Trima kasih mengunjungi blog kami!

Para pengunjung yth. semua isi blog ini ditulis atau disusun atas kemauan pribadi. Itu berarti blog ini berisi aneka pendapat, pemahaman, persepsi pribadi, dan pemikiran pribadi atas lingkungan kerja dan hidup sekitarnya. Harapan kami isi blog ini bermanfaat bagi pengunjung yang memerlukannya. Salam, GBU.
Tampilkan postingan dengan label politik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label politik. Tampilkan semua postingan

Rabu, Februari 26, 2014

Memilih Pemimpin Pancasilais

Oleh Pormadi Simbolon

Pemilu 2014
(ilustrasi: kpu.go.id)
Tahun ini merupakan tahun politik. Kita akan mengikuti pesta demokrasi memilih para pemimpin yang duduk di parlemen dan presiden dan wakilnya. Saatnya kita memilih para pemimpin yang mengusung perubahan menuju Indonesia menjadi lebih demokratis, adil, rukun, bersatu dan sejahtera. Itu berarti kita harus memilih pemimpin Pancasilais sesuai dengan visi para Bapak Pendiri Bangsa.

Alasan mendasarnya sebagaimana dikemukan oleh Soekarno dalam sidang Zyunbi Tyosakai pada tanggal 1 Juni 1945 bahwa yang dibutuhkan Indonesia merdeka adalah Philosofische Grondslag, fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia merdeka yang kekal, dan abadi (Otto GUsti Madung, Lahirnya Pancasila, Jakarta: Inti Idayu Press, 1986, Hlm.133).



Pengalaman Masa Lalu

Bila lihat ke belakang sejarah perjalanan bangsa dapat dengan mudah ditelusuri mulai dari rejim Orde Lama, Orde Baru, pada awalnya rejim-rejim selalu bertekad melaksanakan nilai-nilai Pancasila. Namun dalam perjalanannya rejim-rejim tersebut tumbang karena memanipulasi Pancasila untuk kepentingan kekuasaan.

Pada masa Orde Lama, Pemimpin memberlakukan Pancasila hanya sebagai retorika politik daninstrumen untuk menggalang kekuasaan dan ternyata berlanjut pada masa Orde Baru. Hanya bedanya, pada masa Orde Lama, Pancasila dimanipulasi menjadi kekuatan politik dalam bentuk bersatunya tiga kekuatan yang bersumber dari tiga aliran yaitu: nasionalisme, agama dan komunisme; pada Orde Baru, Pancasila disalahgunakan sebagai ‘ideologi’ penguasa untuk memasung pluralisme dan mengekang kebebasan berpendapat dengan dalih menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Pada masa demokrasi terpimpin, ancaman bangsa dan Negara adalah neo-kolonialisme,padajaman Orde Baru ancaman bangsa dan Negara adalah komunisme.

Baik jaman Orde Lama maupun JamanOrde Baru, keduanya sama dan sebangun yaitu menjadikan ideologi Pancasila hanya sebagai instrumen penguasa agar kekuasaan dapat dipusatkan kepada seorang pemimpin. Hasilnya, pada masa Orde Lama kekuasaan memusat di tangan Pemimpin Besar Revolusi, sementara itu pada Jaman Orde Baru otoritas politik sepenuhnya di tangan Bapak Pembangunan. Kekuasaan yang semakin akumulatif dan monopolistik di tangan seorang pemimpin menjadikan mereka juga berkuasa menentukan apa yang dianggap benar dan apa dianggap salah. Ukurannya hanya satu: sesuatu dianggap benar kalau hal itu sesuai dengan keinginan penguasa, sebaliknya sesuatu dianggap salah kalau bertentangan dengan kehendaknya. Karena Orde Baru tidak dapat belajar dari pengalaman sejarah rejim sebelumnya, akhirnya kekuasaannya pada tahun 1990-an runtuh oleh kekuatan masyarakat.

Pasca-Orde Baru lahir “Orde Reformasi” sebagai tuntutan masyarakat banyak. Orde Reformasi hadir membawa berkah sekaligus musibah. Pengalaman selama belasan tahun masa Reformasi, menujukkan demokratisasi telah dimanipulasi oleh elit politik. Pengejaran kekuasaan sarat dengan berbagai kepentingan dan egosisme pribadi dan atau kelompoknya. Ranah politik sarat dengan jual beli pasal kekuasaan, jual beli keadilan di ranah hokum. 

Masyarakat mendapat berkah kebebasan,tetapi sebagian masyarakat mempergunakan kebebasan dengan tidak mengindahkan kepentingan atau kebebasan orang lain. Kita masih ingat musibah Cikeusik dan Temanggung beberapa tahun lalu. Betapa ironisnya, kehadiran Pemimpin belum benar-benar dirasakan masyarakat sebagai bagian dari warga Negara Republik ini yang harus dilindungi. Sudah saatnya kita memilih pemimpin yang memiliki roh dan jiwa Pancasilais, yang mengedepankan pengabdian pada kesejahteraan masyarakat, pencerdasan bangsa dan pengayoman bagi segenap warga Negara.



Revitalisasi Nilai-nilai Pancasila

Gema Pancasila pada masa reformasi ini semakin redup, bahkan nilai-nilai Pancasila semakin terlupakan di ranah publik dan politik, padahal Pancasila sebagai dasar dan ideologi Negara merupakan puncak kesepakatan nasional, yang harus ditegakkan dan diwujudkan dalam kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat.

Nilai-nilai Pancasila perlu dihidupkan dan disosialisasikan kembali. Pasalnya, kita ini bangsa yang gampang lupa. Lupa akan pengalaman pahit sejarah masa lalu. Padahal nilai-nilai Pancasila sudah menjamin eksistensinya dalam hidup berbangsa dan bernegara. Makna yang terkandung dalam sila-sila Pancasila seyogiyanya dilestarikan siapapun yang menjadi warga negara.

Dari sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa mengandung makna bahwa kita percaya dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, hormat menghormati dan bekerja sama antar pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup. 

Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab mengandung makna: mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan persamaan kewajiban antara sesama manusia, saling mencintai sesama manusia, mengembangkan sikap tenggang rasa,tidak semena-mena terhadap orang lain, menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, bekerjasama dan saling menghormati dengan bangsa lain.

Sila Persatuan Indonesia bermakna: menempatkan persatuan, kesatuan di atas kepentingan pribadi dangolongan, rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan Negara, cinta tanah air dan bangsa, bangga sebagai bangsa Indonesia dan ber-tanah air Indonesia dan memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.

Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan mengandung makna: mengutamakan kepentingan Negara dan masyarakat, tidak memaksakan kehendak kepada orang lain, mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.

Terakhir, yakni sila kelima Keadilan Sosial bagi seluruh Indonesia bermakna: mengembangkan kegotong-royongan, bersikap adil, menghormati hak-hak orang lain, bersama-sama berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.

Dari sila pertama sampai dengan sila kelima, dapat dilihat bahwa nilai-nilai tersebut semakin langka ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Dibutuhkan para pemimpin yang memiliki komitmen untuk menerapkan Pancasila secara tegas dan konstitusional.



Harus memilih pemimpin Pancasilais

Pada tanggal 9 April nanti, rakyat Indonesia akan memilih calon-calon legislatif (caleg) yang akan memperjuangakan nasib dan kesejahteraan masyarakat banyak. Disinyalir, mayoritas sosok anggota DPR RI/DPRD/DPD berwajah lama, kembali menjadi caleg untuk periode 2014-2019. Padahal, anggota dewan terhormat tersebut dikenal tidak berkinerja baik, bahkan sering bolos. Akhirnya, masyarakatlah yang harus cerdas mempertimbangkan untuk memilih para caleg sesuai hati nuraninya agar kinerjanya benar-benar memperbaiki kehidupan masyarakat yang adil dan sejahtera.

Juga pada bulan Juli nanti, kita akan kita akan memilih calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Banyak figur-figur calon pemimpin yang mulai disuarakan publik seperti Joko Widodo, Prabowo Subiyanto, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, Wali Kota Bandung Ridwan Kamil, Bupati Bantaeng Nurdin Abdullah, Bupati Bojonegoro Suyoto, dan mantan Wakil Gubernur Jawa Tengah, Rustriningsih dan lain-lain. 

Dari tokoh-tokoh tersebut, masyarakat bisa menilai siapa yang memiliki reputasi, rekam jejak, kompetensi dan terutama kepribadiannya yang “menjiwai” nilai-nilai Pancasila. Masyarakat bisa mempertimbangkan untuk memilih para capres dan cawapres yang benar-benar untuk mengabdi dan melayani masyarakat, dan tidak memilih mereka yang bertujuan untuk “mencari pekerjaan” sebagai penguasa. 

Memilih Pemimpin yang tegas dan berkomitmen menegakkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat ke depan merupakan keharusan. Alasannya, agar Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap eksis dan hidup dan benar-benar menjadi Indonesia Raya (Megawati Soekarnoputri), jika tidak maka Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila hanya ada di atas kertas, sebagai wacana dan retorika yang pada akhirnya bisa hilang. 

Franz Magnis Suseno, dosen STF Driyarkara, pernah berkata bahwa Pancasila merupakan eksistensi negara dan bangsa Indonesia. Melepaskan, mengebiri, mengubah, mencairkan Pancasila adalah sama dengan pembatalan kesepakatan bangsa Nusantara untuk bersama-sama mendirikan Republik ini. Sentuhlah Pancasila dan Anda menyentuh eksistensi negara dan bangsa Indonesia (Magnis Suseno: 2011). Semoga

Pormadi Simbolon, alumnus STFT Widya Sasana Malang

Senin, Maret 18, 2013

Sebuah Teladan Lebih Baik

Di tengah publik kerapkali  kata dan makna integritas diri dipermainkan atau sekedar ucapan manis di lidah.

Publik dapat menyaksikan salah satu  contoh bahwa persyaratan untuk menjadi pemimpin, misalnya: lurah, camat, bupati, gubernur, anggota DPR, Presiden dan lain sebagainya adalah harus memiliki integritas diri.

Satu lagi syarat penting yang resmi dan biasa  dipraktekkan di lingkungan pemerintahan  untuk meneguhkan integritas seorang pemimpin adalah mengucapkan janji atau sumpah di hadapan Tuhan, dan didampingi salah seorang rohaniwan.

Faktanya, sebagian dari mereka yang terpilih itu selanjutnya dalam perjalanan kepemimpinannya banyak yang tidak memiliki integritas diri.

Banyak diantara mereka ketika berpidato resmi, melarang bawahan korupsi, namun mereka sendiri korupsi. Ketika mereka meminta bawahan disiplin, namun mereka lebih melanggar disiplin. Mereka meminta agar bawahan menjaga etika sopan santun, namun mereka sendiri yang tidak sopan-santun. Mereka melarang aksi pornografi namun mereka sendiri yang menonton video pornografi saat sidang.

Integritas diri
Integritas dikatakan sebagai satu padunya antara kata-kata dengan perbuatan. Seseorang dikatakan berintegritas bila kata-katanya terwujud di dalam perbuatan.

Ketika kampanye, Joko Widodo berjanji, jika menang dalam pemilihan gubernur,  akan menerbitkan Kartu Jakarta sehat dan kartu Jakarta Pintar kepada masyarakat yang membutuhkan sebagai bentuk upaya membangun kesejahteraan masyarakat. Janji itu dipenuhi, ketika Joko Widodo (Jokowi) dan pasangannya Basuki Tjahaya Purnama (Ahok)  memenangkan Pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta.

Kemunafikan
Ketiadaan integritas sama halnya dengan kemunafikan. Kemunafikan menunjukkan ke permukaan suatu perbuatan hanya sebagai pencitraan diri, namun sebenarnya, ada kebusukan yang ditutup-tutupi.

Sama halnya, dengan beberapa pemuka agama atau ahli agama, "iso khotbah, ora iso ngelakoni", bisa berkhotbah, namun tidak bisa melakukannya. Ia mengkhotbahkan agar umat hidup menjauhi larangan Allah, namun ia menyimpang dari perintah Allah.

Tiada gunanya sambutan atau pidato seorang pemimpin, bila isinya tidak mempunyai daya guna dan efek samping bagi pendengar.  Sebagai contoh, pidato tentang visi dan bangsa Indonesia   yakni melindungi segenap warga bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum. Pidato  ini tidak akan  memiliki daya pengaruh bagi publik bila di lapangan ada sekelompok minoritas tidak dilindungi hak asasinya. Itu namanya munafik, dan tidak memiliki integritas.

Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Azyumardi Azra, melihat pemimpin bangsa ini mempraktekkan kemunafikan sebagai tanda tiadanya integritas diri. Akibatnya,  disorientasi nilai terjadi hampir di berbagai aspek kehidupan. Sebagian masyarakat juga mengambil jalan menerabas, mencari jalan mudahnya, dan tidak lagi percaya pada hukum (Kompas, 8/3).

Kemunafikan menunjukkan lemahnya integritas pemimpin tersebut. Azyumardi mencontohkan, ketika pemimpin meminta elite politik tidak gaduh, tetapi pada saat sama justru gaduh dengan kemelut internal di partai politik.

Dibutuhkan Satu Contoh
Masyarakat sudah jemu melihat para pemimpin yang katanya berintegritas namun tidak memiliki integritas diri. Hal ini terlihat dari kemenangan pasangan Jokowi dan Ahok dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta.

Bagi publik, benarlah kata-kata orang bijak ini: satu contoh jauh lebih baik daripada 10,000 kata-kata nasehat. Bagi masyarakat, contoh pekerjaan Jokowi di Solo dan pekerjaan Ahok di Belitung Timur cukup meyakinkan untuk mendorong mereka memilih Jokowi-Ahok sebagai pemimpin.

Harapan ke depan, kata dan makna integritas diri dalam memilih para pemimpin tidak boleh lagi dipermainkan. Sebentar lagi akan ada pemilihan calon legislatif dan calon presiden dan calon wakilnya. Di sinilah kesempatan publik melihat contoh-contoh atau teladan yang telah diperbuat para calon legislatif maupun calon presiden dan calon wakil presiden. (Oleh Pormadi Simbolon, alumnus STFT Widya Sasana Malang)


Minggu, Januari 02, 2011

Yang Dilupakan dari Nilai-nilai Pancasila

Pancasila sudah mulai sepi dari pembicaraan publik. Padahal Pancasila sebagai dasar negara merupakan puncak kesepakatan nasional.
Melihat aneka sikap dan perilaku, tindakan dan perbuatan dari beberapa elit partai politik, pejabat negara, aksi sekelompok organisasi massa seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme, kekerasan terhadap penganut agama lain, mementingkan diri atau kelompok menunjukkan bahwa nilai-nilai Pancasila sudah mulai dilupakan.
Tak luput juga, hubungan antar pemeluk agama menjadi agak renggang, karena adanya larangan mengucapkan selamat natal, soal pendirian rumah ibadah dan kebebasan beribadah kelompok minoritas.
Alangkah baiknya jika setiap pejabat publik, elit politik, tokoh agama, segenap masyarakat, merefleksikan nilai-nilai dari setiap Sila Pancasila sebagai berikut:
A. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa:
(1) Percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab; (2) Hormat menghormati dan bekerja sama antara pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup; (3) Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya; (4) Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain.
B. Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab:
(1) Mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan persamaan kewajiban antara sesama manusia; (2) Saling mencintai sesama manusia; (3) Mengembangkan sikap tenggang rasa; (4) Tidak semena-mena terhadap orang lain; (5) Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan; (6) Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan; (7) Berani membela kebenaran dan keadilan; (8) Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia karena dikembangkan sikap hormat-menghormati dan bekerja sama dengan bangsa lain.
C. Sila Persatuan Indonesia: (1) Menempatkan persatuan, kesatuan, di atas kepentingan pribadi atau golongan; (2) Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara; (3) Cinta tanah air dan bangsa; (4) Bangga sebagai bangsa Indonesia dan ber-Tanah Air Indonesia; (5) Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.
D. Sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan: (1) Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat; (2) Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain; (3) Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama; (4) Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi semangat kekeluargaan; (5) Dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah; (6) Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur; (7) Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
E. Sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia: (1) Mengembangkan perbuatan-perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotong-royongan; (2) Bersikap adil (3) Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban; (4) Menghormati hak-hak orang lain; (5) Suka memberikan pertolongan kepada orang lain; (6) Menjauhi sikap pemerasan terhadap orang lain; (7) Tidak bersifat boros (8) Tidak bergaya hidup mewah; (9) Tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum (10) Suka bekerja keras; (11) Menghargai hasil karya orang lain; (12) Bersamai-sama berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.
Jika segenap masyarakat Indonesia benar-benar mengacu pada nilai-nilai Pancasila ini dalam kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat, maka pada saatnya kita akan melihat Indonesia sebagai bangsa yang nasionalis dan religius, sebab nilai-nilai Pancasila universal dan tidak bertentangan dengan agama manapun.
Dibutuhkan satu komitmen dan kemauan untuk Indonesia, agar Garuda dan Pancasila benar-benar didada segenap warga bangsa. Dengan demikian, kita yakin kita akan menjadi bangsa PEMENANG bukan pecundang. Semoga.
(Pormadi S., dari berbagai sumber)

Powered by Telkomsel BlackBerry®

Kamis, Desember 17, 2009

AGAR PANCASILA BENAR-BENAR MENJADI RAHMAT

Pada 1 oktober diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Peringatan tersebut sudah memasuki yang ke-34. Apakah Pancasila yang sakti itu sudah menjadi rahmat bagi Indonesia?
Pancasila sebagai dasar negara secara nyata menjadi jaminan kemerdekaan dan kesamaan kedudukan setiap warga negara. Pancasila sekaligus juga sebagai ideologi nasional merupakan penemuan penting yang berperan mempertemukan semua kepentingan lintas golongan, suku, agama dan ras di negeri ini.
Kita yakin dan sadar serta rasakan peran pemersatu Pancasila pada masa pra-kemerdekaan hingga pada masa sekarang. Karena Pancasila, para pendahulu kita berhasil mengalahkan ideologi komunisme, chauvenisme keagamaan dan etnis, liberalisme dan individualisme serta arogansi mayoritas terhadap minoritas.

Alat kekuasaan?

Meskipun demikian, Pancasila menghadapi berbagai tantangan, seperti upaya penentangan, upaya penyelewengan, upaya perlawanan bahkan upaya penggantiannya dengan ideologi bernafaskan keagamaan. Sejak jaman Orde Lama hingga jaman Orde Reformasi, Pancasila terkesan di permukaan lebih dominan sebagai alat pemanis bibir penguasa.
Pada Orde Lama, Pancasila sebagai dasar negara ditafsirkan bersifat sosialis diktator. Pada Orde Baru, Pancasila diarahkan ke kutub kapitalisme-otoritarian, dan pada Orde Reformasi, makna Pancasila semakin kabur dan berwarna abu-abu di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di tengah masyarakat majemuk.
Pasca reformasi 1998, Pancasila mengalami “desakralisasi”. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila seperti nilai Ketuhanan, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan, musyawarah dan mufakat, serta keadilan sosial terkesan semakin tidak jelas alias mengambang. Negara ini akan dibawa kemana, kita tidak dapat melihatnya dengan jelas. Oleh karena itu banyak kalangan menyerukan agar reposisi dan revitalisasi Pancasila segera dilakukan mengingat pentingnya mencari jiwa dan jati diri bangsa dalam mempertahankan eksistensi dan mencapai kesejahteraan umum bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Karakteristik bangsa Indonesia?
Muncul pertanyaan, apakah nilai-nilai Pancasila pernah benar-benar mendarah-daging dalam jiwa bangsa Indonesia? Apakah Pancasila sudah benar-benar merupakan karakteristik bangsa Indonesia?
Menurut mata pelajaran sejarah di sekolah dewasa ini, dalam peristiwa tragedi nasional 1 Oktober 1965, Pancasila dikatakan berhasil ditegakkan dengan menumpas gerakan komunisme. Panglima Kostrad saat itu, Mayjen Soeharto mengambil alih pimpinan TNI-AD dan menumpas pemberontakan yang dilakukan komunis (Partai Komunis Indonesia,PKI) pada 1 Oktober 1965. Soeharto berhasil. Upaya PKI merebut kekuasaan negara gagal. Rakyat sadar dan tahu bahwa penculikan para pejabat teras TNI-AD didalangi PKI. Secara spontan, rakyat menyerukan dan
menuntu supaya PKI dan Ormas-ormasnya dibubarkan.
Lalu berdasarkan Surat Keputusan Menteri/ Panglima Angkatan Darat tanggal 17 September 1966 (Kep 977/9/1966) pada tanggal 1 Oktober ditetapkan sebagai peringatan Hari Kesaktian Pancasila. Menurut Asvi Warman Adam, penetapan ini bermasalah secara hukum dan substansial. Apa arti kesaktian yang dilekatkan pada Pancasila? Apakah Pancasila itu sakti atau tidak, kita tidak tahu (http://www.detik.com/ 28 september 2009).
Berangkat dari peristiwa 1 Oktober 1965 tersebut, Pancasila sebagai alat politik berhasil mengalahkan bahaya komunisme. Kalau kita mengamati pelaksanaan nilai-nilai budi pekerti Pancasila pada masa Orde Baru dan Orde Reformasi, maka muncullah berbagai pertanyaan. Apakah kita bisa mengatakan bahwa nilai-nilai Pancasila sertamerta menjadi karakteristik bangsa Indonesia? Tidakkah kelihatan bahwa Pancasila masih sebatas simbol idologi politik dan syarat eksistensi negara saja?
Bila kita coba membandingkan antara nilai yang terkandung dalam Pancasila seperti ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah/mufakat dan keadilan sosial dengan berbagai karakter dan budaya sebagian pejabat publik dan kelompok masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, maka akan terlihat adanya jurang yang dalam antara pelaksanaan ideologi Pancasila dan praktek hidup sehari-hari.
Di bidang legislatif misalnya, sikap tokoh politik bermusyawarah kini dinilai semakin buruk dan lebih mengedepankan voting. Ingat soal voting impor beras (Kompas.com 24 Januari 2006 dan voting soal kenaikan harga BBM, Kompas.com 25 Juni 2009). Demikian juga dalam menerapkan keadilan berbagai bidang, termasuk penghargaan hak asasi manusia bagi seluruh rakyat dan pemenuhan kebutuhan rakyat, peran negara makin tidak dirasakan.
Adanya kerusakan moral di hampir semua bidang terlihat dari tindakan tidak terpuji seperti penyalahgunaan uang, jabatan, kekuasaan dan fasilitas negara dalam berbagai bidang demi kepentingan kelompok atau pribadi. Parahnya korupsi, praktek homo homini lupus (manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya), tindakan kekerasan, kehancuran lingkungan dan peradaban nasional, memperlihatkan bahwa nilai-nilai luhur Pancasila belum menjadi karakter setiap warga negara Indonesia.
Pantas direfleksikan, apakah Pancasila sudah menjadi rahmat bagi Indonesia atau sekedar satu syarat bagi adanya NKRI? Pancasila adalah harga mati, demikian semboyan Susilo Bambang Yudhoyono, orang nomor satu di negeri ini saat kampanye Pemilihan Umum 2009 (Kompas 21 Juni 2009). Namun, apakah semboyan itu sebatas di bibir dan pemberitaan media massa? Kuntowijoyo, yang pernah menjadi dosen sastra dan budaya di Universitas Gajamada Yogyakarta berpendapat: “Pancasila seyogiyanya menjadi rahmat bagi Indonesia. Artinya, Pancasila bukan semata-mata sebagai alat seleksi yang pro dan kontra, melainkan juga suatu mekanisme yang mengintegrasikan, memasukkan kepentingan semua golongan” (Kuntowijoyo, dalam Kajian Agama dan Masyarakat, Depag RI 1992:304).
Upaya internalisasi nilai-nilai Pancasila
Kita sangat menghargai upaya pemerintahan Orde Baru untuk menata kehidupan bernegara berdasarkan Pancasila. Pancasila diupayakan sebagai landasan untuk menggapai kesejahteraan publik. Pemerintah menginstruksikan supaya Pancasila dilaksanakan secara murni dan konsekwen. Bahkan untuk mencegah bahaya laten komunis, Pemerintah melaksanakan progran penataran pedoman, penghayatan, dan pengamalan Pancasila (P4) serta penataran kewaspadaan nasional (Tarpadnas). Namun kita tidak setuju, kalau pada akhirnya Pancasila hanya menjadi alat pembela kepentingan kekuasaan, tanpa adanya keteladanan kepemimpinan, dan tanpa memperhitungkan kesejahteraan rakyat banyak. Jelas sekali nilai-nilai Pancasila belum menjadi jiwa dan jati diri bangsa Indonesia, apalagi menjadi rahmat bagi Indonesia.
Pilihan Pancasila sebagai dasar negara bagi bangsa Indonesia adalah melalui proses yang lama dan panjang. Para pendiri bangsa (founding fathers) merumuskan Pancasila itu dari budaya dan nilai-nilai yang diwariskan para leluhur bangsa. Kita sudah merdeka kurang lebih 64 tahun dan 34 tahun peringatan Hari Kesaktian Pancasila, selama itu pula penghayatan Pancasila mengalami pasang surut. Pada masa sekarang, penghayatan nilai-nilai Pancasila makin lama, makin kurang diminati. Dibutuhkan suatu terobosan agar nilai-nilai Pancasila dapat menjadi karakteristik bagi setiap warga.
Menurut ahli filsafat proses, Alfred North Whitehead, proses pembentukan suatu nilai agar menjadi ciri khas suatu bangsa atau masyarakat membutuhkan suatu proses yang panjang. Proses suatu nilai menjiwa-raga berlangsung melalui 4 tahap. Tahap pertama merupakan proses penerimaan dan penyadaran adanya nilai. Tahap kedua, nilai itu diolah dan digarap. Tahap ketiga, proses perwujudan dan pemenuhan nilai itu dalam diri. Terakhir tahap keempat merupakan proses pengakuan dan penetapan nilai-nilai sebagai karakteristik dan identitas diri. (bdk. P. Hardono Hadi, dalam Pustaka Filsafat dan Teologi,1995:84)
Dalam konteks Indonesia, Pancasila menjadi pilihan nilai-nilai dominannya (defining characteristics-nya). Kalau Pancasila dikehendaki benar-benar hidup, haruslah menjadi bagian integral dari masing-masing manusia Indonesia yang berusaha untuk semakin mengkonkretkan di kehidupan harian. Namun, pertama-tama, nilai-nilai Pancasila ini diinternalisasikan bagi setiap pegawai negeri sipil, TNI/POLRI, bahkan juga bagi semua calon pegawai di pemerintahan (birokrasi) yang pada akhirnya diteladani rakyat banyak. Penghayatan dan pengamalan Pancasila seyogiyanya dimulai di lingkungan pemerintahan secara keseluruhan. Dengan penginternalisasian nilai-nilai Pancasila yang dimulai dari lingkungan pemerintahan, maka pelan-pelan menetes ke lingkungan masyarakat umum, dan Pancasila akan menjadi rahmat bagi Indonesia. Pancasila menjadi rahmat bagi Indonesia berarti nilai-nilai kehidupan berketuhanan, berkemanusiaan yang adil dan beradab, bermusyarah dan bermufakat, serta berkeadilan sosial semakin dirasakan semua warga. Semoga. (Pormadi Simbolon)

Selasa, April 01, 2008

BILA RAKYAT HIDUP TANPA NEGARA

Oleh Pormadi Simbolon

Baru-baru ini, rakyat memunculkan dan menggelar pengadilan versi mereka di Desa Keboromo, Jawa Tengah. Saat rakyaT desa mengetahui sejumlah pamong desa korupsi dengan “menggelapkan” hasil penjualan tanah desa untuk pelebaran jalan, rakyat membawa mereka ke meja hijau hasil buatan mereka sendiri.


Proses sidang rakyat tersebut berlangsung sembilan jam, pertanda seriusnya pelaksanaan pengadilan. Para pamong pun menyerah dan bersedia mengembalikan uang korupsi ke kas desa. Sidang berlangsung tanpa hukum acara, tanpa hukum pidana, tanpa jaksa penuntut umum, tanpa hakim negara, di luar pengadilan, dan syukurlah dapat berhasil baik.

Ada fenomena bahwa rakyat dapat hidup tanpa negara. Rakyat memproses dan memperbaiki ketidakberesan yang mengganggu kesejahteraan bersama. Apakah mungkin rakyat dapat hidup sekurang-kurangnya berkecukupan tanpa negara?

Fenomena Hidup Tanpa Negara

Para petani di Kabupaten Banyuasin dan Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan tidak bisa menikmati kenaikan harga beberapa komoditas seperti harga karet di pasar internasional. Harga karet pada Maret ini malahan turun lebih rendah daripada sebelumnya di atas Rp 12.000,- per kilogram menjadi Rp 11.000,-. (Kompas 24/03).

Nasib kebanyakan korban bencana alam di negeri ini kerap kali kurang mendapat perhatian serius dari negara seperti mereka yang menjadi korban lumpur Lapindo di Jawa Timur.

Kalau pendapat para pakar ekonomi seperti diberitakan media massa, pertumbuhan perekonomian nasional cukup baik, 6,3 persen. Namun realitas perikehidupan rakyat semakin digerogoti ancaman gizi buruk dan kelaparan karena kenaikan harga-harga kebutuhan pokok berlomba-lomba melonjak tinggi. Selain kenaikan harga kebutuhan pokok, kelangkaan beberapa bahan pokok seperti minyak tanah dan kedelai ikut menambah stres rakyat banyak.

Di tengah kehidupan rakyat yang demikian pemerintah dan DPR masih belum menemukan kesepakatan siapa calon gubernur Bank Indonesia yang disepakati bersama, yang konon turut menentukan kebijakan ekonomi negara. Padahal rakyat sudah mendesak untuk diperhatikan dan diperbaiki nasibnya.

Negara Ada karena Rakyat

Dalam sistem dan kehidupan demokrasi seperti Indonesia sekarang, kesejahteraan dan perbaikan kehidupan bersama menjadi prioritas kebijakan pengelola negara. Pemerintah Pusat dan Daerah merupakan hasil pilihan alias kesepakatan rakyat banyak. Itu artinya kepemimpinan mereka atas negara menjadi legitim.

Bisa dikatakan, negara sebagai entitas politik itu sendiri ada karena rakyat ada. Oleh karena itu otoritas negara atas warganya berlaku sejauh otoritas itu meningkatkan kesejahteraan umum.

Thomas Hobbes (1588-1679) dalam bukunya Leviathan mengatakan bahwa kodrat manusia-manusia yang utama adalah sama alias sederajat. Oleh karena itu sang pemimpin negara hanya menjadi mungkin apabila ada persetujuan (consent) dari manusia-manusia yang bersangkutan. Instansi yang memerintah hanya terjadi apabila masing-masing individu melakukan konvensi. Konvensi bisa tercapai apabila pemerintah tersebut mampu mencapai tujuan bersama yaitu mengatasi the state of nature atau keterancaman hidup manusia karena manusia menjadi serigala bagi sesamanya (homo homini lupus).

Untuk itu, pemerintah yang disepakati individu-individu untuk memerintah seyogiyanya memperhatikan nasib dan kehidupan mereka yang semakin terancam dari “serigala-serigala” yang semakin merajalela.

Gagalkah Pengelola Negara kita?

Melihat realitas kehidupan rakyat banyak dalam sistem dan kehidupan demokrasi Indonesia saat ini, apakah pengelola negara sudah berkompeten mengatur dan memperjuangkan kehidupan rakyat yang sejahtera, damai, adil dan makmur?

Wakil Presiden Jusuf Kalla pernah mengatakan bahwa pengelola negara baik nasional maupun lokal sebaiknya berlatar belakang pebisnis (Kompas 22/11/2006). Butet Kartarejasa mengajukan bahwa pemimpin negara itu sebaiknya berlatar belakang seniman. Para Filosof seperti Plato dan Aristoteles mengajukan bahwa pemimpin negara yang baik adalah mereka yang memiliki kebijaksanaan alias para filosof. Lain lagi dengan Machiavellian, seorang pemimpin sejati adalah adalah politikus sejati yang tahu merengkuh dan mempertahankan takhta kekuasaannya.
Siapapun pemerintah yang tepat dan berkompeten serta berlatar belakang apa pun dia, yang paling utama adalah mengenal raison d’être-nya negara Indonesia yang sudah digagas the founding fathers terdapat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu: “membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.

Apapun alasannya, rakyat tidak bisa mencapai kesejahteraan bersama bila tidak ada otoritas negara yang mengatur kehidupan mereka entah secara eksekutif, legislatif maupun judikatif. Bila tidak, maka “serigala-serigala” akan memangsa manusia-manusia lainnya.

Bila kita melihat ada fenomena negara tidak memperhatikan dan mengutamakan kebaikan rakyat banyak, maka saat itulah terjadi pelalaiaan raison d’être sekaligus visi dan misi pembentukan negara Indonesia. Bukan tidak mungkin, terpicu oleh keterancaman dan menderitanya kehidupan harian, rakyat akan “mencabut” kesepakatan atau pelegitimasian terhadap mereka mengelola negara.


Penulis adalah pemerihati sosial, alumnus STFT Widya Sasana Malang, tinggal di Jakarta.

Kamis, Agustus 30, 2007

"Cutting Culture" Uang Rakyat versus Budaya Unggul

"Cutting Culture" Uang Rakyat versus Budaya Unggul

Oleh Pormadi Simbolon


Kereta Api Gumarang jurusan Jakarta-Surabaya, Minggu (12/8), anjlok di Dusun Kramat, Desa Mangunsari, Kecamatan Tegowanu, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Penyebab anjloknya kereta api tersebut adalah pemotongan rel sepanjang 5,4 meter oleh orang yang tidak bertanggung jawab.


Peristiwa kecelakaan itu amat memprihatinkan bagi insan-insan yang masih berakal sehat. Pemotongan rel tersebut tentu mengakibatkan celaka dan kerugian bagi publik dan teristimewa bagi pemerintah. Sarana publik dirusak tanpa motif yang jelas.


Siapa pelakunya? Mengapa melakukannya? Yang jelas pelakunya bukan aparat perkeretaapian. Pelakunya pastilah dari warga biasa. Bisa jadi motif pelaku adalah kekecewaan pada pemerintah karena penderitaan hidup yang dideritanya. Bisa jadi pula, motifnya untuk meneror aparat negara. Bisa jadi pula pelaku ikut-ikutan trend budaya memotong (istilah penulis: cutting culture) yang dilakukan sebagian aparat penyelenggara negara terhadap dana anggaran pembangunan di negara ini, yang mengakibatkan kesulitan hidup bagi warga biasa. Yang jelas, pelakunya mempraktekkan budaya memotong yang berujung pada kerugian negara, seperti perilaku sebagian pejabat negeri ini,yang melakukan pemotongan dana anggaran perbaikan kehidupan publik.



“Cutting Culture” Membudaya


Bila ditelusuri perilaku memotong tersebut menjadi cermin kebanyakan perilaku warga di republik ini, khususnya para pejabat publik. Budaya potong-memotong sudah biasa kita dengar dalam kehidupan birokrasi di negeri tercinta ini.


Ada aparat desa yang melakukan pemotongan anggaran perbaikan kampung sehingga kampung tetap tertinggal dari perkampungan lainnya. Sebagian lagi memotong anggaran pembangunan jembatan sehingga jembatannya gampang runtuh. Ada oknum apara pendidikan memotong anggaran perbaikan pembangunan gedung sekolah SD sehingga bangunannya tidak bermutu dan mudah roboh serta menelan korban.


Di tempat lain, ada lagi aparat pemerintah daerah memotong dana anggaran pembangunan provinsi untuk keperluan istri dan anaknya. Dana yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan warga masyarakatnya, disalahgunakan untuk mencicil rumah anaknya, untuk membeli handphone istrinya, untuk membayar kredit mobil anak, dan untuk berekreasi ke Bali. Rakyatnya kelaparan, sementara ia dan keluarganya hidup mewah. Rakyat menangis, ia tertawa menikmati duit negara yang dikumpulkan dari rakyat..


Budaya memotong itu terjadi hampir di semua sektor pelayanan publik, seperti yang pernah terjadi di Balai Kota Jakarta pra-Pilkada yang lalu. Ketika hendak mencairkan dana alokasi umum (DAU), seorang petugas menghadapi pemotongan di setiap proses pencairan. Ujung-ujungnya jumlah anggaran bisa menciut menjadi 40% dari jumlah anggaran yang ada.


Belum lama ini pula, hal pemotongan terjadi pada dana alokasi biaya operasional sekolah (BOS) di lingkungan pendidikan dan bantuan langsung tunai (BLT) dalam rangka penanggulangan kemiskinan.


Budaya memotong sudah mengakar dalam budaya bangsa ini. Bila ditelisik di semua lingkup birokrasi baik pemerintah maupun swasta, budaya memotong lebih unggul dan lebih hebat. Budaya memotong terjadi mulai dari aparat negara dari level bawah hingga level atas. Kalau negara lain seperti India dan Cina memiliki keunggulan di bidang pembangunan teknologi dan ekonomi, maka Indonesia terkenal sebagai bangsa yang berbudaya unggul dalam hal memotong (cutting culture).



Budaya Unggul


Sebanarnya secara individu, kepintaran dan kompetensi manusia Indonesia dengan manusia Cina dan India tidak kalah. Ada beberapa individu dari siswa-siswi dari warga bangsa ini berhasil mengalahkan siswa-siswa sederajat dari mancanegara dalam ajang olimpiade internasional bidang matematika dan fisika. Tetapi secara global, mengapa negara India dan China bisa lebih unggul di berbagai bidang?


Perjalanan peradaban Indonesia mengalami stagnasi. Indonesia dipandang tidak unggul di berbagai bidang sebagai akibat dari mental serakah alias budaya memotong para elit politik dari kebanyakan pemimpinnya yang menetes kepada warganya. Faktor utama penghambatnya adalah budaya memotong alias rakus alias mementingkan ego diri dan keluarganya dan mengabaikan raison d’être-nya menjadi aparat negara atau pejabat publik. Faktor lainnya adalah akibat dari budaya memotong tersebut, kepintaran dan kompetensi sebagian warga bangsa ini tergerogoti dan ternafikan. Kerja keras dan kreativitas tersingkirkan oleh budaya korupsi. Proyek pembangunan gedung sekolah, perbaikan kampung, perbaikan jembatan tidak menghasilkan mutu yang diharapkan karena adanya budaya memotong tadi.


Sudah saatnya kita mempersiapkan budaya unggul dengan memulainya dari lingkungan keluarga kita. Budaya unggul adalah budaya elegan, budaya menang, budaya kuat, pandai dan awet terhadap bangsa lain. Budaya unggul mengedepankan sportifitas dan profesionalitas. Kita mempunyai mimpi dan nyali besar untuk menjadi lima besar negara maju di tahun 2030 (the big five). Itulah visi Indonesia tahun 2030. Untuk menwujudkan Indonesia menjadi negara unggul tersebut, maka pemerintah dan masyarakat wajib membangun dan memacu budaya unggul.


Untuk mencapai hal itu, lembaga keluarga dan pemerintah harus bekerja secara sinergis dalam memacu budaya unggul. Dari lingkup lembaga keluarga, pertama, anak-anak harus beri konsumsi gizi yang bagus untuk mengembangkan jaringan syaraf mereka. Kedua, anak-anak harus diberi stimulans (pemacu/ perangsang) agar dapat berpikir aktif dan kreatif. Ketiga, budaya jujur dan adil sudah harus ditanamkan dari lingkungan keluarga. Keempat, anak-anak harus diajak bermimpi dan bernyali besar. Orang tua harus menjadi teladan dalam hal menanamkan budaya jujur, adil dan sportif.


Dari sisi lembaga pemerintah, pertama, pemerintah harus memperbaiki birokrasi yang kerap melakukan budaya cutting dengan memperbaiki kesejahteraan aparatnya, kedua, pemerintah harus menyediakan fasilitas pendidikan yang memadai dalam rangka memacu budaya unggul.


Budaya cutting alias budaya yang suka memotong harus dipotong alias diberantas. Semua warga ini hendaknya memacu dan memilih budaya unggul, budaya elegan, budaya menang dalam menggapai tujuan bersama. Budaya memotong adalah budaya pecundang (loser).


* Penulis adalah alumnus STFT Widya Sasana Malang, tinggal di Jakarta

POLITIK AMORAL DAN “DEMOKRASI TANGGUNG JAWAB”

POLITIK AMORAL DAN “DEMOKRASI TANGGUNG JAWAB”

Oleh Pormadi Simbolon

Kecelakaan dan musibah yang terjadi di negeri ini memiliki unsur kesengajaan orang yang tidak bertanggung jawab. Diantaranya, rel kereta api (KA) yang digergaji, pasar yang berturut-turut terbakar di berbagai daerah, seperti Pasar Turi di Surabaya, Jawa Timur, Pasar Palasari di Jawa Barat dan Pasar Ungaran di Jawa Tengah.
Mendengar hal itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) langsung turun tangan. SBY memerintahkan Kepala Polri dan jajarannya menyelidiki seberapa jauh ada unsur kesengajaan. Setelah melakukan penyelidikan intensif, Kepala Polri melaporkan unsur kesengajaan itu ada. Presiden pun memerintahkan agar hal itu diusut tuntas.


Tindakan sabotase rel KA dan pembakaran pasar-pasar tersebut menyangkut kehidupan rakyat banyak. Korban yang paling menderita adalah rakyat jelata, pedagang kecil dan kelompok masyarakat menengah. Jika benar, sabotase rel KA dan pembakaran pasar-pasar itu disengaja, maka tindakan tersebut merupakan politik jahat alias tidak bermoral dalam sistem tata hidup bersama di negeri ini.


Sebut saja, Asri (42), pemilik Toko Buku Lestari di Pasar Palasari, mengalami kerugian sampai ratusan juta rupiah. Toko Buku Lestari merupakan sumber nafkah keluarga Asri. Dia menjadi bingung memikirkan biaya hidup keluarganya. Apalagi ia masih berutang kepada bank yang harus dicicil Rp 2,5 juta per bulan.


Di tengah penderitaan orang banyak dan situasi ketidakamanan seperti itu, para elit politik baik di pusat maupun di daerah sebagai aparatur negara dituntut untuk bertanggung jawab. Tugas merekalah untuk mewujudkan keadilan, keselamatan dan kesejahteraan bagi rakyat banyak. Pelaku sabotase rel KA dan pembakaran pasar-pasar yang secara sengaja dengan alasan dan tujuan apapun itu telah mempraktikkan politik tidak bermoral.


Politik Tidak Bermoral


Ada indikasi bahwa pelaku praktek cara pembakaran dan bumi hangus kerapkali diterapkan penguasa untuk tujuan menertibkan hunian liar dan pedagang kaki lima, membangun pasar modern atau kepentingan konglomerat. Seorang Kepala Sudin Tramtib Jakarta Utara,Toni Budiono, (Kompas,2/11/2001) mengaku menggunakan cara pembakaran atau bumi hangus untuk “menertibkan” hunian liar.


Penguasa seringkali melakukan pelarangan yang ditujukan kepada masyarakat bawah, namun tidak pernah memberikan perlindungan. Tindakan penggusuran dan pembakaran oleh oknum aparat tidak disertai dengan solusi yang melindungi dan menjamin keselamatan rakyat. Praktek pelarangan kepada rakyat tidak dibarengi dengan penindakan dan penangkapan terhadap aparat pemerintah yang melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme.


Praktek politik pembakaran dan bumi hangus semakin menggejala dalam tata hidup bersama di daerah pasca desentralisasi dan otonomi daerah melalui UU No 22/1999. Penguasa otonomi daerah memiliki wewenang yang lebih luas. Penyalahgunaan wewenang pun bisa terjadi jika kekuasaan tanpa moralitas dan tanpa disertai dengan tanggung jawab atas amanat kepenguasaan yang dimilikinya.


Padahal tujuan desentralisasi dan otonomi daerah untuk mewujudkan suatu tatanan sistem pemerintahan daerah yang lebih demokratis, mempercepat tercapainya kesejahteraan dan kemakmuran serta meningkatkan kapasitas publik. Keselamatan rakyat di daerah banyak merupakan tujuan inti otonomi daerah, bukannya untuk kepentingan penguasa, pengusaha dan sekelompok orang saja.


Kedudukan Pemda-Pemda pasca otonomi, bukanlah raja-raja kecil yang merasa memiliki kekuasaan mutlak di daerahnya. Ia tidak mengatasi hukum. Jika para penguasa merasa diri sebagai penguasa mutlak dan kebal terhadap hukum, maka terjadilah praktik politik pembakaran dan bumi hangus di daerahnya. Inilah yang disebut politik tanpa moralitas dan tanpa tanggung jawab.



“Demokrasi Tanggung Jawab”


Bangsa Indonesia masih harus bekerja keras untuk membela dan menghidupi demokrasi. Pemerintahan atau pengelolaan kekuasaan harus didasarkan pada elemen-elemen dasar demokrasi dengan penekanan pada karakter personal tanggung jawab, baik tanggung jawab secara moral maupun secara hukum. Barangkali inilah yang dikatakan demokrasi tanggung jawab.


Politik Pemda dalam menata hidup bersama seyogiyanya dijalankan dengan memperhatikan tanggung jawab moral. Soal politik adalah soal tata hidup bersama. Soal moral adalah soal baik dan tidak baiknya suatu hal. Politik dan moral mempunyai hubungan langsung dan konkret. Politik harus dijalankan dengan memperhatikan baik-tidaknya sebuah kebijakan bagi keselamatan rakyat banyak. Hubungan tersebut dicetuskan dalam preferensi bukan pada kekuasaan atau pada pribadi pemegang kekuasannya, melainkan pada hukum. Intisari kodrat pengertian hukum yang esensial adalah bahwa ia harus adil. Prinsip keadilan melekat dalam cara ada manusia yang bertindak menurut akal budinya.


Kebaikan, keadilan dan keselamatan rakyat banyak menjadi pusat segala hukum yang adil. Hukum yang adil menjadi hukum tertinggi. Kekuasaan seorang pemimpin di daerah entah yang sudah diperoleh melalui Pilkada langsung maupun tidak, berasal dari, oleh dan untuk rakyat banyak, terlebih rakyat kecil dan menengah dengan harapan keamanan dan keselamatan hidup harian mereka. Oleh sebab itu seorang pemerintah dan aparatnya seyogiyanya mengedepankan keamanan dan kesejahteraan orang rakyatnya, bukan malah mempraktekkan politik pembakaran dan bumi hangus yang menyebabkan kebanyakan rakyat semakin menderita.


Penguasa yang menggunakan politik pembakaran dan bumi hangus dalam pemerintahannya adalah penguasa yang tidak bermoral dan tidak mempunyai tanggung jawab terhadap rakyatnya.


*Penulis adalah alumnus STFT Widya Sasana Malang, tinggal di Jakarta.

Jumat, Agustus 24, 2007

Khilafah, Pancasila dan Indonesia

Khilafah, Pancasila dan Indonesia

Pormadi Simbolon

"Justru khilafah akan menyelamatkan bangsa dan umat Islam Indonesia," ujar Juru Bicara Hizbuth Tahrir Indonesia Ismail Yusanto pada pembukaan Konferensi Khilafah Internasional di Jakarta, Minggu (12/8) dalam menanggapi isu seputar maksud pertemuan itu. Dikatakan bahwa salah tujuan pertemuan tersebut adalah untuk kepemimpinan khilafah.


Khilafah adalah sebuah sistem pemerintahan yang khas dengan ideologi Islam dan perundang-undangan yang mengacu kepada Al Quran dan Hadis. Dalam sistem pemerintahan khilafah kepala negara tetap memegang jabatannya selama ia tunduk kepada syari’ah. Tegaknya khilafah diyakini mampu menegakkan syariat Islam dan mengembangkan dakwah ke seluruh penjuru dunia.


Enam puluh dua tahun Indonesia sudah merdeka, selama itu pula gerakan ekstremis bermunculan hendak mengubah dasar negara Indonesia dengan berdasarkan pada salah satu dogma agama tertentu. Hal itu semakin terlihat jelas pasca otoritarianisme Orde Baru. Kita menyaksikan tribalisme sektarian. Ruang-ruang publik dan hidup bersama kita dikepung sekawanan ekstremis yang memburu pembentukan Indonesia atas dasar dogma agama, dan mereka coba menghapus perbedaan antara "agama" dan "negara".


Tampaknya gerakan dan perjuangan pembentukan negara Islam di Indonesia tidak akan pernah berhenti. Hal itu tampak dalam pengalaman dan perjalanan sejarah bangsa Indonesia.
Sudah terbukti dalam sejarah bahwa gerakan mendirikan negara Islam yang dilakukan Darul Islam atau DI/TII pimpinan Kartosuwiryo, yang berlanjut di daerah-daerah lain, seperti Aceh dan Sulawesi Selatan tidak berhasil. Sekarang ini juga ada yang menginginkan negara agama dalam bentuk cita-cita tegaknya Khilafah Islamiyah.
Sementara itu, dewasa ini kelompok-kelompok Islam berkehendak mengubah memperjuangkan gerakan islamisasi negeri ini melalui peraturan-peratuan daerah (Perda). Apakah Perda itu dapat membuat warga menikmati hidup kesehariannya secara lebih baik?

Benarkah Khilafah Menyelamatkan Indonesia?

Kaum nasionalis umumnya menolak pemerintahan dengan sistem khilafah. Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama atau PBNU dengan tegas menolak penerapan sistem khilafah di Indonesia. Ide khilafah atau pemerintahan tunggal bagi umat Islam di seluruh dunia akan mendekonstruksi negara. (Kompas, 12/08/07)

Kaum nasionalis juga berpendapat bahwa politik transnasional tidak cocok diterapkan di Indonesia karena sistem politik yang dibawa dari Timur Tengah tersebut tidak sesuai dengan situasi politik di Indonesia.

Jika sistem khilafah diterapkan pasti akan berbenturan dengan sistem republik, bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Pancasila. Sebab jelas sekali, bahwa Negara Indonesia dibentuk bukan atas dasar salah satu agama. Dalam sistem khalifah, kepala negara memegang jabatannya selama ia tunduk pada syari’ah, sedang dalam sistem republik, kepala negara memegang jabatannya dalam waktu tertentu.

Pembentukan negara Indonesia yang sudah kita jalani selama 62 tahun ini oleh para bapa bangsa didasarkan pada prinsip ‘semua untuk semua’ bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan. Demikianlah Soekarno, proklamator RI ini pernah berkata, “Kita hendak mendirikan suatu negara Indonesia merdeka di atas weltanschauung apa? … Apakah kita hendak mendirikan Indonesia merdeka untuk seseorang, untuk suatu golongan? … Apakah maksud kita begitu? Sudah tentu tidak! Baik saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan di sini, maupun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat bahwa bukan negara yang demikian itulah yang kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara ‘semua buat semua’. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan… Maka yang selalu mendengung di dalam saya punya jiwa…ialah dasar pertama, yang baik dijadikan dasar buat negara Indonesia, [yaitu] dasar kebangsaan”. (M. Yamin, Naskah Persiapan Undang-undang Dasar 1945, Jakarta 1959, 68-69)

Pendiri bangsa ini telah melihat jauh ke depan, bahwa dasar negara Indonesia tidak tepat didasarkan pada dogma salah satu agama tertentu. Dasar negara seyogiyanya mengatasi kepentingan satu golongan, menembus kotak-kotak agama, merangkul semua penghuni negeri ini. Negara yang merangkul semua kepentingan warganya itulah yang akhirnya disepakai sebagai dasar negara dengan berdasarkan pada Pancasila yang berwawasan kebangsaan.

Baik tokoh-tokoh nasionalis maupun tokoh-tokoh muslimin sepakat menerima Pancasila sebagai dasar Negara RI berdasarkan pada prinsip: a) bahwa kaum muslim Indonesia melalui para pemimpinnya, ikut aktif dalam merumuskan dan sepakat menetapkan Undang-Undang Dasar 1945; b) bahwa nilai-nilai luhur Pancasila dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 menjadi dasar Negara dan disepakai dan dibenarkan menurut pandangan Islam. (H. Achmad Siddiq dalam Sudjangi, penyunting 1992).

Kehendak membentuk Negara Indonesia dengan sistem khilafah Islamiyah jelas sekali tidak sesuai dengan Indonesia yang multikultural. Gerakan konseptualisasi negara Islam, atau Khilafah Islamiyah sesungguhnya bertabrakan dengan demokrasi. Tabrakannya terletak pada prinsip dasar, seperti pluralisme, ide kedaulatan, dan konstitusi. Demokrasi jelas menolak ide kedaulatan Tuhan dan berlakunya syariat Islam di dalam komunitas masyarakat plural, yang di dalam konsep negara Islam sebagai sesuatu yang prinsip. Ditambah lagi, dengan tidak adanya contoh konkret negara Islam, atau Khilafah Islamiyah yang ideal di dunia, bahkan di Timur Tengah yang memiliki tradisi Islam kuat. Apakah Arab Saudi, Pakistan, Iran dapat disebut sebagai representasi prototipe negara Islam, atau Khilafah Islamiyah yang sesungguhnya? (Khamami Zada, Suara pembaruan, 21/06/2007).

Barangkali, gerakan yang berkehendak untuk mengubah dasar negara RI tidak akan pernah berhenti. Namun sejarah akan membuktikan bahwa sistem negara yang merangkul kepentingan semualah yang akan menyelamatkan Indonesia. Bukan sistem yang mengedepankan kepentingan satu orang atau kelompok yang menyelamatkan Indonesia, tetapi kepentingan bersama alias bonum commune-lah yang menyelamatkan Indonesia.

"Kita" adalah realitas plural yang tidak akan menjadi tunggal. Tetapi, "kita" juga pluralitas yang sedang membentuk sebuah Indonesia yang maju, adil, makmur dan bermartabat. Ideologi Pancasila sudah menyerap semua kepentingan warga bangsa ini. Pancasila adalah untuk semua. Dasar negara adalah semua untuk semua, bukan untuk satu orang atau golongan. Hidup Pancasila!

* Penulis adalah alumnus Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Widya Sasana malang,
Tinggal di jakarta

Minggu, Oktober 15, 2006

Sumber Perusak Kebersamaan dan Kerjasama

Sumber Perusak Kebersamaan dan Kerjasama

Pada dasarnya kebersamaan yang sudah terjaga dengan baik di tengah rakyat Indonesia kembali dirusak oleh sejumlah orang yang tidak menginginkan keselamatan NKRI dan Pancasila.

Adapun ketiga hal yang menjadi perusak itu adalah:
Ambisi pribadi baupun kelompok. Yang lain tidak tau/ atau bodoh dan rendah/ hina.
Irihati. Ada sebagian orang malah menjadi iri bila orang lain berhasil dan sukses. Mereka malah ingin menjatuhkan orang lain yang sukses.
Batu sandungan. Sering kali orang atau kelompok berusaha menjebak orang lain supaya terperangkap pada kehancuran atau jatuh/ bangkrut dalam tugas atau pekerjaannya.
Sumber dari ketiga hal perusak tersebut adalah:
Kegagalan orang menerima diri atau kelompok dengan segala kekurangan dan kelebihan yang dia miliki.
Orang tak menghargai lagi kebijaksanaan Allah yang telah menciptakan semua orang dengan segala keunikan dan kehasannya masing-masing. Semuanya diciptakan dengan bijak adalah untuk saling menyempurnakan.
Untuk membangun kerjasama dan kebersamaan sebagai bangsa dalam NKRI dan Pancsila adalah perlunya membuang penyakit itu. Semoga.

Kamis, Mei 11, 2006

POLITIK KOTOR DI TUBAN


Politik Kotor di Tuban

Oleh Pormadi Simbolon

Pemrotes hasil pemilihan ke-pala daerah (pilkada) Bupati dan Wakil Bupati melakukan "politik" bakar membakar. Akibatnya, selain kantor KPU Tuban serta pendopo kabupaten, dirusak pula sebuah hotel, dua pompa bensin dan 12 mobil. Sampai akhirnya aparat keamanan memberlakukan jam malam untuk menghentikan penularan kerusuhan ke daerah lain. Apapun alasannya, para pemrotes hasil pilkada di Tuban telah melakukan "politik kotor" dengan cara bakar membakar. Tindakan para pemrotes tersebut amoral dan mencederai jalan demokratisasi di Indonesia.

Hitler pernah berkomentar, "Tidak ada lapangan kehidupan yang demikian kotor seperti politik!" Komentar tersebut menjadi prinsip Hitler menjustifikasi tindakannya dalam rangka memusnahkan orang-orang Yahudi. Pemeo yang kebenarannya secara umum tidak ada yang menyangkal itu memang sangat diminati para partisipan lapangan kehidupan politik. Diminati untuk membenarkan, mengesahkan, melegalkan aneka praktek perjuangan kepentingan yang melanggar keadilan.

Peristiwa Tuban tidak berlebihan jika dikatakan bahwa sekelompok massa telah melakukan cara- cara ilegal dan tidak adil dalam memperjuangkan hak-hak politiknya. Cara-cara mereka semakin membenarkan pemeo bahwa politik itu kotor. Pembenaran pemeo ini tidak saja berbahaya melainkan juga tidak tepat. Tidak tepat karena merupakan pelukisan sebagian saja dari sisi kenyataan lapangan kehidupan yang pada umumnya dianggap benar demikian.

Karena itu pemeo ini tidak bisa dipakai sebagai prinsip moral pembenaran suatu tindakan politis. Prinsip moral tidak bisa diasalkan secara induktif dari lapangan kehidupan konkret sekadar berdasar pada ciri umum tidaknya elemen- elemen prinsip itu. Sebab apa yang umum bisa dibilang tidak dan atau belum tentu baik dan benar.

Jadi walaupun pada umumnya diakui bahwa dalam lapangan kehidupan konkret apa yang disebut politik itu merupakan realitas keras, brutal, dan kotor, tidak bisa disimpulkan lantas dalam politik segala bentuk tindakan disahkan secara moral. Setiap keyakinan yang menjustifikasi kekerasan dan aneka penyalahgunaan karena meyakini pemeo "politik itu kotor" sangat naif. Tampaknya inilah yang terjadi pasca pengumuman hasil pilkada di Tuban.

Pembenaran terhadap prinsip "politik itu kotor" berasal dari pemikiran yang memisahkan antara moral dan politik. Diyakini oleh paham itu, moral merupakan lapangan pertimbangan dosa dan tidak dosa. Sedangkan politik adalah lapangan kekuasaan. Dalam mengejar dan membela kekuasaan pertimbangan dosa atau tidak dosa disisihkan, karena bukan saja akan mengganggu tekad untuk memutuskan tindakan tertentu, melainkan juga terutama tidak relevan.


Pemikiran semacam itu merupakan ciri khas filsafat machiavellian. Machiavelli, sang pioner filsafat politik modern, membedakan dan memproklamirkan pemisahan antara moral politik dan moral keutamaan manusiawi. Kebijaksanaan-yang dalam moral keutamaan manusiawi sama dengan keutamaan orang baik-dalam moral politik dipahami sebagai kepandaian untuk berperang, meneror pihak-pihak lawan demi perebutan kekuasaan.

Bagi Machiavelli, seorang raja atau pangeran yang baik adalah dia yang merebut, membela, dan mempertahankan kekuasaan. Bagai- mana itu dilakukan, Machiavelli tidak mempedulikan aturan prinsip-prinsip normatif caranya (bdk. The Prince, Bab XV).
Konsekuensi logis yang mengalir dari paham ini harus diakui, lantas terjadilah penendangan terhadap prinsip-prinsip moral. Di tangannya pula, politik lantas pertama-tama adalah soal merebut dan membela kekuasaan.

Politik Sejati

Politik adalah lapangan kehidupan yang menyentuh hampir secara menyeluruh hubungan antarmanusia. Dalam filsafat politik klasik, pengertian politik menunjuk pada rangkaian urusan yang berkaitan dengan sistem kehidupan yang sempurna dalam polis.

Pengertian ini bukan merupakan idealisasi atau romantisasi makna politik, melainkan merupakan pemahaman yang lahir dari pengalaman akal sehat dan memiliki keterarahan yang selaras dengan tujuan kodrat (natura) eksistensi manusia. Para filosof klasik memandang bahwa dalam kodratnya manusia hanya akan menemukan kesempurnaannya apabila menjalin hubungan sedemikian rupa dengan sesamanya. Konsep manusia sebagai makhluk sosial dan politis menemukan artinya di sini, yaitu dalam usahanya yang secara kodrati menuju kesempurnaannya dalam kehidupan bersama. Kesendirian manusia tidak saja melukiskan kesepian, ketidaklengkapan, kengenasan, melainkan juga terutama ketidaksempurnaan.

Konsekuensi selanjutnya dari konsep ini ialah lantas setiap tindakan yang menghancurkan, membakar sesamanya siapapun mereka bukan saja merupakan tindakan keji, tetapi juga melawan kodratnya. Karena kodrat manusia berasal dari Allah, maka pencetus kerusuhan itu secara frontal melawan Sang Pencipta sendiri. Konsep bahwa kesempurnaan manusia terletak pada hubungan damai dengan sesamanya ini tidak melawan ajaran manapun juga, karena konsep ini didasarkan pada kodrat manusiawi.

Relasi politik dan moral sebenarnya langsung dan konkret. Hubungan langsung dan konkret tersebut dicetuskan dalam preferensi bukan kekuasaan atau pribadi pemegang kekuasaan (prinsip Machiavelli) melainkan hukum. Intisari kodrat pengertian hukum yang esensial ialah bahwa ia harus adil. Prinsip keadilan melekat dalam cara ada manusia menurut kodrat akal budinya.

Hukum sebagai produk akal budi manusia harus adil, sebab jika tidak hukum itu menyalahi prinsip kodrati akal budi manusia. Hukum tidak adil dari segi moral akan kehilangan daya ikatnya sebagaimana dimaksudkan oleh hukum.

Jika suatu hukum tidak adil toh diberlakukan, dan pelanggaran atas hukum itu dikenai sanksi, sanksi yang bersangkutan tidak ada sangkut pautnya dengan kesalahan moral, melainkan merupakan kesewenangwenangan dari pihak yang memberi sanksi.

Dalam kasus kerusuhan Tuban, para pemrotes hasil pilkada melakukan jalur politik kotor dalam upaya memperjuangkan kekuasaan. Di satu sisi, tindakan bakar-membakar, mereka lakukan karena jalur hukum tidak akan menyelesaikan masalah mereka, namun di sisi lain, cara-cara mereka amoral dan mencederai proses demokratisasi Indonesia. Persoalannya adalah bila hukum belum ditegakkan secara tegas dan adil, maka selama itu pulalah akan terjadi politik kotor. Politik kotor dari Tuban akan menyebar ke daerah lain.

Penulis adalah alumnus STFT Widya Sasana Malang, tinggal di Jakarta

SUARA PEMBARUAN DAILY , Selasa, 09 Mei 2006

Rabu, April 19, 2006

MELATIH DIRI MEMAHAMI YANG LAIN

MELATIH DIRI MEMAHAMI YANG LAIN

Oleh Pormadi Simbolon

Di negeri ini masih sering terjadi pergesekan dan konflik antar umat beragama, konflik antar elite politik ataupun konflik pribadi yang disebabkan kurangnya pemahaman akan keberbedaan yang dimiliki yang lain.

Setiap individu seyogianya perlu melatih diri untuk memahami keberbedaan yang ada pada yang lain, seperti perbedaan agama, suku, golongan ataupun pada perbedaan pendapat dan penerimaan soal kalah dan menang, misalnya dalam pemilu. Sebab ketiadaan pelatihan diri (self training) untuk memahami keberbedaan tersebut akan menimbulkan kecurigaan dan bahkan konflik.

Sepanjang jaman cukup sering terjadi pertikaian dan permusuhan antar umat Kristiani dengan umat Muslimin. Seringkali pula usaha dialog dan kerja sama baik di tingkat tokoh-tokohnya maupun pada tingkat grass root diupayakan, namun konflik tetap masih rentan terjadi. Bahkan sering kali sindiran dan singgungan yang “menjelekkan” agama lain masih terdengar dalam kothbah atau renungan entah di kalangan Kristen maupun di kalangan Muslim.

Padahal betapa besar kerugian yang diakibatkan pertikaian atau konflik tersebut baik secara material, psikologis maupun secara sosial. Pengrusakan gedung ibadah, timbulnya image negatif terhadap agama tertentu dan adanya sekat-sekat pembatas dalam pergaulan sehari-hari di lingkungan masyarakat.

Tidak hanya itu, baru-baru ini, akibat perbedaan hasil jumlah pemilih presiden terpilih dengan yang tidak terpilih tampak jelas masih menimbulkan keengganan pada pihak yang kalah untuk mengakuinya. Konflik kecil masih terjadi pada tataran internal partai pengusung calon presiden yang tidak terpilih. Bahkan sikap saling tuding menuding terjadi, tampak pada munculnya cap “pembusukan partai” terhadap beberapa tokoh dalam Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Keengganan menerima kekalahan dalam Pemilihan Calon Presiden 2004 lalu masih merupakan hal yang sulit dipahami, meskipun tidak boleh tidak, akhirnya semua harus menerima kemenangan presiden terpilih. Sebab kemenangan tersebut diperoleh secara fair dan demokratis.

Tidak jarang pula, perbedaan pendapat dalam suatu forum diskusi berakibat pada renggangnya persahabatan , adanya permusuhan dan bahkan bisa mangakibatkan terputusnya komunikasi dalam waktu yang lama. Keberbedaan pendapat rupanya masih menjadi suatu momok yang ditakuti. Takut tidak rukun, takut tidak harmonis, dan takut tidak ada rasa aman dalam kehidupan bersama.

Barangkali, ketakutan tidak harmonis atau berbeda pendapat merupakan tradisi orang Timur, seperti diyakini kebanyakan orang, meskipun hal ini masih bisa diperdebatkan. Orang masih butuh proses yang lama untuk bisa menerima dan memasuki suatu situasi berbeda pendapat.

Pada tataran kehidupan sehari-hari, karena perbedaan suku, konflik-konflik atau gesekan-gesekan berbau rasial sering terjadi dalam skala kecil. Perbedaan suku tidak jarang pula berakibat pada pembatasan atau penjagaan jarak antara yang satu dengan yang lainnya dalam pergaulan sehari-hari.

Hal ini tampak dari adanya cap-cap negatif terhadap suku tertentu di tengah masyarakat. Padahal cap negatif tidak bisa digeneralisasi atau dikenakan pada semua orang yang berasal dari suku tertentu.

Disinyalir, cap-cap negatif muncul hanya karena ada satu atau beberapa orang yang melakukan tindakan negatif (baca: premanisme, copet, jambret atau rampok) atau karena kebanyakan suku tertentu memiliki profesi tertentu seperti sopir, tukang tambal ban (gelar “ITB” = Institut Tambal Ban), Pembantu Rumah Tangga, TKI di luar negeri atau pun juga tukang becak.

Perbedaan tersebut seyogianya tidak menjadi alat untuk menjelekkan, memusuhi atau menjauhkan yang lain dari kita melainkan menjadi alat untuk mendapat pencerahan yang mendalam untuk memahami realitas sejati. Setiap individu perlu melatih diri memahami, menerima dan supaya bersama-sama membela dan mengejar kebaikan bersama dalam kehidupan bersama pula.

Pertikaian atau konflik yang terjadi selama ini hanyalah karena ketiadaan keinginan atau kemauan untuk melatih diri memahami yang lain, yang berbeda dengan kelompok atau dirinya. Akibatnya perbedaan tetap menjadi perbedaan.

Bulan Ramadhan ini merupakan kesempatan yang baik bagi umat Muslimin maupun umat Kristiani. Umat Kristiani coba melatih diri untuk memahami umat Muslimin yang sedang berpuasa. Umat Kristiani menghormati dengan tidak merokok di tempat umum atau tidak melakukan hal-hal yang mengganggu) mereka yang sedang berbakti kepada Allah lewat bakti berpuasa, doa dan memberi sedekah. Demikian pula sebaliknya bila umat Kristen merayakan Natal, sehingga tercapai keharmonisan dan kerukunan.

Kemenangan Presiden terpilih adalah kenyataan yang harus diterima. Pihak yang kalah pada pemilu secara ksatria semestinya mengakuinya. Tanpa merasa harga dirinya turun atau dijauhi oleh orang lain. Pihak yang kalah harus legawa.

Sikap rasialis adalah sikap yang tidak mau memahami suku lain. Negeri kita ini terdiri ribuan suku yang berbeda-beda. Bukan tidak mungkin sikap rasialis menyeruak ke permukaan.

Pernyataan bahwa semua orang tanpa diskriminasi berhak hidup di bumi ini adalah kesepakatan bangsa-bangsa yang bergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Itu berarti semua orang harus melatih diri memahami orang yang berbeda suku.

Melatih diri bukanlah hal luar biasa. Pelatihan hanyalah merupakan pembiasaan diri. Bisa karena biasa. Pelatihan tersebut butuh komitmen demi keharmonisan hidup bersama.

Pelatihan untuk memahami keberbedaan yang absolut ini akan berhasil jika orang tua menciptakan iklim perbedaan dalam kehidupan sehari-hari dan mengajarkan perlunya memahami adanya perbedaan pada anak-anak dalam keluarga. Mulai dari perbedaan kehendak antar anggota keluarga, perbedaan antara laki-laki dan perempuan hingga pada lingkup besar yaitu lingkungan masyarakat. Sebab pembiasaan pada masa kanak-kanak akan membuahkan sikap pemahaman akan adanya perbedaan pada masa remaja, dewasa yaitu masa terlibat dalam kehidupan masyarakat.

Bila perbedaan masih merupakan “sesuatu yang ditakuti”, maka konflik agama, permusuhan elit politik, gesekan-gesekan rasialis, pertikaian pribadi menjadi taruhannya. Upaya yang mendalam dan yang harus berangkat dari kesadaran diri sendiri adalah upaya melatih diri memahami yang lain.


Oleh: Pormadi Simbolon
Alumni STFT Widya Sasana, Malang

Kamis, April 06, 2006

PNS: BUKAN PELAYAN PARPOL

PNS: BUKAN PELAYAN PARPOL
Oleh Pormadi Simbolon

Baru-baru ini Ketua Umum Golkar Jusuf Kalla dalam pidato politiknya saat peringatan ulang tahun ke-41 Partai Golkar, 26 Nopember 2005 yang lalu,, mewacanakan agar Pegawai Negeri Sipil (PNS) terjun ke kancah perpolitikan nasional. Latar belakang wacana tersebut rasional karena PNS yang rata-rata memiliki SDM (sumber daya manusia) yang lebih baik daripada kalangan swasta harus diberi kesempatan berkiprah dalam dunia politik.

Selain itu, banyak intelektual di jajaran birokrasi yang sangat layak untuk terjun dalam percaturan politik praktis. Pengalaman kebirokrasian, pendidikan dan pelatihan yang tertata secara sistematis menjadi kelebihan tersendiri bagi para insan PNS.

Pernyataan Jusuf Kalla yang adalah Ketua Umum Golkar itu menuai protes. Wacana yang berciri Orde Baru itu langsung ditolak mentah-mentah oleh Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI).

PNS dan Kedudukannya
PNS adalah setiap warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas lainnya dan digaji berdasarkan perundang-undangan yang berlaku (UU No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian).

Dalam Undang-undang yang sama ditegaskan bahwa PNS bekedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan dan pembangunan.

Dalam sejarahnya, PNS membentuk organisasi KORPRI bertujuan sebagai wadah penyaluran aspirasinya. Namun wadah tersebut pernah digunakan sebagai alat atau kendaraan politik untuk meraih kemenangan suara dalam Pemilu pada masa Oede Baru yang lalu.

Dari pengalaman masa lalu yang mencoreng nama baik KORPRI itu, para insan PNS menyadari perlunya kembali ke jati diri dan semangat awalnya yaitu sebagai abdi negara dan masyarakat tanpa diskriminasi. Hal itu dirumuskan dalam Panca Prasetya KORPRI dalam Munas yang diadakan pada tahun 1999, yang berbunyi: (1) Setia dan taat kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. (2) Menjunjung tinggi kehormatan bangsa dan negara serta memegang teguh rahasia jabatan dan rahasia negara. (3) Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat di atas kepentingan pribadi dan golongan. (4) Bertekad memelihara persatuan dan kesatuan bangsa serta kesetiakawanan Korps Pegawai Republik Indonesia dan 5. Berjuang menegakkan kejujuran dan keadilan, serta meningkatkan kesejahteraan dan profesionalitas.
Pelayan Semua, bukan Pelayan Parpol
Bila dilihat dari jati bdirinya, para insan PNS adalah pelayan untuk semua warga negara sesuai dengan bidang masing-masing tanpa diskriminasi atas suku, agama, ras dan golongan. Pegawai Negeri yang terdiri dari Pegawai Sipil, anggota TNI dan POLRI, akhir-akhir ini kembali diajak untuk terjun ke lautan politik praktis.

Berangkat dari pengalaman sejarah, ajakan kembali para PNS memasuki dunia politik tidak berlebihan bila disebut sebagai langkah mundur dan sebuah strategi yang tidak populis dan tidak menjanjikan lagi.

Memperhatikan kenyataan pada masa Orde Baru, KORPRI sebagai pemersatu insan PNS malah mengalami eksistensi yang tidak menguntungkan karena fungsi dan tujuan semula sebagai wadah mempersatukan anggotanya dan menyukseskan program pembangunan nasional serta mewujudkan pelaksanaan peraturan perundang-undangan Pegawai Republik Indonesia berubah menjadi alat atau kendaraan politik Golongan Karya demi meraih kemenangan dalam Pemilu pada waktu itu. KORPRI menjadi milik sekelompok masyarakat dengan aspirasi politik tertentu saja, dan lalu mengakibatkan pelayanan publiknya menjadi diskriminatif. Apakah KORPRI mau kembali jatuh kepada pengalaman masa lalu?

PNS yang berjumlah kira-kira 3,7 juta orang dan bergerak di birokrasi tersebut memang merupakan aset SDM yang patut diperhitungkan Parpol dalam merebut suara rakyat dan berkampanye dalam Pemilu. Namun PNS bisa menjadi batu sandungan alias penghambat pelayanan publik secara adil dan merata bila terjun kembali ke dunia politik.

Ajakan kembali PNS terjun ke dunia politik jelas tidak relevan lagi. Hukum positif yang sudah ada yaitu UU No. 43 Tahun 1999 tentang Kepegawaian dan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2004 jelas-jelas melarang PNS menjadi anggota Parpol atau pengurus Parpol dan justru dengan tegas mau menarik diri dari dunia politik praktis.

Demikian juga dalam UU No. 31 Tahun 2002 dikatakan bila ada PNS yang ingin menjadi anggota Parpol harus keluar dari PNS.

Sangat ironis dan tidak relevan memang, bila wacana penarikan PNS untuk terjun ke kancah perpolitikan nasional digulirkan kembali di era reformasi dan pasca reformasi. Sejak tahun 1998 sudah dikumandangkan bahwa PNS harus menjadi insan pelayan publik dan abdi negara, bukan mendua di tengah kepentingan umum dan kepentingan partai politik.

Semangat reformasi yang begitu indah didengar dan digembar-gemborkan belum lagi terwujud sepenuhnya selama 7-8 tahun terakhir, suatu ajakan untuk kembali ke “semangat” Orde Baru datang menggoda. Di tengah proses perwujudan semangat reformasi dan upaya pemerintah mereformasi birokrasi, mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, melakukan pelayanan publik secara prima tanpa diskriminasi, membangun sikap netral dalam politik demi mengayomi bangsa Indonesia, di situ pulalah muncul sebuah semangat lama yang ditentang insan-insan reformis. Ialah semangat penarikan kembali para insan PNS terjun ke dunia politik dan jelas-jelas tidak sehat bagi instansi birokrasi dan pemerintahan.

Citra PNS yang sering diidentikkan sebagian orang sebagai pelaku tindak korupsi harta negara secara pelan-pelan sedang proses menuju perubahan ke citra PNS yang bersih dan berwibawa, di saat itu pulalah PNS hendak dibawa kembali kepada keadaan yang semakin memperburuk citra PNS itu sendiri. Dengan masuknya para insan PNS ke dunia politik, itu berarti mereka harus berperan ganda dimana dua kepentingan yang saling berbeda harus mereka lakoni.

Yang paling mendasar dari jati diri para insan PNS adalah kedudukannya sebagai abdi masyarakat dan abdi negara yang hanya menjalankan kebijakan dan keputusan yang ditetapkan dalam undang-undang kenegaraan yang sah, entah siapapun pimpinan pemerintahan yang sah pula dan pengganti-penggantinya. Jadi para insan PNS beserta wadahnya KORPRI, bukanlah pelayan Parpol tertentu atau Golongan Karya versi Orde Baru tetapi pelayan semua dan diperuntukkan bagi semua warga negara dan masyarakat Indonesia.


Penulis adalah insan PNS, tinggal di Jakarta
Powered By Blogger