Umat Katolik di Propinsi Gerejawi Kupang harus mengubah pola perilaku hidup Komunal Feodal dan ketergantungan, menuju perilaku komunal yang produktif dan mandiri. Mentalitas lama harus diubah demi kesejahteraan umat. Demikian salah satu kesepakatan bersama pertemuan Forum Konsultasi Tokoh Umat katolik Provinsi Gerejawi Kupang pada 11-13 Desember 2009 di Hotel Kristal, Kupang – Nusa Tenggara Timur (NTT) Pertemuan yang diprakarsai oleh Dirjen Bimas Katolik dengan para pimpinan Gereja lokal tersebut mendapat sambutan hangat dari pimpinan Gereja lokal dan pemerintah setempat. Selain para Uskup, turut hadir para tokoh nasional dari Jakarta seperti Cosmas Batubara, J. Riberu, Ferry Tinggogoy, Herman Musakabe, Frans M. Parera dan para pengurua PSE masing –masing keuskupan dan tokoh umat setempat seperti Linus Haukilo, Ambros Korbaffo dan Laurensius Juang.
Sebagai ruang pembelajaran bersama, pertemuan tersebut bertujuan untuk melihat kondisi riil ekonomi umat di wilayah propinsi gerejawi Kupang dan menemukan solusi yang tepat mewujudkan kesejahteraan umat dan kehadiran keselamatan dari Allah di dunia ini.
Menurut pengamatan Uskup Agung Kupang, Mgr. Petrus Turang, pada keadaan riil di wilayah Keuskupan Agung Kupang, umat masih berjuang sekedar untuk bertahan hidup (survival). Melalui pertanian dan peternakan, umat berusaha memenuhi kebutuhan hidup sehari-sehari. Sistem ekonomi masih sistem face to face, dengan sistem kekerabatan dan sistem pinjam-meminjam. Gereja pernah mencoba melakukan pemberdayaan ekonomi melalui pendekatan Koperasi. Namun pada kenyataanya, Koperasi belum mampu mengubah ekonomi umat hingga sekarang. Koperasi masih lemah.
Untuk itu, menurut Uskup Agung Kupang, diperlukan agar semua pihak baik pemerintah/ Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) maupun pimpinan gerejawi untuk bekerjasama memberdayakan dan mendorong pertumbuhan sosial ekonomi umat melalui budaya tani dan ternak. Gereja hanya mempunyai perutusan untuk menyadarkan umat tentang perbaikan kehidupan ekonomi umat. Sedangkan yang memberikan kemampuan teknis di bidang pertanian dan peternakan adalah pemerintah dan LSM.
Tidak jauh berbeda dengan keadaan ekonomi umat di Keuskupan Agung Kupang, kemiskinan dan pengangguran juga melanda umat di Keuskupan Weetebula. Menurut Uskup Weetebula, Mgr. Edmund Woga, CSsR, “Gereja dan Pemerintah memang sudah lama hadir di Keuskupan Weetebula, namun rakyat masih miskin dan melarat. Kesejahteraan atau keselamatan dari Allah belum dirasakan sejak di dunia ini. Siapa dan apa yang salah?” Demikian pertanyaan retoris uskup Weetebula ini kepada para peserta.
Dari hasil permenungan Bapak Uskup Weetebula ada beberapa sumber kesalahan yang perlu diperbaiki. Pertama, sisi adat. Ada kebiasaan-kebiasaan yang membuat umat makin miskin dan melarat. Kedua, kesalahan Gereja. Gereja mencoba membongkar adat, padahal Gereja belum tahu banyak tentang adat, sudah mulai melarang ini dan itu. Sehingga umat merasa adat para misionaris ini lebih tinggi. Pada kesempatan lain, Gereja mengajarkan hal-hal akhirat dan rohani semata. Sikap Gereja yang suka memberi kepada umat, sehingga mentalitas umat untuk berusaha dan mandiri dalam hidup tidak tumbuh.
Sumber kesalahan ketiga adalah pelayan publik. Ada oknum pejabat publik yang menyalahkangunakan dana publik. Di NTT sendiri tercium aroma bau korupsi. Keempat, kesalahan dari diri sendiri (mental, sikap, dll). Orientasi para petani kita baru dapur, belum berorientasi ke PASAR. Pasar baru hanya sebatas tempat bertemu. Kelima, mempersalahkan hubungan kekerabatan (paguyuban/ gotong royong konsumtif). Hal ini ikut memperlambat kemajuan. Semangat menabung belum ada. Untuk itu, menurut Uskup, hal ini menjadi pemikiran dan perbaikan bersama agar kesejahteraan dan keselamatan dari Allah bisa dinikmati umat.
Keadaan riil ekonomi di masyarakat Keuskupan Atambua tidak jauh berbeda dengan di Kupang dan Weetebula. Menurut Uskup Atambua, Mgr. Dominikus Saku,Pr kemiskinan dan kemelaratan masih dirasakan umatnya. Padahal kehadiran dunia pendidikan sudah lama di Atambua. Namun, sejumlah 72,6 % umat dari total 517.183 jiwa (data 2008) hanya mengenyam pendidikan Sekolah Dasar. Maka tidak heran sebagian besar (86 %) umat bermata pencaharian dari pertanian dan peternakan. Yang lebih memprihatinkan lagi, sebesar 56 % dari jumlah orang muda Katolik hanya berpendidikan SD dan sedang pengangguran. Apa yang bisa diharapkan dari dari keadaan demikian?
Bagaimana keadaan demikian diatasi? Uskup Atambua mencoba menawarkan upaya dari dua arah. Pertama ke dalam (internal). Pimpinan Gereja membina persekutuan di dalam Gereja supaya Gereja menjadi Gereja umat, memberikan peran lebih besar kepada umat supaya menunjukkan diri mereka sebagai GEREJA. Kedua, ke luar (eksternal). Pemerintah supaya lebih merakyat. Sebab pembayaran pajak, warga tidak tahu harus membayar ke siapa. Orang dari desa harus menunggu pejabat dari Pusat yang berkunjung ke desa, baru jalan-jalan desa dibangun. Demikian dijelaskan Bapak Uskup yang baru kurang lebih 3 tahun memimpin umat Keuskupan Atambua.
Mentalitas harus diubah
Pada akhir pertemuan, semua peserta berkomitmen dan bersepakat untuk meningkatkan sikap solidaritas dan saling percaya di kalangan umat Katolik dalam membangun ekonomi umat melalui pendekatan koperasi.
Dari sudut pendidikan, para peserta berkomitmen mengusahakan pengembangan Kewirausahaan melalui pendidikan formal, non formal dan informal untuk mengembangkan pola hidup produktif dan peningkatan Disiplin hidup dan membangun budaya kerja jeras, kerja cerdas dan tuntas.
Mengingat penting konsientisasi umat, perlu diusahakan bersama penyadaran umat untuk mengkritisi kebiasaan dan adat istiadat setempat yang menghambat pertumbuhan ekonomi umat dan pentingnya peningkatan kualitas pendidikan Sumber Daya Manusia yang handal, untuk mengelola Sumber Daya Alam, Sumber Daya Kelembagaan, Sumber Daya Waktu, dan Sumber Daya Uang serta penyadaran umat untuk membangun sikap dan perilaku menabung.
Selain itu, disepakati pula untuk membangun jejaring kerja dan informasi pemasaran melalui koperasi dan mengusahakan perubahan pola perilaku hidup Komunal Feodal dan ketergantungan, menuju perilaku komunal yang produktif dan mandiri. Forum bersama tersebut berniat melaksanakan kesepakatan tersebut dengan kesungguhan hati, sebagai panggilan iman dan moral Katolik untuk menanggapi keprihatinan sosial Gereja di Bidang kehidupan Sosial Ekonomi umat. (Pormadi Simbolon)