara diakhiri dengan santap siang bersama Kardinal dan semua tamu undangan.
Refleksi para tokoh dan teladan bangsa di atas mengajak agar semua orang yang berkehendak baik dan hidup dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, tanpa kenal agama, etnis, warna kulit, mengedepankan kehidupan beragama yang substansial, kehidupan yang dikawal moralitas dan bersama-sama mewujudkan masa depan bangsa yang lebih baik ke depan. (Pormadi Simbolon, dari Gedung Bentara Budaya, Jakarta)
Perayaan syukur 80 ulang tahun Kardinal Julius Darmaatmadja, SJ diawali dengan sambutan singkat dari Kardinal sendiri. Dalam sambutannya, Kardinal berharap, “semoga kita semua umat beragama, bersama tokoh-tokoh mampu meluhurkan dan memuliakan Tuhan dengan cara jujur, dan dengan syarat untuk memuliakan manusia”
Kemudian dialnjutkan acara pemotongan tumpeng, yang pertama-tama diberikan kepada Jakob Utama, CEOP Kompas, dan kemudian kepada kakak Kardinal yang mewakili besar Kardinal. Acara diakhiri dengan santap siang bersama Kardinal dan semua tamu undangan.
Refleksi para tokoh dan teladan bangsa di atas mengajak agar semua orang yang berkehendak baik dan hidup dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, tanpa kenal agama, etnis, warna kulit, mengedepankan kehidupan beragama yang substansial, kehidupan yang dikawal moralitas dan bersama-sama mewujudkan masa depan bangsa yang lebih baik ke depan. (Pormadi Simbolon, dari Gedung Bentara Budaya, Jakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar