Trima kasih mengunjungi blog kami!

Para pengunjung yth. semua isi blog ini ditulis atau disusun atas kemauan pribadi. Itu berarti blog ini berisi aneka pendapat, pemahaman, persepsi pribadi, dan pemikiran pribadi atas lingkungan kerja dan hidup sekitarnya. Harapan kami isi blog ini bermanfaat bagi pengunjung yang memerlukannya. Salam, GBU.

Rabu, April 19, 2006

"BERSAMA KITA BISA?"

“BERSAMA, KITA BISA?"

SBY pernah mengutarakan, sekarang ini sudah tiba saatnya untuk merajut lagi kebersamaan. Tendensi untuk saling menjatuhkan satu sama lain tidak diperlukan lagi. Hanya dengan kebersamaan, pembangunan bangsa dapat berjalan.

Kebersamaan kembali muncul kepermukaan sebagai sebuah harapan akan tercapainya cita-cita bersama. Kebersamaan itu indah dan bermakna inklusif.

Kebersamaan sebagai satu keluarga menjadi dasar filosofis terdalam dari pendirian Indonesia merdeka. The Founding Fathers (Soekarno, Soepomo, dan Yamin) menyatakan bahwa karakter natural Indonesia adalah kebersamaan sebagai satu keluarga, di samping karakter yang masih berkaitan satu sama lain: gotong-royong, kebangsaan, kerakyatan, religiusitas dan seterusnya.

Karakter natural tersebut akhirnya disepakati sebagai prinsip pendirian Republik Indonesia. Kebersamaan sebagai sebuah keluarga atau kekeluargaan sebagaimana kita lihat dalam hidup keluarga sehari-hari, dimana masing-masing anggota keluarga biasanya saling membagi kegembiraan bersama dan gotong-royong dalam hidup. Meskipun fungsi dan tugas pemimpin dalam keluarga sebagai seorang “Bapak” tidak persis sama dengan pemimpin dalam negara. Sebab dalam keluarga sering kali diandaikan aturan dan tugas masing-masing anggota keluarga sudah diketahui, tetapi dalam negara tidaklah demikin.

Prinsip kebersamaan sebagai karakter sejati bagsa Indonesia semakin lama terasa semakin pudar. Selama Soeharto memerintah, kebersamaan itu tampak di permukaan saja atau di pidato-pidato presiden di layar kaca, namun sebenarnya rakyat diperlakukan nyaris seperti hamba, bukan sebagai “saudara” dalam kebersamaan sejati.

Pasca lengsernya Soeharto, karakter kebersamaan tersebut semakin hilang ditelan krisis politik berkepanjangan. Akibatnya berbagai konflik seperti konflik etnis dan religius yang serius dialami bangsa Indonesia. Keadaan realistis Indonesia nyaris kembali pada situasi homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi sesamanya) dalam istilah Hobbes. Hingga pada pemerintahan Gus Dur (Abdurrahman Wahid) krisis politik itu masih berlanjut. Situasi bangsa Indonesia mulai relatif stabil pada kurang lebih dua dan tiga tahun terakhir, yaitu pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri.

PRINSIP kebersamaan berhembus kembali melalui suara Calon Presiden, Susilo Bambang Yudhoyono yang hampir pasti sebagai Presiden Indonesia untuk lima tahun yang akan datang. Sebuah angin penyejuk bukan angin ketakutan bagi semua komponen bangsa, terlebih bagi golongan minoritas atau mereka yang menjadi korban konflik etnis dan religius selama lima sampai tujuh tahun yang lalu.

Pudarnya prinsip kebersamaan itu karena realitas kehidupan polis di Indonesia terjebak pada skema atau citra pengkotak-kotakan bangsa. Pengkotak-kotakan tersebut tampak di saat munculnya isu-isu jawa-luar jawa, pribumi-nonpribumi, mayoritas-minoritas, dan seterunya.

Sudah saatnya pengkotak-kotakan tersebut dilenyapkan dan dihapuskan dari khazanah pikiran kita. Yang ada sekarang adalah kebersamaan sebagai sebuah keluarga, ialah kekeluargaan dalam negara dan bangsa Indonesia.

Menghilangkan pengkotak-kotakan, bukan berarti menghilangkan keberbedaan dalam kehidupan sebagai bangsa. Penghilangan tersebut bukan berarti pula peredusiran pada sistematisasi keseragaman dalam kehidupan berbangsa (dalam konsep modernisme), tetapi pada konsep keanekaragaman (dalam konsep postmodernisme).

Pluralisme atau multikultural (kemajemukan) bangsa tetap eksis di dalam kebersamaan untuk menggapai the good life bangsa Indonesia. Harapan untuk merajut kembali kebersamaan tersebut semakin urgen untuk diprakarsai oleh Pemimpin Nasional yang akan datang.

Kebersamaan itu memang sudah mulai terwujud ketika kita berhasil menyelenggarakan pemilihan presiden secara langsung. Pada titik ini, kita mengawali prinsip kebersamaan yang sukses. Kita mendapat pujian dari dunia internasional. Harapan kita, kebersamaan ini akan berlangsung dalam pemerintahan eksekutif, terutama kebersamaan dengan lembaga legislatif dan judikatif untuk menggapai Indonesia Baru yang demokratis. Hasil akhir dari kebersamaan tersebut akan kasat mata ketika hidup rakyat menjadi lebih baik, kesejahteraan umum dirasakan bersama dan di mata Internasional, Indonesia semakin dihargai dan disegani.

Dalam merajut kembali kebersamaan dalam membangun Indonesia, Pemimpin Nasional sebaiknya tidak jatuh pada konsep ‘asal aman, asal sejahtera, asal damai’ padahal realitas sejatinya tidaklah demikian. Pemerintah yang akan datang mestinya menanamkan pada khazanah pikirannya bahwa mereka duduk di pemerintahan karena konvensi rakyat (convention of the people). Artinya, rakyat bersepakat memilih mereka sebagai pemimpin nasional dan sebagai wakil rakyat, karena mampu membawa dan mewujudkan kebaikan atau kesejahteraan bersama (bonum commune).

Pada titik inilah, pemimpin nasional penting mengedepankan nilai-nilai universal kemanusiaan, tanpa mengesampingkan apa yang merupakan karakter khas/ partikular/ lokal dari tata hidup bersama. Semoga motto: “Bersama Kita Bisa” akan terwujud.



Oleh: Pormadi Simbolon
Alumnus STFT Widya Sasana Malang
Tinggal di Jakarta

Tidak ada komentar:

Powered By Blogger