Trima kasih mengunjungi blog kami!

Para pengunjung yth. semua isi blog ini ditulis atau disusun atas kemauan pribadi. Itu berarti blog ini berisi aneka pendapat, pemahaman, persepsi pribadi, dan pemikiran pribadi atas lingkungan kerja dan hidup sekitarnya. Harapan kami isi blog ini bermanfaat bagi pengunjung yang memerlukannya. Salam, GBU.

Kamis, April 06, 2006

BUDAYA MALU YANG PALSU

Budaya Malu yang Palsu
SUARA PEMBARUAN DAILY, 05 APRIL 2006
Oleh Liong Kwei Cun
ulianti, seorang warga Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara, yang diduga terjangkit flu burung disembunyikan keluarga. Namun, Yulianti hingga Sabtu (11/3) tidak diketahui keberadaannya. Dia dicurigai menderita flu burung karena menderita demam dan batuk mirip dengan gejala penyakit mematikan itu (lih. www.sctv.co.id)

Namun, sampai sekarang belum diketahui entah kenapa pihak keluarga menyembunyikannya. Bocah 11 tahun ini merupakan adik Wahidi, pasien flu burung yang kini tengah diisolasi di Ruang Cempaka RSPI. Sang kakak sebelumnya sempat kabur dari rumah sakit itu, Jumat silam (10/3).

Bisa dua kemungkinan alasan mengapa keluarga menyembunyikan Yulianti. Kemungkinan pertama adalah karena rasa malu tidak memiliki uang untuk biaya pengobatan. Kemungkinan kedua adalah rasa malu terhadap tetangga karena penyakit flu burung.

Rasa Malu
Apapun alasannya, keluarga tersebut menyembunyikan anak yang sedang menderita sakit flu burung dan jelas keluarga jatuh pada himpitan rasa malu entah karena tidak punya uang atau karena takut dicemoohkan tetangga. Inilah budaya malu yang palsu alias rasa malu tidak sehat.
Demikian pula, kalau benar pendapat Wakil Kepala Dinas Kesehatan Nusa Tenggara Barat (NTB) dr Komang Gerudug tahun lalu tentang busung lapar dan kurang gizi di daerahnya, maka semakin menegaskan bahwa budaya malu yang palsu dipaksakan untuk menutupi kemiskinan.
Menurutnya, munculnya kasus busung lapar dan kurang gizi di NTB karena ada budaya malu di kalangan orang tua untuk membawa bayi mereka yang kurus kering atau malah sudah busung lapar ke puskesmas (seperti dikemukakan Mahlil Ruby).

Berbeda halnya dengan budaya rasa malu yang ditampilkan oleh para wakil rakyat di Senayan. Mereka merasa malu bila publik mengetahui bahwa penghasilan mereka dinaikkan. Rasa malu mereka semakin terasa diusik bila ada suara-suara publik yang memrotes atau menolaknya karena alasan rakyat sedang dijerat kemiskinan dan kelaparan. Konon kabarnya, kinerja para wakil rakyat akan semakin bermutu dan optimal bila penghasilan mereka dinaikkan, tetapi nyatanya tidaklah demikian. Mereka merasa malu tetapi kebijakan kenaikan penghasilan para wakil rakyat rencananya tetap dijalankan.

Fenomena budaya malu yang palsu sebenarnya sudah lama menyeruak di tengah masyarakat. Dengan amat jelas, budaya malu yang palsu itu sungguh membuat kita yang berakal budi sehat menjadi malu.

Sekelompok calon kepala daerah merasa malu bila harus menerima kekalahan dalam kompetisi pemilihan kepala daerah tahun lalu. Pada pribadi yang tidak bisa menerima kekalahan, budaya malu itu ditampakkan wujudnya dalam bentuk kekerasan dan dan perilaku curang alias ketidakjujuran tampil ke permukaan.

Begitu pula, sudah tidak menjadi rahasia umum lagi bahwa beberapa pejabat publik akan merasa malu bila belum memiliki rumah dan mobil mewah, harta bergerak dan tidak bergerak entah di pusat entah di daerah selama memegang jabatan di suatu instansi pemerintahan.
Bila jujur diakui, budaya malu yang palsu mengafirmasikan suatu sikap hidup tidak jujur. Sebuah ketidakjujuran terhadap eksistensi dan kehidupan manusia sebagai insan yang kodratnya harus memasyarakat. Ketidakjujuran terhadap kebutuhan akan keadilan dan kesejahteraan bersama sebagai makhluk sosial.

Bukankah manusia semakin memanusiawi bila hidup bersama dengan orang lain atau dengan kata lain manusia hanya bisa hidup bersama orang lain bila ada kejujuran mengakui adanya saling ketergantungan akan kebutuhan hidup?

Dampak Era Mondialisasi
Fenomena budaya malu yang palsu semakin bermunculan di era mondialisasi dan bisa jadi merupakan dampak dari era mondialisasi itu sendiri.
Era mondialisasi ikut ambil bagian menciptakan budaya malu yang palsu alias ketidakjujuran pada kenyataan hidup.

Di satu sisi, era mondialisasi selain membawa dampak kemiskinan, marjinalisasi dan ketertinggalan bagi negara yang lemah di bidang strategi ekonomi dan politik, tetapi juga mendorong orang mengikuti gaya hidup di negara maju yang karena ketidakjujurannya bisa terjerumus pada pola dan perikehidupan serba tanda (simbol) dan gaya, pola hidup konsumtif, fenomena jalan pintas, pergi ke mall dan aneka macam kesempatan dan lompatan sukses serba cepat.

Di sisi lain, era mondialisasi menantang kebanyakan orang untuk mengejar kemajuan dan kemakmuran dengan persaingan yang semakin ketat dan keras. Kompetisi tersebut terjadi antara negara-negara maju dengan negara-negara sedang berkembang, antara individu-individu yang memiliki kecakapan dengan mereka yang kurang mampu (baik skill maupun ekonomi).
Situasi persaingan ketat dan butuh kerja keras tersebut dapat mencondongkan sekelompok orang melakukan kecurangan dan menciptakan budaya malu yang palsu. Nilai kerja keras dan perjuangan terabaikan demi meniru pola hidup berbau mon- dialisasi.

Tren hidup dengan pola dan perilaku serba tanda dan lahiriah, pola hidup konsumtif dan fenomena jalan pintas sebenarnya merupakan dampak mondialisasi. Kecenderungan mengikuti pola hidup demikian logisnya akan mendorong perilaku menuju tindak korupsi, kolusi dan nepotisme untuk mengejar kesuksesan dan kekayaan secara instan. Tren tersebutlah tampaknya sedang melanda warga Indonesia.

Sebagian orang merasa malu bila hidup dalam kemiskinan, kelaparan dan menderita suatu penyakit, terlebih lagi bila hal itu diketahui orang banyak, karena dipandang sebagai aib dan memalukan di tengah hamparan panggung kehidupan.
Rasa malu yang palsu itu semakin menebal ketika pemikiran publik dikuasai cara pandang keliru terhadap mereka yang hidup dalam kemiskinan, yang menderita busung lapar dan penyakit flu burung (dan aneka penyakit lainnya).

Budaya malu yang palsu dapat pula kita saksikan pada kehidupan sekelompok pejabat publik. Pada dasarnya mereka sudah hidup berkecukupan dan dibiayai negara, tetapi masih tega-teganya melakukan tindak korupsi demi penumpukan harta kekayaan guna mengikuti tren hidup era mondialisasi.

Mereka merasa malu dan tertinggal bila tidak bisa mengikuti tren dan gaya hidup berbau mondialisasi seperti warga negara maju, yang memang sudah mampu dan maju dalam arti sejatinya.

Fenomena budaya malu yang palsu yang ditampilkan sebagian masyarakat miskin merupakan bentuk penghinaan dan penegasian nilai kejujuran dan kerja keras. Padahal, bila mereka jujur dan menyatakan situasi dan keadaan sebenarnya, pasti masih banyak orang yang berhati nurani sehat dan lurus, yang datang baik secara perorangan maupun lembaga guna menolong dan mengurangi penderitaan mereka.

Berbeda dengan fenomena rasa malu yang palsu yang dipertontonkan sekelompok oknum pejabat elite di negara ini. Mereka malu bukan karena melihat banyak rakyatnya yang miskin, lapar dan sakit-sakitan, melainkan karena nilai-nilai yang mereka kejar adalah nilai-nilai hidup yang superfisial, dangkal, dan penuh dengan kepalsuan dan kemunafikan. Inilah fenomena budaya malu yang palsu para koruptor.

Memang begitu pahit bila kita coba menjalani hidup dengan penuh kejujuran dalam arti sejatinya di era mondialisasi sekarang. Kita bisa rugi sendiri dan disingkirkan dari pergaulan masyarakat banyak.

Selain itu nilai kejujuran dan kerja keras semakin tertindas oleh pemikiran kolektif yang keliru. Hanya dengan keberanian dan bantuan kekuatan adikorati (doa pada Tuhan), sekelompok masyarakat dan pada umumnya individu-individulah yang mampu mendobrak pikiran kolektif yang keliru, seperti yang dilakukan Sokrates atau para Nabi di jamannya.

Penulis adalah seorang karyawati swasta tinggal di Jakarta
Last modified: 5/4/06

Tidak ada komentar:

Powered By Blogger