Trima kasih mengunjungi blog kami!

Para pengunjung yth. semua isi blog ini ditulis atau disusun atas kemauan pribadi. Itu berarti blog ini berisi aneka pendapat, pemahaman, persepsi pribadi, dan pemikiran pribadi atas lingkungan kerja dan hidup sekitarnya. Harapan kami isi blog ini bermanfaat bagi pengunjung yang memerlukannya. Salam, GBU.

Jumat, Maret 17, 2006

Hati Nurani vs Perkara Perut

Hati Nurani vs Perkara Perut

Oleh Pormadi Simbolon

Baru-baru ini Satijipto Rahardjo Guru Besar sosiologi Universitas Diponegoro, menggolongkan ribuan para hakim di negeri ini menjadi dua kategori. Kategori pertama hakim yang berpikir dengan hati nurani. Kategori kedua adalah hakim yang bertanya dulu kepada perut baru kemudian mencari pasal-pasalnya (Kompas, 21/09/05).

Pengkategorian tersebut dikemukakannya terkait dengan pemberantasan korupsi yang mengecewakan masyarakat banyak di republik tercinta.

Yang menarik diutarakan adalah ungkapan berpikir dengan nurani dan bertanya kepada perut. Barangkali kegagalan pemberantasan korupsi dan banyaknya persoalan bangsa lainnya atau krisis multidimensi belum teratasi karena perkara hati nurani dan perut tersebut.

Hati Nurani Sebagai Inti Manusia

Kata ‘hati nurani’ dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (Badudu-Zain, Sinar Harapan, 2001) diartikan perasaan yang dalam, batin. Makna yang sama dengan term tersebut digambarkan Harimurti Kridalaksana (Nusa Indah, 1974) sebagai perasaan hati yang murni, kata hati, hati kecil, batin, sanubari. Intinya hati nurani merupakan ungkapan terdalam yang datang dari hati yang murni dan terkait erat dengan hubungan manusia dengan ajaran Tuhan dan kehidupan lingkungannya.

Di dalam lubuk hati setiap insan hati nurani bekerja dan berbisik. Pada waktu tertentu ia memberi perintah untuk melakukan yang baik dan menyuarakan keadilan. Pada saat lain ia memberi perintah untuk mengelakkan yang jahat dan salah. Hati nurani menjadi pengontrol moralitas individu.

Hati nurani bekerja aktif karena ia dipertajam dengan pemaknaan atas pengalaman hidup, pendidikan, keluarga dan masyarakat lingkungannya. Artinya prinsip hati nurani adalah hasil kolaborasi keputusan akal budi dengan pengalaman hidup.

J.H. Newman dalam suratnya kepada Pangeran Norfolk V mengatakan hati nurani adalah ‘hukum roh’ dan juga ‘bisikan langsung’, di dalamnya terdapat gagasan pertanggungjawaban, kewajiban, ancaman dan janji… Jadi hati nurani terletak di dalam hati yang terdalam. Ia tidak dapat didengar bila si manusia tidak mau mendengarkan dan menanggapinya.

Jadi hati nurani merupakan petunjuk dan keputusan akhir dalam interaksinya dengan akal budi manusia dalam berhadapan dengan dirinya, orang lain dan Tuhannya. Atas dasar peran dan posisinya yang penting, para pemimpin Gereja Katolik merumuskan “hati nurani sebagai inti yang paling rahasia, sanggar sucinya; di situ ia seorang diri bersama Allah, yang sapaanNya menggema dalam batinnya” (Dokumen Konsili Vatikan II, GS 16).

Perkara Perut

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (idem) ‘perut’ diartikan bagian tubuh sebelah depan antara dada dengan kemaluan’. Fungsinya sebagai wadah yang mula-mula menampung makanan yang masuk ke dalam tubuh. Jadi perut tampak kasat mata, bersifat lahiriah, dapat diraba, digerakkan oleh nafsu terhadap apa saja yang bisa dimasukkan ke dalamnya. Dengan kata lain soal perut adalah perkara menjaga dan memelihara keselamatan, kebutuhan, dan keamanan tubuh.

Perut menjadi kelaparan bila semua isinya sudah mengalami proses pembakaran dalam tubuh. Lalu ia menuntut lagi makanan atau rezeki. Ia digerakkan oleh keinginan untuk mencari makanan.

Namun perut menjadi kegendutan bila diisi dengan terlalu banyak makanan dan minuman. Perut menjadi kelebihan muatan sebab si manusia memaksa masuk aneka makanan dan minuman. Perut kekenyangan dan lalu menjadi gendut dan akhirnya dapat menjadi sumber kecelakaan, kemalasan dan penyakit.

Tidak jarang banyak orang kaya mati karena kekenyangan, sedangkan orang miskin harus mati karena kelaparan dan gizi buruk yang mereka derita. Barangkali, Orang kaya yang kekenyangan mempunyai duit untuk berobat, namun orang miskin harus menerima nasibnya sebagai orang yang kelaparan, kecil melarat dan miskin.

Benar, semua orang memiliki perut. Semua orang pula harus mengisi perutnya dengan makanan yang sehat, secukupnya dan sesuai dengan volumenya. Benar pula manusia harus mengisi perut untuk hidup, bukan hidup untuk perut. Jadi hidup ini bukan perkara perut saja … Bung!

Menggunakan Hati Nurani atau Perut?

Warga bangsa ini sudah banyak disuguhi oleh media massa aneka persoalan bangsa. Krisis multidimensi negeri ini terjadi lebih merupakan akibat dari manusia yang menggunakan perut daripada hati nurani. Kehidupan di negeri ini begitu sulit, namun masih banyak oknum aparatur pemerintah masih lebih dahulu bertanya pada perut dalam pelayanannya kepada publik.

Tak heran bila pemberantasan korupsi mengecewakan masyarakat. Banyak dari para hakim memutuskan perkara di pengadilan setelah bertanya lebih dulu pada perut lalu mencari pasal-pasal. Sedangkan hakim yang memutuskan perkara korupsi dengan hati nurani, dalam hitungan minggu atau bulanan bisa jadi sudah hilang, tewas ditembak atau diracun.

Suap-menyuap dan korupsi gagal diberantas karena memang perkara perutlah yang menjadi dasarnya. Bila para penegak hukum bertanya pada perut, demikian juga para pelaku korupsi, maka kloplah keduanya dan terjadilah penggendutan perut. Gagallah pemberantasan korupsi.

Lihat saja kenyataan kehidupan bermasyarakat di lapangan. Karena menggunakan perut, banyak dari warga bangsa ini memunculkan aneka perilaku negatif: mudah tersinggung, bengis, beringas, main hakim sendiri, fanatik berlebihan dan gampang mengamuk. Sebagian warga terpaksa protes dan marah karena urusan perut mereka diganggu dan dipersulit karena memang sudah kelaparan dan merupakan tuntutan kebutuhan hidup. Namun sebagian warga masih asyik berpesta pora, berbagi jatah proyek, berpraktek calo untuk mengenyangkan perut yang sudah gendut.

Ketika terjadi busung lapar, malah pejabat berkomentar “busung lapar itu kecelakaan” (Kompas, 27/05/05). Pembelaan diri ini timbul karena perkara perut. Jika hati nurani yang berbicara maka yang muncul adalah penyesalan dan pernyataan konstruktif untuk mengatasi busung lapar.

Ketika terjadi penyerangan terhadap jemaat Ahmadiyah di empat Kabupaten Cianjur, seorang pejabat keamanan malah mengatakan “penyebab terjadinya perusakan terhadap masjid, madrasah dan rumah warga adalah akibat kelalaian pemerintah setempat (Suara Pembaruan, 21/09/05). Apakah ia menggunakan hati nurani atau perut? Anda sendiri yang menyimpulkan.

“Hari Begini Ngomong Hati Nurani?”

Sedikit saja orang yang sungguh-sungguh menggunakan hati nurani dalam soal kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat di negeri ini. Sebab hati nurani itu barangkali sudah klasik dan tidak sesuai lagi dengan trend yang ada di tengah masyarakat. Barangkali orang jaman ini akan berkata “Hari gini ngomong hati nurani, pengabdian, dan gotong-royong? Emangnya gue pikirin, so what begitu loh! Masa bodoh. Isi dulu perutmu, begitu loooh!! Hati nurani terkalahkan oleh perkara perut.

Hati nurani di negeri ini kerapkali terselimuti oleh kabut, selubung, kepentingan dan minat egoistik yang ujun-ujungnya adalah perkara perut, duit dan kenikmatan. Jangan-jangan perkara perut sudah menaklukkan dan menguasai hati nurani bangsa ini. Ah… mengenai hal ini saya pun tidak tahu persis…mari kita tanyakan hati nurani terdalam kita.

Hati nurani yang disebut J.H. Newman sebagai hukum roh dan bisikan langsung dalam diri manusia terdalam memuat gagasan pertanggungjawaban, kewajiban, ancaman dan janji. Bila manusia mendengarkan hati nuraninya maka kedamaian, kebahagiaan dan ketenangan batin akan datang menghampirinya. Namun bila manusia melulu mendengarkan perut maka ancaman dan hukuman dari hati nuraninya sendiri dan lingkungan sekitarnya akan menggerogotinya. Mendengarkan hati nurani atau bertanya pada perut sendiri memang keputusan setiap insan yang hidup di dunia ini. Persoalannya kita berada dan hidup dalam tata hidup bersama menuju kesejahteraan bersama pula.

*Penulis adalah warga biasa, tinggal di Jakarta.

LEMBAGA PERADILAN DI MATA WONG CILIK

LEMBAGA PERADILAN DI MATA WONG CILIK

Oleh Pormadi Simbolon

Keberpihakan lembaga peradilan beserta sejumlah aparatur penegak hukum terhadap wong berduit, oknum pejabat, penguasa dan pengusaha semakin jelas dengan terbongkarnya dugaan suap-menyuap yang melibatkan pegawai Makhamah Agung di dalamnya. Terbongkarnya dugaan kasus tersebut pula semakin mempertegas bahwa kebenaran hukum tampaknya semakin menjauh dari wong cilik.

Lembaga peradilan kita sedang mengalami krisis identitas ketika disinyalir ada drama suap-menyuap dan jual-beli praktek perkara yang dilakukan Harini Wijoso – advokat Probosutedjo – dengan beberapa pegawai MA, dan diduga melibatkan Bagir Manan, Parman Suparman dan Usman Karim. Sebagian orang menyebut kasus ini sebagai tindak mafia peradilan yang melibatkan semua aparat hukum: hakim, jaksa, polisi, advokat, panitera dan pegawai peradilan.

Tidak Terkejut

Kebanyakan insan praktisi hukum sebenarnya tidak terkejut mendengar mafia peradilan yang ada. Persoalannya aneka kasus tindak korupsi yang sampai ke lembaga peradilan pasca Orde Baru hingga sekarang seringkali berujung pada bebasnya para pelaku atau hanya mendapat hukuman ringan.

Sebagai orang yang awam tentang hukum, penulis dengan mata hati dan akal sehat melihat wajah lembaga peradilan telah tercoreng dan kredibilitasnya semakin merosot ke titik terendah.

Ada dua alasan yang dapat dikemukakan. Pertama, lembaga peradilan pada hakekatnya menjadi ukuran standar tentang apa yang benar dan adil yang berlaku di negara hukum, kini kehilangan dayanya (strength).

Kedua, lembaga peradilan seyogiyanya menjadi tempat pengaduan, pengungsian dan benteng pertahanan wong cilik atau warga bangsa yang terzalimi, tertindas dan teraniaya, kini kehilangan kepercayaan dari orang banyak (credibility).

Ukuran Kebenaran Hukum

Melihat kenyataan yang ada di lapangan, lembaga peradilan tampaknya bukan lagi diperuntukkan bagi semua warga negara, tetapi bagi sekelompok oknum penguasa, pengusaha atau penegak hukum sendiri. Lembaga peradilan yang semestinya milik semua warga negara, namun menjadi alat pemerkayaan diri para oknum. Ia adalah ukuran atas apa yang benar, adil, dan benar menurut hukum, namun diperalat untuk kepentingan egoistik.

Juga betapa ironisnya, oknum aparatur lembaga peradilan yang dipercaya warga negara sebagai penegak jaminan ukuran kebenaran hukum ternyata menjadi alat “pembebasan” dan “pembenaran” sekelompok orang saja. Ia menjadi partner segelintir orang dalam memuluskan suatu “titipan” vonis kasus korupsi oknum pengusaha dan penguasa, bukannya menjadi sarana penegakan hukum itu sendiri.

Di lapangan, kolusi antara hakim dan petugas pengadilan sudah terjadi sejak era Orde Baru. Gagalnya persidangan kasus penggelapan dana yayasan pimpinan mantan Presiden Suharto merupakan salah satu contoh. Kegagalan ini telah menegaskan bahwa sudah lama hukum sebagai ukuran kebenaran hukum rentan, rapuh dan lemah.

Yang lebih menyempurnakan reputasi jelek lembaga peradilan adalah ketika semua lembaga pemerintahan bangsa ini sedang gencar-gencarnya menggapai the good and clean governance tiba-tiba dikejutkan dengan adanya dugaan suap-menyuap dan jual beli praktek perkara yang melibatkan hampir semua aparat penegak hukum, teristimewa aparat makhamah agung.

Benteng Wong Tertindas

Lembaga peradilan sudah lama relatif tidak bisa diandalkan sebagai benteng wong tertindas, teraniaya, tersiksa, miskin/ melarat, cilik, lemah. Hal ini bisa dibuktikan di lapangan.

Ketika terjadi penyerangan sekelompok orang anti-Ahmadiyah terhadap rumah ibadah dan warga jemaat Ahmadiyah di empat kebupaten Cianjur, tak seorang pun pelaku tindakan anarkhis yang diadili atau ditindak secara hukum.

Ketika rakyat memrotes keberadaan Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu Bojong, Jawa Barat, aparat penegak hukum tanpa pikir panjang juga tanpa pandang bulu menembaki mereka.

Tidak heran, hilangnya kepercayaan pada lembaga peradilan sebagai benteng wong tertindas mendorong Suciwati menyandarkan harapan pada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menegakkan keadilan atas kematian suaminya, almarhum Munir, pejuang hak asasi manusia. Kasus tersebut pun belum tuntas hingga sekarang.

Rakyat Hanya Bisa Mengigit Jari

Skeptisisme rakyat terhadap aparat penegak hukum selama ini tampaknya terjelma dalam aneka perilaku negatif mereka. Banyak rakyat terpaksa melakukan tindakan anarkhis karena benteng pengaduan mereka tidak meperhatikan nasib mereka.

Bagi sebagian rakyat yang tertindas, teraniaya dan termarjinalkan hanya bisa menggigit jari dan menerima nasib apa adanya sebagai wong cilik. Suara mereka tidak terdengar, tetapi jeritan batin mereka sesungguhnya rindu dan haus akan kebenaran dan keadilan. Mereka tak bisa berbuat apa-apa. Hukum sebagai tempat jaminan atas apa yang benar dan adil bukan diperuntukkan bagi mereka.

Apakah negeri ini menjadi tempat yang baik bagi mereka untuk hidup, itulah yang selalu menjadi pertanyaan dalam batin mereka. Mereka menginginkan sebuah negeri yang bisa melindungi hak-hak asasi mereka sebagai warga negara. Kelihatannya negeri ini bukan tempat baik sebagai tanah air mereka. Semestinya, seperti ungkapan lama dalam bahasa Perancis, dimana orang dapat hidup dengan baik, sebenarnya tempat itulah tanah air mereka (Où l’on est bien, là est la patrie).

Menjadi relevan apa yang pernah dikatakan oleh Satjipto Rahardjo, Guru Besar Sosiologi Universitas Diponegoro tentang penegakan hukum dalam rangka pemberantasan korupsi. Ia mengkategorikan ribuan aparat hakim di negeri ini menjadi dua kategori. Kategori pertama hakim yang berpikir dengan hati nurani. Kategori kedua hakim yang bertanya dulu kepada perut baru kemudian mencari pasal-pasalnya. (Kompas, 21/09)

Lembaga peradilan kita tampaknya tidak berpihak pada the poors (kaum miskin dan lemah) melainkan pada the haves (kaum kaya dan kuat). Lembaga peradilan pada hakekatnya merupakan tempat seni menegakkan apa yang benar dan adil (le droit est l’art du bien et du juste), tampaknya seringkali melenceng lebih menjadi tempat seni mengumpulkan harta kekayaan dan penggendutan perut.

*Penulis adalah alumnus STFT Widya Sasana Malang,

tinggal di Jakarta.

TIDAK MENCAP SESAT, TAPI MENYAPA. MUNGKINKAH?

TIDAK MENCAP SESAT, TAPI MENYAPA. MUNGKINKAH?

Oleh Pormadi Simbolon

Dalam beberapa waktu lalu (Kompas 31/08/2005), Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjelaskan fatwanya yang pernah dikeluarkan beberapa waktu lalu kepada DPR. Dalam penjelasannya, MUI menyatakan bahwa aliran Ahmadiyah sebagai aliran sesat dan menyesatkan, serta orang yang mengikutinya sebagai orang murtad (keluar dari Islam).

Aliran Ahmadiyah dicap sesat karena mengajarkan adanya nabi setelah Nabi Muhammad SAW, yakni Mirza Ghulam Ahmad dan lalu dianggap telah keluar dari Islam. MUI juga menyerukan kepada para pengikut aliran Ahmadiyah untuk kembali kepada ajaran Islam yang sejalan dengan Al-Quran dan Hadist.

Hal mengeluarkan fatwa atau “Surat Gembala” mencap sesat bahkan mengutuk kelompok keyakinan lain yang berbeda penafsiran alkitabiah atau ajaran juga pernah terjadi dalam sejarah Gereja Katolik sekitar abad ketujuhbelas. Bahkan pada masa yang sama terjadi propaganda dalam Gereja Katolik bahwa “Di luar Gereja tiada keselamatan” (extra ecclesiam nulla salus).

Bila kita coba lihat dari perspektif kebebasan beragama, yang patut direnungkan secara lebih mendalam adalah apakah kita berhak mencap bahkan mengutuk orang lain yang berbeda agama/ keyakinan sesat dan menyesatkan? Yang lebih membuat rasa kemanusiaan kita terusik adalah bila “Surat Gembala” atau Fatwa itu menebarkan benih tindak kekerasan untuk memaksa mengubah apa yang diyakini orang lain seturut hati nuraninya? Bukankah cap sesat dan tindak kekerasan yang menyertainya konfrontatif dengan iman yang kita miliki? Tidakkah kita lebih baik menyapa, merangkul alias berdialog dengan mereka yang berbeda keyakinan dengan kita?

Bertentangan Dengan Ungkapan Iman Sendiri?

Bila kita sependapat, entah agama apa pun yang kita anut, pada dasarnya agama mengajarkan bahwa kasih sayang (cinta kasih) kepada Allah dan sesama manusia (relasi vertikal dan horisontal), maka kita akan sependapat pula bahwa tindakan mencap keberagamaan/ keyakinan orang lain yang berbeda agama dengan kita sesat dan menyesatkan adalah tindakan yang bertentangan dengan iman kita sendiri. Terlebih lagi bila stigma sesat dan menyesatkan itu disertai tindakan kekerasan baik secara fisik maupun secara psikologis.

Perkenankan penulis memberi contoh pengalaman sejarah Gereja Katolik (karena penulis berlatarbelakang Katolik). Dalam Gereja Katolik, kelompok Yansenisme pada abad XVII pernah mempropagandakan bahwa di luar Gereja tiada keselamatan (extra ecclesia nulla salus). Pada dasarnya propaganda yang berasal dari Santo Cyprianus (abad III) ini merupakan sikap apologetis dan eksklusif. Gereja bersikap demikian karena mengalami ketakutan eksistensial karena pertemuannya dengan agama-agama/ keyakinan di luar dirinya.

Selanjutnya dalam perjalanan sejarah, Gereja Katolik sadar akan penting masa depan eksistensinya dan kenyataan pluralitas agama dan budaya lalu ia belajar dari pengalaman anggotanya yang minoritas di Asia dan Timur Tengah atau belahan dunia lainnya. Di tempat minoritas, umat Katolik harus belajar hidup berdampingan dengan umat beragama di luar dirinya yang mungkin menjadi mayoritas seperti di Asia pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya.

Kesadaran inilah yang menjadi salah satu pendorong dan penguat Gereja Katolik untuk mengadakan pembaruan dan perubahan wajah Gereja dalam sidang Konsili Vatikan II, dan mengeluarkan Konstitusi Lumen Gentium) yang berisi sikap terhadap umat beragama yang bukan Katolik. Sikap Gereja tidak lagi apologetis dan eksklusif melainkan mengajak agama non-Katolik dan Ateis sekalipun untuk duduk berbicara bersama. Ia menyadari bahwa mengutuk atau mencap sesat agama/ keyakinan yang lain justru bertentangan dengan ungkapan imannya yang seyogiyanya menyapa, merangkul dan berjalan bersama-sama dengan semua orang yang berkehendak baik untuk membangun dunia.

Keberbedaan keyakinan (pluralitas agama dan budaya) adalah kenyataan yang menjadi keharusan dan ia berkembang seturut perkembangan pemikiran, penghayatan dan pengalaman iman manusia atas realitas hidupnya. Keberbedaan itu seyogiyanya menjadi kekayaan tak ternilai dan pula tidak saling mengurangi kehormatan dan kebenaran masing-masing agama.

Penulis yakin bahwa hidup keberagamaan kita tidak dibatasi atau berhenti pada ritus keagamaan di gedung masjid, gereja atau tempat ibadah lainnya dan juga tidak hanya pada hari Jum’at siang atau Minggu pagi melainkan dalam segala dimensi kehidupan kita sebagai umat beragama.

Artinya penghayatan dan pengamalan ajaran agama harus diterapkan dalam praksis kehidupan sehingga membuahkan kedamaian dan persahabatan. Penerapan itu tidak terbatas pada umat seagama atau yang lain yang sudah beragama tetapi pada umat manusia pada umumnya, bahkan kepada penganut ateis sekalipun.

Lebih Baik Menyapa atau Berdialog

Berangkat dari kenyataan realitas yang pluri-agama dan pluri-budaya kehidupan, adanya mayoritas dan minoritas penganut agama di belahan dunia yang berbeda, semua agama harus belajar untuk hidup berdampingan, saling menyapa alias berdialog, maka akan tercipta perdamaian dan persahabatan antar umat beragama khususnya dan umat manusia pada umumnya.

Itu bukan berarti mengurangi kebenaran iman agama-agama masing-masing, tetapi justru mendorong untuk saling menghormati di antara mereka dan dengan tulus berani untuk berkata, “Kami yakin bahwa hanya agama kami yang benar (entah Islam, Kristen, Katolik, Buddha, Hindu, dll), namun kami juga tidak menolak mengakui dengan penuh hormat nilai-nilai rohani dan moral dari agama/ kepercayaan di luar diri kami”.

Untuk mencapai sikap terbuka dan saling menyapa atau dialogis demikian membutuhkan beberapa syarat. Syarat pertama, kejelasan tentang apa yang mau didialogkan atau disampaikan. Syarat kedua, perlunya kelembutan hati. Artinya, kecongkakan hati, saling menyerang dan semacamnya harus ditanggalkan lalu berani untuk saling mendengarkan dengan lembut dan rendah hati. Syarat ketiga adalah kepercayaan. Kepercayaanlah yang menumbuhkan persahabatan yang semakin akrab. Lalu keempat adalah kebijaksanaan. Dengan kebijaksanaan, persahabatan antar penganut agama yang berbeda akan semakin diteguhkan (bdk. Armada Riyanto, 1995:37).

Melihat era mondialisasi dewasa ini, semua penganut agama sudah seyogiyanya membangun rasa satu dunia, dialogis dan terbuka melihat keanekaragaman agama dan budaya. Alam semesta ini pula diciptakan untuk umat manusia pada umumnya, bukan untuk umat beragama tertentu saja.

Keyakinan bahwa setiap orang berhak hidup atas kebenaran sebagaimana diyakini suara hatinya dan menampilkannya dalam hidup yang baik atau menghasilkan buah-buah kebaikan, kedamaian dan persahabatan, maka dengan keyakinan itu pula para penganut agama yang berbeda akan dapat saling menyapa dan berdialog dan lalu membangun dunia secara bersama-sama, tapi tidak lagi saling mengutuk atau memberi stigma sesat. Tapi apakah itu mungkin?

Penulis adalah alumnus STFT Widya Sasana Malang, tinggal di Jakarta.

Tulisan ini merupakan pendapat pribadi

MENGAPA SULIT MEMBUKTIKAN TINDAK KORUPSI?

MENGAPA SULIT MEMBUKTIKAN TINDAK KORUPSI?

Oleh Pormadi Simbolon*

Banyak tindak korupsi yang dilakukan pejabat negara dan atau pegawai negeri pada birokrasi selama ini dan sebagian menjadi sorotan media publik. Dari sekian kasus yang dipublikasikan, ternyata hanya sedikit kasus tindak korupsi yang bisa dibuktikan secara hukum oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lalu mengapa pihak berwenang sulit membuktikan tindak korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara dan atau pegawai negeri?

Kesulitan pembuktian tersebut juga diakui oleh pejabat KPK, Tumpak Hatorangan Panggabean ketika Komisi III DPR mengkritik kinerjanya. Kinerja KPK dinilai mengendur dalam tahun 2006 karena pemberantasan korupsi tidak sehebat di 2005 lalu (Kompas, 28/2).

Sejauh pengamatan penulis, jawaban atas pertanyaan tersebut adalah karena tindak korupsi dilakukan secara bersama-sama atau terpaksa bersama-sama dalam konteks tata hubungan atasan (selanjutnya baca: umumnya pejabat Eselon I dan II) dengan bawahan (selanjutnya baca: umumnya pejabat Eselon III, IV dan staf/ karyawan) di lingkungan birokrasi negara.

Kerja Bersama-sama Berkorupsi

Kesulitan pembuktian tindak korupsi tersebut dapat dijelaskan dalam dua kasus beserta masing-masing contoh berikut ini.

Pertama, adanya “spirit” money oriented baik pada atasan maupun bawahan. Karena spiritnya sama, maka Surat Keputusan (SK) sebuah proyek atau program akan cepat keluar dari atasan kepada bawahan. Mengapa? Sebab keduanya sudah terlebih dahulu berencana membagi-bagi “jatah” atau persenan dari total anggaran proyek/ program di luar ketentuan yang berlaku menurut peraturan perundang-undangan.

Misalnya, sebuah proyek/ program mempunyai total anggaran 100 juta rupiah. Atasan dan bawahan sudah antisipasi dan melakukan kesepakatan besarnya jatah masing-masing. Jatah atasan umumnya selalu lebih besar, umpamanya 20%, sedangkan bawahan mendapat 10%, maka sisa yang harus direalisasikan untuk pelaksanaan proyek atau program tinggal 70%. Sisa tersebut masih harus dibagi lagi sebagai peruntukannya untuk tunjangan dan honor pelindung, penasehat, pengelola dan panitia pelaksana proyek. Ketika tiba saat pemeriksaan dan pertanggungjawaban pelaksanaan proyek/ program tiba, maka baik atasan maupun bawahan sudah pasti dengan spirit yang sama mengatakan bahwa proyek/ program dapat berjalan dengan baik. Tindak korupsi semacam ini sulit dibuktikan, sebab bukti fisik dan tertulis memang ada serta jadwal dan foto-foto pelaksanaan program dengan jelas dilampirkan. Dari laporan pertanggungjawaban tersebut kelihatan tidak tampak tindak korupsi.

Kedua, adanya keterpaksaan bawahan melakukan tindak korupsi demi memenuhi “pesanan atasan”, sekali lagi masih berupa jatah di luar ketentuan yang berlaku, dan biasanya tuntutan seperti ini jumlahnya lebih besar tergantung pada besarnya total anggaran program/ proyek. Bawahan terpaksa mengikuti kemauan sang atasan karena jika tidak, hal itu pasti akan merugikan nasib karir bawahan dalam unit kerjanya.

Contoh, sebuah proyek/ program pada sebuah unit kerja bernilai 500 juta rupiah. Dengan jumlah yang cukup besar seturut ukuran sebuah unit kerja tersebut, atasan biasanya meminta jatah sebesar 100 juta. Kalau bawahan tidak menyetujui untuk memenuhinya, maka SK program/ proyek tidak akan segera ditandatangani, lalu program/ proyek unit kerja menjadi macet. Pada akhirnya bawahan terpaksa melakukan segala upaya bagaimana memenuhi keinginan atasan sekaligus demi lancarnya proyek/ program unit kerja.

Tidak bisa tidak, bawahan harus menekan dan memotong honor panitia dan anggota-anggotanya, mengurangi hari dan jam pelaksanaan program dan mutu barang (jika itu menyangkut pengadaan barang) dan bentuk upaya-upaya lain yang mungkin, bahkan merogoh koceknya sendiripun terpaksa dilakukan demi atasan dan kelangsungan jenjang profesinya.

Sama halnya dengan kasus dan contoh pertama tadi, tindak korupsi semacam ini tidak bisa dibuktikan. Bukti fisik dan tertulis tetap ada. Foto-foto tempat dan proses berlangsungnya program/ proyek tetap bisa ditunjukkan. Tindak korupsi tetap tidak bisa dilacak sama sekali.

Solusi

Sulitnya pembuktian tindak korupsi baik yang dilakukan bersama-sama maupun karena keterpaksaan pada dasarnya karena ada ikatan atau hubungan atasan-bawahan secara administratif dan birokratis. Bawahan pasti tidak mau melaporkan tindak korupsi tersebut, apalagi kalau harus dituntut menjadi saksinya. Bawahan berada pada posisi atau dilema serba sulit. Karena itu korupsi tetap berjalan dengan “aman dan tertib”.

Untuk mengatasi hal ini, penulis amat setuju dengan usulan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Taufiequrachman Ruki, yaitu adanya kewajiban bagi pejabat negara dan pegawai negeri untuk melaporkan dan menyatakan harta kekayaan di bawah sumpah atau dikenal dengan statutory declaration (Koran Tempo, 25/2).

Seorang bawahan takut menjadi saksi berhubung belum terjaminnya perlindungan saksi dan keselamatan nyawa dan profesi dalam jenjang karirnya.

Mnurut Taufiequrachman Ruki, statutory declaration adalah sebuah sistem atau perangkat hukum yang mewajibkan setiap pejabat negara dan pegawai negeri melaporkan harta kekayaannya, baik atas nama sendiri maupun yang dimiliki atas nama kerabat atau keluarganya, sepanjang perolehannya, baik sebagian maupun seluruhnya, berasal dari harta kekayaan pegawai negeri dan pejabat yang bersangkutan. Keluarga atau kerabat yang dimaksud mencakup orang tua/ mertua, istri/ suami, anak/ menantu dan cucu.

Usulan solusi tersebut di atas akan mampu membuat jera para oknum pejabat negara untuk berpikir berkali-kali sebelum melakukan tindak korupsi. Dengan demikian tindak korupsi pejabat negara atau pegawai negeri dalam konteks relasi atasa-bawahan seperti di atas dapat dikurangi, yang pada akhirnya secara pelan-pelan akan dapat menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa.

* Penulis adalah pengamat masalah birokrasi,

alumnus STFT Widya Sasana Malang

Powered By Blogger