Trima kasih mengunjungi blog kami!

Para pengunjung yth. semua isi blog ini ditulis atau disusun atas kemauan pribadi. Itu berarti blog ini berisi aneka pendapat, pemahaman, persepsi pribadi, dan pemikiran pribadi atas lingkungan kerja dan hidup sekitarnya. Harapan kami isi blog ini bermanfaat bagi pengunjung yang memerlukannya. Salam, GBU.

Jumat, Agustus 13, 2010

JANGAN MALU AKUI DIRI GURU AGAMA

Jangan malu mengakui sebagai Guru Agama, apalagi sebagai Guru Agama Katolik. Tugas anda mulia. Tanggung jawab anda di Pendidikan agama bukan hanya untu mentransfer ilmu tetapi bagaimana mengubah perilaku anak didik dengan kompetensi dan teladan dari seorang Guru Agama Katolik. Demikian salah satu pesan pertemuan Pembinaan Guru Agama Katolik Tingkat Menengah Lokal Provinsi Sumatera Selatan (17-20 Mei 2010) di Palembang.

Pertemuan yang berlangsung selama kurang lebih empat hari itu dan diikuti 35 orang peserta Guru Agama Katolik (GAK) dan para pembina agama, menurut Ketua Panitia, Drs. Alphonsus Supardi, MM adalah agar peserta pertemuan dapat meningkatkan mutu seorang Guru Agama Katolik sehingga kepercayaan diri dan motivasi/spiritualitas meningkat dalam melaksanakan tugas dan karyanya.

Sementara itu Kepala Kanwil Kementerian Agama Provinsi Sumatera Selatan dalam sambutan yang dibacakan oleh Bapak H. Amri, Kabag TU berpesan, bahwa sebagai GURU, tugas mereka bukan hanya mengajar, tetapi terutama sebagai pendidik yang memberi teladan: menanamkan pendidikan nilai, sikap mental yang positif, membentuk peserta didik yang beriman dan bertakwa, dan berakhlak mulia dan toleran. Hal itu penting mengingat sekarang ini kondisi pendidikan kita masih memprihatinkan.

Oleh karena itu, didorong oleh niat iklas dan berangkat dari situasi pendidikan nasional yang memprihatinkan, Pemerintah akan menempuh berbagai upaya meningkatkan mutu pendidikan yang dicirikan dengan pendidikan yang tanggap pada situasi global, pendidikan yang mengembangkan potensi peserta secara utuh, mengembangkan kemampuan belajar terus menerus.

Senada dengan Kepala Kanwil tentang keadaan pendidikan nasional, Dirjen Bimas Katolik, yang diwakili Direktur Pendidikan Agama katolik, Drs. Natanael Sesa, M.Si, memberikan catatannya. Catatan tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan (PAPK) dengan kenyataan hidup sekarang ini: masih pada taraf pengetahuan belum pada pembentukan sikap dan kepribadian; metode pembelajaran belum menyentuh hati dan pengaruh lingkungan yang kurang mendukung.

Upaya Perbaikan

Untuk itu Pemerintah dalam hal ini Ditjen Bimas Katolik melakukan pembinaan antara lain melalui acara semacam ini dengan tujuan meningkatkan mutu pembelajaran pendidikan agama Katolik dengan keyakinan bahwa guru adalah faktor dominan dalam mewujudkan mutu pendidikan. Kalau guru tidak beriman, bagaimana muridnya bisa beriman. Guru akan menjadi ukuran.

Untuk itu lanjutnya, Pemerintah berharap GAK menambah wawasan tentang tugas dan fungsi mereka sebagai GAK. Mereka memahami kondisi riil masyarakat kita. Mereka seyogiyanya menggunakan kesempatan ini menjernihkan kembali motivasi sebagai GAK (spiritualitas). Mereka saling berbagi pengalaman, dan saling menguatkan satu-sama lain untuk menjadi lebih kreatif serta menghargai panggilannya sebagai GAK.

Situasi Aktual

Sebagai Direktur Pendidikan Agama Katolik dan sebagai Narasumber Bapak Drs. Natanael Sesa, M.Si memaparkan materi tentang Kebijakan Pemerintah di Bidang Pendidikan dan Kebijakan Teknis di Bidang Pendidikan Agama Katolik Kebijakan Pemerintah di Bidang Pendidikan dan Kebijakan Teknis di Bidang Pendidikan Agama Katolik. Menurutnya, berangkat dari tantangan aktual seperti adanya pergeseran nilai persatuan dan kesatuan bangsa menjadi pengedepanan kepentingan kelompok menguat/keretakan hidup berbangsa, adanya formalisme ggama yang lebih mengutamakan simbol daripada perbuatan/ aktualisasi nilai/ajaran agama. Selain itu nilai-nilai Pancasila menjadi kabur atau dikaburkan, dan yang lebih parah terjadi kemerosotan moral sekaligus fungsi hati nurani semakin pudar.

Salah satu upaya untuk perbaikan keadaan bangsa yang dilakukan Pemerintah dalam hal ini Ditjen Bimas Katolik adalah melakukan tingakan konkrit antara lain melalui pembinaan GAK yaitu peningkatan motivasi spiritualitas GAK melalui retret. Upaya lain adalah melalui pembinaan, GAK dapat mengembangkan wawasan tugas sebagai GAK melalui pembinaan profesionalitas; menyiapkan Kader Katolik melalui latihan kepemimpinan (kaderisasi) mahasiswa umum/PTAKS; memperluas akses pendididkan keagamaan Katolik melalui pemberian ijin pendirian Perguruan Tinggi Agama Katolik Swasta, ; meningkatkan kualifikasi pendidikan GAK melalui dual modes system, mengupayakan sertifikasi GAK dan memberikan bantuan honor dan beasiswa.

GAK yang militan

Sementara itu Narasumber lain, Romo Blasius Sukoto,SCJ, mengatakan semua orang Katolik termasuk seorang Guru Agama Katolik yang oleh karena menerima pembabtisan yang sama dipanggil untuk menjadi pewarta, dengan prinsip cerdas secara intelektual, dewasa secara emosional, beriman mendalam. Banyak orang pintar, namun emosi tidak digarap menjadi tidak berdaya guna dan memadai. Lanjut Romo Blasius yang aktif di bidang pembinaan kepemudaan di Keuskupan Palembang , Guru Agama Katolik diharapkan sebagai pewarta dan pendidik yang militan. Militansi dibangun dengan disiplin dan integritas diri yang tinggi di bidang katolisitas.

Narasumber lain, Pastor FX. Budi Haryono, S.Th, Bac,Tdg, SCJ, yang juga sebagai dosen di berbagai perguruan tinggi di Palembang, menegaskan keempat kompetensi yang harus dikembangkan seorang GAK adalah pertama kompetensi Kepribadian menyangkut integritas, dewasa, berwibawa, arif, berakhlak mulia. Kedua, kompetensi pedagogik menyangkut analisis, perencanaan, pelaksanaan, pengembangan, penilaian/evaluasi. Ketiga, kompetensi profesionalitas menyangkut penguasaan materi, pengayaan bahan, pengusahaan metode. Keempat, kompetensi sosial menyangkut human relation, komunikasi segala arah, dan adaptabilitas.

Menurutnya, model yang bisa dijadikan teladan dalam membangun keempat kompetensi ini adalah Yesus Kristus. Semua kompetensi ini ada dalam diri Sang Guru kita yaitu Yesus Kristus. Antara karya dan perbuatan adalah satu dalam diri Yesus Kristus. Sebagai GAK, kita dipanggil mengikuti Dia, membangun relasi personal dan menimba pengetahuan langsung dari Sang Jalan, kebenaran dan Hidup itu. Kemudian membagikan kompetensi itu kepada para peserta didik. Dialah model kita dalam mengajar dan berbuat.

Khas Pendidikan Agama Katolik

Terkait standar materi pendidikan agama Katolik, menurut Narasumber lain,Yustinawati, M.Pd, bahwa standar kompetensi dan kompetensi dasar pendidikan agama Katolik harus mendapat persetujuan pimpinan Gereja melalui Komisi Kateketik KWI. Soal isi ajaran agama Katolik merupakan otoritas hirarki Gereja Katolik. Gereja menerbitkan suatu pedoman kurikulum beserta indikator pencapaian kompetensi yang diperlukan dalam kegiatan pembelajaran dan penilaian yang membantu para Guru dalam pembelajaran di kelas. Itulah kekhasan pelajaran agama Katolik.

Terkait metodologi pembelajaran, Yustinawati yang juga sebagai dosen di salah satu perguruan tinggi di Palembang, metode pembelajaran agama Katolik dan pengorganisasiannya harus menyentuh seluruh diri manusia (kogitif, afektif, psikomotorik).Untuk itu maka perlu metode khusus yang menyentuh seluruh aspek. Seluruh rencana pembelajaran (RPP) harus memperhatikan ketiga aspek tersebut secara aktif, kreatif, inovatif dan menyenangkan.

Untuk itu, dalam pembelajaran perlu memperhatikan prinsip-prinsip dalam metode pembelajaran antara lain tidak cukup ceramah, tapi langsung mengalami langsug nilai yang diajarkan; berikan kesempatan untuk refleksi (masuk dalam dirinya, memikirkan apa yang dialami); teguhkan peserta didik untuk mencoba melakukan apa yang dipelajari; biasakan melaksanakan perilaku-perilaku bernilai agar menjadi perilakunya sendiri; sediakan model nilai/teladan bagi peserta didik anda seperti model Yesus memberi teladan sikap ; latihlah peserta didik sampai kompeten dan memiliki keterampilan sosial yang baik.

Beriman dalam Masyarakat Dinamis

Sebagai GAK yang hidup di jaman penuh tantangan ini, menurut Romo Guido Suprapto,Pr, maka ia dalam karya pendidikan agama Katolik harus berlandaskan ajaran iman Katolik, menghidupi spiritualitas Katolik, memantapkan mentalitas katolisitas dan berdasarkan arah dan orientasi pendidikan Katolik pula.

Romo yang aktif bertugas di salah satu Komisi Keuskupan, menegaskan beriman dalam masyarakat dinamis antara lain, seorang GAK perlu pertama, mengembangkan iman inklusif yang menjunjung persatuan dan persaudaraan yang tulus, Gereja harus mengedepankan dialog, menghargai perbedaan. Kedua, mengedepankan pendidikan iman yang mendorong pengakuan pluralitas budaya, agama, etnis, bahasa, dan lain-lain sebagai rahmat Tuhan. Ketiga, Iman yang mendorong penghargaan terhadap martabat seorang manusia yang berarti membangun hidup bersama yang damai dan adil. Keempat, membangun iman yang mendorong perjuangan demi kebaikan bersama (bonum publicum/ bonum commune). Kelima, membangun iman yang mendorong perjuangan tanpa kekerasan.Tujuan baik tidak menghalalkan cara.

Pada akhir pertemuan, semua peserta merasakan manfaat pertemuan ini. Hal ini paling tidak diakui Romo Mariyanto, yang mewakili para peserta GAK memberikan pesan dan kesan sehabis pertemuan. “Pertemuan ini menambah wawasan. Semua acara berjalan dengan baik dan diikuti para peserta dengan tekun. Kami sangat berterima terimakasih atas kerjasama pemerintah dan Gereja Katolik. Pada pertemuan ini kami mendapat semangat dan peneguhan kembali akan tanggung jawab kami sebagai GAK dan utusan Allah setelah pertemuan ini. Semoga kami menjadi percaya diri sebagai GAK di lapangan”, demikian tandas Romo yang aktif berkarya di bidang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan Katolik.

Sementara itu dalam penutupan acara, Semara Duran Antonius, Sekretaris Ditjen Bimas Katolik yang mewakili Dirjen Bimas Katolik, menegaskan sebagai GAK tugas anda merupakan tanggung jawab besar. Para orang tua bersedia menyerahkan anak-anak mereka menjadi anak didik anda, karena mereka percaya, anda GAK yang mampu mengajar dan mendidik anak-anak mereka menjadi anak-anak pintar, berakhlak mulia, terampil dan beriman. Jadi ingatlah, pendidikan agama bukan hanya transfer ilmu tetapi juga bagaimana mengubah perilaku anak didik. Inilah tugas mulia kita. Karena tugas mulia anda itu, para GAK tak perlu minder atau malu mengakui diri sebagai GAK. Saya mendengar bahwa banyak guru agama malu atau kurang percaya diri mengakui diri sebagai guru agama. (Pormadi Simbolon).

Jumat, Juli 09, 2010

Suami Cut Tari Yang Tegar dan Setia

Pasti banyak orang menganggap Suami Cut Tari, Yohanes Joesoef Subrata, sebagai pria bodoh atau DKI (di bawah ketiak istri) karena memaafkan istrinya yang berbuat salah (asusila di sebuah video porno yang beredar luas). Namun tidak sedikit juga orang mengagumi ketegaran suami Cut Tari ini.

“Saya akan selalu mencintai istri saya sendiri dan melindungi istri saya sampai kapan pun dan itu tidak pernah luntur,” tegas Joesoef kepada para wartawan seperti dikutip wartawan Kompas Entertainment.

Dari kacamata manusiawi, siapa sih yang tegar melihat istrinya sendiri berbuat asusila dengan dengan laki-laki lain? Yang mestinya lebih membuat marah Joesoef, perbuatan asusila istrinya itu tersebar secara nasional di seantero jaga melalui berbagai media terutama media internet dan bluetooth handhone. Sebagai seorang lelaki dan manusia biasa, pastilah akan timbul niat untuk menceraikannya dan mencari perempuan lain yang lebih baik.

Namun itu tidak ia lakukan. Ia memaafkan istrinya dan tidak akan menceraikannya. Bahkan ia berkata, “Kita manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan,” tegasnya seperti dikutip dari Kompas Entertainment.

Biasanya perempuan yang biasa memaafkan suaminya bila berselingkuh. Namun pada Joesoef terjadi yang luar biasa tanpa ada gengsi dan malu pada apa kata orang atas perbuatan istrinya. Ia luar biasa.

Sikap Suami Cut Tari pantas dikagumi: mau memaafkan istrinya, setia dan tegar mendampingi istri ketika menghadapi berbagai masalah, kokoh dalam imannya, menegakkan keutuhan keluarga demi kebaikan keluarga.

Pasti berat untuk tegar bagi seorang pria di saat istrinya berselingkuh, namun kalau iman kokoh maka maaf pun bisa dilakukan. Namun tidak gampng. Entah apapun agamanya, sikap suami Cut Tari pantas dikagumi. (kompasiana.com/pormadi)

Rabu, Juni 16, 2010

Publik Tahu Ada Fasilitator Pemerintah bagi Umat Katolik Indonesia

Baru saja berakhir Musabaqoh Tilawatil Qur’an (MTQN) 2010 bersamaan dengan BENGKULU EXPO 2010 di kota Bengkulu dari tanggal 3-12 Juni 2010, banyak hal-hal menarik yang saya dapatkan, setidaknya menurut pendapat saya yang mendapat tugas untuk menjadi petugas Pameran dari Bimas Katolik Kementerian Agama RI.



Setidaknya, menurut pengalaman saya, publik yang mengunjungi awalnya belum tahu bahwa Pemerintah ternyata menyediakan pelayanan bagi semua umat beragama di Indonesia (setidaknya 6 agama resmi yang diakui), pada akhirnya mereka tahu. Memang, selama ini Kementerian Agama RI dipandang publik seolah-olah hanya menjadi fasilitator bagi umat Islam di Indonesia.




Setelah melihat stand Kementerian Agama RI, ternyata di sana ada pameran dengan stand-stand khusus seperti: Stand Ditjen Bimas Katolik, Stand Ditjen Bimas Islam, Stand Ditjen Bimas Kristen, Stand Ditjen Bimas Hindu, Stand Ditjen Bimas Budha dan kebetulan untuk Stand Ditjen Bimas Konghucu belum diadakan karena belum terbentuk unit kerjany di kantor Kementerian Agama RI.




Seturut tugas saya yang berada pada Stand Ditjen Bimas Katolik, kami memmaerkan:buku produk Bimas Katolik (Sejarah Ditjen Bimas Katolik, Kesepakatan Timika dan Palembang, Hasil Pertemuan Konsultasi Pejabat Pusat dan Daerah, Kiat Kepemimpinan Visioner); Buku-buku tentang Filsafat dan Teologi (Kerohanian Katolik); Majalah Bulletin Bimas Katolik; Slide: foto-foto kegiatan Ditjen Bimas Katolik; Brosur berisi Visi-Misi Ditjen Bimas Katolik.




Bersama teman saya yang bertugas (Niko, Hajar, Paskalis) kami bertugas menjaga stand Ditjen Bimas Katolik dari jam 10.00 WIB s.d. 21.00 WIB, membagikan buku atau majalah secara gratis bila pengunjung membutuhkan, memberikan penerangan atau penjelasan bila para pengunjung mengajukan pertanyaan.




Antusiasme pengunjung memuaskan. Hal ini terlihat dari buku yang berisi tentang filsafat, teologi, kerohanian Katolik habis diambil oleh pengunjung, yang memang secara gratis diperuntukan untuk pengunjung. Juga sebagian produk Bimas Katolik habis diambil pengunjung: yang masih tinggal Kesepakatan Timika, Kesepakan Palembang dan Kiat Kepemimpinan Visioner oleh Stef Agus. Termasuk majalah Bulletin habis diambil pengunjung.




Kebanyakan peminat buku adalah dari kalangan non-Katolik seperti para mahasiswa STAIN Bengkulu seperti terlihat dari buku tamu.




Catatan




Secara umum minat pengunjung terhadap Stand Kementerian Agama RI amat antusias, hal ini tebrukti dari buku tamu yang ada lebih dari ratusan orang yang mengisi buku tamu.




Pengunjung beragama Katolik sejauh pengamatan kami hanya sedikit, bisa dihitung dengan jari.
Kebanyakan peminat buku atau majalah adalah para mahasiswa dari STAIN Bengkulu, kemungkinan besar dipakai untuk referensi dalam tugas perkuliahan sekolah.




Beberapa pengunjung beragama Islam sangat antusias untuk mengetahui tentang agama Katolik dan perbedaan agama Katolik dan agama Kristen.




Kesan




Kesan positifnya, pameran seperti ini menjadi sarana strategis dalam mempromosikan keberadaan Ditjen Bimas Katolik dan Bimas lainnya, agar mata publik terbuka bahwa di Kementerian Agama RI itu semua agama difasilitasi Pemerintah.




Kesan negatifnya, sarana yang transportasi kurang memadai . Lokasi penginapan dan lokasi pameran cukup jauh, sehingga membutuhkan biaya tambahan dalam perjalan pergi dan pulang ke dan dari Pameran.




Rekomendasi




Pengunjung beragama Katolik hanya beberapa orang. Untuk itu perlu sosialisasi oleh Pembimas kepada Gereja Katolik setempat.




Menurut kami, alangkah baiknya jika ke depan Ditjen Bimas Katolik ditetapkan ikut menjadi peserta Pameran besar seperti di Bengkulu Expo 2010 menjadi program rutin Ditjen Bimas Katolik.




Demikianlah sekedar sharing pengalaman kami bertugas. Semoga bermanfaat bagi pembaca. (Pormadi Simbolon)

Uskup Agung Medan: Mereka Harus Terampil ke Dalam dan ke Luar

Lembaga Sekolah Tinggi Pastoral (STP) Santo (St) Bonaventura Delitua Sumatera Utara harus meningkatkan mutu lulusannya sehingga terampil di tengah dan di luar Gereja Katolik, demikian benang merah paparan Uskup Agung Medan, Mgr. Dr. Anicetus Sinaga, pada pertemuan Penyusunan Kurikulum Institusional STP Santo Bonaventura di Hotel Danau Toba Internasional Medan (1-3 Juni 2010).
Di hadapan sekitar 30 orang dosen dan pemerhati pendidikan STP ST. Bonaventura, Uskup Agung Medan itu memulai paparannya dengan pertanyaan, “Akan kemana STP ST Bonaventura melangkah?”


Lembaga perguruan tinggi yang dikelola yayasan Keuskupan Agung Medan tersebut sekarang sedang membina kurang lebih 300 orang mahasiswa. Sebagai pimpinan tertinggi umat Katolik di Keuskupan Agung Medan, Uskup Sinaga mengharapkan atau memimpikan bahwa STP ST. Santo Bonaventura mampu melangkah menuju lembaga perguruan tinggi yang menghasilkan tenaga pastoral yang mampu menjadi jembatan antara umat biasa dengan hirarki.


Untuk itu, setiap lulusan STP ST. Bonaventura harus melakukan pelatihan dan pembenahan dan peningkatan mutu lulusannya yang terampil di bidang agama (katekese, pastoral) sekaligus mampu menjadi tokoh agama (porhanger, sintua); keterampilan akademik (penelitian), berdialog secara ilmiah; menjadi komunikator bagi masyarakat.


Ke depan juga, impian Uskup, agar lulusan STP ST. Bonaventura benar-benar terlibat di kehidupan sosial-politik selain di bidang agama, seperti terlibat di tengah masyarakat (pemimpin/pejabat masyarakat, DPR, Gubernur, Bupati, lurah, dll). Kelak mereka bisa menjadi pemain, yang bisa bermain, bukan dipermainkan oleh yang lain (kasus 2007 tentang sumbangan Pemda di bidang pembangunan agama) dan tidak mempermainkan pihak lain.


Harapan lain yang disampaikan Uskup Sinaga itu bahwa lususan STP St. Bonaventura mampu memupuk kondusivitas dalam pelayanan yang bersinergi antara awam, hirarki dan hidup bhakti, mendukung inkulturasi yang benar, melakukan pembaharuan terus-menerus (aggiornamento).


Dengan kata lain, menurut Uskup, lulusan STP ST Bonaventura yang adalah awam (umat biasa) benar-benar terampil dalam internal Gereja Katolik, tetapi juga terampil di luar Gereja Katolik. Untuk itu semua pihak diharapkan ikut mengangkat martabat awam termasuk guru agama untuk berperan dalam pembangunan Gereja dan segala upaya yang baik harus dilakukan termasuk melalui penyusunan kurikulum institusional yang sedang dilakukan para dosen lembaga perguruan tinggi tersebut.


Lulusan Berkarakter
Sementara itu, Prof. Dr. Belferik Simanullang, narasumber lain berangkat dari filosofi pendidikan, ia mengharapkan para lulusan STP St. Bonaventura menghasilkan lulusan-lulusan berkarakter (berkepribadian), yang ber-mindset filosofis (berdasarkan hakekat nilai).
Untuk menjelaskan seperti apa pribadi berkarakter itu, ia mengutip ungkapan (anonim) yang berbunyi “Jika kehilangan semua, sesungguhnya tidak ada yang hilang, karena karakter mengutamakan kekayaan budi pekerti. Jika kesehatan yang hilang, ada sesuatu yang hilang karena karakter kesehatan jiwa dan raga. Jika karakter yang hilang, maka segala-galanya telah hilang, karena karakter adalah roh kehidupan”.
Menurut Profesor Manullang, dalam konteks penyusunan kurikulum institusional harus sampai pada program yang menampung pengalaman peserta didik/mahasiswa untuk diolah sehingga terbentuk menjadi sebuah karakter/kepribadian. Mengubah karakter “hanya mencari uang” dan “berkarya” menjadi “mengabdi” (filosofis).
Lanjutnya, ada unsur-unsur kurikulum institusional: tujuan, materi, strategi pembelajaran, organisasi kurikulum, dan evaluasi kurikulum. Materi kkurikulum mengandung unsur pengetahuan (kognitif), skills (psikomotorik) dan abilities (afektif). Strategi pembelajaran dengan cara, berilah pengetahuan, lalu latihlah mereka, dan jadikan itu menjadi kebiasaan mereka. Tugas kita bagaimana mendorong peserta didik/mahasiswa bermindset filosofis. Perumusan tujuan kurikulum institusional perlu memperhatikan keunikan atau kearifan lokal yang membentuk karakter.
Dosen merupakan kunci utama keberhasilan sebuah kurikulum Jika mutu dosen berkarakter maka segalanya akan menjadi baik di tangannya termasuk kurikulum yang jelek. Esensi kehadiran dosen membawa para mahasiswa pada kerinduan akan belajar dan membawa pencerahan.
Pada akhir pertemuan penyusunan kurikulm institusional STP St. Bonaventura Delitua Sumatera Utara berhasil disusun oleh para dosen bersama Ketua STP St. Bonaventura dengan fasilitator dari Ditjen Bimas Katolik dengan kerangka menghasilkan Guru Agama Katolik yang profesional yang sesuai dengan konteks. (pormadi simbolon)

Senin, Mei 31, 2010

MENELADANI MARIA DI PANTAI ANYER BANTEN

Pembinaan karyawan di Hotel Marbella, Anyer desa Bandulu (28-30 Mei 2010) diadakan dalam rangka bulan Mei yang diperingati sebagai bulan Maria dalam Gereja Katolik. Para pegawai diajak mengenal Maria, Bunda Yesus Kristus (Isa Almasih). Tema yang diambil, “Kita baktikan kehendak ‘kita’ dalam pengabdian kepada Allah dan sesama dengan meneladani kasih dan kelembutan Maria”
Pembina rohani atau Narasumber, Romo Albert Damean, MSC, menerangkan beberapa hal tentang Maria, yang biasa disebut Santa Maria dalam Gereja Katolik, Maria Bunda Yesus, antara lain Peran Maria dalam Gereja dan Keluarga.
Menurut Romo Albert, Santa Maria mendapat tempat penting dalam Gereja Katolik. Maria banyak dirayakan atau diperingati dalam kalender Liturgi Gereja Katolik. Maria adalah Bunda Gereja; Maria adalah misionaris Gereja, Maria adalah teladan orang beriman (peka terhadap kebutuhan orang lain dan kuat beriri di kaki salib) sebagaimana didasarkan dari sabda-sabda yang di Kitab Suci Katolik.
Dalam keluarga, Maria adalah teladan sebagai Ibu dan wanita dalam keluarga. Maria mau menjadi hamba Tuhan. Maria menjadi bunda para pengungsi dan peziarah. Ia adalah teladan dalam menyimpan dan merenungkan perkataan Tuhan (kontemplatif).
Pada kesempatan itu pula, Romo Albert mengatakan, devosi kepada Maria dianjurkan oleh Gereja, namun jangan sampai kita men-tuhan-kan Maria atau menggantikan peran Yesus dalam diri peran Maria. Pusat iman kita adalah Yesus Kristus. Maria hanyalah perantara kepada Yesus sekaligus tokoh orang beriman. Melalui Maria kita bisa sampai kepada Yesus dan mengikuti puteranya.
Untuk itu, teladan Maria patut diambil dan dijadikan milik oleh setiap orang beragama Katolik. Meneladani Maria berarti mau menjadi orang yang menyimpan dan merenungkan sabda Tuhan, peduli kebutuhan orang lain dan tidak kalah penting adalah memperkenalkan Yesus Kristus kepada orang lain dengan melaksaakan perintah kasih kepada Allah dan sesama. Semoga! (Pormadi Simbolon)

Rabu, Mei 26, 2010

Pgs. Dirjen Bimas Katolik: Keberadaan Kementerian Agama Jangan Diperdebatkan Lagi

“Jangan ada bagi perdebatan soal keberadaan Kementerian Agama RI”, demikian salah satu isi paparan oleh Pgs. Dirjen Bimas Katolik yang juga Penjabat Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Agama RI, Bahrul Hayat, Ph.D pada pertemuan konsultatif seluruh Pejabat Bimas Katolik Pusat dan Daerah yang berlangsung di Mataram (22/4).

Dalam paparannya, Sekjen Kementerian Agama RI itu juga menegaskan bahwa hubungan agama dan negara di Indonesia, bukan teokrasi, dan bukan sekular (pemisahan total hubungan negara dan agama). “Di Indonesia, negara berperan memfasilitasi dan memberi ruang bagi kehidupan beragama. Republik Indonesia bukan teokrasi, bukan sekuler. Agama adalah bingkai . Di Singapura saja, agama diatur secara khusus oleh menteri”, lanjutnya.
Tegasnya, “Di Indonesia negara menjadi fasilitator bagi 6 (enam) agama). Agama diharapkan menjiwai seluruh kehidupan negara. Jangan ada lagi perdebatan soal keberadaan Kementerian Agama RI”.
Salahkah Sikap Negara Demikian?
Lanjutnya, “Pancasila adalah dasar negara. Pancasila menfasilitasi agama dan mendorong warga RI menjadi pemeluk terbaik sesuai agamanya. Oleh karena itu tidak ada istilah mayoritas-minoritas. Semua difasilitasi”.
Dalam materi yang disampaikan kepada semua peserta dan rombongan jajaran Pejabat Kakanwil Kementerian Agama Provinsi Nusa Tenggara Barat, Bahrul Hayat menegaskan “Pendidikan agama dan keagamaan disediakan oleh negara. Negara hadir membantu masyarakat dalam pendidikan agama dan keagamaan. Apakah salah sikap negara yang demikian?” Hal itu disampaikan adanya kritik sebagian kalangan terkait peran negara dalam hubungannya dengan agama.
Kepada semua pejabat Kementerian Agama Ditjen Bimas Katolik, ia menegaskan bahwa fungsi negara dalam NKRI: hanya sebagai fasilitator hubungan individu dengan Tuhan agar menjadi pemeluk yang baik; membangun harmonisasi relasi antar pemeluk agama. (Negara harus mengintervensi bila tidak harmonis; memfasilitasi pendidikan agama/keagamaan.
Tidak Boleh Tidak Memeluk Agama/Kepercayaan
Menurut dia, “Tafsir implisit atas UU Pembukaan UUD 1945: “Indonesia tidak boleh tidak memeluk agama dan kepercayaan. Ini juga tersirat dari Sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pada bagian akhir pemaparannya, Pejabat Penting Kementerian Agama RI itu berharap kepada para Pembimas/Kabid Katolik agar mendorong dan mengajak masyarakat untuk menjadi pemeluk agama Katolik yang baik; mendorong dan mengajak pembangunan harmonisasi umat; memberi pendidikan agama dan keagamaan untuk menciptakan kerukunan umat beragama.
Sehabis pemaparannya, Pgs. Dirjen Bimas Katolik sekaligus sebagai Sekjen Kementerian Agama RI melanjutkan perjalanan dinasnya yang didampingi Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama RI Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Senin, Mei 03, 2010

Titik Temu RPJPN dan Ajaran Sosial Gereja: Keadilan Sosial

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 merupakan periode 20 tahunan yang ditetapkan untuk memberikan arah sekaligus menjadi acuan bagi seluruh komponen bangsa (pemerintah, masyarakat dan dunia usaha) di dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional sesuai dengan visi, misi dan arah pembangunan yang disepakati bersama oleh para pemangku kepentingan.

Sebagai bagian dari komponen bangsa, Gereja Katolik Indonesia turut berpartisipasi aktif dalam mewujudkan rencana pembangunan nasional. Salah satu kontribusi Gereja Katolik adalah ajaran sosial Gereja yang menggumuli masalah-masalah kemiskinan, ketidakadilan dan ketidakdamaian. Ajaran sosial Gereja bernafaskan preferential option for the poor, memilih berpihak pada kelompok miskin.
RPJPN 2005-2025
Dalam teks Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 dikatakan bahwa Visi Pembangunan Nasional 2005-2025 adalah “Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil dan Makmur. Juga dijelaskan bahwa bangsa Indonesia bukan hanya sebagai yang mandiri dan maju, melainkan juga sebagai bangsa yang adil dan makmur. Keadilan dan kemakmuran harus tercermin dalam setiap aspek kehidupan . Semua rakyat mempunyai kesempatan yang sama dalam meningkatkan taraf kehidupan; memperoleh lapangan pekerjaan; mendapatkan pelayanan sosial, pendidikan dan kesehatan; mengemukakan pendapat; melaksanakan hak politik; mengamankan dan mempertahan-kan negara; serta mendapatkan perlindungan dan kesamaan di depan hukum.
Lebih lanjut dijelaskan, bangsa yang adil berarti tidak adanya diskriminasi dalam bentuk apapun, baik antar individu, gender maupun wilayah. Bangsa yang makmur adalah bangsa yang telah terpenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga dapat memberikan makna penting bagi bangsa-bangsa lain di dunia.
Untuk mewujudkan bangsa yang adil itu, salah satu misi yang ingin diwujudkan adalah mewujudkan pemerataan pembangunan dan berkeadilan, yaitu meningkatkan pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan sosial secara menyeluruh, keberpihakan kepada masyarakat, kelompok dan wilayah/ daerah yang masih lemah, menanggulangi kemiskinan dan pengangguran secara drastis, menyediakan akses yang sama bagi masyarakat terhadap pelayanan sosial serta sarana dan prasarana ekonomi, serta menghilangkan diskriminasi dalam berbagai aspek termasuk gender.
Ajaran Sosial Gereja
Dalam studi tentang Ajaran Sosial Gereja, 1891 sering kali disebut sebagai tonggak sejarah ajaran sosial Gereja. Pada tahun inilah Paus Leo XIII memaklumkan ensiklik sosial pada 1 Mei 1891 berjudul Rerum Novarum (RN). Melalui ajaran sosial Gereja yang ada di dalamnya, Gereja Katolik secara tegas dan bijak mengambil sikap profetis dan keberpihakan terutama pada korban perubahan sistem, struktur dan mentalitas dalam hidup bersama.
Dalam buku tersebut, paling tidak ada 3 (tiga) pokok yang mutlak perlu untuk membela masyarakat yang lemah dan tertindas. Pokok pertama, Gereja mengajar dan bertindak (Rerum Novarum, art. 13-24). Pokok kedua, negara campur tangan pada masalah-masalah kesejahteraan umum (Rerum Novarum, art. 25-35); dan pokok ketiga, perserikatan profesional (pemilik modal dan buruh) perlu mengorganisasi wilayah sosial. (Reru Novarum, art. 36-44).
Sejak diterbitkannya Rerum Novarum oleh Paus Leo XIII pada 1 Mei 1891 sampai dengan dipromulgasikannya Centesimus Annus, 1 Mei 1991 oleh Paus Yohanes Paulus II, sudah lebih dari sepuluh dokumen mengenai ajaran sosial Gereja.
Empat puluh tahun sesudah Rerum Novarum, diterbitkanlah Quadragesimo Anno (31 Mei 1931) yang bertujuan untuk memperbaiki tata sosial. Penerbitan ajaran sosial Gereja ini dilatarbelakangi oleh krisis ekonomi yang berlarut-larut yang mengakibatkan angka pengangguran membengkak.
Pada 19 Maret 1937, diterbitkan dokumen Divini Redemptoris yang intinya kontra dengan gelagat komunis-ateis. Pada artikel 58 dikatakan Komunisme itu secara intrinksik jahat. Komunisme itu melawan Allah dan peradaban.
Pada awal Juni 1941, saat mengenang usia Rerum Novarum ke-50, Paus Pius XII mengadakan pidato radio Vatikan. Salah satu ajaran penting yang disampaikannya adalah soal kesejahteraan umum. Adalah tugas dan panggilan negara untuk menggerakkan dan memajukan kesejahteraan umum.
Paus Yohanes XXIII menerbitkan Ensikliknya berjudul Mater et Magistra pada 15 Mei 1961yang membahas situasi terkini masalah sosial. Salah satu ajaran yang ditegaskan adalah pentingnya intervensi negara dengan memperhatikan prinsip subsidiaritas yang memberikan kepada pihak-pihak tertentu untuk berprakarsa dan memikul tanggung jawab. Terkait dengan upah yang adil, Gereja melalui Mater et Magistra menekankan perlu diterapkan pengertian upah adil dalam artian partisipasi dalam pengambilan keputusan. (Eddy Kristianto,OFM, Dioma 2003: 70).
Kemudian Gereja melalui Paus Yohanes Paulus II (14 September 1981) mengeluarkan Ensiklik Laborem Excercens yang berbicara tentang pekerjaan manusia. Dalam dokumen ini Gereja dipanggil untuk menciptakan spiritualitas kerja yang membantu semua orang mendekatkan diri kepada Allah Sang Khalik, untuk ikut serta dalam rencana-rencana penyelamatan Allah dalam tataran insani dan dunia dan membantu memperdalam persahabatan dengan Kristus melalui pekerjaan mereka (bdk. Laboreem Exercens art. 24,2).
Pada usia seratus tahun Rerum Novarum, Paus Yohanes Paulus II menerbitkan dokumen penting ajaran sosial Gereja berjudul Centesimus Annus. Centesimus Annus mengangkat pokok-pokok pikiran seperti martabat kerja, kerja bermakna personal dan sosial, hak milik, hak berserikat dalam Trade Unions, hak atas kondisi kerja yang menghormati standar-standar insani seturut usia dan jenis kelamin, kesepakatan-kesepakatan kerja hendaknya melindungi standar-standar tersebut, upah kerja yang adil, kewajiban negara untuk membela orang miskin.
Titik Temu
Ada satu kunci yang menjadi titik temu RPJPN 2005-2025 dengan Ajaran Sosial Gereja yaitu soal keadilan sosial bagi anggota masyarakat dan Gereja.
Dalam RPJPN, Negara menggambarkan bahwa bangsa yang adil berarti tidak adanya diskriminasi dalam bentuk apapun, baik antar individu, gender maupun wilayah. Upaya Negara dilakukan melalui usaha mewujudkan pemerataan pembangunan dan berkeadilan, yaitu meningkatkan pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan sosial secara menyeluruh, keberpihakan kepada masyarakat, kelompok dan wilayah/ daerah yang masih lemah, menanggulangi kemiskinan dan pengangguran secara drastis, menyediakan akses yang sama bagi masyarakat terhadap pelayanan sosial serta sarana dan prasarana ekonomi, serta menghilangkan diskriminasi dalam berbagai aspek termasuk gender.
Sebagai lembaga agama dan moral, Gereja menyuarakan ajaran sosial Gereja dan menegakkan moralitas sesuai dengan ajaran iman kekatolikannya. Gereja menyuarakan tuntutan upah yang adil, upah mesti menjamin hidup buruh. Kemudian setiap anggota Gereja termasuk para buruh bebas untuk berserikat untuk memiliki kesatuan dan kekuatan. Selain itu, Gereja menuntut intervensi negara. Menurut Gereja Katolik Negara berhak ikut mengatur hidup masyarakat karena negara wajib melindungi golongan yang lemah, namun di sini peran negara adalah subsidier. Gereja Katolik menolak aliran sosialisme. Sosialisme ditolak karena tidak mengakui hak milik.
Perbedaannya adalah roh yang mendasari masing-masing. Negara didasari oleh Konstitusi dan pilarnya yaitu Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Bhinneka Tunggal Ika. Sedangkan Gereja Katolik selain ikut Konstitusi dan pilar negara juga didasari oleh semangat Injili yaitu iman akan Kristus Yesus yang berkarya, merendah, sengsara, wafat, dan dibangkitkan.
Di tengah kesamaan dan keberbedaan itu, bila terjadi ketidakadilan, maka Gereja Katolik akan mengingatkan dan menyuarakan kembali nilai-nilai keadilan kepada Negara melalui Sura Gembala atau Nota Pastoral Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) atau Sidang Konferensi Waligereja Indonesia (KWI). Baik Negara maupun Gereja Katolik dituntut kerjasama sinergis membangun NKRI tanpa mengurangi otonomitas masing-masing sesuai dengan wewenang masing-masing pula. Salah satu Nota Pastoral yang dikeluarkan KWI pada tahun 2004 adalah Keadaban Publik: Menuju Habitus Baru Bangsa dengan subtema: Keadilan Sosial Bagi Semua: Pendekatan Sosio Budaya.

(Pormadi Simbolon ditulis pada Maret 2010, dengan sumber utama: RPJPN oleh Bappenas, Kompas 22 Desember 2008 dan Eddy Kristianto, Diskursus Sosial Gereja, Dioma, Malang: 2003).
Powered By Blogger