Oleh Pormadi Simbolon
Pemilu 2014 (ilustrasi: kpu.go.id) |
Tahun ini merupakan tahun politik. Kita akan mengikuti pesta demokrasi memilih para pemimpin yang duduk di parlemen dan presiden dan wakilnya. Saatnya kita memilih para pemimpin yang mengusung perubahan menuju Indonesia menjadi lebih demokratis, adil, rukun, bersatu dan sejahtera. Itu berarti kita harus memilih pemimpin Pancasilais sesuai dengan visi para Bapak Pendiri Bangsa.
Alasan mendasarnya sebagaimana dikemukan oleh Soekarno dalam sidang Zyunbi Tyosakai pada tanggal 1 Juni 1945 bahwa yang dibutuhkan Indonesia merdeka adalah Philosofische Grondslag, fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia merdeka yang kekal, dan abadi (Otto GUsti Madung, Lahirnya Pancasila, Jakarta: Inti Idayu Press, 1986, Hlm.133).
Pengalaman Masa Lalu
Bila lihat ke belakang sejarah perjalanan bangsa dapat dengan mudah ditelusuri mulai dari rejim Orde Lama, Orde Baru, pada awalnya rejim-rejim selalu bertekad melaksanakan nilai-nilai Pancasila. Namun dalam perjalanannya rejim-rejim tersebut tumbang karena memanipulasi Pancasila untuk kepentingan kekuasaan.
Pada masa Orde Lama, Pemimpin memberlakukan Pancasila hanya sebagai retorika politik daninstrumen untuk menggalang kekuasaan dan ternyata berlanjut pada masa Orde Baru. Hanya bedanya, pada masa Orde Lama, Pancasila dimanipulasi menjadi kekuatan politik dalam bentuk bersatunya tiga kekuatan yang bersumber dari tiga aliran yaitu: nasionalisme, agama dan komunisme; pada Orde Baru, Pancasila disalahgunakan sebagai ‘ideologi’ penguasa untuk memasung pluralisme dan mengekang kebebasan berpendapat dengan dalih menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Pada masa demokrasi terpimpin, ancaman bangsa dan Negara adalah neo-kolonialisme,padajaman Orde Baru ancaman bangsa dan Negara adalah komunisme.
Baik jaman Orde Lama maupun JamanOrde Baru, keduanya sama dan sebangun yaitu menjadikan ideologi Pancasila hanya sebagai instrumen penguasa agar kekuasaan dapat dipusatkan kepada seorang pemimpin. Hasilnya, pada masa Orde Lama kekuasaan memusat di tangan Pemimpin Besar Revolusi, sementara itu pada Jaman Orde Baru otoritas politik sepenuhnya di tangan Bapak Pembangunan. Kekuasaan yang semakin akumulatif dan monopolistik di tangan seorang pemimpin menjadikan mereka juga berkuasa menentukan apa yang dianggap benar dan apa dianggap salah. Ukurannya hanya satu: sesuatu dianggap benar kalau hal itu sesuai dengan keinginan penguasa, sebaliknya sesuatu dianggap salah kalau bertentangan dengan kehendaknya. Karena Orde Baru tidak dapat belajar dari pengalaman sejarah rejim sebelumnya, akhirnya kekuasaannya pada tahun 1990-an runtuh oleh kekuatan masyarakat.
Pasca-Orde Baru lahir “Orde Reformasi” sebagai tuntutan masyarakat banyak. Orde Reformasi hadir membawa berkah sekaligus musibah. Pengalaman selama belasan tahun masa Reformasi, menujukkan demokratisasi telah dimanipulasi oleh elit politik. Pengejaran kekuasaan sarat dengan berbagai kepentingan dan egosisme pribadi dan atau kelompoknya. Ranah politik sarat dengan jual beli pasal kekuasaan, jual beli keadilan di ranah hokum.
Masyarakat mendapat berkah kebebasan,tetapi sebagian masyarakat mempergunakan kebebasan dengan tidak mengindahkan kepentingan atau kebebasan orang lain. Kita masih ingat musibah Cikeusik dan Temanggung beberapa tahun lalu. Betapa ironisnya, kehadiran Pemimpin belum benar-benar dirasakan masyarakat sebagai bagian dari warga Negara Republik ini yang harus dilindungi. Sudah saatnya kita memilih pemimpin yang memiliki roh dan jiwa Pancasilais, yang mengedepankan pengabdian pada kesejahteraan masyarakat, pencerdasan bangsa dan pengayoman bagi segenap warga Negara.
Revitalisasi Nilai-nilai Pancasila
Gema Pancasila pada masa reformasi ini semakin redup, bahkan nilai-nilai Pancasila semakin terlupakan di ranah publik dan politik, padahal Pancasila sebagai dasar dan ideologi Negara merupakan puncak kesepakatan nasional, yang harus ditegakkan dan diwujudkan dalam kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat.
Nilai-nilai Pancasila perlu dihidupkan dan disosialisasikan kembali. Pasalnya, kita ini bangsa yang gampang lupa. Lupa akan pengalaman pahit sejarah masa lalu. Padahal nilai-nilai Pancasila sudah menjamin eksistensinya dalam hidup berbangsa dan bernegara. Makna yang terkandung dalam sila-sila Pancasila seyogiyanya dilestarikan siapapun yang menjadi warga negara.
Dari sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa mengandung makna bahwa kita percaya dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, hormat menghormati dan bekerja sama antar pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup.
Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab mengandung makna: mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan persamaan kewajiban antara sesama manusia, saling mencintai sesama manusia, mengembangkan sikap tenggang rasa,tidak semena-mena terhadap orang lain, menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, bekerjasama dan saling menghormati dengan bangsa lain.
Sila Persatuan Indonesia bermakna: menempatkan persatuan, kesatuan di atas kepentingan pribadi dangolongan, rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan Negara, cinta tanah air dan bangsa, bangga sebagai bangsa Indonesia dan ber-tanah air Indonesia dan memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.
Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan mengandung makna: mengutamakan kepentingan Negara dan masyarakat, tidak memaksakan kehendak kepada orang lain, mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
Terakhir, yakni sila kelima Keadilan Sosial bagi seluruh Indonesia bermakna: mengembangkan kegotong-royongan, bersikap adil, menghormati hak-hak orang lain, bersama-sama berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.
Dari sila pertama sampai dengan sila kelima, dapat dilihat bahwa nilai-nilai tersebut semakin langka ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Dibutuhkan para pemimpin yang memiliki komitmen untuk menerapkan Pancasila secara tegas dan konstitusional.
Harus memilih pemimpin Pancasilais
Pada tanggal 9 April nanti, rakyat Indonesia akan memilih calon-calon legislatif (caleg) yang akan memperjuangakan nasib dan kesejahteraan masyarakat banyak. Disinyalir, mayoritas sosok anggota DPR RI/DPRD/DPD berwajah lama, kembali menjadi caleg untuk periode 2014-2019. Padahal, anggota dewan terhormat tersebut dikenal tidak berkinerja baik, bahkan sering bolos. Akhirnya, masyarakatlah yang harus cerdas mempertimbangkan untuk memilih para caleg sesuai hati nuraninya agar kinerjanya benar-benar memperbaiki kehidupan masyarakat yang adil dan sejahtera.
Juga pada bulan Juli nanti, kita akan kita akan memilih calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Banyak figur-figur calon pemimpin yang mulai disuarakan publik seperti Joko Widodo, Prabowo Subiyanto, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, Wali Kota Bandung Ridwan Kamil, Bupati Bantaeng Nurdin Abdullah, Bupati Bojonegoro Suyoto, dan mantan Wakil Gubernur Jawa Tengah, Rustriningsih dan lain-lain.
Dari tokoh-tokoh tersebut, masyarakat bisa menilai siapa yang memiliki reputasi, rekam jejak, kompetensi dan terutama kepribadiannya yang “menjiwai” nilai-nilai Pancasila. Masyarakat bisa mempertimbangkan untuk memilih para capres dan cawapres yang benar-benar untuk mengabdi dan melayani masyarakat, dan tidak memilih mereka yang bertujuan untuk “mencari pekerjaan” sebagai penguasa.
Memilih Pemimpin yang tegas dan berkomitmen menegakkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat ke depan merupakan keharusan. Alasannya, agar Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap eksis dan hidup dan benar-benar menjadi Indonesia Raya (Megawati Soekarnoputri), jika tidak maka Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila hanya ada di atas kertas, sebagai wacana dan retorika yang pada akhirnya bisa hilang.
Franz Magnis Suseno, dosen STF Driyarkara, pernah berkata bahwa Pancasila merupakan eksistensi negara dan bangsa Indonesia. Melepaskan, mengebiri, mengubah, mencairkan Pancasila adalah sama dengan pembatalan kesepakatan bangsa Nusantara untuk bersama-sama mendirikan Republik ini. Sentuhlah Pancasila dan Anda menyentuh eksistensi negara dan bangsa Indonesia (Magnis Suseno: 2011). Semoga
Pormadi Simbolon, alumnus STFT Widya Sasana Malang