Trima kasih mengunjungi blog kami!

Para pengunjung yth. semua isi blog ini ditulis atau disusun atas kemauan pribadi. Itu berarti blog ini berisi aneka pendapat, pemahaman, persepsi pribadi, dan pemikiran pribadi atas lingkungan kerja dan hidup sekitarnya. Harapan kami isi blog ini bermanfaat bagi pengunjung yang memerlukannya. Salam, GBU.

Kamis, Agustus 03, 2023

Quo Vadis Sejarah Peradaban Manusia?

 

Sumber: Koran  Harian Analisa, 26 Juli 2023

Jumat, Juni 23, 2023

Mitigasi Intoleransi pada Peserta Didik

 Bali Post, Selasa, 13 Juni 2023



Minggu, Desember 18, 2022

Penyadaran Maskulinitas Menuju Kesetaraan Gender

 

Philips Gibbs bersama orang Papua Nugini
Philips Gibbs bersama orang PNG, (Google.com)

Pormadi Simbolon

Menarik melihat makna maskulinitas dalam budaya Afrika dan di Papua Nugini. Ada kesamaan makna, bahwa maskulinitas atau kejantanan bergantung pada kekuasaan laki-laki mengendalikan feminitas. Sebuah penelitian di Papua Nugini menunjukkan bahwa identitas maskulinitas dapat diubah melalui penyadaran. Penyadaran tersebut membawa semangat egaliter dan kehidupan harmonis. Penelitian tersebut dapat menjadi inspirasi dalam mewujudkan kesetaraan gender di Indonesia.

Terwujudnya kesetaraan gender dalam perspektif hak asasi manusia merupakan cita-cita dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948. Pria dan perempuan memiliki hak asasi untuk diakui dan dihargai. Posisi laki-laki dan perempuan bukan lagi relasi dominasi atau ketundukan perempuan kepada laki-laki, tetapi dalam kesetaraan gender. Identitas maskulinitas yang masih dominan dalam berbagai budaya masyarakat di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia ternyata dapat diubah atau dikonstruksi. Tulisan ini mencoba memaparkan studi kasus (Gibss, 2016, p.127-158) yang ditulis Philip Gibbs, sosiolog, dan rohaniwan SVD yang berkarya di Keuskupan Daru-Kiunga, Papua Nugini. Konstruksi gender ini berangkat dari perspektif laki-laki.

Implementasi maskulinitas (kejantanan) kerap terwujud dalam dan melalui bentuk kekerasan terhadap kaum perempuan dan dipandang lumrah dalam berbagai kebudayaan dunia. Maskulinitas dicapai bila berhasil menundukkan atau mengendalikan lawan jenis atau sesama jenis lewat kekerasan. Sebut saja capaian maskulinitas seperti itu ditemukan dalam kebudayaan di Afrika Selatan (Gear, 2010, p.316) dan pandangan senada juga terdapat di Papua Nugini (Gibbs, 2016, p.127).

 

Maskulinitas dalam konteks budaya

Di Afrika Selatan, budaya kekerasan terhadap sesama jenis di penjara pria lumrah terjadi. Pelaku kekerasan merasa lebih maskulin jika dapat menunjukkan kejantananannya dengan memperkosa laki-laki sesama jenis. Kejantanannya dicapai melalui kekerasan seksual. Korban perkosaannya dijadikan sebagai ‘istri’ atau ‘teman perempuan’nya layaknya hubungan suami istri di luar (Gear, 2010 p.317).

Menurut Gear, gagasan kuat tentang maskulinitas dan seksualitas terkait dengan sejarah Afrika Selatan yang berjuang melawan kaum apartheid (Gear, 2010, p.316). Pemuda Afrika berjuang dengan kekerasan melawan perlakuan diskriminasi kulit putih.

Dalam kebudayaan masyarakat Papua Nugini terdapat pandangan yang sama. Maskulinitas pria bergantung pada kemampuan pria mengendalikan kaum perempuan. Maskulinitas tercapai bila penundukan perempuan oleh laki-laki berhasil. Kejantanan tersebut dicapai lewat kekerasan baik fisik maupun verbal. Kekerasan-kekerasan ini lumrah terjadi dalam menyelesaikan konflik dan mengungkapkan kemarahan dalam masyarakat Papua Nugini.

 

Maskulinitas dan kekerasan

Mengapa maskulinitas dikaitkan dengan kekerasan? Maskulinitas hadir dan terbentuk dalam kebudayaan. Dari literatur yang ada, kekerasan menjadi lumrah karena praktik atau habitus tercipta dengan sendirinya di Penjara Pria Afrika dan Provinsi Western, Papua Nugini. Kejantanan dimaknai dan mewujudnyata dalam dominasi atau penundukan kaum perempuan oleh laki-laki, yang jamak terjadi lewat jalan kekerasan.

Dari penelitian Gear (p.317), penetrasi seksual dipaksakan kepada korbannya yang selanjutnya dipandang sebagai ‘istri’-nya untuk menunjukkan dan menguatkan identitas maskulinitas pelaku. Dalam hal ini, gender digabungkan dengan peran seks yang direalisasikan melalui kekerasan seksual.

 

Studi kasus penyadaran gender di Keuskupan Daru-Kiunga

Apakah identitas maskulinitas ini bisa diubah dan diangkat ke dalam perspektif kesetaraan gender? Apakah konstruksi ‘kebudayaan’ ini dapat dikonstruksi menjadi sebuah kesadaran akan kesetaraan gender? Philips Gibbs melakukan penelitian lewat studi kasus dalam Kelompok Pria (39 orang dari 12 Paroki) di Keuskupan Daru-Kiunga, Provinsi Western Papua Nugini. Kelompok Pria ini terbentuk atas inisiatif para pria dalam rangka merefleksikan identitas dan peran mereka dalam menghadapi masalah terutama kemajuan masyarakat yang pesat dan dampak industri pertambangan dan penebangan kayu di Papua Nugini (Gibbs, 2010, p.130).

Kelompok Pria melakukan pertemuan-pertemuan selama bertahun-tahun di Kiunga, mulai dari tahun 2006 hingga 2009. Mereka membahas dan merefleksikan berbagai tema antara lain, identitas dan peran sebagai pria, kekerasan, bahasa dan nilai-nlai berbasis hak, ketidaksetaraan gender, ketimpangan kekuasaan antara pria dan Wanita, ‘suasana batin’ pria, dampak lingkungan-sosial industri pertambangan, penyebaran HIV-AIDS dan sihir atau sanguma. Pada tahun 2012, kelompok pria melalui tim inti berjumlah 12  orang bertemu bersama di Kiunga. Mereka Kembali berdiskusi tentang hubungan antara laki-laki dan perempuan dan menjadikan hak asasi manusia menjadi program kesadaran laki-laki terkait peran dan tanggung jawab mereka di tengah masyarakat.

Mekanisme pertemuan lokakarya dilaksanakan dalam bentuk presentasi, diskusi bebas, dan dramatisasi. Fasilitator memberikan pengantar dan pengenalan singkat tentang tema-tema yang akan dibahas, kemudian peserta diajak berdiskusi dan sharing pengalaman secara kelompok. Hasil diskusi diplenokan baik secara lisan, tertulis, grafik maupun dalam bentuk drama.

Malalui pertemuan pleno ini, para peserta memunculkan pertanyaan dan masalah yang menjadi bahan diskusi dalam kelompok besar. Fasilitator membuat catatan rinci dari diskusi dan memberikan umpan balik. Setiap malam peserta melakukan rapat evaluasi untuk mencari cara terbaik untuk melanjutkan lokakarya di hari berikutnya. Kisah-kisah pertemuan ini direkam dan menjadi bahan penting.

 

Kesadaran kesetaraan gender

Dari catatan Gibbs, pertemuan lokakarya selama bertahun-tahun tersebut pelan-pe;an dari waktu ke waktu dapat meningkatkan kesadaran, dan membentuk kelompok Gerakan Pria. Ditemukan ada tiga poin penting terkait hubungan laki-laki dan perempuan, yaitu: (1) peran dan tugas tidak eksklusif milik laki-laki; (2) kesetaraan dalam wacana perbedaan, dan (3) terjadinya pergeseran dari model kontrol hierarkis ke kontrol egaliter dalam masyarakat.

Kesadaran akan kesetaraan peran dan tugas laki-laki tidak datang begitu saja. Di masa lalu, anak laki-laki dipisahkan dari ibu dan saudara perempuannya dengan tujuan agar tidak terjadi kontak yang tidak pantas yang mengganggu perumbuhan mereka. Tradisi lainnya, anak laki-laki akan pergi untuk waktu yang lama ke dalam hutan untuk belajar merdeka atau mandiri. Nilai kemandirian ini dicapai dengan tinggal berbulan-bulan di hutan. Lalu bagaimana pandangan tradisional ini diterjemahkan dengan bahasa di era sekarang?

Konsep seperti ini harus diterjemahkan dengan ungkapan yang aktual dan relevan. Ditemukan ada tiga peran maskulinitas yang relevan, yaitu pria sebagai penyedia (provider), pelindung (protector), dan pemimpin (leader). Sebagai penyedia, pria bertugas menyediakan makanan dan tempat tinggal bagi keluarga dan komunitasnya. Sebagai pelindung, pria bertugas melindungi keluarga dan kelompoknya. Sebagai pemimpin, pria mengambil keputusan yang bijaksana dan membimbing keluarganya agar tidak terombang-ambing tanpa kemudi di tengah lautan. Tiga peran laki-laki ini sangat cocok dengan pemahaman tradisional sebagai pemburu, pelindung dalam peperangan dan pemimpin di desa.

Dalam salah satu lokakarya juga muncul kesadaran bahwa orang dapat mengubah budaya yang diwariskan. Kebudayaan itu bukanlah sesuatu seperti batu yang tidak dapat diubah. Para leleuhur juga adalah manusia biasa. Untuk itu, kebudayaan yang baik dapat dilestarikan, sedangkan kebudayaan yang tidak relevan dapat dibuang seperti praktik sihir atau sanguma. Peran sebagai penyedia, pelindung dan pemimpin sangat tepat dilestarikan dan diwariskan kepada generasi muda.

Ketiga peran laki-laki tersebut di atas tidak ekslusif dimiliki laki-laki. Peran tersebut juga dimiliki perempuan dengan wacana dan pengungkapan yang berbeda-beda. Sebagai penyedia, perempuan menyediakan makanan untuk anak-anak dan suami. Sebagai pelindung, Wanita membela dan melindungi suami ketika dalam masalah, misalnya di sidang pengadilan. Sebagai pemimpin, perempuan melatih anak-anak agar berdisiplin dalam waktu. Anak-anak diberi batasan dalam bermain dengan teman-teman sebayanya. Inilah sebuah kesetaraan dalam perbedaan.

Pergeseran dari model kontrol hierarkis ke kontrol egaliter juga menjadi kesadaran para pria sebagai hasil dari pertemuan-pertemuan bersama. Uskup Côté mengakui bahwa Gereja Katolik cenderung patriarkal, kurang mengakui feminin. Gereja di Keuskupannya sedang bergumul mencari solusi agar pria dan wanita berpartisipasi bersama dalam komunitas dan kerja tim.

Perpindahan pemahaman tentang model kontrol dari hierarkis ke egaliter lebih dipengaruhi oleh ajaran kristiani. Sekurang-kurangnya perubahan pemahaman itu diilhami ayat Kitab Suci tentang penciptaan. Pertama, Allah menciptakan pria dan wanita secitra dengan Allah. “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka (Kej. 1:27). Para pria melihat bahwa pria dan wanita sama di hadapan Allah, meskipun berbeda-beda secara fisik.

Kedua, perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam. Para pria dalam lokakarya menafsirkan bahwa perempuan dibentuk dari bagian tulang rusuk pria (dekat di hatinya) untuk menjadi pendamping di sisinya. Pemahaman ini membawa kesadaran bahwa pria dan wanita adalah setara dan sejajar, tidak lagi laki-laki mensubordinasi perempuan, tetapi dalam posisi berdampingan.

 

Dukungan otoritas

Inisiatif dan program gerakan pria ini sangat didukung oleh Uskup Gilles Côté, pimpinan Gereja Katolik Keuskupan Daru-Kiunga, Papua Nugini. Uskup Keuskupan Daru-Kiunga ini menjadi fasilitator, dan Gibbs menjadi penasehat dalam program Kelompok Pria ini. Uskup Gilles Côté berharap Kelompok Pria atau Papa Grup ini menjadi sebuah gerakan yang membuat para pria dapat menghadapi dunia modern dan termasuk dapat membangun relasi yang sehat dengan istri dan keluarganya.

Gerakan pria ini merasakan bahwa kesadaran akan hak asasi manusia dalam perpektif gender adalah hal yang positif. Kesadaran hak asasi seperti ini lebih merupakan pengaruh ajaran kristiani, bukan seperti dipahami berdaarkan pandangan sekuler seperti di Amerika Serikat atau di Australia. Tim inti gerakan ini berencana melanjutkan program penyadaran ini dalam komunitas basis kristiani melalui tiga level strategi, yaitu: (1) penyadaran, (2) pelatihan keterampilan, dan (3) perubahan organisasi.

Untuk program penyadaran, kelompok akan menerbitkan buletin sebagai wadah penyampaian sekaligus penyadaran ide atau gagasan-gagasan positif. Pelatihan keterampilan diwujudkan dalam bidang komunikasi efektif, pendidikan seks, pembekalan perkawinan, penanganan alkohol dan narkoba. Perubahan organisasi dimaksudkan penyesuaian (integrasi) dengan rencana pastoral keuskupan berbasis komunitas basis kristiani.

 

Penutup

Kekerasan dalam relasi maskulinitas-feminitas yang terjadi Afrika Selatan dan Papua Nugini bisa jadi terjadi juga dalam lingkup penjara dan budaya nusantara. Pandangan maskulinitas berbasis kekerasan yang sudah terbentuk dalam budaya tersebut bukan tidak mungkin untuk diubah atau didekonstruksi. Namun, hal ini tidak mudah. Perubahan itu mungkin, jika didukung otoritas (pemerintah, pemuka agam dan masyarakat) dan lingkungan yang kondusif. Perubahan itu bisa diwujudkan dengan dengan melakukan penyadaran terus-menerus melalui berbagai wadah (lokakarya) dan media massa baik cetak maupun non cetak.

Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana STF Driyarkara Jakarta

Jumat, Maret 11, 2022

SE 05 dan Yaqut Cholil Qoumas

Sumber: Harian Analisa, 11 Maret 2022
 

Jumat, September 04, 2020

Hukum Kodrat dalam Tradisi Agama Katolik

         I.        


PENGANTAR

Pandangan tentang Hukum Kodrat dalam Gereja Katolik beraneka ragam dan terus berkembang dan mengalami dinamika sampai sekarang. Tokoh-tokoh agama Katolik memberi sumbangsih pemikiran di bidang Hukum Kodrat berdasarkan paling tidak ada tiga pendekatan seperti pendekatan ontologis, epistemologis dan teologis. Ada yang menggunakan satu pendekatan, ada juga mencakup dua atau tiga pendekatan sekaligus. Pandangan para pemikir tersebut ada yang diterima otoritas Gereja dan ada pula yang ditolak. Dalam paper ini, kami mencoba meneropong pandangan tentang Hukum Kodrat dalam Gereja Katolik mulai dari era kehidupan Gereja Katolik awali, era patristik, abad pertengahan, sampai dengan era  modern/postmodern serta diakhiri dengan relevansinya dalam konteks Indonesia.

 

     II.            HUKUM KODRAT MENURUT GEREJA KATOLIK

1.      Perbedaan Pandangan dalam Cendekiawan Katolik

Hukum Kodrat merupakan masalah mendasar paling tidak sejak masa Santo Klementinus dari Alexandria (150-215). Hukum Kodrat dikaitkan dengan moralitas pribadi dan publik. Pemahaman baik dari sisi ontologis maupun epistemologis masih menjadi perdebatan di antara para pakar Hukum Kodrat Katolik. Hal mendasar yang diselidiki dalam Hukum Kodrat adalah bagaimana hubungan antara iman-rasio (akal budi), dan relasi antara kodrat-rahmat.  Relasi iman-rasio dan kodrat-rahmat dapat ditemukan dalam tulisan akademis Neo-Thomisme, Thomisme Transendental, dan Neo Agustinianisme/Agustinianisme-Thomisme[1]. Pemahaman akan hubungan antara iman-rasio dan antara kodrat-rahmat melahirkan beraneka ragam teori Hukum Kodrat di kalangan Gereja Katolik.

Menurut Russel Hittinger, setidaknya ada tiga hal yang menjadi titik berat (foci) dalam teori-teori tersebut: (1) ada teori yang memandang Hukum Kodrat sebagai proposisi atau perintah yang menduduki posisi utama dalam suatu proses deliberasi rasio praktis; (2) ada yang memandang Hukum Kodrat itu melekat pada kodrat manusia,  dan (3) ada juga yang melihat Hukum Kodrat sebagai tatanan yang diberikan oleh legislator ilahi. Pendekatan pertama (1) menggunakan lensa epistemologis, pendekatan kedua (2) menggunakan lensa ontologis, dan pendekatan ketiga (3) memakai lensa teologis. Sebagian teori menggunakan salah satu dari ketiga pendekatan tersebut, tetapi ada juga yang mencakup dua atau tiga pendekatan sekaligus.

Teori Hukum Kodrat Baru (the New Natural Law theory)  seperti yang dikembangkan oleh John Finnis, dkk menggunakan pendekatan pertama (1) karena ia mengedepankan kemasukakalan (reasonableness) prinsip Hukum Kodrat dalam suatu deliberasi rasio praktis. Bagi John Finnis teori Hukum Kodrat tidak tergantung pada legislasi ilahi ataupun mengandaikan pandangan metafisis tertentu (adanya kodrat), tetapi sepenuhnya hanya berlandaskan pada rasionalitas. Gratianus, ahli hukum Gereja di Abad Pertengahan, menekankan pendekatan ketiga (3)  sebab ia memahami Hukum Kodrat sebagai  hukum Ilahi yang dinyatakan melalui Hukum Musa dan Injil. Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas sendiri mencakup ketiga pendekatan itu sekaligus[2].

 

2.      Era Bapa Gereja dan Abad Pertengahan

Pandangan tentang Hukum Kodrat dapat ditemukan dala karya-karya Bapa Gereja Awal (the Early Church Fathers)  dan Abad Pertengahan. Sebut saja karya Santo Klementinus dari Alexandria (150-215) membahas hubungan antara Hukum Musa dan Hukum Kodrat dalam karyanya Stromata.  Santo Gregorius dari Nyssa (335-394) dalam The Life of Moses berbicara tentang ‘maksud hukum’, yang tertanam dalam kodrat manusia untuk menuntut manusia ke arah yang ilahi dan menjauh dari kejahatan.

      Dari semua otoritas Bapak Gereja, yang paling berpengaruh adalah Santo Agustinus (354-430), yang membentuk teori Hukum Kodrat dari sintesis wahyu Kristiani dengan pemikiran Platon dan Stoik. Bagi Santo Agustinus, Hukum Kodrat terikat dengan Hukum Abadi (lex aeterna). Sebagaimana dikutip Tracey Rowland, Anton-Herman Chroust merangkum pandangan Agustinian tentang Hukum Kodrat:

Hukum Abadi, sebagai tatanan universal, juga merupakan rasio abadi dari semua yang diciptakan, ada dalam setiap makhluk yang diciptakan dalam bentuk kecambah. Dengan kata lain, rasio abadi ada pada setiap makhluk dalam bentuk benih rasio (ratio seminalis). Rasio abadi ini menjdi nyata dalam semua hal dan terjadi dalam bentuk ‘hukum’, yang dalam analisis final, merupakan ‘sifat batin’. Rasio abadi atau lex aeterna mengungkapkan dirinya dalam setiap makhluk berupa hukum kodrat (lex naturalis)[3]

Pada awal abad pertengahan topik tersebut diangkat oleh ahli hukum Gratianus, penulis kumpulan hukum gerejawi berjudul Decretum. Dalam dokumen ini, ia menegaskan bahwa ada dua jenis hukum: hukum kodrat dan hukum adat. Menurut pengikut Gratianus, Hukum Kodrat adalah hukum ilahi yang ditemukan dalam hukum Musa dan dalam Injil.

Santo Albertus Agung, OP (1200-1280), yang dikenal sebagai Doktor Universal, membahas topik ini dalam dua karyanya: pertama De Bono (dikarang antara tahun 1240 dan 1244) dan komentarnya tentang Nicomachean Ethics Aristoteles (dikarang antara 1248 dan 1252). Albertus Agung disebutkan telah membalikkan pendekatan abad pertengahan awal terhadap Hukum Kodrat yang bersifat yuridis menjadi sesuatu yang ontologis dan intelek-sentris. Menurut Stanley B. Cunningham, bagi Albertus Agung Hukum Kodrat ‘bukanlah norma eksterior yang harus dipatuhi manusia, tetapi kesempurnaan batin (interior perfection) akal budi yang menuntun dan menghubungkan manusia dengan kehidupan yang adil dari dalam[4].

Murid Santo Albertus Agung, Santo Thomas Aquinas (1225-1274) yang digelari Doktor Malaikat membahas Hukum Kodrat dalam Summa Theologiae buku I, bagian II, pada pertanyaan 91-95. Ia memandang Hukum Kodrat sebagai suatu partisipasi makhluk yang rasional dalam hukum abadi (Lex Aeterna).

3.      Hukum Kodrat sebagai Ideologi Alternatif Abad Keduapuluh

Pada paruh pertama abad keduapuluh Hukum Kodrat menjadi pusat perhatian kalangan intelektual Katolik. Hal ini sebagian dipicu oleh antusiasme Paus Leo XIII yang memandang Thomisme sebagai alat penangkal segala kesalahan intelektual modern. Selain itu, hal ini merupakan respons terhadap Perang Dunia Pertama dan kebangkitan tirani di Eropa. Pada tahun 1930-an, beberapa cendekiawan Eropa melarikan diri ke Amerika Serikat untuk menghindari penganiayaan. Selama dua dekade berikutnya, penelitian mereka menawarkan suatu teori Hukum Kodrat sebagai alternatif bagi ideologi yang merenggut jutaan nyawa manusia selama masa peperangan hebat.

Salah satu dari cendekiawan tersebut yang berpengaruh adalah Jacques Maritain (1882-1973). Dia merupakan teman Paus Paulus IV dan delegasi Perancis pada komite perancang Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948). Karya Maritain  yang paling penting adalah Religion and Culture (1930), The Dream of Descartes (1932), Integral Humanism (1936), The Rights of Man and the Natural Law (1942), Christianity and Democracy (1943), The Person and the Common Good (1947) dan Man and the State (1951). Dalam buku Man and the State ia menulis bahwa ‘segala sesuatu yang ada di alam, tanaman, anjing, kuda, memiliki hukum kodratnya sendiri, yaitu kenormalan fungsinya, caranya sendiri, dengan rasio struktur dan tujuan spesifiknya, ia ‘harus’ mencapai kepenuhannya dalam pertumbuhan dan perilakunya’[5].

Maritain juga membedakan pemahaman Hukum Kodrat (sebagai persoalan ontologis) dengan pengetahuan seseorang (persoalan gnoseologis).  Ia mengklaim bahwa ‘satu-satunya pengetahuan praktis secara kodrati/alami diketahui setiap manusia tanpa dapat keliru adalah prinsip yang jelas – tak terbantahkan (self-evident) – dimegerti oleh intelek dari konsep itu sendiri – bahwa kita harus melakukan yang baik dan menghindari yang jahat[6]. Bagi Maritain, Hukum Kodrat merupakan pembuka dari hal-hal yang harus dilakukan dan tidak dilakukan dengan cara yang perlu dan dari fakta yang sederhana bahwa manusia adalah manusia, dan tidak ada lagi yang diperhitungkan[7].

Maritain merupakan tokoh intelektual yang berupaya memulihkan hubungan Katolik dengan kaum Liberalisme. Dia menawarkan umat Katolik Amerika dan Perancis cara mendamaikan diri mereka dengan revolusi Perancis 1776 dan 1789. Maritain menberikan prinsip bahwa Hukum Kodrat diarahkan pada masalah-masalah publik daripada masalah pribadi. Namun para cendekiawan abad 21 cenderung menganggap proyek pemulihan hubungan Katolik dengan liberalisme sebagai proyek gagal, karena Liberalisme Politik pada setengah abad terakhir sepenuhnya menolak gagasan Hukum Kodrat. John Rawls (1921-2002), tokoh utama Politik Liberalisme memandang gagasan Santo Thomas Aquinas sebagai gagasan ‘berbahaya’ dan gagasan Santo Ignatius Loyola bahwa tujuan manusia adalah untuk melayani Allah adalah irasional dan sebagai ‘gila’. Maritain rupanya tidak mengantisipasi bahwa kaum liberalis yang akan menyangkalnya terkait dengan hak-hak kodrati/alami di kemudian hari, dimana rasio dipersoalkan atau disangsikan sebagai pilar penting dan valid dari teori Hukum Kodrat[8].

 

4.      Teori Hukum Kodrat Baru

      Pada tahun 1960-an terjadi transisi fokus perhatian Hukum Kodrat dari moralitas publik menjadi moralitas pribadi. Ensiklik Humanae Vitae, yang diumumkan Paus VI tahun 1968, secara tegas melarang praktik kontrasepsi buatan dengan alasan bahwa itu bertentangan dengan Hukum Kodrat. Ensiklik ini memunculkan dua reaksi, yang satu membela tradisi Hukum Kodrat dengan tokoh utama Karol Wojtyla (Paus Johanes Paulus II), dan yang lain menentangnya dengan menawarkan teori-teori moralitas baru seperti etika situasi, konsekuensialisme, dan proporsionalisme. Setelah satu dekade, munculnya ‘moralitas baru’ ini, John Finnis menerbitkan karya seminalisnya Natural Law and Natural Rights (1980). Ini menjadi rujukan ‘Hukum Kodrat Baru’ atau ‘Hukum Kodrat Klasik Baru’ (istilah yang lebih disukai Finnis, tetapi jarang digunakan).

      Selain John Finnis, tokoh lain penggagas Teori Hukum Kodrat Baru, G. Grisez dan R.P. George berusaha mengembangkan suatu teori yang bisa menghadapi relativisme dan sekaligus menjadi alternatif atas liberalisme. Mereka ingin teori mereka menarik bagi umat Katolik dan Non Katolik. Pandangan mereka tentang Hukum Kodrat adalah baru karena hanya berfokus pada satu titik beratnya yaitu rasio praktis, ia menghindari pendekatan ontologis (selain rasio praktis), karena ingin menghindari kritik David Hume – bahwa dari fakta ‘is’ tak bisa ditarik kesimpulan ‘ought’ – dan pendekatan teologis agar teori mereka dapat diterima secara universal. Mereka menghindari pendekatan teologis, meskipun ‘agama’ dipandang sebagai salah satu dari 7 nilai dasar kebaikan bagi manusia, Selain ‘agama’, ada 6 nilai dasar lainnya yaitu: kehidupan, pengetahuan, persahabatan, permainan, pengalaman estetika dan kewajaran praktis. Grisez menawarkan nilai dasar kebaikan bagi manusia, yaitu: integrasi diri, kewajaran praktis, keaslian, keadilan dan persahabatan, kehidupan dan kesehatan, pengetahuan tentang kebenaran, penghargaan terhadap keindahan dan kegiatan yang menyenangkan serta agama.

      Namun teori Hukum Kodrat Baru (Klasik) belum disambut baik kalangan Katolik maupun akademisi Kristen Gereja Reformasi dengan beberapa alasan. Pertama, mereka menolak pendapat Finnis dkk bahwa ‘nilai-nilai dasar (the basic goods) itu tak dapat dibandingkan (incommensurable) dan bahkan agama hanya merupakan salah satu dari ketujuh nilai dasar serta tidak menjadi landasan atau semacam infrastruktur bagi teori moral yang dibangun. Kedua, ada banyak kritik soal bagaimana seseorang bisa berpindah dari level pra-moral (yaitu level tujuh nilai-nilai dasar) ke level moral di mana orang menghormati masing-masing nilai dalam tindakan konkrit. Ketiga, terkait hubungan rahmat-kodrat, Finnis dkk. menolak bahwa hanya ada satu tujuan dari kodrat manusia. Finnis dkk. mengatakan bahwa ada dua tujuan, yang satu kodrati dan yang satu lagi adikodrati/supranatural. Padahal, untuk Thomas Aquinas, tujuan terakhir manusia pada akhirnya satu saja, yakni kebahagiaan adikodrati. Grisez, misalnya, secara eksplisit menolak gagasan Aquinas tersebut, dan menurutnya hati manusia tidak tidak secara kodrati/alami berorientasi pada adopsi sebagai anak Allah dan kepada warisan surgawi yang diperoleh karena status adopsi tersebut. Menurut Grisez, hati manusia secara kodrati terarah pada kepenuhan eksistensi manusiawinya, yakni dalam nilai-nilai dasar manusiawi, dimana seseorang manusia dapat merealisasikannya semakin hari semakin penuh[9].

 

5.      Ajaran Resmi Gereja Katolik (Magisterium)

      Melihat berbagai pandangan tentang Hukum Kodrat di kalangan cendekiawan Katolik begitu kompleks, maka pandangan resmi dan paling aman dapat kita lihat pada ajaran resmi Gereja Katolik. Berdasarkan ensiklik Paus Leo XII, Libertas Praestantissimum, Katekismus Gereja Katolik (§1954) mengajarkan bahwa “Manusia mengambil bagian dalam kebijaksanaan dan kebaikan Sang Pencipta, yang memberi kepadanya kekuasaan atas perbuatannya dan memberi kepadanya kemampuan memimpin diri sendiri dalam upaya mencapai kebenaran dan kebaikan. Hukum Kodrat mengekspresikan pengetahuan moral yang mendasar, yang memungkinkan manusia melalui akal budi, membeda-bedakan antara yang baik dan yang buruk, antara kebenaran dan kebohongan. Dalam  Ensiklik Paus Leo XIII, Libertas Praestantissimum berbunyi: “Hukum Kodrat ditulis dan dipahat di dalam hati setiap manusia, karena akal budi manusia sendirilah yang memberi perintah untuk melakukan yang baik dan melarang dosa…. Tetapi perintah dari akal budi manusia ini hanya dapat mempunyai kekuatan hukum, kalau ia adalah suara sekaligus penafsir dari satu akal budi lebih tinggi, kepada siapa roh dan kebenaran kita harus takhluk”[10].

      Ayat kitab suci yang mendukung gagasan bahwa Hukum Kodrat terukir dalam hati manusia diambil dari Surat Rasul Paulus kepada umat di Roma (Rm 2:14-15):

(14) Apabila bangsa-bangsa lain yang tidak memiliki hukum hukum Taurat dorongan diri sendiri melakukan apa yang dituntut hukum Taurat, maka, walaupun mereka tidak memiliki hukum Taurat, mereka menjadi hukum Taurat bagi diri mereka sendiri. (15) Sebab dengan itu mereka menunjukkan, bahwa isi hukum Taurat ada tertulis di dalam hati mereka dan suara hati mereka turut bersaksi dan pikiran mereka saling menuduh atau saling membela

     Magisterium dalam Katekismus Gereja Katolik juga mengutip ajaran Santo Thomas Aquinas, “Hukum Kodrat tidak lain tidak bukan merupakan terang akal budi yang diletakkan Allah di dalam kita. Melalui itu, kita mengetahui apa yang harus kita lakukan dan apa yang harus kita hindarkan. Terang dan hukum ini telah diberikan Allah kepada manusia pada saat penciptaan”[11].

      Hukum Kodrat, menurut Katekismus Gereja Katolik, menyediakan perintah utama dan paling esensial bagi kehidupan moral. Perintah-perintah utama Hukum Kodrat terdapat dalam Sepuluh Perintah Allah (Dekalog). Dekalog dikatakan sebagai Hukum Kodrat, menurut Katekismus, bukan karena merujuk pada kodrat (nature) dari pengada irasional (benda dan binatang) melainkan karena akal budi (rasio) yang menetapkan hukum tersebut merupakan bagian integral dari kodrat manusia (human nature). Katekismus juga mencatat bahwa Sepuluh Perintah Allah adalah “cahaya yang diberikan kepada hati nurani tiap orang” sebagaimana Katekismus juga mengutip Santo Agustinus, “Allah telah menulis di alas loh-loh batu apa yang tidak dibaca manusia dalam hatinya”[12].

      Menurut Katekismus, Hukum Kodrat yang hadir dalam hati tiap orang dan ditetapkan oleh akal budi (rasio) bersifat universal serta mengekspresikan martabat manusia sehingga menjadi landasan bagi hak-hak dan kewajiban asasinya. Hukum Kodrat itu tetap tidak berubah, akan tetapi penerapannya sangat bervariasi karena menuntut pertimbangan mengenai kondisi kehidupan seturut waktu, tempat, dan situasi. Meskipun penerapannya bervariasi, Hukum Kodrat tetap berlaku dan mengikat bagi semua manusia dari segala zaman, karena Hukum Kodrat merupakan dasar yang kokoh, dan menjadi landasan dalam membangun aturan-aturan moral yang akan membimbingnya dalam membuat tiap keputusan moral.

      Ajaran magisterium Gereja Katolik lainnya yang berbicara tentang Hukum Kodrat adalah ensiklik  Veritatis Splendor 1993 (Terang Kebenaran) yang dikeluarkan oleh Paus Johanes Paulus II. Ensiklik ini menyatakan bahwa teori hukum moral (sekuler) yang murni hanya mendasarkan diri pada akal budi (rasio). Ensiklik ini juga mengakui otonomi akal budi manusia untuk menetapkan aturan moral yang berguna bagi kehidupan manusia di dunia ini. Namun ensiklik ini menyatakan dengan tegas bahwa akal budi manusia tidak bisa menciptakan sendiri nilai-nilai moral, akal budi hanya memilah, tidak menciptakannya. Selanjutnya manusia berpartisipasi saja dalam tatanan moral yang bersumber pada Allah sendiri, manusia hanya mengambil bagian saja dalam Hukum Abadi yang telah digariskan Allah. Menurut ensiklik ini, konsep Hukum Kodrat juga dibedakan dari hukum biologi, meskipunn Hukum Kodrat memang berhubungan dengan cara manusia menggunakan tubuhnya. Tapi hukum itu tidak dianggap sebagai seperangkat norma di tingkat biologis; melainkan harus didefinisikan sebagai tatanan rasional di mana manusia dipanggil oleh Pencipta untuk mengatur dan mengarahkan kehidupan dan tindakannya dan khususnya untuk mempergunakan tubuhnya. Ensiklik ini mengajarkan bahwa Hukum Kodrat mengungkapkan tuntutan dan tujuan universal apa yang secara moral baik, dan hati nurani merupakan penerapan Hukum Kodrat dalam kasus-kasus tertentu[13].

 

6.      Pandangan Joseph Ratzinger

      Pemikir Katolik lain, Josep Ratzinger (yang kemudian menjadi Paus Benediktus XVI) membuat penekanan pada dasar-dasar teologis Hukum Kodrat. Dalam sebuah makalah yang ditulis pada tahun 1962, berjudul Gratia Praesupponit Naturam, Ratzinger menawarkan analisisnya sendiri tentang kata physis (kodrat) dalam surat-Surat Rasul Paulus dan menyimpulkan, “jika kita mengumpulkan data-data dalam surat-surat Paulus, tak dapat disangkal bahwa kata physis (kodrat) memiliki suatu pengertian ‘penuntun’; meski demikian, kata ini tidak memiliki status sebagai norma yang tidak ambigu dan absolut. Manusia menerima pencerahan sejati tentang keberadaannya bukan dari physis (kodrat), tetapi dari perjumpaannya dengan Kristus dalam iman”[14].  Ratzinger juga menambahkan, dengan kemunculan Kristianitas, “konsep biologis tentang physis menjadi konsep teologis dengan pengertian baru; physis tidak lagi dipahami dalam pengertian biologis atau metafisik-rasional, tetapi dalam pengertian sejarah konkrit yang telah dan sedang berlangsung antara Allah dan manusia[15].

      Dapat dikatakan bahwa bagi Ratzinger kodrat manusia tidak dapat dipahami secara sekuler murni. Kodrat atau physis yang dikemukakan oleh Aristoteles bukanlah kodrat atau physis Kristiani sebab Aristoteles tidak mengenal inkarnasi. Manusia tidak dapat dipahami hanya berdasarkan Kitab Perjanjian Lama – citra Allah (imago Dei) – tetapi juga dipahami berdasarkan Kitab Perjanjian Baru, yaitu dalam diri Yesus Kristus yang menjelma menjadi Adam baru.

      Dalam sebuah artikel tentang pembaruan teologi moral dalam terang Veritatis Splendor, Ratzinger menyimpulkan bahwa “tidak ada etika yang dapat dibangun tanpa Tuhan”. Dia juga mengatakan bahwa Sepuluh Perintah Allah tidak harus ditafsirkan pertama-tama sebagai hukum, tetapi sebagai anugerah dari Tuhan untuk manusia. Loh batu kedua (berisi perintah Allah keempat sampai dengan kesepuluh) tidak dapat dimaknai tanpa loh batu pertama (berisi perintah Allah kesatu sampai dengan ketiga).

      Ratzinger juga dengan merujuk pada Hukum Kodrat berpendapat bahwa pemerintah perlu mengakui bahwa mereka sendiri tunduk pada hukum yang lebih tinggi. Pandangan ini ada bukan hanya dalam Katolik, tetapi juga dalam tradisi agama lainnya di dunia. Tradisi-tradisi keagamaan mengakui gagasan adanya keteraturan dalam penciptaan. Ratzinger mengakui bahwa pandangan ini tidak dimiliki oleh elit intelektual kontemporer posmodern. Dalam diskusi dengan para cendekiawan postmodern, Ratzinger mengklaim bahwa wacana tentang Hukum Kodrat adalah ‘instrumen tumpul’[16].

 

7.      Pandangan Alkitabiah tentag Hukum Kodrat

      Mengikuti kesimpulan Ratzinger, Matthew Levering dalam bukunya Biblical Natural Law, yang berdasarkan penelitiannya tentang Hukum Kodrat dalam Kitab Suci, menyimpulkan bahwa pengertian hukum dalam Kitab Suci selalu bersifat teosentris. Hukum tidak pertama-tama tergantung pada kodrat (nature) atau pada akal budi manusia (human nature), sebab landasan hukum adalah Allah, bukan manusia. Manusia hanya mengambil bagian dalam kebijaksanaan ilahi[17].

 

 

 

8.      Hukum Kodrat dan Kecerdasan Emosi

      Dalam dokumen Komisi Teologi Internasional 2009, berjudul The Search for a Universal Ethic: A New Look at the Natural Law, dalam paragraph 54-57, diakui pentingya “kebijaksanaan pengalaman” dan “kecerdasan emosi” bagi moralitas tindakan manusia. Dokumen tersebut juga mencatat bahwa subyek moral harus dianugerahi disposisi batin yang memungkinkannya terbuka terhadap tuntutan Hukum Kodrat. Dalam paragraph 59 dokumen tersebut disimpulkan bahwa subyek perlu memiliki disposisi intelektual dan afektif yang memungkinkan keterbukaan diri akan kebenaran moral, sehingga penilaiannya juga memadai secara moral. Dokumen tersebut dalam paragraph 10, mengusulkan doktrin tradisional Hukum Kodrat dapat membantu mewujudkan dimensi personal dan eksistensial kehidupan moral. Pendekatan dalam dokumen tersebut senada dengan penekanan Ratzinger terkait hubungan saling menguatkan antara kasih - akal budi (rasio) – yang juga disebut ‘pilar kembar dari realitas[18].

      Dalam Gereja Katolik hubungan Hukum Kodrat dan Kecerdasan Emosi ini dimediasi dalam kehidupan komunitas (persekutuan). Konsep Thomas Aquinas tentng Hukum Kodrat menekankan pentingnya kehidupan manusia secara sosial dan historis. Manusia pada kodratnya cenderung hidup dalam komunitas. Dalam komunitas setiap subyek dididik, dan ikut ambil bagian dalam kehidupan bersama, Penalaran praktis dan pengetahuan tentang Hukum Kodrat dapat bertumbuhkembang atau mandek hanya melalui budaya dan praktik sosial tertentu[19]. Intinya, Gereja Katolik sebagai komunitas sangat penting sebagai wadah penyadaran akan Hukum Kodrat dan fundamental.

 

  III.            CATATAN PENUTUP

Hukum Kodrat dalam Gereja Katolik merupakan dasar penting bagi ajaran moral Katolik. Tetapi dewasa ini, Hukum Kodrat tersebut cenderung menjauh dari gagasan bahwa Hukum Kodrat dapat dilihat netral secara teologis dan lalu pelan-pelan menuju sebuah Hukum Kodrat yang Alkitabiah dan Kristosentris, seperti ditunjukkan dalam dokumen ajaran resmi Gereja Katolik (Magisterium). Hukum Kodrat tidak lagi dipandang otonom berdasarkan rasio atau akal budi manusia, tetapi Hukum Kodrat yang teosentris. Hukum Kodrat harus dimengerti dalam konteks hubungan kodrat-rahmat Allah dan rasio-iman. Hukum Kodrat harus dipahami bahwa Allahlah sebagai landasannya. Rasio manusia hanya berpartisipasi dalam rasio tertinggi, yaitu rasio Ilahi.

Adanya beberapa pemikir Katolik yang mencoba mengembangkan Hukum Kodrat sekuler, seperti Hukum Kodrat Baru yang digagas John Finnis, dkk., hanya demi menarik perhatian dan diterima kaum Non Katolik, kurang diterima oleh Gereja Katolik.

Hukum Kodrat yang teosentris merupakan pandangan yang diterima dalam Gereja Katolik, sebagaimana semangat yang sama ini juga sedang bergema dan cenderung trending dalam tradisi Non Katolik.

Hukum Kodrat dalam tradisi agama-agama, termasuk dalam pandangan Gereja Katolik tetap relevan dan aktual dalam konteks Indonesia yang membutuhkan pendekatan interdisiplin ilmu dalam memecahkan berbagai persoalan bangsa, seperti: masalah hukum atas euthanasia, aborsi, homoseksual, rekayasa genetik, dan lain sebagainya. Dalam hal ini, para pakar Hukum Kodrat Katolik dapat memberi kontribusi berharga dalam pembangunan hukum dan kehidupan moral bangsa Indonesia dari perspektif agama.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Tom Angier, ed., 2019, artikel  Rowland Tracey Natural Law in Catholic Christianity dalam The Cambridge Companion to Natural Ethics, New York : Cambridge University Press, 2019

 

Kristanto, Dr. H. Dwi, 2020, bahan kuliah pertemuan 8, Hukum Kodrat dalam Tradisi Agama Kristen, STF Driyarkara, Jakarta


[1] Tom Angier, ed., 2019, Hal. 135

[2] Kristanto, Dr. H. Dwi, 2020, bahan kuliah pertemuan  yang 8, Hal.1.

[3]The lex aeterna, which as the universal order also constitutes the ratio aeterna of all that is created, resides in every creature in a germinating manner. In other words, the ratio aeterna exists in every creature in the form of a ratio seminaria or ratio seminalis. This ratio aeterna becomes manifest in all created things, and does so in the form of ‘laws’ which, in the final analysis, constitute the ‘inner nature’ of these things. The ratio aeterna, or lex aeterna, reveals itself in every creature in the form of the lex naturalis” dalam  Tom Angier, ed., 2019, hal. 137-8

[4] Lihat Tom Angier, ed., 2019, hal. 138

[5] Tom Angier, ed., 2019, Hal. 139

[6] Kristanto, Dr. H. Dwi, 2020, bahan kuliah pertemuan  yang 8, Hal.2

[7] Tom Angier, ed., 2019, Hal. 140

[8] Kristanto, Dr. H. Dwi, 2020, bahan kuliah pertemuan 8, Hal. 2

[9] Tom Angier, ed., 2019, Hal. 144

[10] Kristanto, Dr. H. Dwi, 2020, bahan kuliah pertemuan 8, Hal. 3

[11] Kristanto, Dr. H. Dwi, 2020, bahan kuliah pertemuan 8, Hal. 3

[12] Kristanto, Dr. H. Dwi, 2020, bahan kuliah pertemuan 8, Hal. 3

[13] Tom Angier, ed., 2019, Hal. 148

[14] Tom Angier, ed., 2019, Hal. 148

[15] Kristanto, Dr. H. Dwi, 2020, bahan kuliah pertemuan 8, Hal. 4

[16] Tom Angier, ed., 2019, Hal. 149

[17] Kristanto, Dr. H. Dwi, 2020, bahan kuliah pertemuan 8, Hal. 4

[18] Tom Angier, ed., 2019, Hal. 151

[19] Tom Angier, ed., 2019, Hal. 152

Powered By Blogger