Trima kasih mengunjungi blog kami!

Para pengunjung yth. semua isi blog ini ditulis atau disusun atas kemauan pribadi. Itu berarti blog ini berisi aneka pendapat, pemahaman, persepsi pribadi, dan pemikiran pribadi atas lingkungan kerja dan hidup sekitarnya. Harapan kami isi blog ini bermanfaat bagi pengunjung yang memerlukannya. Salam, GBU.

Jumat, Februari 05, 2010

Menjadi Peserta Pertemuan Tokoh Masyarakat Katolik di Balikpapan

Saya sebagai peserta dari Jakarta , bersama panitia yaitu Aloma Sarumaha, Heru, Bu Tatik dan para pejabat Bimas Katolik (Dirjen, Drs Stef Agus, Direktur Pendidikan Agama Katolik, Drs. Natanael Sesa, M.Si dan Direktur Urusan Agama katolik, Drs. FX. Suharno) mengikuti Pertemuan forum konsultasi tokoh masyarakat Katolik sekeuskupan Agung Samarinda diselenggarakan pada di Hotel Grand Tiga Mulia, pada tanggal 10-12 September 2009, dan dihadiri oleh peserta yang berasal dari utusan dari Keuskupan Agung Samarinda, Keuskupan Tanjung Selor, Keuskupan Banjarmasin, Keuskupan Palangkaraya, Departemen Agama RI Dirjen Bimas Katolik, Departemen Agama Pembimas Katolik Propinsi Kalimantan Timur, Departement Agama Pembimas Katolik Propinsi Kalimantan Tengah, dan Departement Agama Pembimas Katolik Propinsi Kalimantan Selatan.

Pertemuan ini terselenggarakan atas prakarsa Dirjen Bimas Katolik dengan Para Uskup Provinsi Gereja Samarinda.

Pada hari pertama, tanggal 10 September 2009, pertemuan diisi dengan kegiatan sebagai berikut: diawali dengan Pembukaan, Misa Pembukaan, Sambutan-Sambutan, Sambutan Uskup Agung Samarinda, Sambutan Gubernur Kalimantan Timur sekaligus membuka pertemuan secara resmi kemudian dilanjutkan dengan Keynote speech dari Dirjen Bimas Katolik.

Pada acara berikutnya ada masukan-Masukan Pimpinan Gereja Katolik yaitu dari Uskup Agung Samarinda, Uskup Tanjung Selor, Vicjen Keuskupan Palangkaraya, dan Vikjen Keuskupan Banjarmasin

Pada sesi berikutnya ada

Panel Masukan Narasumber Daerah yaitu Gubernur Kalimantan Timur (asisten Gubernur Kaltim Drs. H. Awang Faroek Ishak) dan Dosen UNMUL/FIKIP : Drs. G. Simon Devung, M.Pd.
Selanjutnya ada Panel Informasi Lapangan (Pendidikan & Ekonomi) dari Wakil Keuskupan Banjarmasin, Wakil Keuskupan Palangkaraya, Wakil Keuskupan Agung Samarinda, dan Wakil Keuskupan Tanjung Selor.
Untuk melengkapi masukan, kemudian Panel Narasumber Pusat menyampaikan mater-materi sesuai dengan bidangnya. Para tokoh dari pusat itu adalah: DR Cosmas Batubara, Mayjen TNI (Purn) Herman Musakabe, DR Yan Riberu dan Frans Meak Parera.

ISI PERTEMUAN
Misa Pembukaan dipimpin oleh Uskup Keuskupan Agung Samarinda, Mgr. Sului Florentinus MSF dan didampingi oleh Mgr. Yulius Harjo Susanto, MSF (Uskup Keuskupan Tanjung Selor), dan 5 orang Imam. Dalam Kotbah Misa Pembukaan, Mgr. Sului Florentinus MSF mengatakan bahwa pertemuan ini bertujuan untuk mencari, menyusun strategi pemberdayaan kader katolik se-Keuskupan Agung Samarinda di bidang politik dan ekonomi. Dalam rangka penyusunan ini, Mgr Sului Florentinus, MSF mengingatkan beberapa hal sebagai berikut :
  • Berdoa dan berusaha yang serius agar Roh Allah membimbing untuk menemukan strategi tersebut.
  • Bersikap seperti Paulus, yaitu bahwa Gereja Katolik dan pemerintah dan semua unsure masyarakat perlu menyadari dan menghayati dengan benar dan tepat pengertian dan peranan, tugas serta tugas perutusan Gereja di masyarakat di wilayah kita.
  • Bekerja bersama dengan masyarakat demi pembangunan masyarakat karena Gereja adalah bagian integral masyarakat Indonesia
  • Bertobat. Gereja Katolik dan masyarakat perlu bertobat secara masal dan nasional dari berbagai penyakit dan dosa masyarakat.
  • Perlu merumuskan cara untuk merealisasi cita-cita kita yaitu strategi pemberdayaan masyarakat di Indonesia di bidang politik dan Ekonomi sebagai tanggapan Gereja atas masalah social di tengah masyarakt.

Sambutan-Sambutan


Ketua Panitia Bpk Sarumaha mengatakan bahwa tujuan pertemuan forum konsultatif tokoh masyarakat katolik di Balikpapan ini adalah (1). Memahami kondisi riil Agama Katolik menyangkut hambatan, Kekuatan, tantangan dan peluang dalam pembangunan bangsa, (2). Meningkatkan kerjasama yang mesra antara Pemerintah dan Gereja Katolik, (3). Merumuskan langkah-langkah strategis untuk mewujudkan peran Gereja Katolik dalam pembangunan di wilayah Gerejawi Samarinda. Sementara itu, sasaran pertemuan ini adalah (1). Adanya kesamaan persepsi tentang peran masyarakat Katolik di Wilayah Gerejawi Samarinda, (2). Terciptanya relasi kerjasama yang kondusif dalam Gereja local, (3). Tersusunnya komitmen bersama dan rencana konkret untuk dikembangkan bersama, antara tokoh Katolik dan umat .

Dalam sambutannya, Mgr Florentinus Sului, MSF, Uskup Keuskupan Agung Samarinda menyatakan bahwa pertemuan yang diprakarsai dan diselenggarakan ini menunjukkan adanya pengertian dan perhatian yang baik dari pemerintah kepada umat Katolik. Mgr Florentinus Sului, MSF juga mengharapkan bahwa pertemuan semacam ini masih akan dilanjutkan dengan pertemuan-pertemuan berikutnya, dan pertemuan ini menghasilkan butir-butir pelajaran untuk dijadikan bahan kaderisasi umat Katolik dalam bidang politik dan ekonomi.

Dalam sambutannya, Gubernur Kalimantan Timur yang diwakili oleh kepala Biro KESBANG Propinsi Kalimantan Timur mengatakan bahwa Tema kegiatan forum konsultasi umat Katolik Propinsi Gerejawi Samarinda ini sangat baik dan sejalan dengan visi dan misi Pemerintah Kalimantan Timur dalam melaksanakan roda pemerintahan dan jalannya pembangunan secara khusus dalam peningkatan sumber daya manusia yang cerdas, beriman, berakhlak mulia, handal dan berkualitas, serta mempunyai kemampuan di berbagai bidang di tengah persaingan global dewasa ini.

Dirjen Bimas Katolik Departemen Agama RI memberikan Keynote Speech untuk memberikan latar belakang pertemuan sebagai berikut : keberhasilan 500 tahun pertama kehadiran Gereja Katolik di Indonesia telah ditandai dengan hadirnya hirarki yang diisi oleh orang Indonesia, dan tokoh-tokoh awam yang sangat dikagumi baik di lingkungan umat Katolik sendiri maupun di kalangan orang beragama lain. Pertanyaannya adalah dalam semangat menuju kemandirian gereja, bagaimana kita mengisi 500 ke depan Gereja Katolik di Indonesia.

Indonesia sebagai sebuah Negara dewasa ini sedang bergerak kearah yang tidak jelas. Pancasila kurang dijadikan acuan dalam diskusi bangsa, aneka masalah menggerogoti keutuhan bangsa, adanya segolongan masyarakat yang mau menggantikan pilar-pilar bangsa, pendidikan belum efektif membangun bangsa, kerusakan lingkungan, dan adanya penyalah-gunaan symbol agama untuk menindas agama lain.

Maka maksud pertemuan ini adalah membangun sikap dan pandangan bersama para tokoh agama Katolik terhadap persoalan bangsa, meningkatkan kerja sama dengan membangun soliditas dan solidaritas serta tekad bersama pemberdayaan kader Katolik di propinsi Gerejawi Samarinda di bidang social ekonomi, dan menggugah untuk mengembalikan kebanggan bersama akan insane-insan Katolik yang berperan dalam pembangunan.

Panel Masukan Pimpinan Gereja Katolik

Mgr. Julius Harjosusanto, MSF (Uskup Tanjung Selor)
Keuskupan Tanjung Selor merupakan pemekaran dari Keuskupan Agung Samarinda, pada tahun 2002. Jumlah umat adalah 6,69% dari penduduk, yang tersebar di 11 paroki, dengan mata pencaharian utama umat adalah berladang, dan wirausaha, perkebunan, dan kantor pemerintah.

Dewasa ini di wilayah Keuskupan Tanjung Selor terjadi pergeseran yang cukup signifikan dengan dibangunnya jalan darat dan masuknya perkebunan kelapa sawit. Jumlah umat bertambah, peredaran uang bertambah, tapi kekuatan ekonomi umat tidak bertambah. Kondisi ini diperparah dengan mentalitas umat yang berorientasi pada uang dan sikap konsumerisme.

Saat ini sudah ada upaya-upaya untuk mengatasi sifat konsumerisme ini yaitu lewat CU. Walau yang menjadi anggota CU masih sedikit, tapi CU ini bisa mendidik orang untuk menabung sehingga dapat meningkatkan ekonominya.

Masalah ini muncul karena belum berkembangnya tingkat pendidikan anak-anak. Ini berkaitan dengan motivasi orang tua untuk mengirim anaknya ke sekolah. Ada peluang untuk mengatasi hal itu. Misalnya adalah dari pemerintah yaitu pengembangan sarana pendidikan pemerintah. Gedung-gedung disediakan dengan baik, kadang letaknya tidak baik. Tapi pendidikan nampaknya tidak terlaksana dengan baik karena ritme hidup. Usaha yang pernah dilakukan oleh Keuskupan untuk mengatasi hal ini adalah mengadakan kampanye pendidikan dengan mendorong orang tua agar anak masuk dalam sekolah.

Tantangan dalam pemberdayaan adalah (1). Mentalitas dan budaya yang kadang ada unsure budaya yang menghambat, (2). rendahnya mutu pendidikan, (3). ada perbedaan ekonomi dan peranan ekonomi antara penduduk asli dan pendatang.

Harapan untuk mengatasi tantangan adalah adanya forum seperti ini yang berkumpul secara frekuen, dan munculnya sebuah perguruan tinggi katolik dimana akan menjanjikan akan munculnya tokoh-tokoh Katolik baik di bidang politik maupun ekonomi


Mgr. Florentinus Sului, MSF (Uskup Keuskupan Agung Samarinda)

Kehadiran Gereja Katolik di suatu wilayah adalah untuk meneruskan karya kristus dalam melayani Umat Allah. Di Indonesia, Gereja Katolik tetap meneruskan karya Kristus dalam melayani Umat Allah dan membantu pemerintah dalam pelayanan terhadap masyarakat Indonesia, termasuk yang beragama Katolik karena mereka juga merupakan bagian integral bangsa Indonesia.

Dengan demikian, Kehadiran Gereja Katolik dihadapan pemerintah sebenarnya adalah sebagai mitra, tapi ternyata kondisinya Gereja belum mampu menjadi mitra yang setingkat dengan Pemerintah. Untuk itu, pemerintah perlu juga membantu Gereja dalam bidang ketenagaan, dana dan lain-lain.

Tapi walaupun demikian, Gereja perlu tetap mengkomunikasikan peran kenabiannya untuk meluruskan jalan terhadap pemerintah dan para pelaku ekonomi. Gereja perlu juga menjadi pelaku dalam memberdayakan pemerintah. Tapi mampukah Gereja berlaku seperti itu? Untuk itu diperlukan pertobatan masal dan nasional di segala bidang. Oleh karena itu, perlu pertobatan masal dan nasional di segala bidang.

Vikjen Keuskupan Palangkaraya

Keuskupan Palangkaraya merupakan pemekaran dari Keuskupan Banjarmasin tahun 1993, dengan jumlah umat menurut statistic pemerintah sejumlah 3% dari total penduduk Kalimantan Tengah.
Dalam rangka pengembangan di bidang karya pastoral, terlebih pengembangan kader karya pastoral di tengah umat, pada tahun 2002 dibangun STIPAS sebagai pendidikan kader awam, dan telah menghasilkan 50 sarjana.
Tantangan pengembangan Kader Katolik adalah Kualitas pendidikan yang lemah. Dampaknya adalah rendahnya keterlibatan umat, atau peran serta umat.

Vikjen Keuskupan Banjarmasin

Wilayah Keuskupan Banjarmasin hanya di wilayah Propinsi Kalimantan Selatan, dengan jumlah umat 0,45% dari total penduduk Kalimantan Selatan di 9 paroki, sehingga kalau dalam tataran politik, Umat Katolik tidak mempunyai pengaruh. Dalam tataran ekonomi, orang Katolik terkonsentrasi di Banjarmasin. Banyak para pengusaha, yang beragama Katolik, sementara itu, di luar Banjarmasin, orang Katolik memiliki mata pencaharian sebagai petani, transmigran, buruh. Tapi walaupun kecil, dalam jumlah, Umat Katolik di Keuskupan Banjarmasin juga berperan dalam pengembangan masyarakat di Kalimantan Selatan lewat usaha sebagai berikut :

Di Kalimantan Selatan, ada bagian dari masyarakat yang begitu ketinggal baik dari sisi pendidikan, politik, ekonomi, yaitu masyarakat Dayak Meratus. Saat ini Situasi masyarakat Meratus ini menjadi keprihatinan Gereja, dan ditindaklanjuti oleh umat Katolik dengan antusias.

Uskup baru mengembangkan dan memberi contoh pola pendekatan terhadap umat non Katolik dengan mengadakan atau menjalin persaudaraan, atau tali silahturahmi dengan umat beragama lain.

Panel Masukan Narasumber Daerah

Gubernur Kalimantan Timur (asisten Gubernur Kaltim Drs. H. Awang Faroek Ishak) memaparkan adanya 5 Persoalan mendasar di Kalimantan Timur sebagai berikut : Kemiskinan, Ketenagakerjaan, Keinfrastrukturan, Ketimpangan Antar Daerah, Kualitas SDMprogram pembangunan Kalimantan Timur sebagai berikut. Untuk mengatasi masalah itu, pemerintah daerah telah merancang program sebagai berikut : Pemantapan reformasi birokrasi dan peningkatan tatakelola pemerintahan yang baik, Percepatan pembangunan daerah perbatasan, pedalaman dan daerah tertinggal, Peningkatan pertumbuhan sektor riil dan ketahanan pangan, melalui revitalisasi pertanian dan pembangunan perdesaan, Pembangunan infrastruktur dasar berupa peningkatan sarana dan prasarana transportasi, perumahan rakyat, air bersih dan kelistrikan, Peningkatan kualitas sumberdaya manusia berupa peningkatan kualitas pelayanan pendidikan, kesehatan serta peningkatan keimanan dan ketaqwaan, Percepatan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui perlindungan sosial bagi masyarakat miskin dan penciptaan lapangan dan kesempatan kerja.

Dosen UNMUL/FIKIP : Drs. G. Simon Devung, M.Pd dalam paparannya menyatakan bahwa dalam pemberdayaan kader katolik, perlu diperhatikan hal sebagai berikut : Kebijakan pastoral kaderisasi perlu digarap dengan lebih matang oleh suatu tim khusus Program kaderisasi yang diturunkan dari kebijakan pastoral kaderisasi perlu ditangani

oleh suatu lembaga khusus di tingkat keuskupan dan nasional [dirjen bimas kat - kawi], kaderisasi diawali dengan pengkaderan pengelola lembaga kaderisasi dan pengkaderan kader kaderisasi, arah dan isi kebijakan serta program kaderisasi diarahkan sepenuhnya untuk pemberdayaan segenap potensi kader katolik di bidang politik dalam dimensi-dimensi seperti yang sudah dipaparkan di atas .

Panel Informasi Lapangan (Pendidikan & Ekonomi)

Wakil Keuskupan Palangkaraya DR. Petrus Purwadi, MS :
diungkapkan kondisi umum yaitu adanya perimbangan kekuatan politik namun peran umat katolik masih dirasaskan kurang menonjol, adanya kecendrungan politikus katolik tidak kompak dan cenderung cari selamat untuk diri sendiri, dan Beberapa kader politik Katolik seperti lupa kacang pada kulitnya. Penting mendudukan orang di situ untuk melakukan lobi-lobi politik untuk pembangunan karya gereja.

Kondisi umum bidang ekonomi adalah sebagai berikut : Perekonomian umat pedersaan bergantung pada sektero pertanian dan perkebunan, Budaya menanam dan mengolah masih jauh dari harapan. Sebaliknya budya mengambil dan menjual masih tumbuh subur, Umat katolik kota masih pegawai negeri dan swasta

Untuk mengatasi hal ini, diusulkan beberapa strategi dalam bidang politik sebagai berikut: Mendorong putera daerah katolik untuk mau terjun dalam bidang politik, Membuat program kaderisasi politik yang sistematis dan komprehensif, Memberikan pendidikan politik bagi kaum muda, Jika perlu, jaring kaum muda militant untuk dijadikan kader politik yang handal, beri beasiswa dan pendampingan, Membuat jaringan politis katolik baik dilegislatif maupun eksekutif. Ini perlu untuk membuat aksi bersama, untuk saling mendukung dan membantu promosi jabatan

Strategi pemberdayaan dibidang ekonomi adalah sebagai berikut: Pemberdyaan ekonomi berbasis pertanian dan perkebunan dengan terlebih dahulu mengidentifikasi potensi umat, Mengubah mentalitas ambil jual menjadi mentalitas tanan ambil olah jual, Memberikan pelatihan keterampilan mengelolah hasil pertanian dan perkebunan Membentuk kelompok tani , membentuk kelompok focus group dissucion, Mengaktifkan kembali pusat pelatihan pertanian dan perkebunan yang dimiliki keuskupan, Penguatan peran CU baik di pedesaan maupun di perkotaan, Memberikan pendidikan enterpreneurshiop bagi kaum muda ini penting agar kaum mmuda tidak semata-mata ingin menjadi PNS, Membentuk jaringan pengusaha umat katolik (semacam pukat).

Wakil Keuskupan Banjarmasin (Rm Antonius Bambang Doso, Pr. Lic)
Diungkapkan kondisi umum Keuskupan Banjarmasin sebagai berikut ; Propinsi paling kecil, tapi penduduknya paling banyak. Kalau melihat bidang ekonomi, pemerintah selalu menunjukkan grafik yang maju. Yang menonjol adalah pertanian, dan pertambangan. Efeknya adalah kerusakan lingkungan hidup. Ternyata hal ini orang masih tidak begitu peduli. Peningkatan ekonomi juga ada beberapa hal lain: pengolahan gas, perumahan.

Situasi umat katolik, Jumlah umat katolik 17 ribu jiwa, 0,05%. Orang katolik belum terlibat dalam pembangunan di bidang politik. Ada 10 umat mencalonkan diri sebagai caleg, yang terpilih hanya 1. Penyebabnya adalah karena orang katolik alergi pada politik karena Karier politik tidak menjanjikan. Hal ini berbeda dengan situasi ekonomi. Banyak pelaku aktif ekonomi adalah orang katolik karena mayoritas mereka adalah etnis Tionghoa.

Wakil Keuskupan Tanjung Selor, P. DR. Antonius Rajabana, OMI
Keuskupan tanjung selor terdiri dari 2 wilayah yaitu kota dan pedalaman yang masing-masing punya polanya sendiri. Di kota diwarnai dengan kehidupan politik biasa, namun sebenarnya itu adalah dipermukaan. Didalamnya adalah ikatan keluarga/suku. Di pedalaman, adat lebih berperanan. Peluangnya sangat besar dengan system politik baru dalam legislative, namun peluang itu belum dimanfaatkan dengan cukup baik. Kita hanya mempunyai 4 legislatif.

Ekonomi juga dibagi menjadi 2. Ekonomi perkotaan berbasis uang. Ini mempunyai logika dan mekanisme sendiri. Sementara ekonomi pedalaman dipakai hari itu, habis hari itu.

Harapan dalam bidang politik yaitu pemilihan langsung caleg dimana kita bisa masuk, tapi dipikirkan juga untuk merumuskan kembali memasukan orang dalam politik. Berjuang dalam level yang sama misalnya FKUB, Perjuangan kepentingan bersama pelestarian bersama, atau keutuhan ciptaan.

Dibidang ekonomi, Memadukan dua system keuskupan: subsisten tidak berbasis uang dan moneter berbasis uang, Mengembangkan alternative makanan pokok yang tahan : sukun, ubi, sagu, System ekonomi kerakyatan berbasis uang, perlu diajarkan ke subsistem, menyetop Stop penebangan.

Secara umum mempertegas posisi gereja dihadapan pemerintah dan pemodal, berperan dalam menciptakan dan menguatkan solidaritas umat, dan member Kesaksian hidup sebagai warga masyarakat yang jujur, solider, dengan dasar sebagai orang warga Negara.

Wakil Keuskupan Agung Samarinda, Ibu Veridiana Wang
Memaparkan pengalamannya sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Point menarik dalam paparan adalah dengan tidak adanya tata ruang dalam Kaltim sampai saat ini, dikhawatirkan orang Dayak tidak mpunya tanah, atau tidak punya air. Kehilangan sawah, kehilangan sumber penghasilan.

Panel Narasumber Pusat

DR Cosmas Batubara
Kita harus ikut berpartisipasi dalam politik, kalau tidak kita akan dipermainkan oleh orang lain.
Dalam menjalankan sebagai kader politik, orang katolik hendaknya memperjuangkan kepentingan umum, dan mampu menjadi titik temu dari semua golongan dan kepentingan.
Untuk terjun dalam dunia politik, kader katolik hendaknya

Mayjen TNI (Purn) Herman Musakabe
Untuk menciptakan strategi pemberdayaan sumber daya manusia katolik, Strategi yang ditempuh adalah sebagai berikut : Menciptakan kerjasama sinergeis antar tokoh-tokoh katolik di pemerintahan daerah, Menciptakan kader-kader generasi muda katolik untuk memasuki birokrasi pemerintah, Memciptakan kader-kader katolik untuk menjadi anggota legislative via jalur politik, Meningkatkan mutu pendidikan Katolik, Kader-kader katolik di pemerintahan perlu mempersiapkan diri untuk penugasan dalam jabatan yang bervariasi, Mengadakan pemanduan bakat terhadap kader-kader Katolik yang potensial, Menerapkan kepemimpinan yang melayani untuk kader-kader katolik

DR Yan Riberu
Tanpa pendidikan, orang katolik tidak bisa menjadi Kader Politik dan Ekonomi, yang profesional
Profesionalisme : punya pengetahuan, keterampilan, sikap professional, moralitas.

Frans Meak Parera
Orang Katolik dapat juga berperan untuk diluar pemerintahan dengan mengembangkan media komunikasi.
Saya mendapatkan begitu banyak pengalaman dan pengetahuan dari para pimpinan Gereja, Pemerintahan, para pakar dan semua yang terlibat di dalamnya.

Acara ditutup dengan Misa bersama umat di Paroki Santa Theresia Balikpapan yang dipimpin para Uskup dan Vikjen.

Jumat, Januari 29, 2010

Ternyata Memperkosa Perempuan Juga

Gak perlu heran bila kita mendengar seorang pendeta memperkosa seorang perempuan yang notabene umat yang dipimpinya, atau seorang kiai yang melecehkan perempuan secara seksual. Atau seorang pastor melakukan pelecehan seksual atau sodomi kepada salah seorang misdinarnya. Bila kita cermat meneliti dan membaca berita massa, maka kita semua akan mengakui bahwa mereka juga adalah MANUSIA BIASA.

Mereka memang manusia biasa, namun yang menjadi soal adalah adanya pendidikan agama dan keagamaan yang mereka terima secara khusus sesuai dengan agama mereka. Konsekwensinya logisnya, mereka adalah pemuka agama yang menjadi teladan bagi umatnya. Mereka adalah teladan di bidang beriman, berperilaku dan lain sebagainya dalam kaitan dengan hidup.


Harus kita akui, masih banyak kiai, pendeta atau pastor yang menjadi teladan dan sangat dihormati umatnya. Kita salut dan bangga karena mereka menjalankan panggilan hidupnya dengan baik sesuai dengan imannya dan pendidikan yang diterimanya.


Namun, bila kita mendengar seorang kiai, pendeta atau pastor melakukan perbuatan menyimpang, maka kita akan kecewa mendengarnya. Kita akan merasa mereka juga sama seperti kita, biasa aja, nggak usah diperlakukan khusus.


Yang patut disadari bersama, meskipun seorang kiai, pastor atau pendeta berpendidikan tinggi atau doktoral, namun soal nafsu yang satu itu sama saja primitif sebagaimana manusia lainnya. Maka perlu juga kritis dalam meneladani dan menilai seorang kiai, pendeta atau pastor.


Kita semua berharap bahwa seorang kiai, pendeta dan pastor bisa menjadi teladan hidup beriman di tengah masyarakat majemuk, pembela kemanusiaan, pembela kaum miskin dan marjinal. Semoga

Jumat, Januari 22, 2010

Umat Katolik di Propinsi Gerejawi Kupang: HARUS MENGUBAH MENTALITAS

Umat Katolik di Propinsi Gerejawi Kupang harus mengubah pola perilaku hidup Komunal Feodal dan ketergantungan, menuju perilaku komunal yang produktif dan mandiri. Mentalitas lama harus diubah demi kesejahteraan umat. Demikian salah satu kesepakatan bersama pertemuan Forum Konsultasi Tokoh Umat katolik Provinsi Gerejawi Kupang pada 11-13 Desember 2009 di Hotel Kristal, Kupang – Nusa Tenggara Timur (NTT)


Pertemuan yang diprakarsai oleh Dirjen Bimas Katolik dengan para pimpinan Gereja lokal tersebut mendapat sambutan hangat dari pimpinan Gereja lokal dan pemerintah setempat. Selain para Uskup, turut hadir para tokoh nasional dari Jakarta seperti Cosmas Batubara, J. Riberu, Ferry Tinggogoy, Herman Musakabe, Frans M. Parera dan para pengurua PSE masing –masing keuskupan dan tokoh umat setempat seperti Linus Haukilo, Ambros Korbaffo dan Laurensius Juang.

Sebagai ruang pembelajaran bersama, pertemuan tersebut bertujuan untuk melihat kondisi riil ekonomi umat di wilayah propinsi gerejawi Kupang dan menemukan solusi yang tepat mewujudkan kesejahteraan umat dan kehadiran keselamatan dari Allah di dunia ini.

Menurut pengamatan Uskup Agung Kupang, Mgr. Petrus Turang, pada keadaan riil di wilayah Keuskupan Agung Kupang, umat masih berjuang sekedar untuk bertahan hidup (survival). Melalui pertanian dan peternakan, umat berusaha memenuhi kebutuhan hidup sehari-sehari. Sistem ekonomi masih sistem face to face, dengan sistem kekerabatan dan sistem pinjam-meminjam. Gereja pernah mencoba melakukan pemberdayaan ekonomi melalui pendekatan Koperasi. Namun pada kenyataanya, Koperasi belum mampu mengubah ekonomi umat hingga sekarang. Koperasi masih lemah.

Untuk itu, menurut Uskup Agung Kupang, diperlukan agar semua pihak baik pemerintah/ Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) maupun pimpinan gerejawi untuk bekerjasama memberdayakan dan mendorong pertumbuhan sosial ekonomi umat melalui budaya tani dan ternak. Gereja hanya mempunyai perutusan untuk menyadarkan umat tentang perbaikan kehidupan ekonomi umat. Sedangkan yang memberikan kemampuan teknis di bidang pertanian dan peternakan adalah pemerintah dan LSM.

Tidak jauh berbeda dengan keadaan ekonomi umat di Keuskupan Agung Kupang, kemiskinan dan pengangguran juga melanda umat di Keuskupan Weetebula. Menurut Uskup Weetebula, Mgr. Edmund Woga, CSsR, “Gereja dan Pemerintah memang sudah lama hadir di Keuskupan Weetebula, namun rakyat masih miskin dan melarat. Kesejahteraan atau keselamatan dari Allah belum dirasakan sejak di dunia ini. Siapa dan apa yang salah?” Demikian pertanyaan retoris uskup Weetebula ini kepada para peserta.

Dari hasil permenungan Bapak Uskup Weetebula ada beberapa sumber kesalahan yang perlu diperbaiki. Pertama, sisi adat. Ada kebiasaan-kebiasaan yang membuat umat makin miskin dan melarat. Kedua, kesalahan Gereja. Gereja mencoba membongkar adat, padahal Gereja belum tahu banyak tentang adat, sudah mulai melarang ini dan itu. Sehingga umat merasa adat para misionaris ini lebih tinggi. Pada kesempatan lain, Gereja mengajarkan hal-hal akhirat dan rohani semata. Sikap Gereja yang suka memberi kepada umat, sehingga mentalitas umat untuk berusaha dan mandiri dalam hidup tidak tumbuh.

Sumber kesalahan ketiga adalah pelayan publik. Ada oknum pejabat publik yang menyalahkangunakan dana publik. Di NTT sendiri tercium aroma bau korupsi. Keempat, kesalahan dari diri sendiri (mental, sikap, dll). Orientasi para petani kita baru dapur, belum berorientasi ke PASAR. Pasar baru hanya sebatas tempat bertemu. Kelima, mempersalahkan hubungan kekerabatan (paguyuban/ gotong royong konsumtif). Hal ini ikut memperlambat kemajuan. Semangat menabung belum ada. Untuk itu, menurut Uskup, hal ini menjadi pemikiran dan perbaikan bersama agar kesejahteraan dan keselamatan dari Allah bisa dinikmati umat.

Keadaan riil ekonomi di masyarakat Keuskupan Atambua tidak jauh berbeda dengan di Kupang dan Weetebula. Menurut Uskup Atambua, Mgr. Dominikus Saku,Pr kemiskinan dan kemelaratan masih dirasakan umatnya. Padahal kehadiran dunia pendidikan sudah lama di Atambua. Namun, sejumlah 72,6 % umat dari total 517.183 jiwa (data 2008) hanya mengenyam pendidikan Sekolah Dasar. Maka tidak heran sebagian besar (86 %) umat bermata pencaharian dari pertanian dan peternakan. Yang lebih memprihatinkan lagi, sebesar 56 % dari jumlah orang muda Katolik hanya berpendidikan SD dan sedang pengangguran. Apa yang bisa diharapkan dari dari keadaan demikian?

Bagaimana keadaan demikian diatasi? Uskup Atambua mencoba menawarkan upaya dari dua arah. Pertama ke dalam (internal). Pimpinan Gereja membina persekutuan di dalam Gereja supaya Gereja menjadi Gereja umat, memberikan peran lebih besar kepada umat supaya menunjukkan diri mereka sebagai GEREJA. Kedua, ke luar (eksternal). Pemerintah supaya lebih merakyat. Sebab pembayaran pajak, warga tidak tahu harus membayar ke siapa. Orang dari desa harus menunggu pejabat dari Pusat yang berkunjung ke desa, baru jalan-jalan desa dibangun. Demikian dijelaskan Bapak Uskup yang baru kurang lebih 3 tahun memimpin umat Keuskupan Atambua.

Mentalitas harus diubah

Pada akhir pertemuan, semua peserta berkomitmen dan bersepakat untuk meningkatkan sikap solidaritas dan saling percaya di kalangan umat Katolik dalam membangun ekonomi umat melalui pendekatan koperasi.
Dari sudut pendidikan, para peserta berkomitmen mengusahakan pengembangan Kewirausahaan melalui pendidikan formal, non formal dan informal untuk mengembangkan pola hidup produktif dan peningkatan Disiplin hidup dan membangun budaya kerja jeras, kerja cerdas dan tuntas.

Mengingat penting konsientisasi umat, perlu diusahakan bersama penyadaran umat untuk mengkritisi kebiasaan dan adat istiadat setempat yang menghambat pertumbuhan ekonomi umat dan pentingnya peningkatan kualitas pendidikan Sumber Daya Manusia yang handal, untuk mengelola Sumber Daya Alam, Sumber Daya Kelembagaan, Sumber Daya Waktu, dan Sumber Daya Uang serta penyadaran umat untuk membangun sikap dan perilaku menabung.

Selain itu, disepakati pula untuk membangun jejaring kerja dan informasi pemasaran melalui koperasi dan mengusahakan perubahan pola perilaku hidup Komunal Feodal dan ketergantungan, menuju perilaku komunal yang produktif dan mandiri. Forum bersama tersebut berniat melaksanakan kesepakatan tersebut dengan kesungguhan hati, sebagai panggilan iman dan moral Katolik untuk menanggapi keprihatinan sosial Gereja di Bidang kehidupan Sosial Ekonomi umat. (Pormadi Simbolon)

Selasa, Januari 19, 2010

PELAJARAN AGAMA BELUM BERMANFAAT SIGNIFIKAN!

Melihat banyaknya kasus tindak korupsi, kekerasan dalam rumah tangga,
dan penyalahgunaan wewenang sebagai pejabat publik, kita patut bertanya apakah orang ini tidak mendapat pelajaran agama? Tidak bisa dipungkiri, bahwa semua pelajar Indonesia relatif pasti mendapat pelajaran agama sesuai dengan iman dan agamanya itu. Persoalannya, ada apa dengan pelajaran agama?

Selama ini pelajaran agama, kerapkali tampak sekedar pemindahan ilmu pengetahuan dari seorang guru kepada murid-muridnya, tidak ada bedanya dengan pelajaran Fisika, atau Biologi. Guru terkesan sekedar menyuruh menghafal materi pelajaran agama, menghafal ayat-ayat Kitab Suci, tanpa melihat relevansi pelajaran agama itu dalam hidupnya. Guru pun tidak memberikan teladan seperti apa yang diajarkannya.



Akhirnya, lahirlah banyak pejabat atau pengusaha yang mempelajari agama sekedar sebagai ilmu pengetahuan. Ia tahu tentang ilmu agama, namun tidak tahu bagaimana menjalaninya dalam hidup.



Sudah saatnya, pembelajaran pendidikan agama dan keagamaan benar-benar menyentuh seluruh diri pribadi seorang peserta didik secara utuh. Pelajaran agama bukan sekedar memindahkan ilmu tentang agama, namun juga menginternalisasi nilai-nilai ajran agama seperti nilai kejujuran, keadilan, toleran, demokratis, tanggung jawab, loyal, tangguh, dan lain sebagainya.



Sebab kita tahu bahwa hekekan pendidikan nasional (menurut UU Sisdiknas No 20/2003 pasal 1 butir 1) adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.



Mudah-mudahan metode pembelajaran agama ke depan tidak lagi sekedar pengalihan ilmu tentang agama namun benar-benar menjadi sarana pembentukan pribadi manusia yang beriman, bertakwa, budi luhur, adil, demokratis, toleran, mandiri, tangguna jawab, disiplin, solider loyal, dan lain sebagainya (Bdk. PP Nomor 55 Tahun 2007, pasal 5) . Semoga.

Kamis, Desember 17, 2009

AGAR PANCASILA BENAR-BENAR MENJADI RAHMAT

Pada 1 oktober diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Peringatan tersebut sudah memasuki yang ke-34. Apakah Pancasila yang sakti itu sudah menjadi rahmat bagi Indonesia?
Pancasila sebagai dasar negara secara nyata menjadi jaminan kemerdekaan dan kesamaan kedudukan setiap warga negara. Pancasila sekaligus juga sebagai ideologi nasional merupakan penemuan penting yang berperan mempertemukan semua kepentingan lintas golongan, suku, agama dan ras di negeri ini.
Kita yakin dan sadar serta rasakan peran pemersatu Pancasila pada masa pra-kemerdekaan hingga pada masa sekarang. Karena Pancasila, para pendahulu kita berhasil mengalahkan ideologi komunisme, chauvenisme keagamaan dan etnis, liberalisme dan individualisme serta arogansi mayoritas terhadap minoritas.

Alat kekuasaan?

Meskipun demikian, Pancasila menghadapi berbagai tantangan, seperti upaya penentangan, upaya penyelewengan, upaya perlawanan bahkan upaya penggantiannya dengan ideologi bernafaskan keagamaan. Sejak jaman Orde Lama hingga jaman Orde Reformasi, Pancasila terkesan di permukaan lebih dominan sebagai alat pemanis bibir penguasa.
Pada Orde Lama, Pancasila sebagai dasar negara ditafsirkan bersifat sosialis diktator. Pada Orde Baru, Pancasila diarahkan ke kutub kapitalisme-otoritarian, dan pada Orde Reformasi, makna Pancasila semakin kabur dan berwarna abu-abu di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di tengah masyarakat majemuk.
Pasca reformasi 1998, Pancasila mengalami “desakralisasi”. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila seperti nilai Ketuhanan, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan, musyawarah dan mufakat, serta keadilan sosial terkesan semakin tidak jelas alias mengambang. Negara ini akan dibawa kemana, kita tidak dapat melihatnya dengan jelas. Oleh karena itu banyak kalangan menyerukan agar reposisi dan revitalisasi Pancasila segera dilakukan mengingat pentingnya mencari jiwa dan jati diri bangsa dalam mempertahankan eksistensi dan mencapai kesejahteraan umum bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Karakteristik bangsa Indonesia?
Muncul pertanyaan, apakah nilai-nilai Pancasila pernah benar-benar mendarah-daging dalam jiwa bangsa Indonesia? Apakah Pancasila sudah benar-benar merupakan karakteristik bangsa Indonesia?
Menurut mata pelajaran sejarah di sekolah dewasa ini, dalam peristiwa tragedi nasional 1 Oktober 1965, Pancasila dikatakan berhasil ditegakkan dengan menumpas gerakan komunisme. Panglima Kostrad saat itu, Mayjen Soeharto mengambil alih pimpinan TNI-AD dan menumpas pemberontakan yang dilakukan komunis (Partai Komunis Indonesia,PKI) pada 1 Oktober 1965. Soeharto berhasil. Upaya PKI merebut kekuasaan negara gagal. Rakyat sadar dan tahu bahwa penculikan para pejabat teras TNI-AD didalangi PKI. Secara spontan, rakyat menyerukan dan
menuntu supaya PKI dan Ormas-ormasnya dibubarkan.
Lalu berdasarkan Surat Keputusan Menteri/ Panglima Angkatan Darat tanggal 17 September 1966 (Kep 977/9/1966) pada tanggal 1 Oktober ditetapkan sebagai peringatan Hari Kesaktian Pancasila. Menurut Asvi Warman Adam, penetapan ini bermasalah secara hukum dan substansial. Apa arti kesaktian yang dilekatkan pada Pancasila? Apakah Pancasila itu sakti atau tidak, kita tidak tahu (http://www.detik.com/ 28 september 2009).
Berangkat dari peristiwa 1 Oktober 1965 tersebut, Pancasila sebagai alat politik berhasil mengalahkan bahaya komunisme. Kalau kita mengamati pelaksanaan nilai-nilai budi pekerti Pancasila pada masa Orde Baru dan Orde Reformasi, maka muncullah berbagai pertanyaan. Apakah kita bisa mengatakan bahwa nilai-nilai Pancasila sertamerta menjadi karakteristik bangsa Indonesia? Tidakkah kelihatan bahwa Pancasila masih sebatas simbol idologi politik dan syarat eksistensi negara saja?
Bila kita coba membandingkan antara nilai yang terkandung dalam Pancasila seperti ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah/mufakat dan keadilan sosial dengan berbagai karakter dan budaya sebagian pejabat publik dan kelompok masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, maka akan terlihat adanya jurang yang dalam antara pelaksanaan ideologi Pancasila dan praktek hidup sehari-hari.
Di bidang legislatif misalnya, sikap tokoh politik bermusyawarah kini dinilai semakin buruk dan lebih mengedepankan voting. Ingat soal voting impor beras (Kompas.com 24 Januari 2006 dan voting soal kenaikan harga BBM, Kompas.com 25 Juni 2009). Demikian juga dalam menerapkan keadilan berbagai bidang, termasuk penghargaan hak asasi manusia bagi seluruh rakyat dan pemenuhan kebutuhan rakyat, peran negara makin tidak dirasakan.
Adanya kerusakan moral di hampir semua bidang terlihat dari tindakan tidak terpuji seperti penyalahgunaan uang, jabatan, kekuasaan dan fasilitas negara dalam berbagai bidang demi kepentingan kelompok atau pribadi. Parahnya korupsi, praktek homo homini lupus (manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya), tindakan kekerasan, kehancuran lingkungan dan peradaban nasional, memperlihatkan bahwa nilai-nilai luhur Pancasila belum menjadi karakter setiap warga negara Indonesia.
Pantas direfleksikan, apakah Pancasila sudah menjadi rahmat bagi Indonesia atau sekedar satu syarat bagi adanya NKRI? Pancasila adalah harga mati, demikian semboyan Susilo Bambang Yudhoyono, orang nomor satu di negeri ini saat kampanye Pemilihan Umum 2009 (Kompas 21 Juni 2009). Namun, apakah semboyan itu sebatas di bibir dan pemberitaan media massa? Kuntowijoyo, yang pernah menjadi dosen sastra dan budaya di Universitas Gajamada Yogyakarta berpendapat: “Pancasila seyogiyanya menjadi rahmat bagi Indonesia. Artinya, Pancasila bukan semata-mata sebagai alat seleksi yang pro dan kontra, melainkan juga suatu mekanisme yang mengintegrasikan, memasukkan kepentingan semua golongan” (Kuntowijoyo, dalam Kajian Agama dan Masyarakat, Depag RI 1992:304).
Upaya internalisasi nilai-nilai Pancasila
Kita sangat menghargai upaya pemerintahan Orde Baru untuk menata kehidupan bernegara berdasarkan Pancasila. Pancasila diupayakan sebagai landasan untuk menggapai kesejahteraan publik. Pemerintah menginstruksikan supaya Pancasila dilaksanakan secara murni dan konsekwen. Bahkan untuk mencegah bahaya laten komunis, Pemerintah melaksanakan progran penataran pedoman, penghayatan, dan pengamalan Pancasila (P4) serta penataran kewaspadaan nasional (Tarpadnas). Namun kita tidak setuju, kalau pada akhirnya Pancasila hanya menjadi alat pembela kepentingan kekuasaan, tanpa adanya keteladanan kepemimpinan, dan tanpa memperhitungkan kesejahteraan rakyat banyak. Jelas sekali nilai-nilai Pancasila belum menjadi jiwa dan jati diri bangsa Indonesia, apalagi menjadi rahmat bagi Indonesia.
Pilihan Pancasila sebagai dasar negara bagi bangsa Indonesia adalah melalui proses yang lama dan panjang. Para pendiri bangsa (founding fathers) merumuskan Pancasila itu dari budaya dan nilai-nilai yang diwariskan para leluhur bangsa. Kita sudah merdeka kurang lebih 64 tahun dan 34 tahun peringatan Hari Kesaktian Pancasila, selama itu pula penghayatan Pancasila mengalami pasang surut. Pada masa sekarang, penghayatan nilai-nilai Pancasila makin lama, makin kurang diminati. Dibutuhkan suatu terobosan agar nilai-nilai Pancasila dapat menjadi karakteristik bagi setiap warga.
Menurut ahli filsafat proses, Alfred North Whitehead, proses pembentukan suatu nilai agar menjadi ciri khas suatu bangsa atau masyarakat membutuhkan suatu proses yang panjang. Proses suatu nilai menjiwa-raga berlangsung melalui 4 tahap. Tahap pertama merupakan proses penerimaan dan penyadaran adanya nilai. Tahap kedua, nilai itu diolah dan digarap. Tahap ketiga, proses perwujudan dan pemenuhan nilai itu dalam diri. Terakhir tahap keempat merupakan proses pengakuan dan penetapan nilai-nilai sebagai karakteristik dan identitas diri. (bdk. P. Hardono Hadi, dalam Pustaka Filsafat dan Teologi,1995:84)
Dalam konteks Indonesia, Pancasila menjadi pilihan nilai-nilai dominannya (defining characteristics-nya). Kalau Pancasila dikehendaki benar-benar hidup, haruslah menjadi bagian integral dari masing-masing manusia Indonesia yang berusaha untuk semakin mengkonkretkan di kehidupan harian. Namun, pertama-tama, nilai-nilai Pancasila ini diinternalisasikan bagi setiap pegawai negeri sipil, TNI/POLRI, bahkan juga bagi semua calon pegawai di pemerintahan (birokrasi) yang pada akhirnya diteladani rakyat banyak. Penghayatan dan pengamalan Pancasila seyogiyanya dimulai di lingkungan pemerintahan secara keseluruhan. Dengan penginternalisasian nilai-nilai Pancasila yang dimulai dari lingkungan pemerintahan, maka pelan-pelan menetes ke lingkungan masyarakat umum, dan Pancasila akan menjadi rahmat bagi Indonesia. Pancasila menjadi rahmat bagi Indonesia berarti nilai-nilai kehidupan berketuhanan, berkemanusiaan yang adil dan beradab, bermusyarah dan bermufakat, serta berkeadilan sosial semakin dirasakan semua warga. Semoga. (Pormadi Simbolon)

Kamis, Desember 03, 2009

Visi dan Misi Lembaga Pendidikan Katolik Di Provinsi Gerejawi Makassar Disepakati Direvitalisasi

Visi dan misi Lembaga Pendidikan Katolik (LPK) di Provinsi Gerejawi Makassar disepakati untuk direvitalisasi. Demikian salah satu butir penting hasil pertemuan Forum Konsultasi Tokoh Masyarakat Katolik Provinsi Gerejawi Makassar, 23-25 Oktober 2009 di Hotel Swiss-Belhotel Maleosan Manado.

Pertemuan yang diprakarsai Dirjen Bimas Katolik dengan bekerjasama dengan para Uskup provinsi gerejawi Makassar itu membahas tema Pemberdayaan LPK di bidang pendidikan secara khusus menanggapai Keprihatinan Sosial Gereja di bidang pendidikan yang terdapat dalam Nota Pastoral KWI 2008.



Selain pimpinan Gereja, hadir pula para tokoh masyarakat Katolik setempat yang peduli pendidikan Katolik baik dari kalangan Gereja maupun dari pemerintahan seperti P. Alex Lethe, Pr , P. Frederikus S. Tawaluyan, Pr , Prof. Dr. Philoteus E. S. Tuerah M.Si, DEA, Mayjen TNI (Purn) Ferry Tinggogoy, Dra.Henny Pratiknyo, MA, Stevy Thioritz, dan Sr. Margarethis K. TMM.



Di samping tokoh masyarakat Katolik setempat, hadir pula tokoh masyarakat Katolik berskala nasional dan pejabat pemerintah dari Jakarta yakni Dr. Cosmas Batubara politisi, Praktisi dan Pemerhati Pendidikan; Mayjen (Purn.) Herman Musakabe – Mantan Gubernur NTT dan Praktisi/ Pemerhati Pendidikan dan Masalah-masalah Sosial Kemasyarakatan; dan Dr. J. Riberu - Mantan Rektor Unika Atma Jaya Jakarta dan Praktisi/ Pemerhati Pendidikan; dan Drs. Frans Meak Parera Mantan Kepala Bank Naskah Kompas – Gramedia Jakarta.

Menurut Uskup Makassar, Mgr. Jhon Liku Ada’ Pr, tahun 1970-an dalam Gereja, pendidikan itu primadona. Tercatat ada 71 Sekolah Katolik di Keuskupan Agung Makassar. Sekolah-sekolah Katolik mempunyai dua ciri dalam pewartaan. Pertama sebagai sarana unggul penambahan umat lewat penginjilan. Kedua, banyak murid sekolah Katolik berasal dari agama mayoritas.

Berdasarkan statistik, mulai tiga dekade terakhir, situasi berubah. Tahun 2008, terjadi penurunan murid non-Katolik. Juga mutu pendidikan Katolik menurun. Ini harus dipikirkan secara serius. Sekarang kita harus melihat kenyataan ini.

Lanjut Uskup Makassar ini mengutip Nota Pastoral KWI 2008, ada tujuh aspek persoalan pendidikan sekolah Katolik: aspek filosofi pendidikan, aspek pastoral, aspek politis pendidikan, aspek manajemen, aspek SDM, aspek finansial, dan aspek demografi. Ketujuah akar persoalan ini harus dilihat sebagai peluang dan tantangan”.

Upaya-upaya konkrit yang kami laksanakan antara lain pertama, mempertahankan sekolah Katolik yang masih bisa dipertahankan, namun sebagian lagi harus ditutup. Kedua, karena kita tidak mampu membuka sekolah-sekolah baru, maka usaha kita adalah memperbanyak TK. Sedapat mungkin ada di setiap paroki/ Stasi besar. Ketiga membangun pendidikan berbasis asrama. Keempat, melalui pembinaan iman anak. Dalam keluarga, apakah situasi dan kondisi memungkinkan? Dalam negara, pelajaran agama terbatas, dan yang terjadi sebatas aspek kognitif. Dalam gereja, pemberdayaan TK dan SEKAMI (serikat anak-anak misioner).

Berbeda dengan Keuskupan Agung Makassar yang menyoroti sisi penurunan jumlah murid sekolah-sekolah Katolik, Keuskupan Manado menyoroti lembaga pendidikan Katolik dari sudut pengadaan guru, sebagai tenaga pendidik. Kekurangan guru merupakan persoalan penting untuk masa depan lembaga pendidikan Katolik.

Uskup Manado, Mgr. Yoseph Suwatan mengatakan, dulu Tomohon sangat terkenal dengan guru-guru agama lulusannya yang tersebar ke berbagai tempat di Indonesia Timur. Bahkan dalam sejarah, pendidikan guru di Tomohon tidak hanya terkenal di Indonesia Timur, tetapi juga ke daerah Tapanuli dan dan daerah Kalimantan. Banyak pula calon-calon guru datang untuk belajar di Tomohon.

Namun sekarang, kita kesulitan mencari tenaga pendidik, guru. Menurut Uskup Manado, “dulu kita mempunyai Sekolah Guru Agama, lalu diubah Pemerintah menjadi Sekolah Pendidikan Guru (SPG) yang mempersiapkan tenaga pendidik/ guru yang baik. Tahun 1990 – SPG dibubarkan pemerintah, ada 18 di seluruh Indonesia. Diganti menjadi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) di bawah Perguruan Tinggi Negeri, kecuali IKIP Sanata Dharma sebagai lembaga swasta yang dapat mengadakan PGSD. Waktu itu saya menjadi uskup. Kita berjuang supaya ada lembaga yang mendidik guru-guru kita. Romo Sewaka,SJ. dari MNPK KWI, akhirnya berhasil memperjuangkan lembaga pendidikan guru di bawah pengawasan/ bimbingan Sanata Dharma, dan lulusannya hanya untuk kebutuhan intern Lembaga Pendidikan Katolik, mereka tidak bisa menjadi PNS. Hanya ada 4 PGSD Katolik yang terdiri dari: Tomohon, Maumere, Semarang (Mendut) dan Nyarumkop (Pontianak). Entah berapa yang masih bertahan. Nayarumkop tidak ada lagi”.

Sejalan dengan persyaratan untuk menjadi guru SD harus Sarjana (S1). Maka ada wacana dari Keuskupan Manado supaya Universitas Katolik De La Salle Manado membuka Fakultas Pendidikan dan Keguruan, sebagai usaha mempertahankan upaya mendidik sendiri guru-guru agama Katolik.

Sekolah Katolik di Keuskupan Manado (meliputi provinsi SULUT, SULTENG, GORONTALO). Seluruhnya ada 286, sudah termasuk sekolah fratera dan suster. Persoalan pendidikan yang dihadapi Keuskupan Manadao adalah : soal mutu pelajaran/pendidikan (moralitas dan disiplin), tenaga pendidik, sarana dan prasarana, soal regulasi pemerintah dan etatisme, soal yayasan penyelenggara: Yayasan Pendidikan Katolik, struktur dan manajemen.

Uskup Manado berharap adanya suatu pembaruan lewat Nota Pastoral KWI 2008. Nota Pastoral ini : dapat membantu kita untuk berefleksi dan mengadakan pembaruan terhadap lembaga pendidikan Katolik.

Sementara itu di Keuskupan Amboina, menurut Vikjen Keuskupan Amboina, Pastor Yonas Atjas Pr, pengelolaan sekolah Katolik di keuskupannya belum maksimal, selain itu masih banyak anak Katolik yang belum mengenyam pendidikan formal. Hal ini disebabkan oleh rendahnya kesadaran orangtua akan pentingnya pendidikan. Juga disebabkan karena kemiskinan sehingga banyak anak yang putus sekolah. Dari sisi institusional, SDM penyelenggara, pengelola dan pelaksana belum memadai, sehingga output pendidikan kita cenderung rendah. Yang paling parah, kesiapan gedung sekolah dan sarana prasarana pendidikan juga belum memadai. Peranserta masyarakat pendidikan belum optimal membantu. Bantuan semata – mata berasal dari pihak pemerintah daerah. Meskipun perhatian pemerintah daerah telah cukup menyeluruh sampai ke pelosok, daerah terpencil, namun dirasakan belum banyak berarti.

Pimpinan Gereja Keuskupan Amboina berharap bahwa salah satu perwujudan panggilan dan perutusan gereja adalah melalui kerasulan di bidang pendidikan. Kiranya pendidikan formal maupun informal, teristimewa di dalam keluarga dibenahi dengan baik, agar tercipta manusia yang berkembang dewasa secara manusiawi dan kristiani. Yang pertama-tama harus mendapat perhatian adalah mutu keluarga – keluarga Katolik. Mengapa? Karena keluarga: sekolah pertama dan utama. Pendidikan yang baik: kewajiban asasi setiap keluarga, tegasnya.

Selanjutnya, menurut Pastor Yonas Atjas, sekolah Katolik memiliki peran demikian sentral karena menjadi wujud kerasulan gereja sebagai sakramen keselamatan bagi dunia dan manusia. Di sekolah guru memegang peran paling penting, mereka adalah pelaku utama pendidikan di sekolah. Maka guru yang bermutu sangat dibutuhkan sekarang ini. Guru, selain fungsi formal nya mengajar, namun dengan itu, ia dipanggil menjadi saksi iman yang hidup bagi manusia, murid – muridnya. Bersamaan dengan itu pula, sangat diharapkan bahwa, para guru memiliki kemampuan membangun dan mengembangkan kerjasama dengan semua pihak, teristimewa orangtua siswa. Harapan yang tidak kalah pentingnya dalah bahwa sekolah – sekolah Katolik diharapkan tetap menjalin kerjasama yang baik dengan pihak pemerintah dan para pemangku kepentingan lainnya. Pembangunan dan pengembangan jejaring ini harus pula dikembangkan pada tataran kerjasama antar sekolah Katolik dan sekolah negeri serta sekolah swasta lainnya demi tujuan – tujuan mulia, misalnya saling tukar informasi dan pengembangan mutu.

Pada hari terakhir pertemuan setelah mendengarkan masukan para pimpinan gereja dan tokoh masyarakat, para peserta pertemuan bersehati dan bersepakat mengemban amanat pastoral untuk merevitalisasi lembaga pendidikan Katolik. Ada sepuluh butir kesepakatan yang dirumuskan. Beberapa diantaranya selain merevitalisasi visi misi LPK, juga mendorong terbentuknya jejaring atau forum komunikasi di Provinsi Gerejawi Makassar sebagai wadah untuk mengkaji permasalahan antara lain di bidang pendidikan (regulasi, perkembangan IPTEK dan situasi internal Gereja katolik).

Selain itu disepakati peserta untuk mengupayakan pengadaan dan peningkatan profesionalisme pendidik dan tanaga kependidikan; meningkatkan komunikasi dengan para pemangku kepentingan baik internal Gereja Katolik, pemerintah dan mitra kerja lainnya; mengupayakan kerjasama dan solidaritas sekolah-sekolah Katolik di Provinsi Gerejawi Makassar; meningkatkan pastoral keluarga dalam rangka meningkatkan pendidikan nilai yang menjadi insan Katolik yang militan, tangguh, dan berbudi luhur; mengupayakan dengan serius pengadaan dan pengembangan pendidikan kewirausahaan pada lembaga pendidikan Katolik; mengupayakan dengan sungguh-sungguh peningkatan kesejahteraan pendidik and tenaga kependidikan dalam rangka pelayanan dan pengabdian pada lembaga pendidikan Katolik yang bermutu, serta melaksanakan dengan serius melaksanakan pendidikan karakter di LPK dengan langkah-langkah pendidikan nilai yang efisien dan efektif.



Pada misa penutupan, Mgr. Jhon Liku Ada’ berpesan agar semua peserta memohon pendampingan Tuhan dalam melaksanakan kesepakatan bersama ini. Ada bahaya-bahaya yang perlu diantisipasi seperti bahaya konkretisme, kekuasaan, kesombongan. “Kita butuh pendampingan Tuhan agar kita dapat menindaklanjuti kesepakatan ini” tegas Uskup Makassar ini. Menurut Uskup John Liku Ada, kesepakatan ini harus ditindaklanjuti dalam iman, kasih dan penuh harapan, sehingga kita bisa terhindar dari bahaya-bahaya yang ada. (HB/Majalah Hidup No. 63/13 Desember 2009 /Pormadi Simbolon)


Senin, November 23, 2009

MENDIDIK ANAK MENJADI INSAN BERBUDAYA DAN BERIMAN

Semua pihak, negara, pemerintah, keluarga dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mewujudkan anak-anak menjadi insan berbudaya dan beriman. Namun yang pertama dan terutama adalah orang tualah yang paling bertanggung jawab menciptakan anak menjadi insan berbudaya dan beriman.

Pembentukan anak tidak bisa diserahkan sepenuhnya ke pihak sekolah atau lembaga-lembaga lain, tanggung jawab orang tua mutlak diperlukan. Lembaga atau masyarakat hanyalah bersifat bantun dalam membentuk anak menjadi insan berbudaya dan beriman.

Masalah Anak Dewasa Ini

Dewasa ini, jutaan anak-anak berada di pinggiran jalan, tidak bisa menikmati keceriaan dan kasih sayang dari orang tua. Banyak anak yang kurang mendapat perhatian dan pengawasan dari orang tuanya, bahkan hidup tanpa keluarga, yang kemudian mendapat tindak kekerasan fisik, mental maupun seksual dari lingkungan sekitarnya.

Belum lagi, banyak pula anak sudah harus menanggung beban hidup amat berat, baik fisik, maupun mental yang menghambat proses tumbuh kembang anak secara normal.
Anak-anak yang kurang beruntung demikian banyak kita jumpai di pinggiran jalan, tidur di pasar, di emper toko atau di setasiu kereta api, hidup menggelandang, mengasi rejeki melalui aktivita mengemis dan bekerja di sekitarnya.



Ditambah lagi, ratusan ribu anak desa terperangkap sindikat perdagangan anak. Mereka yang seharusnya masih bersekolah dan bergembira terpaksa harus merantau jauh ke kota besar, lalu terpaksa menjual diri di tempat kelab-kelab malam, dikotek, atau panti pijat.



Menurut data Komnas Perlindungan Anak, jumlah anak terperangkap perdagangan anak pada tahun 2006 mencapai 42.771 orang, meningkat menjadi 745.817 orang di tahun 2007, dan akhir Juni 2008 mencapai lebih dari 400.000 orang. (Kompas, 13/07/2008). Anak-anak menjadi tidak bertumbuh kembang secara normal.



Beberapa tahun belakangan ini, anak-anak disuguhi tontonan televisi yang mengandung isi yang kurang mendidik. Padahal pembentukan karakter anak amat tergantung dari apa yang dilihat, dibaca dan didengar. Saat menonton televisi ketiga kegiatan tersebut berjalan sekaligus. Walikelas mereka adalah pemain sinetron, penyanyi dan presenter. Kurikulumnya sinetron dengan silabus utama adegan kekerasan (Kompas, 23/7/2008).



Semua pihak prihatin melihat masa depan anak Indonesia yang dipengaruhi dan dibentuk oleh lingkungan masyaralat. Tidak sedikit orang atau lembaga berseru, “Selamatkan anak-anak kita!”. Seto Mulyadi mengharapkan pemerintah agar mencanangkan “Gerakan Nasional Stop Kekerasan Terhadap Anak!”



Kebijakan Pemerintah terhadap Anak



Menurut Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (pasal 1), yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Anak tersebut dilindungi dengan tujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera (UU RI Nomor 23 Tahun 2002, pasal 3).



Dalam sistem pendidikan nasional, fungsi pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dengan tujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga yang demokratis serta bertanggung jawab (UU RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 3).



Dari sisi dunia agama, pendidikan agama berfungsi membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan intern dan antarumat beragama (Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007, pasal 2).



Dari sisi kebijakan pemerintah, perhatian yang mengedepankan pembentukan kepribadian anak untuk menjadi insan berbudaya dan beriman cukup memadai. Persoalannya, aplikasi kebijakan tersebut masih perlu diperjuangkan dan disosialisasikan dengan kerjasama antara semua pihak, negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua agar kebijakan indah itu tidak menjadi pasal-pasal di atas kertas saja.

Pandangan Keliru
Selama ini banyak orang tua berpandangan bahwa pendidikan dan pembentukan kepribadian anak secara nyaman dan kondusif diserahkan ke pihak sekolah dan dengan demikian tugas orang tua selesai. Namun kenyataannya, sekolah yang seharusnya menjadi tempat nyaman dan kondusif bagi anak-anak sebagai tempat pembentukan anak menjadi insan berbudaya dan beriman, sering menjadi tempat kekerasan dalam berbagai bentuk. Misalnya sarana-prasarana yang tidak memadai seperti gedung sekolah yang bocor atau ambruk, kurikulum padat, PR bertumpuk, bullying yang mencekam, guru yang galak, evaluasi belajar yang cenderung lebih untuk “kepentingan terbaik” bagi pemimpin daripada untuk siswa, semakin membuat anak-anak stres dan berkembang menjadi penyandang school-phobia (Seto Mulyadi, Kompas, 23 Juli 2009).



Adanya mitos, bahwa anak adalah hak milik orang tua, yang boleh diperlakukan semau gue sesuai dengan ambisinya mempengaruhi peningkatan kekerasan yang menghambat pertumbuhkembangan diri anak secara optimal. Ada pula pandangan, bahwa anak adalah komunitas kelas bawah yang cenderung tidak menjadi skala prioritas sehingga penanganan dan kebijakan yang diambil tidak mengedepankan kepentingan anak.

Menjadikan Anak berbudaya dan Beriman
Dalam penjelasan Bagian Umum UU RI nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, anak dijelaskan sebagai amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa.



Pertanyaannya, apakah semua pihak menyadari bahwa nasib, masa depan serta pertumbuhkembangan diri anak secara integral pertama-tama dan utama tergantung dari peran dan tanggung jawab orang tua? Pemerintah melalui kebijakan politiknya selalu menekankan bahwa orang tua bertanggung jawab dan berkewajiban mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak; menubuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan dan minatnya; dan mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak (UU RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, pasal 26).



Dapat dipastikan dalam setiap agama, peran orang tua sangat mendasar dikothbahkan dalam menumbuhkembangkan diri anak secara menyeluruh baik fisik, rohani, sosial, dan moral. Tidak ada agama yang mengajarkan umatnya untuk melalaikan pertumbuhkembangan diri anak, sebab anak-anak adalah karunia Tuhan yang akan meneruskan eksistensi umatNya di dunia.
Terlebih lagi di era jaman globalisasi, era teknologi dan informasi canggih yang penuh tantangan dan krisis moralitas, peran orang tua dalam keluarga semakin besar dan mutlak diperlukan dalam pertumbuhkembangan diri anak. Orang tua hendaknya sadar bahwa pendidikan dasar dan utama bagi anak-anak berada di dalam keluarga masing-masing agar tercipta anak yang berbudaya dan beriman. Maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.



Pertama, arti pentingnya orang tua dalam keluarga. Keluarga menjadi tempat pendidikan untuk memperkaya kemanusiaan. Pendidikan yang diwariskan orang tua dalam keluarga haruslah pendidikan dalam arti menyeluruh, yang meliputi pendidikan fisik, kepribadian, intelektual, sosial, iman dan moral. Supaya keluarga mampu mencapai kepenuhan hidup dan misinya, diperlukan komunikasi hati penuh kebaikan, kesepakatan suami istri, dan kerjasama orang tua yang tekun dalam pendidikan anak.



Kedua, peran ayah dan ibu terhadap anak. Kehadiran seorang ayah sangat membantu pembinaan anak, tetapi juga peran ibu yang mengurus rumah tangga dengan baik. Anak-anak memerlukan perhatian, kehangatan dan kemesraan hubungan dengan orang tua dan saudara-saudara mereka. Orang tua harus bisa bertindak sebagai ‘sahabat’ bagi anak-anaknya. Orang tua perlu menggunakan cara-cara yang sesuai dengan tingkat perumbuhan kedewasaan anak.
Ketiga, anak belajar dalam keluarga. Di dalam keluargalah anak-anak mendapat banyak pembelajaran tentang cara berelasi dengan orang lain, lingkungan masyarakat dan alam sekitarnya, diri sendiri dan Tuhan dalam kehidupan bersama. Soal iman akan Tuhan, harapan akan kehidupan sejahtera dan kasih kepada sesama manusia berawal dan bertumbuh di dalam keluarga. Oleh karena itu orang tua harus menjadi teladan dengan menciptakan iklim rukun dan damai, kesehatan badaniah, kebersihan rumah dan pekarangannya, mengasihi dan melayani orang lain, bersedia tenggang rasa, peka terhadap orang lain, hormat terhadap kehidupan seks, saling membantu guna mengenal dan mencintai Tuhan dan rajin berdoa (sholat) dan beribadat. Dengan demikian, anak-anak akan melihat, membaca, mendengar dan meneladani orang tua dalam segala hal, dan lambat laun anak-anak menjadi insan berbudaya dan beriman.



Melihat hal-hal penting dalam keluarga tersebut, peran orang tua amat berat. Orang tua mempunyai kewajiban yang sangat berat dan hak primer sekuat tenaga mengusahakan pendidikan anak, baik fisik, sosial dan kultural, maupun sosial dan religius. Orang tua sendiri harus menjadi pemberi teladan insan berbudaya dan beriman terlebih dahulu. Oleh karena itu, benarlah apa yang dikatakan oleh Sigmund Freud, anak akan memperlakukan orang lain di masa dewasa seperti ketika ia diperlakukan orang lain pada masa anak-anak (Corey, 2001). Anak akan menjadikan orang tua sebagai panutan dalam hidupnya.



Sudah saatnya peran dan tanggung jawab orang tua perlu ditekankan dan diberdayakan oleh semua pemangku kepentingan (stakeholder) dalam pembangunan keluarga Indonesia yang berkualitas. Ini dimulai dari perlunya penanaman paradigma bahwa perkawinan suami-istri sebagai pembentukan keluarga adalah hal suci (sakral) dan mempunyai tuntutan yang bertanggung jawab terhadap pendidikan dan kesejahteraan anak lahir dan batin. Pembentukan anak berbudaya dan beriman akan dapat mengurangi sebagian besar permasalahan anak dewasa ini bila paradigma lama yang melalaikan peran dan taladan orang tua, kita diubah menjadi paradigma baru yaitu bahwa peran dan tanggung jawab serta teladan orang tua, hak dan kewajiban mutlak orang tua dalam memperhatikan dan memilih pendidikan anak merupakan hal esensial dalam menciptakan manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga yang demokratis serta bertanggung jawab. Peran sekolah, negara dan masyarakat pada dasarnya hanyalah bersifat sekunder, fasilitator dan pendukung. (Pormadi Simbolon,Bulletin Bimas Katolik, Edisi XX, Mei-Agustus 2009)
Powered By Blogger