Trima kasih mengunjungi blog kami!

Para pengunjung yth. semua isi blog ini ditulis atau disusun atas kemauan pribadi. Itu berarti blog ini berisi aneka pendapat, pemahaman, persepsi pribadi, dan pemikiran pribadi atas lingkungan kerja dan hidup sekitarnya. Harapan kami isi blog ini bermanfaat bagi pengunjung yang memerlukannya. Salam, GBU.

Kamis, April 06, 2006

BUDAYA MALU YANG PALSU

Budaya Malu yang Palsu
SUARA PEMBARUAN DAILY, 05 APRIL 2006
Oleh Liong Kwei Cun
ulianti, seorang warga Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara, yang diduga terjangkit flu burung disembunyikan keluarga. Namun, Yulianti hingga Sabtu (11/3) tidak diketahui keberadaannya. Dia dicurigai menderita flu burung karena menderita demam dan batuk mirip dengan gejala penyakit mematikan itu (lih. www.sctv.co.id)

Namun, sampai sekarang belum diketahui entah kenapa pihak keluarga menyembunyikannya. Bocah 11 tahun ini merupakan adik Wahidi, pasien flu burung yang kini tengah diisolasi di Ruang Cempaka RSPI. Sang kakak sebelumnya sempat kabur dari rumah sakit itu, Jumat silam (10/3).

Bisa dua kemungkinan alasan mengapa keluarga menyembunyikan Yulianti. Kemungkinan pertama adalah karena rasa malu tidak memiliki uang untuk biaya pengobatan. Kemungkinan kedua adalah rasa malu terhadap tetangga karena penyakit flu burung.

Rasa Malu
Apapun alasannya, keluarga tersebut menyembunyikan anak yang sedang menderita sakit flu burung dan jelas keluarga jatuh pada himpitan rasa malu entah karena tidak punya uang atau karena takut dicemoohkan tetangga. Inilah budaya malu yang palsu alias rasa malu tidak sehat.
Demikian pula, kalau benar pendapat Wakil Kepala Dinas Kesehatan Nusa Tenggara Barat (NTB) dr Komang Gerudug tahun lalu tentang busung lapar dan kurang gizi di daerahnya, maka semakin menegaskan bahwa budaya malu yang palsu dipaksakan untuk menutupi kemiskinan.
Menurutnya, munculnya kasus busung lapar dan kurang gizi di NTB karena ada budaya malu di kalangan orang tua untuk membawa bayi mereka yang kurus kering atau malah sudah busung lapar ke puskesmas (seperti dikemukakan Mahlil Ruby).

Berbeda halnya dengan budaya rasa malu yang ditampilkan oleh para wakil rakyat di Senayan. Mereka merasa malu bila publik mengetahui bahwa penghasilan mereka dinaikkan. Rasa malu mereka semakin terasa diusik bila ada suara-suara publik yang memrotes atau menolaknya karena alasan rakyat sedang dijerat kemiskinan dan kelaparan. Konon kabarnya, kinerja para wakil rakyat akan semakin bermutu dan optimal bila penghasilan mereka dinaikkan, tetapi nyatanya tidaklah demikian. Mereka merasa malu tetapi kebijakan kenaikan penghasilan para wakil rakyat rencananya tetap dijalankan.

Fenomena budaya malu yang palsu sebenarnya sudah lama menyeruak di tengah masyarakat. Dengan amat jelas, budaya malu yang palsu itu sungguh membuat kita yang berakal budi sehat menjadi malu.

Sekelompok calon kepala daerah merasa malu bila harus menerima kekalahan dalam kompetisi pemilihan kepala daerah tahun lalu. Pada pribadi yang tidak bisa menerima kekalahan, budaya malu itu ditampakkan wujudnya dalam bentuk kekerasan dan dan perilaku curang alias ketidakjujuran tampil ke permukaan.

Begitu pula, sudah tidak menjadi rahasia umum lagi bahwa beberapa pejabat publik akan merasa malu bila belum memiliki rumah dan mobil mewah, harta bergerak dan tidak bergerak entah di pusat entah di daerah selama memegang jabatan di suatu instansi pemerintahan.
Bila jujur diakui, budaya malu yang palsu mengafirmasikan suatu sikap hidup tidak jujur. Sebuah ketidakjujuran terhadap eksistensi dan kehidupan manusia sebagai insan yang kodratnya harus memasyarakat. Ketidakjujuran terhadap kebutuhan akan keadilan dan kesejahteraan bersama sebagai makhluk sosial.

Bukankah manusia semakin memanusiawi bila hidup bersama dengan orang lain atau dengan kata lain manusia hanya bisa hidup bersama orang lain bila ada kejujuran mengakui adanya saling ketergantungan akan kebutuhan hidup?

Dampak Era Mondialisasi
Fenomena budaya malu yang palsu semakin bermunculan di era mondialisasi dan bisa jadi merupakan dampak dari era mondialisasi itu sendiri.
Era mondialisasi ikut ambil bagian menciptakan budaya malu yang palsu alias ketidakjujuran pada kenyataan hidup.

Di satu sisi, era mondialisasi selain membawa dampak kemiskinan, marjinalisasi dan ketertinggalan bagi negara yang lemah di bidang strategi ekonomi dan politik, tetapi juga mendorong orang mengikuti gaya hidup di negara maju yang karena ketidakjujurannya bisa terjerumus pada pola dan perikehidupan serba tanda (simbol) dan gaya, pola hidup konsumtif, fenomena jalan pintas, pergi ke mall dan aneka macam kesempatan dan lompatan sukses serba cepat.

Di sisi lain, era mondialisasi menantang kebanyakan orang untuk mengejar kemajuan dan kemakmuran dengan persaingan yang semakin ketat dan keras. Kompetisi tersebut terjadi antara negara-negara maju dengan negara-negara sedang berkembang, antara individu-individu yang memiliki kecakapan dengan mereka yang kurang mampu (baik skill maupun ekonomi).
Situasi persaingan ketat dan butuh kerja keras tersebut dapat mencondongkan sekelompok orang melakukan kecurangan dan menciptakan budaya malu yang palsu. Nilai kerja keras dan perjuangan terabaikan demi meniru pola hidup berbau mon- dialisasi.

Tren hidup dengan pola dan perilaku serba tanda dan lahiriah, pola hidup konsumtif dan fenomena jalan pintas sebenarnya merupakan dampak mondialisasi. Kecenderungan mengikuti pola hidup demikian logisnya akan mendorong perilaku menuju tindak korupsi, kolusi dan nepotisme untuk mengejar kesuksesan dan kekayaan secara instan. Tren tersebutlah tampaknya sedang melanda warga Indonesia.

Sebagian orang merasa malu bila hidup dalam kemiskinan, kelaparan dan menderita suatu penyakit, terlebih lagi bila hal itu diketahui orang banyak, karena dipandang sebagai aib dan memalukan di tengah hamparan panggung kehidupan.
Rasa malu yang palsu itu semakin menebal ketika pemikiran publik dikuasai cara pandang keliru terhadap mereka yang hidup dalam kemiskinan, yang menderita busung lapar dan penyakit flu burung (dan aneka penyakit lainnya).

Budaya malu yang palsu dapat pula kita saksikan pada kehidupan sekelompok pejabat publik. Pada dasarnya mereka sudah hidup berkecukupan dan dibiayai negara, tetapi masih tega-teganya melakukan tindak korupsi demi penumpukan harta kekayaan guna mengikuti tren hidup era mondialisasi.

Mereka merasa malu dan tertinggal bila tidak bisa mengikuti tren dan gaya hidup berbau mondialisasi seperti warga negara maju, yang memang sudah mampu dan maju dalam arti sejatinya.

Fenomena budaya malu yang palsu yang ditampilkan sebagian masyarakat miskin merupakan bentuk penghinaan dan penegasian nilai kejujuran dan kerja keras. Padahal, bila mereka jujur dan menyatakan situasi dan keadaan sebenarnya, pasti masih banyak orang yang berhati nurani sehat dan lurus, yang datang baik secara perorangan maupun lembaga guna menolong dan mengurangi penderitaan mereka.

Berbeda dengan fenomena rasa malu yang palsu yang dipertontonkan sekelompok oknum pejabat elite di negara ini. Mereka malu bukan karena melihat banyak rakyatnya yang miskin, lapar dan sakit-sakitan, melainkan karena nilai-nilai yang mereka kejar adalah nilai-nilai hidup yang superfisial, dangkal, dan penuh dengan kepalsuan dan kemunafikan. Inilah fenomena budaya malu yang palsu para koruptor.

Memang begitu pahit bila kita coba menjalani hidup dengan penuh kejujuran dalam arti sejatinya di era mondialisasi sekarang. Kita bisa rugi sendiri dan disingkirkan dari pergaulan masyarakat banyak.

Selain itu nilai kejujuran dan kerja keras semakin tertindas oleh pemikiran kolektif yang keliru. Hanya dengan keberanian dan bantuan kekuatan adikorati (doa pada Tuhan), sekelompok masyarakat dan pada umumnya individu-individulah yang mampu mendobrak pikiran kolektif yang keliru, seperti yang dilakukan Sokrates atau para Nabi di jamannya.

Penulis adalah seorang karyawati swasta tinggal di Jakarta
Last modified: 5/4/06

NKRI, KONFLIK AGAMA DAN SUMPAH SETIA PADA PANCASILA DAN UUD 1945

NKRI, KONFLIK AGAMA
DAN SUMPAH SETIA PADA PANCASILA DAN UUD 1945
Oleh Pormadi Simbolon*

Konflik antar pemeluk agama, khususnya antar pemeluk agama Islam – Kristen dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) seyogiyanya tidak berlarut-larut terjadi hingga dewasa ini bila aparatur negara dan masyarakat sungguh-sungguh setia dan taat sepenuhnya pada Pancasila dan UUD 1945. Sebab Pancasila dan UUD 1945 memang dimaksudkan para pendiri bangsa (the founding fathers) untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia dari aneka ancaman dan gangguan baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri.

Para pendiri bangsa kita yang telah melahirkan dan membentuk negara ini dengan pemikiran arif dan bijaksana, dan dengan pandangan yang jauh ke depan telah meletakkan dasar-dasar yang kuat dan teguh di atas nama negara ini dapat tumbuh dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berbhinneka tunggal ika.
NKRI
Adapun prinsip dasar yang diletakkan adalah negara kesatuan yang bersifat integralistik dengan menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan yang ditetapkan dalam rumusan UUD 1945 dan Pancasila. Itu berarti hakekat kebangsaan kita adalah memberikan ruang dan kesempatan kewilayaan/ kedaerahan, golongan, keagamaan yang semakin dewasa dan mandiri dan tidak bisa tidak harus bertolak dari fakta bahwa memang wilayah negara ini sangat luas, yang di dalamnya hidup masyarakat yang terdiri berbagai suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat dan lain sebagainya.

Berangkat dari prinsip dasar NKRI tersebut, the founding fathers menetapkan tujuan-tujuan yang harus dijalankan oleh negara, dalam hal ini pemerintah. Salah satu tujuan tersebut adalah melindungi segenap bangsa Indonesia yang beraneka ragam termasuk melindungi dari ancaman dan gangguan terhadap para pemeluk agama.

Tujuan tersebut merupakan hasil konsensus nasional dan pemikiran inklusif dan cerdas para pendiri bangsa. Segenap bangsa Indonesia harus dilindungi. Artinya negara menaungi (agar tidak kepanasan), mengalangi (agar tidak dikenai tembakan dan pengrusakan) dan menjaga (agar selamat). Tentu semua itu dalam korridor hukum.

Pelaksana utama dan terutama dalam melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia tersebut adalah aparat negara yaitu pelaksana tugas pemerintahan. Aparatur negara adalah perangkat pemerintahan meliputi lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif. Semua lembaga tersebut saling terkait dan bekerja bersama-sama sesuai dengan bidangnya dalam menggapai tujuan NKRI yaitu melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia termasuk melindungi pemeluk agama-agama yang ada di dalamnya.
Konflik Agama Islam-Kristen
Konflik antar pemeluk agama khususnya Islam – Kristen terjadi tidak hanya di Indonesia. Namun dalam konteks NKRI, negara dalam hal ini pemerintah merupakan tameng perlindungan bagi segenap bangsa terutama warga pemeluk agama yang tertindas dan teraniaya.

Kenyataan menunjukkan, negara yang diwakili oleh pemerintah NKRI, relatif belum berhasil melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia. Hal ini terlihat dari perjalanan bangsa dimana konflik antara agama Islam – Kristen menimbulkan korban ketidakadilan.

Pada masa Orde Lama, konflik Islam – Kristen ditandai dengan pemberontakan DI/ TII/ NII, perdebatan konstituante, dan masalah penyiaran agama. Ada keinginan sebagian pemeluk agama untuk membentuk nusantara menjadi negara agama.

Pada masa Orde Baru, konflik agama diindikasikan dengan kebijakan pemerintah yang memutuskan SKB No 1/ 1969 tentang pembangunan rumah ibadah, RUU Perkawinan 1973, perkawinan beda agama, RUU Pendidikan Nasional, RUU Peradilan Agama, serta rangkaian kerusuhan dan pengrusakan gereja. Konflik tersebut menimbulkan korban baik secara fisik maupun batiniah bagi pemeluk agama yang tertindas.

Dewasa ini, di era “reformasi” konflik agama Islam – Kristen ditandai dengan rangkaian kerusuhan di Kupang, Poso, Ambon-Maluku, Kalimantan, rangkaian ledakan bom di beberapa gereja, isu Piagam Jakarta dan amandemen UUD 1945, UU Pendidikan Nasional 2003, Fatwa MUI yang mengharamkan pluralisme, liberalisme dan sekularisme dan terakhir penutupan paksa sejumlah bangunan gereja dan perumahan yang digunakan sebagai tempat ibadah. Konflik Islam – Kristen tetap terjadi secara terselubung dan bahkan secara terang-terangan dengan berbagai jalur yang memungkinkan.

Barangkali konflik agama antara pemeluk agama Islam dan Kristen tidak akan pernah berakhir (?), namun tugas negara tetap melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia terlepas dari apapun agama atau kepercayaannya.

Sepanjang sejarah, penanganan konflik antar pemeluk agama Islam – Kristen berada di tangan negara. Seturut era “reformasi”, kewenangan pembangunan bangsa di bidang agama tetap berada di tangan pemerintah pusat. Sebagaimana disebutkan dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan PP Nomor 25 Tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan pemerintah provinsi sebagai daerah otonom. Pemerintah Pusat disebutkan mempunyai kewenangan di bidang agama dan kewenangan itu tidak diserahkan ke pemerintah daerah. Tentu kebijakan ini bertujuan untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia.

Juga jelas sekali kalau kita mengacu pada Pancasila dan UUD 1945, aparatur pemerintah pusat lewat kantor wilayah dan bawahannya seyogiyanya melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia dari segala bentuk penganiayaan dan penindasan. Sebab perlindungan tersebut adalah panggilan pemerintah sebagai aparat negara NKRI.
Sumpah Setia
Kita semua tahu, bahwa semua warga masyarakat NKRI harus setia dan taat dan teristimewa aparat negara (pegawai negeri sipil, TNI dan Polisi RI) harus mengangkat sumpah setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila dan UUD 1945. Juga mereka bersumpah bahwa mereka mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan golongan dan diri sendiri (PP No 32 Tahun 1980).

NKRI sudah 60 tahun merdeka. Enam puluh tahun pula kita semua membacakan dan mendengarkan Pancasila dan UUD 1945 ketika Upacara Bendera pada hari-hari besar negara. Yang lebih istimewa adalah aparat negara selalu diangkat sumpah untuk setia pada Pancasila dan UUD 1945. Sayangnya banyak aparatur negara masih berada pada tataran bersumpah setia “tentang” Pancasila dan UUD 1945 di mulut, namun belum “benar-benar” bersumpah setia dalam pelaksanaan tugas.

Ketidaksetiaan pada Pancasila dan UUD 1945dalam hidup bernegara, berbangsa dan bernegara terlihat dari adanya pemeluk agama yang tertindas, dan rumah ibadahnya dirusak dan dibakar, merajalelanya korupsi, kolusi dan nepotisme, ketidakadilan pemerataan pendapatan negara dan penegakan hukum yang relatif belum berjalan.

Jika kita tetap demikian maka tantangan terbesar adalah kelangsungan dan keutuhan negeri ini sebagai NKRI. Ancaman disintegrasi, dan terpecah-belah oleh konflik karena latar belakang perbedaan suku, agama, ras dan antargolongan akan selalu mengerogoti kita.

Namun bila kita masih menghendaki kelangsungan dan keutuhan NKRI maka tidak bisa tidak pemerintah harus melindungi segenap bangsa dan taumpah darah Indonesia dari ancaman kekerasan, penganiayaan, pengrusakan, pembakaran, pemanipulasian, pembodohan dan ancaman-ancaman lainnya. Untuk itu pewujudnyataan sumpah setia pada Pancasila dan UUD 1945 masih harus tetap diusahakan bersama. Semoga.

*Penulis adalah pemerhati NKRI
Mandala: “Dari Medan Menuju Jakarta”
(sebuah pemaknaan)

Baru saja kita menyaksikan bersama, pesawat Mandala Boeing737-RI 091 mengalami kecelakaan (05/09/2005) yang menewaskan ratusan penumpang ditambah dengan sejumlah penduduk akibat tertimpa pesawat. Kecelakaan terjadi akibat gagal melakukan take-off, lalu jatuh, meledak, dan hancur berkeping-keping.
Konon, pesawat tersebut hendak mengadakan perjalanan dari Medan menuju Jakarta. Amat bermakna jika kita coba merenungkan tragedi pesawat Mandala: “dari Medan menuju Jakarta.
Tragedi Mandala
Barangkali ada baiknya pemaknaan tragedi Mandala kita awali dengan mencermati unsur-unsur berikut ini: mulai dari pesawat Mandala, para penumpang, pilot dan para pembantunya dan akhirnya perjalanan dari Medan menuju Jakarta.
Pesawat Mandala merupakan suatu alat transportasi yang sedianya diharapkan dapat membawa penumpang dari Medan menuju Jakarta. Namun karena pesawat “tidak sehat” alias mengalami ketidakberesan maka pesawat gagal take-off dan berujung pada kehancuran. Artinya pesawat yang tidak layak terbang semestinya direparasi atau diperbaiki lebih dulu atau barangkalu perlu diganti dengan yang baru.
Lalu para penumpang pesawat, mereka adalah insan-insan yang beraneka ragam dilihat dari suku, agama, ras dan antargolongan. Kenyataan demikian nyata kita saksikan lewat media televisi dan surat kabar ketika berita kecelakaan pesawat tersebut dilaporkan.
Kalau kita mencermati dari segi etnologis para penumpang Mandala tersebut, maka kita akan tahu bahwa mereka terdiri dari etnis Batak, Jawa, Tionghoa, Aceh dan barangkali masih ada suku lainnya.
Yang lebih berkesan lagi, para penumpang memeluk agama yang berbeda antara lain agama Islam, Katolik, Kristen, Budha dan agama lainnya. Hal ini kita saksikan ketika televisi baik milik pemerintah maupun swasta menyiarkan dan menampilkan pemakaman para korban yang tewas. Para korban tewas beragama Islam dimakamkan seturut ajaran Islam. Demikian pula pemakaman korban tewas beragama Katolik atau Kristen dimakamkan secara Kristiani. Pemandangan mengharukan lewat televisi tersebut menunjukkan kemajemukan dan keberbedaan yang indah.
Lalu, pilot bersama para pembantunya merupakan insan-insan kepercayaan pemilik Mandala dan otomatis oleh para penumpang pula. Para penumpang memercayakan keselamatan dan keamanan diri mereka sepenuhnya kepada pilot dan para pembantunya selama dalam perjalanan menuju tempat tujuan. Pilot menjadi tokoh kunci dan penting selama dalam perjalanan. Ia mengendalikan pesawat seturut ilmu penerbangan yang ia pelajari. Ia juga sadar bahwa pencapaian tujuan bersama tercapai dengan baik bila penumpang mau bekerja sama dengan dirinya. Misalnya para penumpang harus mematikan alat-alat elektronik selama perjalanan seperti Handphone (telepon selular) agar perjalanan pesawat tidak terganggu.
Selanjutnya unsur perjalanan dari Medan menuju Jakarta. Medan merupakan titik keberangkatan. Jakarta menjadi titik tujuan. Perjalanan dari Medan menuju Jakarta ditempuh dengan pesawat. Gambaran perjalanan dari Medan menuju Jakarta adalah sebuah pergerakan dari satu menuju titik lain, dari suatu keadaan menuju keadaan lain, dari keadaan lama menuju suatu keadaan baru. Pencapaian tujuan dapat tercapai dengan baik bila pilot dan para pembantunya memastikan dan menjamin bahwa pesawat akan dapat terbang dan atau siap mengadakan perjalanan. Namun bila pilot dan para pembantunya sembrono dan para penumpang keras kepala misalnya, maka pesawat akan gagal take-off, lalu jatuh dan meledak, akhirnya hancur berkeping-keping.
Dari Medan Menuju Jakarta
Setelah mencermati beberapa unsur peristiwa tragedi Mandala tersebut, saya melihat ada kesamaan antara perjalanan Mandala yang berangkat dari Medan menuju Jakarta dengan perjalanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berangkat dari suatu keadaan ketertinggalan dan sedang kiris multidimensi menuju suatu keadaan kemajuan negara yang demokratis, adil dan sejahtera.
Pesawat Mandala itu adalah negara kita. Para penumpang yang majemuk dan pluralis merupakan kenyataan warga NKRI. Pilot dan para pembantunya mewakili para pemimpin kita bersama para pembantunya. Perjalanan dari Medan menuju Jakarta adalah perjalanan NKRI dari keadaan miskin menuju keadaan makmur.
Dalam perjalanan tersebut para warga negara telah memercayakan keselamatan dan keamanan diri mereka kepada pemerintah bersama aparatur lainnya. Itu berarti para warga negara menyerahkan hak untuk pemeliharaan dan pengayoman kepada penyelenggara pemerintahan yang mereka percayai.
Selain itu, para warga NKRI harus mendukung pemerintah dalam melaksanakan programnya dalam kerangka pencapaian tujuan bersama. Artinya ada kerjasama antara warga NKRI dengan pemerintahnya.
Sebaliknya pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan seyogiyanya memastikan “kesehatan” negara sebelum mengadakan perjalanan. Pemerintah semestinya memastikan apakah semua warga NKRI sudah terjamin keselamatan dan keamanannya.
Siapapun yang menjadi “pilot” NKRI, ia harus menjamin keselamatan dan keamanan warga negara, seturut dasar dan konstitusinya (Pancasila dan UUD 1945). Ketetapan itu dirumuskan para bapa bangsa (the founding fathers) untuk memastikan “kesehatan” NKRI.
Menjadi relevan apa yang pernah dikatakan oleh Nurcholish Madjid (Cak Nur) bahwa kita tidak usah takut akan siapa yang menjadi “pilot” atau peminpin negeri ini, asal ia memelihara dan menjamin kebebasan pers, kebebasan akademik, kebebasan berkumpul dan berserikat, (bdk. Saydan, 1999: 3) termasuk kebebasan memeluk agama dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya masing-masing.
Tentulah, tak seorangpun dari warga ini menginginkan NKRI mengalami tragedi Mandala. Pesawat Mandala tidak sampai ke tujuan karena pesawat “tidak sehat” alias dalam keadaan tidak layak terbang. Harapan kita sebagai warga, semoga perjalanan NKRI “dari Medan menuju Jakarta” berhasil dengan selamat sehingga negara yang demokratis, adil dan sejahtera terwujud.

Penulis adalah alumnus STFT Malang

PNS: BUKAN PELAYAN PARPOL

PNS: BUKAN PELAYAN PARPOL
Oleh Pormadi Simbolon

Baru-baru ini Ketua Umum Golkar Jusuf Kalla dalam pidato politiknya saat peringatan ulang tahun ke-41 Partai Golkar, 26 Nopember 2005 yang lalu,, mewacanakan agar Pegawai Negeri Sipil (PNS) terjun ke kancah perpolitikan nasional. Latar belakang wacana tersebut rasional karena PNS yang rata-rata memiliki SDM (sumber daya manusia) yang lebih baik daripada kalangan swasta harus diberi kesempatan berkiprah dalam dunia politik.

Selain itu, banyak intelektual di jajaran birokrasi yang sangat layak untuk terjun dalam percaturan politik praktis. Pengalaman kebirokrasian, pendidikan dan pelatihan yang tertata secara sistematis menjadi kelebihan tersendiri bagi para insan PNS.

Pernyataan Jusuf Kalla yang adalah Ketua Umum Golkar itu menuai protes. Wacana yang berciri Orde Baru itu langsung ditolak mentah-mentah oleh Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI).

PNS dan Kedudukannya
PNS adalah setiap warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas lainnya dan digaji berdasarkan perundang-undangan yang berlaku (UU No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian).

Dalam Undang-undang yang sama ditegaskan bahwa PNS bekedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan dan pembangunan.

Dalam sejarahnya, PNS membentuk organisasi KORPRI bertujuan sebagai wadah penyaluran aspirasinya. Namun wadah tersebut pernah digunakan sebagai alat atau kendaraan politik untuk meraih kemenangan suara dalam Pemilu pada masa Oede Baru yang lalu.

Dari pengalaman masa lalu yang mencoreng nama baik KORPRI itu, para insan PNS menyadari perlunya kembali ke jati diri dan semangat awalnya yaitu sebagai abdi negara dan masyarakat tanpa diskriminasi. Hal itu dirumuskan dalam Panca Prasetya KORPRI dalam Munas yang diadakan pada tahun 1999, yang berbunyi: (1) Setia dan taat kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. (2) Menjunjung tinggi kehormatan bangsa dan negara serta memegang teguh rahasia jabatan dan rahasia negara. (3) Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat di atas kepentingan pribadi dan golongan. (4) Bertekad memelihara persatuan dan kesatuan bangsa serta kesetiakawanan Korps Pegawai Republik Indonesia dan 5. Berjuang menegakkan kejujuran dan keadilan, serta meningkatkan kesejahteraan dan profesionalitas.
Pelayan Semua, bukan Pelayan Parpol
Bila dilihat dari jati bdirinya, para insan PNS adalah pelayan untuk semua warga negara sesuai dengan bidang masing-masing tanpa diskriminasi atas suku, agama, ras dan golongan. Pegawai Negeri yang terdiri dari Pegawai Sipil, anggota TNI dan POLRI, akhir-akhir ini kembali diajak untuk terjun ke lautan politik praktis.

Berangkat dari pengalaman sejarah, ajakan kembali para PNS memasuki dunia politik tidak berlebihan bila disebut sebagai langkah mundur dan sebuah strategi yang tidak populis dan tidak menjanjikan lagi.

Memperhatikan kenyataan pada masa Orde Baru, KORPRI sebagai pemersatu insan PNS malah mengalami eksistensi yang tidak menguntungkan karena fungsi dan tujuan semula sebagai wadah mempersatukan anggotanya dan menyukseskan program pembangunan nasional serta mewujudkan pelaksanaan peraturan perundang-undangan Pegawai Republik Indonesia berubah menjadi alat atau kendaraan politik Golongan Karya demi meraih kemenangan dalam Pemilu pada waktu itu. KORPRI menjadi milik sekelompok masyarakat dengan aspirasi politik tertentu saja, dan lalu mengakibatkan pelayanan publiknya menjadi diskriminatif. Apakah KORPRI mau kembali jatuh kepada pengalaman masa lalu?

PNS yang berjumlah kira-kira 3,7 juta orang dan bergerak di birokrasi tersebut memang merupakan aset SDM yang patut diperhitungkan Parpol dalam merebut suara rakyat dan berkampanye dalam Pemilu. Namun PNS bisa menjadi batu sandungan alias penghambat pelayanan publik secara adil dan merata bila terjun kembali ke dunia politik.

Ajakan kembali PNS terjun ke dunia politik jelas tidak relevan lagi. Hukum positif yang sudah ada yaitu UU No. 43 Tahun 1999 tentang Kepegawaian dan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2004 jelas-jelas melarang PNS menjadi anggota Parpol atau pengurus Parpol dan justru dengan tegas mau menarik diri dari dunia politik praktis.

Demikian juga dalam UU No. 31 Tahun 2002 dikatakan bila ada PNS yang ingin menjadi anggota Parpol harus keluar dari PNS.

Sangat ironis dan tidak relevan memang, bila wacana penarikan PNS untuk terjun ke kancah perpolitikan nasional digulirkan kembali di era reformasi dan pasca reformasi. Sejak tahun 1998 sudah dikumandangkan bahwa PNS harus menjadi insan pelayan publik dan abdi negara, bukan mendua di tengah kepentingan umum dan kepentingan partai politik.

Semangat reformasi yang begitu indah didengar dan digembar-gemborkan belum lagi terwujud sepenuhnya selama 7-8 tahun terakhir, suatu ajakan untuk kembali ke “semangat” Orde Baru datang menggoda. Di tengah proses perwujudan semangat reformasi dan upaya pemerintah mereformasi birokrasi, mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, melakukan pelayanan publik secara prima tanpa diskriminasi, membangun sikap netral dalam politik demi mengayomi bangsa Indonesia, di situ pulalah muncul sebuah semangat lama yang ditentang insan-insan reformis. Ialah semangat penarikan kembali para insan PNS terjun ke dunia politik dan jelas-jelas tidak sehat bagi instansi birokrasi dan pemerintahan.

Citra PNS yang sering diidentikkan sebagian orang sebagai pelaku tindak korupsi harta negara secara pelan-pelan sedang proses menuju perubahan ke citra PNS yang bersih dan berwibawa, di saat itu pulalah PNS hendak dibawa kembali kepada keadaan yang semakin memperburuk citra PNS itu sendiri. Dengan masuknya para insan PNS ke dunia politik, itu berarti mereka harus berperan ganda dimana dua kepentingan yang saling berbeda harus mereka lakoni.

Yang paling mendasar dari jati diri para insan PNS adalah kedudukannya sebagai abdi masyarakat dan abdi negara yang hanya menjalankan kebijakan dan keputusan yang ditetapkan dalam undang-undang kenegaraan yang sah, entah siapapun pimpinan pemerintahan yang sah pula dan pengganti-penggantinya. Jadi para insan PNS beserta wadahnya KORPRI, bukanlah pelayan Parpol tertentu atau Golongan Karya versi Orde Baru tetapi pelayan semua dan diperuntukkan bagi semua warga negara dan masyarakat Indonesia.


Penulis adalah insan PNS, tinggal di Jakarta

Senin, Maret 27, 2006

BILA RAKYAT SEMAKIN GELISAH

Bila Rakyat Semakin Gelisah
Oleh Pormadi Simbolon

dimuat di harian SUARA KARYA, Jumat, 24 Februari 2006

Baru-baru ini, para ulama wakil sejumlah organisasi kemasyarakatan menyampaikan sejumlah kegelisahan dan kerisauan mereka atas berbagai masalah yang dihadapi bangsa (Senin, 13/2) kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dalam waktu yang tak berselang lama, para pengutang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) bergegas ke Istana menyampaikan keputusasaan karena persoalan mereka menemui jalan buntu akibat menjadi korban pemerasan dan dijadikan bola pimpong oleh oknum aparat pemerintah.

Para ulama dan debitor BLBI mendapat tempat di hati penghuni Istana Negara dan sudah pasti juga akan mendapat perhatian para anggota DPR. Lalu bagaimana dengan rakyat yang dalam keputusasaan karena kesulitan hidup bila datang ke Istana dan gedung DPR Senayan?
* * *

M Nadinir (36), seorang pemuda lajang dari Bekasi, harus gantung diri karena tidak kuat menanggung kesulitan ekonomi. Susahnya hidup membuat ia mengalami tekanan batin berkepanjangan. Ia putus asa, namun hanya diam dan tidak bisa berbuat apa-apa. Akhirnya ia memutuskan bunuh diri.

Lewat pemberitaan di layar televisi, media cetak dan internet, kita mengetahui betapa banyak rakyat mengeluh dan menjerit karena kesulitan hidup. Sebagian rakyat harus mencari kerak nasi dan sisa makanan tetangga untuk diolah ulang menjadi aking untuk makanan keseharian anak-anak dan keluarga. Ini terjadi akibat harga sembako yang terus membubung naik pasca- kenaikan harga BBM.

Para nelayan tidak bisa mencari ikan di laut karena harga solar semakin tidak terjangkau. Mereka hanya bisa mengeluh tanpa ada tanggapan berarti dari pemerintah. Mereka hanya berusaha untuk bertahan hidup dengan segala usaha yang mungkin dapat mereka lakukan.
Rasanya, nasib rakyat tidak banyak berubah dari masa pemerintahan satu ke pemerintahan lainnya. Tak pelak sempat muncul keluh kesah bahwa hidup di masa pemerintahan Soeharto lebih baik daripada di masa-masa pemerintahan sesudahnya. Sekarang ini hidup dirasakan semakin susah. Pekerjaan sulit didapat. Para petani tidak pernah bisa menikmati keuntungan hasil penjualan gabah mereka.

Kenaikan harga BBM dan kebijakan impor beras di masa pemerintahan SBY (dan pemerintahan sebelumnya) membuat hidup rakyat semakin sengsara dan berada dalam ketidakpastian. Kemiskinan selalu menggerogoti. Kematian akibat kekurangan gizi dan kelaparan pun selalu mengintai rakyat kecil.

Presiden SBY pernah meminta pengertian rakyat atas dicabutnya subsidi BBM yang katanya hanya dinikmati orang kaya. Rakyat pun diam dan mengerti seraya menanti adanya perubahan atas nasib mereka. Nyatanya, kehidupan rakyat semakin memburuk.

Menanggapi kritik dan demo anti-impor beras oleh warga masyarakat, pemerintah dan DPR cenderung apatis dan bersikap tidak peduli. L Wilardjo dalam sebuah artikel di media massa pun menyebut pemerintah dan DPR sudah tebal kuping alias ndableg.

Rakyat sering kali terpaksa harus mengalah pada kemauan pemerintah. Mereka harus menerima kebijakan pemerintah (lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif). Ketika rakyat berusaha memahami dilema yang dihadapi pemerintah, semakin lama mereka semakin menderita dan sengsara. Menangis!

Di saat sulit, gelisah dan putus asa, rakyat hanya bisa diam, memberontak tak akan berarti apa-apa. Mungkin pilihannya adalah "gantung diri" dan atau "mati pelan-pelan" dengan sendirinya?
Pasca-kenaikan harga BBM, kemiskinan selalu menggerogoti kehidupan rakyat. Kesulitan ekonomi membuat mereka ekstra ketat mengatur ekonomi keluarga. Apa pula yang terjadi pada rakyat kecil jika tarif dasar listrik (TDL) jadi dinaikkan dalam waktu dekat?

TDL memang belum dinaikkan. Namun indikasi terjadinya pengangguran dan PHK massal mulai tampak. Ratusan industri logam dan kimia di Sumatera Utara mulai merumahkan karyawannya. Demikian pula PT Sanyo Jasa Components mulai merumahkan 350 orang buruhnya agar bisa survive.

Bisa dibayangkan, kesulitan hidup semakin menjadi-jadi di kalangan rakyat. Mereka membutuhkan tempat mengadu. Bila mengadu ke Istana, rasanya sudah tidak ada artinya lagi. Ketika berdemo ke Istana soal kenaikan harga BBM dan anti-beras impor, rakyat cenderung dicuekin. Harga BBM naik, rakyat sengsara. Kebijakan impor beras dilanjutkan, rakyat tambah menderita.

Demikian pula ketika rakyat berharap pada lembaga perwakilannya sendiri di gedung DPR, yang mereka terima hanya "stempel" setuju atas impor beras. Rakyat pun kembali harus siap-siap menderita dan diacuhkan para wakilnya.

Baik kepada pemerintah (eksekutif) maupun DPR (legislatif), rakyat tampaknya sudah tidak mendapat tempat di hati mereka. Rakyat selalu dibujuk untuk coba mengerti pemerintah, bahkan pernah diberi sumbangan langsung tunai agar rakyat diam dan tenang.
Apakah kondisi negara demokratis ini masih merupakan manifestasi pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat?

Bila sejumlah tokoh elite ormas, pengusaha konglomerat dan pengutang besar datang ke Istana, mereka langsung mendapat sambutan hangat. Mereka dilayani dan dijamu dengan baik. Ini sebuah kenyataan yang ironis. Sementara rakyat?

Kehidupan rakyat semakin miskin, selain akibat kebijakan pemerintah yang tidak pro-rakyat, juga karena telah menjadi korban dari ulah para oknum pejabat pemerintah yang cenderung mementingkan kepentingan diri dan kelompoknya. Budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), mentalitas jalan pintas (jual-beli gelar, ijazah dan jabatan), gaya hidup mewah di kalangan pejabat, berbagai bentuk tindak ilegal (penyenludupan, pemalsuan, pembajakan) dan kekerasan merupakan budaya sekelompok oknum yang menyebabkan rakyat hidup miskin, lemah, marjinal dan semakin sengsara.

Solusi untuk mengurangi kesengsaraan hidup rakyat hanyalah dengan kemauan pemerintah dan DPR untuk membuka hati dan mendengarkan jeritan penderitaan rakyat. Penguasa juga dituntut memiliki kemauan keras menindak para pelaku budaya busuk dan perusak negara serta penyengsara rakyat. Pemerintah SBY dan jajarannya diharapkan bersedia mengubah kultur pemerintahan yang selama ini terkesan acuh tak acuh kepada rakyat miskin, menjadi kultur option for the poors, not for the richEs only.

Bila republik ini masih menganut pemerintahan demokratis, seyogianya pemerintah mengedepankan kepentingan rakyat banyak, sebab kekuasaan mereka berasal dari, oleh dan untuk rakyat.

Bila hati dan telinga pemerintah atau DPR tidak terketuk dan tak tergelitik untuk memperhatikan nasib rakyat, maka akibatnya hanya ada dua kemungkinan. Rakyat akan terus menderita tanpa henti atau terpaksa "mati pelan-pelan". ***

Penulis adalah pengamat masalah sosial,alumnus STFT Widya Sasana Malang.

KEMBALIKAN KULTUR PERSAHABATAN!

dimuat pada SUARA PEMBARUAN DAILY , 31/10/2005
Kembalikan Kultur Persahabatan!
Oleh Pormadi Simbolon

RESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono di satu sisi memiliki modal utama yaitu kepercayaan rakyat, di sisi lain, seolah dikelilingi "tembok" pembantu (dari wapres hingga menteri dan mungkin level-level lebih bawah) yang mempunyai posisi politis, sosial, dan ekonomis yang lebih kuat dari Yudhoyono, dan selalu terjadi tarik menarik kepentingan saat mengambil keputusan. Itulah yang digambarkan oleh Herri Tjahjono dalam artikelnya "Presiden Yang Kesepian".

Dari tulisan tersebut, penulis mencium adanya hubungan persahabatan yang terganggu antara Yudhoyono-Kalla (Jusuf Kalla). Artinya, relasi antara kedunya dibatasi oleh sekat-sekat kepentingan politis, sosial, dan ekonomis dari salah satu diantara mereka dalam upaya pengambilan keputusan dalam mengatur tata hidup bersama bangsa ini.

Amat relevan dan menarik bila kita coba melihat ulang kultur persahabatan di negeri ini saat negeri ini sedang mengalami kesulitan berat. Mulai dari harga minyak yang mencapai US$ 70 per barel, subsidi sebesar Rp 113 triliun, APBN yang terancam bolong, defisit tak tertutupi yang mencapai Rp 23 triliun, rupiah dan ekonomi berada di ambang krisis seperti tahun 1998, sehingga pemerintah harus menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) sekitar rata-rata di atas 100 persen.

Kerelevanan tersebut juga erat kaitannya dengan permasalahan yang ada di tengah masyarakat. Mulai dari penyakit polio, flu burung, kenaikan kedua BBM periode 1 Oktober setelah kenaikan periode pertama pada bulan Maret yang lalu, Bom Bali II, dan baru-baru ini merebaknya kembali penyakit demam berdarah dengue (DBD).

Kultur Persahabatan
Kultur persahabatan adalah peradaban antara orang yang satu dengan orang lain yang memperlihatkan dan berupaya memperlakukan orang lain sebagai sahabat. Maksudnya, dalam kultur persahabatan manusia diperlakukan sebagai sahabat agar "dia" dan "saya" sama-sama semakin memanusiawi secara sempurna, semakin sejahtera baik secara lahiriah maupun batiniah.

Dengan demikian, suatu kultur persahabatan amat diperlukan dan dibutuhkan setiap orang dalam tata hidup bersama agar ia semakin menjadi lebih manusiawi. Sebab persahabatan mengandaikan bahwa manusia pada hakekatnya harus hidup bersama dengan manusia yang lainnya. Persahabatan menegaskan pula bahwa manusia tidak dapat hidup sendirian. Bila manusia hidup sendirian maka ia akan semakin tidak memanusiawi.

Menurut Aristoteles, persahabatan amat perlu bagi siapapun dan kapan saja. Persahabatan merupakan keutamaan dan sangat dibutuhkan semua orang, entah kaya atau miskin, entah penguasa atau rakyat jelata, entah tua atau muda.

Aristoteles mengajarkan hal itu seperti tergambar dalam kutipan berikut ini, "Friendship is a virtue, or involves virtue, and besides is most necessary for our life. For no one would choose to live without friends even if he had all the other goods. For in fact, rich people and holders of powerful positions, even more than other people, seems to need friends... In poverty also, and in other misfortunes, people think friends are only refuge. Moreover the young need it to keep them from error. The old need to care for them and support the actions that fail because of weakness. And those in their prime need it, to fine actions; for them two go together they are more capable of understanding and acting" (Aristotle, Nichomachean Ethics, 1155, art. 1-15).

Soal persahabatan menjadi bidang penting dalam tata hidup bersama atau kehidupan politik. Dengan persa- habatan, orang dapat hidup berdampingan dengan damai, saling menolong, saling berbagi, saling menghormati dan menghargai satu sama lain.

Bahkan persahabatan itu mendobrak tembok-tembok pembatas relasi antar-manusia, seperti status dan kelas sosial, ekonomi, politik dan lain sebagainya. Itulah sebabnya Aristoteles menegaskan (Buku VIII-IX), jika dalam hidup bersama setiap orang adalah sahabat bagi yang lain sedemikian rupa, keadilan tidak diperlukan lagi. Tetapi jika setiap orang adalah adil, masing-masing harus menjalin persahabatan. Itu berarti persahabatan mengatasi keutamaan keadilan.

Aristoteles juga mengajarkan jika keadilan berkaitan dengan hal penataan hidup bersama, maka persahabatan tidak hanya mencakup apa yang ditawarkan keadilan, melainkan juga membuahkan kesetiakawanan, kebersamaan, kerukunan, kekerabatan, ketetanggaan, kekeluargaan, rasa senasib sependeritaan, seperjuangan dan hal lain yang luhur dan terpuji. Dengan kata lain, menurut Aristoteles, persahabatan itu adalah tata hidup bersama itu sendiri.

Di Indonesia
Di mana kultur persahabatan Indonesia? Sejauh pemberitaan di media massa, kultur persahabatan warga bangsa tercinta tampaknya pelan-pelan memudar. Kultur persahabatan yang merupakan warisan luhur nenek moyang kita lambat laun digantikan dengan kultur kekerasan alias gampang ngamuk, kultur tidak tahu malu atau hilangnya peran hati nurani, kultur hedonistik, konsumeristik dan instan. Hal itu tampak dari cetusan sikap, perilaku dan tindakan yang dipertontonkan oleh sejumlah warga bangsa ini.

Adanya perusakan sejumlah rumah ibadah, penyerangan terhadap rumah ibadah dan warga Ahmadiyah dengan tindakan anarkhisme oleh sekelompok orang merupakan contoh hilangnya kultur persahabatan.

Belum lagi sikap-sikap dan perilaku yang muncul pasca-kenaikan BBM. Tidak akuratnya pendataan penduduk miskin yang berhak mendapat dana kompensasi BBM dan adanya petugas pendata yang meminta bagian (dana kompensasi) sudah menunjukkan hilangnya kultur persahabatan.

Yang lebih menyedihkan lagi adalah sikap dan tindakan pendata rakyat miskin yang memasukkan keluarga dekat sebagai penerima dana kompensasi BBM. Demikian juga sikap dan tindakan berbohong sejumlah anggota PNS golongan III ke atas yang ikut mendapat kartu miskin.

Selain karena kenaikan BBM, juga karena akibat pelayanan publik yang buruk dari birokrasi pemerintahan dan ulah para koruptor mencuri harta negara menyebabkan kehidupan rakyat di negeri ini semakin serba sulit. Hal itu dicirikan dengan bertambahnya dua kali lipat jumlah pengemis di perempatan jalan dan lampu merah di ibu kota dan pula bertambahnya jumlah penderita sakit jiwa. Betapa menderitanya rakyat yang hidup di negeri ini.

Lembaga peradilan sebagai penegak hukum ternodai oleh tindak mafia peradilan di lingkungan peradilan yang melibatkan semua aparat hukum, seperti hakim, jaksa, polisi, advokat, panitera dan pegawai peradilan.

Yang lebih fatal lagi adalah jika benar ada keretakan relasi persahabatan antara Yudhoyono-Kalla, keretakan itu akan menjadi racun yang bisa menggagalkan penataan hidup bersama dalam mengatur hidup bersama guna mengejar kesejahteraan bangsa dan negara secara efektif dan efisien.

Di tengah aneka persoalan bangsa dan aneka penderitaan yang dialami kebanyakan rakyat Indonesia pasca-kenaikan BBM, kultur persahabatan setiap warga bangsa ini diuji dan dimurnikan.

Kultur Persahabatan Sudah Terbukti dalam Sejarah. Terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan hasil persahabatan efektif dari para bapa pendiri bangsa, tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh adat dan masyarakat lainnya. Meskipun mereka berbeda latar belakang, agama, suku, ras dan antar golongan, namun mereka berhasil menjalin persahabatan secara efektif.

Demikian pula, bila para pemuda kita dari lintas suku, partai dan agama berhasil mencetuskan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, tidak berlebihan jika dikatakan itu sebagai buah kultur persahabatan. Persahabatanlah yang mendorong para pemuda berseru bahwa mereka satu tanah air, bangsa dan bahasa yaitu Indonesia.

Sudah 60-an tahun Indonesia merdeka, 60-an tahun pula kita hidup bersama-sama, namun persahabatan di antara kita tampaknya bukannya semakin erat, namun pelan-pelan ia mulai terkalahkan oleh kepentingan primordial, sempit, egoistik dan perkara perut. Yang harus diupayakan bersama adalah mari kita mengembalikan kultur persahabatan itu. *

Penulis adalah alumnus STFT Widya Sasana Malang, tinggal di Jakarta
Last modified: 31/10/05

Kamis, Maret 23, 2006

MEMETIK BUAH WARTA KEBENCIAN

Memetik Buah Warta Kebencian
Oleh Pormadi Simbolon
dimuat di website Jaringan Islam Liberal, 28/11/2005

Di tengah kemajemukan tersebut penulis menghadapi perbenturan antara ajaran agama dan budaya setempat dengan yang penulis anut. Pada situasi demikian pula penulis melihat realitas bahwa ada beberapa pemimpin dan tokoh agama berlomba-lomba “menjual” dan mewartakan ajaran agamanya. Yang patut disesalkan adalah adanya sejumlah kecil dari mereka yang tidak segan-segan mengajarkan fanatisme berlebihan, penjelek-jelekan agama di luar agama yang dianutnya, pengajaran kebencian terhadap agama lain dan pemeluknya.

Akhir-akhir ini kekerasan, pembunuhan, bom bunuh diri dan tindak anarkhisme terhadap kelompok dan agama lain semakin kerap mewarnai kehidupan bangsa Indonesia. Mungkinkah aneka tindakan amoral tersebut merupakan buah-buah yang harus dipetik dari khotbah-khotbah kebencian yang pernah diwartakan sejumlah pemimpin agama?

Ketika duduk di Sekolah Dasar, penulis masih terkungkung dan terbelenggu dalam gua lingkungan masyarakat yang mayoritas beragama Kristen di kampung halamannya (sebuah desa di Sumatera Utara). Perasaan aman dan nyaman menjadi pengalaman tersendiri. Dunia ini terasa bagaikan milik kekristenan saja. Belum tercium adanya nuansa kebencian antaragama dan antar pemeluknya.

Namun ketika penulis harus merantau guna melanjutkan pendidikan ke Malang, mata hati dan budi penulis tercerahkan dan tersadarkan bahwa Indonesia itu pluralis dan beraneka ragam. Penulis merasa asing, aneh dan minoritas ketika berada di tengah masyarakat yang terdiri dari aneka suku, agama, ras dan antargolongan. Teristimewa karena tempat itu mayoritas berpenduduk dan berbudaya Islami.

Di tengah kemajemukan tersebut penulis menghadapi perbenturan antara ajaran agama dan budaya setempat dengan yang penulis anut. Pada situasi demikian pula penulis melihat realitas bahwa ada beberapa pemimpin dan tokoh agama berlomba-lomba “menjual” dan mewartakan ajaran agamanya. Yang patut disesalkan adalah adanya sejumlah kecil dari mereka yang tidak segan-segan mengajarkan fanatisme berlebihan, penjelek-jelekan agama di luar agama yang dianutnya, pengajaran kebencian terhadap agama lain dan pemeluknya. Pengalaman tersebut merupakan contoh yang mungkin juga terjadi di tempat lain.

Penyebaran warta kebencian dapat pula kita temui lewat media lain seperti majalah, bulletin, VCD/DVD dan internet. Warta kebencian tersebut kerap kita jumpai bila kita coba mengunjungi toko buku atau pasar loak (penjualan buku di pinggir jalanan).

Pewartaan Yang Keliru
Ajaran atau wejangan kebencian terhadap agama lain dikumandangkan oleh sejumlah pemimpin agama-agama Abrahamistik, entah di gereja atau di mesjid. Saat itu hari Jumat. Penulis naik sepeda ontel pulang dari kampus (di Malang) tiba-tiba telinga penulis menangkap dan mendengarkan khotbah yang mengajarkan kebencian terhadap agama lain. Agama lain kafir, agama kita sempurna, demikian kurang lebih inti wejangan itu. Sebagai salah seorang dari kaum minoritas, penulis merasa terkejut dan berkecil hati.

Demikian pula, ketika seorang dosen Teologi Kristen Protestantisme pernah menganjurkan para mahasiswa agar sekali-kali mau mengikuti peribadatan salah satu dari agama aliran kekristenan (sekte?) guna memahami lebih jauh tentang teologi mereka, penulis menemukan hal yang sama yaitu pewartaan kebencian terhadap agama lain lewat khotbah. Penulis pun bingung dan terkejut ketika terdengar kata-kata dari pengkhotbah gereja tersebut mengatakan bahwa agama lain itu sesat, berhala dan berasal dari iblis. Telinga terasa ditampar dan memerah.
Barangkali segelintir saja pemimpin agama yang menanamkan ajaran kebencian, permusuhan, penjelek-jelekan terhadap agama lain, namun berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat yang majemuk. Khotbah tersebut menyakitkan telinga dan melukai hati mayoritas warga yang menginginkan kedamaian, kerukunan dan keselamatan persatuan bangsa Indonesia.

Dari berbagai opini di media massa, mayoritas pemimpin dan tokoh agama dan masyarakat berjuang ekstra keras bagaimana mereka dapat membangun suatu perdamaian dan pertemuan antara agama-agama yang berbeda-beda secara otentik dengan mengedepankan universalitas ajaran agamanya tanpa menghilangkan keunikan dan kekhasan masing-masing agama.

Namun ada saja pemimpin (dari masing-masing agama) yang mencoba merusak perdamaian dan persahabatan yang sudah terjalin dengan membongkar lagi kejelekan, aib, konflik dan permusuhan antaragama yang terjadi pada masa ekspansi Muslim ke Eropa, Perang Salib dan sistem penyiaran agama yang dapat membuka kembali luka-luka agamis yang pernah terjadi. Bisa jadi kekerasan, pembunuhan dan aksi anarkhis terhadap kelompok lain merupakan buah dari pewartaan yang keliru tentang ajaran agama.

Karen Armstrong dalam bukunya Sejarah Tuhan (Mizan, 2001) mengajak pemeluk agama-agama Abrahamistik berhenti bertengkar. Dalam keseluruhan bukunya ia menegaskan betapa pertengkaran antara agama-agama anak-anak Abraham tentang siapa yang paling benar merendahkan harkat keagamaan semua. Dengan kata lain, ia mau mengajak umat dari agama-agama Abrahamistik supaya jangan mempermalukan Tuhan.

Sudah saatnya para pemimpin agama dan tokoh agama menyetop ajaran kebencian dan permusuhan terhadap agama lain pada umatnya. Dunia akan lebih layak dihuni bila para pemimpin agama dan tokoh agama membangun sikap pengampunan, persahabatan dan persaudaraan antar suku, agama, ras dan antargolongan. Sebab ajaran memandang agama lain kafir dan sesat hanya akan menciptakan citra negatif, imej yang menakutkan, menyeramkan dan menimbulkan kemarahan terhadap pemeluk agama lain.

Filosofi Bangsa Indonesia
Bisa dibayangkan, akan kemana dan apa peran agama-agama dalam menjaga persatuan dan keutuhan Indonesia bila masing-masing agama-agama saling mencap agama sendiri yang paling benar, sedangkan agama lain kafir, sesat dan jelek. Bangsa kita bisa berhenti pada retorika dan formalisme bahwa Pancasila adalah landasan filosofi bangsa Indonesia.

Kita, umat beragama sebagai warga Republik Indonesia (RI) yang berdasarkan Pancasila telah sepakat mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa dan negara di atas kepentingan sendiri, golongan, perbedaan agama dan lain-lain demi terciptanya tujuan nasional sebagaimana ditetapkan dalam UUD 1945 (bdk. Penjelasan KMA No. 70 Tahun 1978)

Namun kerapkali kita warga negara RI yang mengakui Pancasila sebagai filosofi negara dan ideologi nasional masih berada pada tahap ucapan bibir manis, formalis dan retoris. Hal inilah yang dikritik oleh Prof. Dr. Nurcholis Madjid (Cak Nur). Cak Nur pernah mengkritik orang-orang yang menyebut dirinya Pancasilais, namun nilai-nilai luhur yang merupakan hasil kristalisasi budaya Indonesia tidak dilaksanakan secara murni dan konsekwen. (bdk. Sudjangi, 1992: 272-273).

Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah menegaskan bahwa bila Pancasila hanya berfungsi membenarkan satu agama, berhentilah ia sebagai “aturan main” yang menghubungkan semua agama dan paham dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. (bdk. Ibid, 287)
Maka tantangan bagi pelaksanaan tugas dan peran pemerintah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di bidang agama adalah bagaimana supaya Pancasila dengan nilai-nilai luhurnya dapat dilaksanakan secara murni dan konsekwen. Bila perlu pemerintah melarang tegas dan keras para pemimpin dan tokoh agama mewartakan benih-benih kebencian dan permusuhan antaragama dan pemeluknya. Dengan demikian formalisme tidak menjadi begitu kuat hingga Indonesia seakan-akan negara seremonial belaka.

Tak bisa dipungkiri bahwa para pemimpin agama adalah inti kekuatan agama dan umat. Lewat perannya sebagai pengawal ajaran agama, juru bicara aspirasi dan kepentingan umat serta integrator umat yang dapat menyatukan seluruh potensi umat, para pemimpin dan tokoh agama (ulama, kyai, pastor, pendeta) seyogiyanya menyetop ajaran stigmatisasi agama lain sebagai agama sesat dan kafir dan lalu mengedepankan persaudaraan dan persahabatan antaragama, universalitas ajaran agamanya tanpa menghilangkan keotentikan dan keunikannya.

Bila semua pemimpin agama mengedepankan agama yang humanis dengan menekankan persaudaraan dan persahabatan, kerukunan dan kedamaian antaragama, kesejahteraan dan kebaikan bangsa Indonesia, maka aneka permasalahan bangsa pelan-pelan akan dapat diatasi secara bersama-sama.

Pada bagian penutup ini, penulis mau mengulangi apa yang pernah dikemukakan oleh Moh. Hatta (1977: 32) tentang Persatuan Indonesia. “Persatuan Indonesia menjadi syarat hidup bagi Indonesia. Persatuan Indonesia mengandung di dalamnya cita-cita persahabatan dan persaudaraan segala bangsa, diliputi oleh suasana kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran dan keindahan yang senantiasa dipupuk oleh alamnya”.

Unsur cita-cita persahabatan dan persaudaraan bangsa merupakan keharusan kodrati sesuai dengan kedudukan manusia sebagai ciptaaan Tuhan yang diciptakan dari satu keturunan dan dijadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar dapat menyelenggarakan kerja sama dalam menjalani hidup di dunia ini. Semoga.

* Pormadi Simbolon, alumnus STFT Widya Sasana Malang, tinggal di Jakarta, Tulisan ini merupakan pendapat pribadi.
Powered By Blogger