Dari kiri ke kanan: Sekjen KWI, Ketua KWI dan Dubes Vatikan. |
Dirjen Bimas Katolik, Semara Duran Antonius |
Dari kiri ke kanan: Sekjen KWI, Ketua KWI dan Dubes Vatikan. |
Dirjen Bimas Katolik, Semara Duran Antonius |
![]() |
FX Suharno dalam suatu kesempatan menjadi Narasumber |
Dari kiri ke kanan: Mereka yang dilantik,Semara Duran Anotnius, Dirjen Bimas Katolik, FX SUharno, Direktur Pendidikan Agama Katolik dan Drs. Natanael Sesa, M.Si sebagai Direktur Urusan Agama. |
Suatu organisasi atau perusahaan membutuhkan pemimpin yang rela berkorban untuk mencapai visi dan misinya, bukan pemimpin yang mengorbankan orang lain apalagi anak buahnya. Sebab pemimpin sejati adalah pemimpin yang rela berkorban, bahkan mengorbankan diri dan nyawanya bagi sesamanya demi perubahan ke arah yang lebih baik.
Dalam dunia kepemimpinan tradisional, kepemimpinan kerapkali dipandang dari hubungan antara pemimpin dan karyawan (leadership and followership) semata berlandaskan reward yang diberikan. Faktor utama yang mendorong karyawan untuk bekerja karena dibayar. Kontrol atas proses kerja terpusat pada sang pemimpin. Kepemimpinan demikian masih banyak kita temukan di sekitar kita. Bila ada sesuatu yang tidak beres dalam organisasi atau perusahaan, maka yang disalahkan, dipecat atau dikorbankan adalah orang lain.
Kepemimpinan yang mengubah
Perkembangan jaman dewasa ini menunjukkan bahwa kepemimpinan tradisional harus didobrak dengan kepemimpinan gaya baru. Gaya kepemimpinan baru mengedepankan perubahan dan menekankan peran pemimpin yang menetapkan dan mengarahkan visi dan memastikan bahwa kinerja organisasi berubah.
Pemimpin seperti itu merupakan pemimpin dengan impian besar, berani membayar harga, dan efektif, dengan birokrasi yang lentur. Dia mempunyai visi dan dan dalam pikirannya tidak ada visi tanpa kesadaran akan perubahan. Perubahan adalah hal tak terelakkan. Sebab, setiap individu, organisasi, dan bangsa yang tumbuh akan selalu ditandai oleh perubahan- perubahan signifikan. Di dunia ini telah lahir beberapa pemimpin negara yang berkarakter dan membawa perubahan bagi negerinya, berani mengambil keputusan berisiko demi menyejahterakan rakyatnya. Mereka adalah Presiden Evo Morales (Bolivia), Ahmadinejad (Iran), dan Hugo Chavez (Venezuela).
Teladan Kepemimpinan
Namun, satu hal yang patut dikedepankan, bahwa pemimpin di dunia ini belum bisa menandingi kepemimpinan dalam Kitab Suci khususnya dalam Perjanjian Baru. Kepemimpinan tersebut ditampilkan Yesus Kristus bagi orang yang percaya kepadaNya.
Yesus Kristus adalah seorang pribadi ”unik” yang dua ribu tahun lebih silam telah meletakkan dasar-dasar kepemimpinan yang rela berkorban demi kasih dan pelayanan. Yesus Kristus mewariskan nilai-nilai luhur kepemimpinan yang berguna bagi kesejahteraan/ kemaslahatan hidup bersama. Itulah makna yang dapat direnungkan dan dapat menjadi inspirasi bagi kepemimpinan yang rela berkorban dan melayani, siapapun dia.
Hakekat kepemimpinann Yesus yang tampak dalam Perayaan Paskah adalah perubahan: dari gelap ke terang, dari putus asa ke harapan, dari kematian ke kehidupan, dari perpecahan ke keutuhan! Untuk itu perlu pengorbanan dan pelayanan.
Seturut teladan Yesus Kristus, seyogiyanya para pemimpin bangsa-bangsa di dunia meneladani kepemimpinan Yesus yang melayani! Juga bangsa ini mendambakan pemimpin-pemimpin yang rela berkorban demi kepentingan umum dan mengupayakan bonum publicum (kesejahteraan umum), lebih dari sekadar kepentingan pribadi dan kelompok.
Teladan kepemimpinan Yesus ditampilkan dalam sengsara, wafat dan kebangkitanNya yang dikenangkan sebagai sebuah kemartiran yang mendatangkan penebusan dan keselamatan. Keteladanan ini selayaknya menjadi salah satu inspirasi bagi manusia dan para pemimpin akan memimpin sesamanya.
Salah satu ciri kepemimpinan yang melayani warisan Yesus Kristus terungkap dalam sikap yang mengedepankan kasih. Sebagai seorang pemimpin, Yesus Kristus giat memperjuangkan dan menggelorakan semangat berbuat kebaikan mencegah perbuatan jahat. Kasih sejati selalu mengalir dan meluap dari hati-Nya yang mengasihi dan menyayangi; bukan dari hati yang membenci dan mendendam!
Mendoakan lawan-lawannya
Bahkan, ketika para lawan-Nya menangkap, menghajar, mencambuki, mengolok-olok, meludahi dan menyalibkan-Nya di Golgota, Yesus Kristus masih bisa mendoakan mereka dan berseru, ”Ya Allah, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang telah mereka perbuat!” (Lukas 23:34).
Corak penghayatan kepemimpinan Yesus Kristus tidak dinodai dengan hasrat dendam; sebaliknya, ditandai oleh sikap mengutamakan kasih dan pelayanan. Sikap itu dihayati Yesus Kristus hingga titik darah penghabisan di kayu salib. Peristiwa salib adalah puncak kasih dan kesetiaan Yesus Kristus pada komitmen untuk melayani dan memberikan yang terbaik kepada umat manusia, yakni keselamatan dan kesejahteraan lahir dan batin!
Pemimpin yang mengorbankan nyawa
Pada kayu salib, Yesus Kristus membuktikan dan menghayati kepemimpinan-Nya dalam kerelaan berkorban bagi umat manusia. Yesus berkorban hingga titik darah penghabisan melalui wafat-Nya di kayu salib hina, bukan demi kepentingan-Nya sendiri, melainkan demi kasih untuk umat manusia. Dari bilur-bilur luka-Nya, Ia menawarkan kesembuhan bagi luka-luka umat manusia akibat dosa.
Saat ini, kita tidak membutuhkan pemimpin yang tidak berkorban. Kita tidak membutuhkan pemimpin yang mengorbankan anak buahnya atau bawahanya dengan memecat atau menyalahkan sepihak.
Yang kita butuhkan adalah pemimpin-pemimpin yang rela mengedepankan kasih dan pengorbanan melalui empati dan belarasa kepada sesama manusia, sebagaimana telah dicontohkan Yesus Kristus.
Saat sesama diperlakukan secara tidak adil, manakah belarasa, kasih dan pengorbanan kita? Saat sesama manusia mengulurkan tangan untuk bersahabat, balasannya ditampik marah? Saat sesama membutuhkan pelayanan kita, malah membiarkannya merana tidak peduli? Tidakkah teladan kasih dan pengorbanan Yesus Kristus mengetuk hati kita?
Marilah meneladani kepemimpinan yang mengubah dari para tokoh dunia, yang lebih baik lagi meneladani kepemimpinan Yesus Kristus (Isa Almasih)
(dari berbagai sumber)
Ambil contoh kritik kepada DPR. Kritik bahwa lembaga DPR atau dulu disebut Parlemen Indonesia kekanak-kanakan pernah dilontarkan oleh mantan Presiden Gus Dur (Abdurrahman Wahid).
Kritik dengan cap kekanak-kanakan oleh Gus Dur bagi anggota DPR terjadi karena anggota DPR kerap beradu jotos alias berantam di gedung tempat DPR terhormat. Karena kritik Gus Dur itu, mungkin menjadi sala satu penyebab bahwa masa pemerintahannya tidak bertahan lama.
Contoh lain, kritik senada dengan sebutan kekanak-kanakan itu juga pernah dilontarkan pers luar negeri kepada Parlemen Indonesia sebagai kritik (1953)(lih.A.S.Sudiarja,SJ, Karya Lengkap Driyarkara: Gramedia: 2006, hlm.XXX). Pers Barat (tidak disebutkan nama pers darimana) menyebut bahwa Parlemen Indonesia itu childish (kekanak-kanakan), para pemimpin dan pegawainya tidak cakap, tidak jujur, terlalu banyak korupsi dan sebagainya.
Mendengar kritik (kekanak-kanakan), terlebih lagi bila dijadikan cap bagi kita akan menyakitkan. Kritik ini semestinya menjadi permenungan semua pemimpin di negeri ini.
Sebab nyata-nyatanya dewasa ini, kritik pers luar negeri tersebut masih relevan bagi bangsa kita. Masih banyak pemimpin entah di pusat atau di daerah, demikian juga anggota DPR dan aparatur negara lainnya yang masih belum optimal mewujudkan kesejahteraan rakyat. Sejumlah pegawai negeri tidak produktif, hanya datang ke kantor, duduk, nongkrong lalu menunggu absen dan pulang.
Malahan karena penegakan hukum lemah, kasus korupsi tetap merajalela. Kasus yang lain belum tuntas (kasus Bibit-Candra), kasus Gayus muncul menampar wajah penegak hukum.
Elit partai politik sibuk mempersiapkan pencitraan diri, sementara rakyat korban bencana belum pulih sepenuhnya dari penderitaannya.
Yang menjadi korban adalah rakyat kecil karena ulah yang tidak bertanggung jawab dan kekanak-kanakan oleh oknum aparatur negara.
Untuk itu, kritik semacam kritik dari pers luar negeri yang pedas tersebut perlu diterima bukan dengan emosi atau diabaikan saja.
Pada jamannya, Prof.Dr. N. Driyarkara memberi pendapat lewat tulisan di sebuah majalah "Warung Pojok": 'Orang sini mendengar berondongan kritik pedas macam itu tidak boleh marah atau juga tidak boleh tidur saja. Orang yang kalau dikritik lalu marah, membantah, tidak akan memperbaiki tindakannya. Sebaliknya, jika nekad, tidak peduli, ia akan celaka sendiri. Kritik Luar Negeri memang keras. Moga-moga saja orang sini tidak keras kepala' (Diarium Driyarkara, 20-4-1954, ibid. Sudiarja SJ).
Masukan atau pandangan Driyarkara tersebut benar-benar kena di hati jika kita membacanya dengan sepenuh hati. Namun, akan berlalu sia-sia begitu saja bila dibaca dengan setengah hati.
Mari kita peduli akan kritik dan menindaklanjutinya, bukan dengan marah atau pura-pura tidak dengar.
Powered by Telkomsel BlackBerry®