Trima kasih mengunjungi blog kami!

Para pengunjung yth. semua isi blog ini ditulis atau disusun atas kemauan pribadi. Itu berarti blog ini berisi aneka pendapat, pemahaman, persepsi pribadi, dan pemikiran pribadi atas lingkungan kerja dan hidup sekitarnya. Harapan kami isi blog ini bermanfaat bagi pengunjung yang memerlukannya. Salam, GBU.

Kamis, November 06, 2014

Tanya Jawab Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan TUgas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan umat beragama, Pemberdayaan FKUB, dan Pendirian Rumah Ibadat



BAB I
KETENTUAN UMUM

1.   1. Apa yang dimaksud dengan kerukunan umat beragama?
Kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dankerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Apa yang dimaksud dengan pemeliharaan kerukunan umat beragama?
Pemeliharaan kerukunan umat beragama adalah upaya bersama umat beragama dan Pemerintah di bidang pelayanan,  pengaturan, dan pemberdayaan umat beragama.

3.  Mengapa digunakan istilah ‘pemeliharaan kerukunan umat beragama’ bukan ‘pembinaan kerukunan umat beragama?
Kata ‘pemeliharaan’ menunjukkan keaktifan masyarakat (umat beragama) untuk mempertahankan sesuatu yang telah ada  yaitu ‘kondisi kerukunan’. Sedangkan kata ‘pembinaan’ menunjukkan keaktifan dari atas (Pemerintah dan Pemerintah Daerah) untuk menciptakan kerukunan umat beragama.

4.  Apakah yang dimaksud dengan rumah ibadat?
Rumah ibadat adalah bangunan yang memiliki ciri-ciri tertentu yang khusus dipergunakan untuk beribadat bagi para pemeluk masing-masing agama secara permanen, tidak termasuk rumah ibadat keluarga.

5. . Apa sajakah sebutan/nama rumah ibadat keluarga untuk masing-masing agama?
Rumah ibadat keluarga dalam Islam disebut musalla/langgar/surau/meunasah; dalam Kristen disebut kapel/rumah doa; dalamKatolik disebut kapel; dalam Hindu disebut sanggah/mrajan/panti/paibon; dalam Buddha disebut cetya; dan dalamKonghucu disebut siang hwee/ co bio/ cong bio/kong tek su

6. Apa yang dimaksud dengan Organisasi Kemasyarakatan Keagamaan (Ormas Keagamaan)?
Ormas Keagamaan adalah organisasi non-pemerintah bervisi kebangsaan yang dibentuk berdasarkan kesamaan agama oleh warga negara Republik Indonesia secara sukarela, berbadan hukum, dan telah terdaftardi pemerintah daerah setempat serta bukan organisasi sayap partai politik

7.  Apa saja contoh-contoh Ormas Keagamaan dari berbagai agama?
Ormas KeagamaanIslam antara lain Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Dewan Dakwah Islamiyah (DDI), Mathlaul Anwar.

Ormas Keagamaan Kristen antara lain Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Persatuan Injili Indonesia (PII), Persatuan GerejaPantekosta Indonesia (PGPI)

Ormas Keagamaan Katolik antara lain Konferensi Waligereja Indonesia (KWI)

Ormas KeagamaanHindu antara lain Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), Prajaniti Hindu Indonesia (Prajaniti), Wanita Hindu Dharma Indonesia (WHDI), Pemuda Hindu Indonesia, Widyapit.

Organisasi Keagamaan Buddha antara lain Perwakilan Umat Buddha Indonesia (WALUBI).

Organisasi Keagamaan Konghucu antara lain Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN), Majelis Agama Khonghucu Indonesia (MAKIN), Generasi Muda Khonghucu (GEMAKU), Perempuan Khonghucu Indonesia (PERKHIN).

8. Apa yang dimaksud dengan Pemuka Agama?
Pemuka agama adalah tokoh komunitas umat beragama baik yang memimpin ormas keagamaan maupun tidak memimpin ormas keagamaan yang diakui dan atau dihormati oleh masyarakat setempat sebagai panutan.

9. Apa yang dimaksud dengan Forum Kerukunan Umat Beragama?
Forum Kerukunan Umat Beragama, yang selanjutnya disingkat FKUB, adalah Forum yang dibentuk oleh masyarakat dan difasilitasi oleh Pemerintah (dalam hal ini pemerintah daerah) dalam rangka membangun, memelihara dan memberdayakan umat beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan.

10. Apa yang dimaksud dengan panitia pembangunan rumah ibadat?
Panitia pembangunan rumah ibadah adalah panitia yang dibentuk oleh umat beragama, ormas keagamaan atau pengurus rumah ibadat.

11.   Apa yang dimaksud dengan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) rumah ibadat?
IMB rumah ibadat adalah izin yang diterbitkan oleh bupati/walikota untuk pembangunan rumah ibadat.

12.   Mengapa dalam istilah ‘IMB rumah ibadat’  menggunakan huruf r dan I (dengan huruf kecil), bukan huruf R dan I (dengan huruf besar)?
Penggunaan huruf r dan I (dengan huruf kecil) dalam istilah ‘IMB rumah ibadat’ mengandung makna bahwa pengertian IMB tersebut sama dengan IMB gedung lainnya, hanya saja penggunaannya diperuntukkan bagi rumah ibadat.
BAB II
TUGAS KEPALA DAERAH
DALAM PEMELIHARAAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA

1.    Siapakah yang bertanggung jawab terhadap pemeliharaan kerukunan umat beragama?
Pemeliharaan kerukunan umat beragama menjadi tanggung jawab bersama umat beragama, pemerintah daerah dan Pemerintah.

2.   Mengapa dalam urutan tanggung jawab pemeliharaan kerukunan itu yang lebih dulu disebut adalah masyarakat, kemudian pemerintahan daerah, dan Pemerintah? Apa maknanya?
Unsur ‘masyarakat’ ditempatkan di urutan nomor pertama yang bertanggung jawab terhadap pemeliharaan kerukunan umat beragama. Hal itu mengandung makna bahwa masyarakat memegang peranan penting dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama.

3.  Di pihak Pemerintah, siapakah yang mempunyai tugas dan kewajiban dalam pemeliharaan kerukunan di wilayah provinsi?
Pemeliharaan kerukunan umat beragama di tingkat provinsi menjadi tugas dan kewajiban gubernur, karena kerukunan umat beragama merupakan bagian penting dari kerukunan nasional. Dalam pelaksanaannya, tugas dan kewajiban tersebut dibantu oleh wakil gubernur dan aparat terkait, serta kepadal kantor wilayah departeman (Kementerian) Agama provinsi.

4.  Di pihak Pemerintah, siapakah yang mempunyai tugas dan kewajiban dalam pemeliharaan kerukunan di tingkat kabupaten/kota?
Pemeliharaan kerukunan umat beragama di tingkat kabupaten/kota menjadi tugas dan kewajiban bupati/walikota karena kerukunan umat beragama merupakan bagian penting dari kerukunan nasional. Dalam pelaksanaannya, tugas dan kewajiban bupati/walikota tersebut dibantu oleh wakil bupati/wakil walikota dan aparat terkait serta kepala kantor departemenagama kabupaten/kota.

5.       Sebutkan tugas dan kewajiban gubernur dalam rangka pemeliharaan kerukunan di wilayahnya?
Tugas dan kewajiban gubernur dalam rangka  pemeliharaan kerukunan umat beragama adalah :
a.       memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat termasuk memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat beragama di provinsi;
b.      mengoordinasikan kegiatan instansi vertikal di provinsi dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama;
c.       menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian,saling menghormati, dan saling percaya di antara umat beragama; dan
d.      membina dan mengoordinasikan bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang ketenteraman dan ketertiban masyarakat dalam kehidupan beragama.

6.       Kepada siapakah gubernur dapat mendelegasikan tugas-tugas dalam rangka pemeliharaan kerukunan umat beragama tersebut?
Pelaksanaan tugas pemeliharaan kerukunan umat beragama oleh gubernur dapat didelegasikan kepada wakil gubernur, yaitu yang menyangkut tugas mengoordinasikan kegiatan instansi vertikal di provinsi, mengoordinasikan bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah di bidang ketenteraman dan ketertiban masyarakat dalam kehidupan beragama, tugas menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, saling menghormati, dan saling percaya  di antara umat beragama.

7.       Sebutkan tugas dan kewajiban bupati/walikota dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama?
Tugas dan kewajiban bupati/walikota dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama adalah:
a.       memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat termasuk memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat beragama  di kabupaten/kota;
b.      mengoordinasikan kegiatan instansi vertikal di kabupaten/kota dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama;
c.       menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian,saling menghormati, dan saling percaya di antara umat beragama;
d.      membina dan mengoordinasikan camat, lurah, atau kepala desa dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang ketenteraman dan ketertiban masyarakat dalam kehidupan beragama; dan
e.      menerbitkan IMB rumah ibadat; khusus untuk Provinsi DKI Jakarta diterbitkan oleh gubernur.

8.       Kepada siapakah bupati/walikota dapat mendelegasikan tugas-tugas dalam rangka pemeliharaan kerukunan umat beragama?
Pelaksanaan tugas pemeliharaan kerukunan umat beragama oleh bupati/walikota dapat didelegasikan kepada wakil bupati/wakil walikota, yaitu yang menyangkut tugas mengoordinasikan kegiatan instansi vertikal di kabupaten/kota, dan mengoordinasikan camat, lurah, dan kepala desa dalampenyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang ketenteraman dan ketertiban masyarakat dalam kehidupab beragama.

9.       Apakah bupati/walikota juga dapat melimpahkan sebagian tugasnya kepada camat dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama?
Dapat, yaitu dalam memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat termasuk memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat beragama, dan dalam menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, saling menghormati, dan saling percaya di antara umat beragama.

10.   Sebutkan tugas dan hak camat dalam rangka pemeliharaan kerukunan umat beragama!
a.       memelihara ketenteraman dan ketertiban termasuk memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat beragama di wilayah kecamatan;
b.      menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, saling menghormati, dan saling percaya di antara umat beragama; dan
c.       membina dan mengoordinasikan  lurah dan kepala desa dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang ketenteraman dan ketertiban masyarakat dalamkehidupan keagamaan.

11.   Sebutkan tugas dan kewajiban lurah/kepala desa dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama!
Tugas dan kewajiban lurah/kepala desa adalah:
a.       memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat termasuk memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat beragama di wilayah kelurahan/desa; dan
b.      menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, saling menghormati dan saling percaya di antara umat beragama.

 
BAB III
FORUM KERUKUNAN UMAT BERAGAMA (FKUB)

1.       Untuk apa Forum Kerukunan Umat Beragama dibentuk?
Pembentukan FKUB bertujuan untuk memelihara dan mengembangkan kerukunan umat beragama dalam kehidupan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

2.       Dimana kedudukan FKUB dalam tata pemerintah kita?
FKUB ada di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

3.       Apakah FKUB dapat dibentuk di tingkat kecamatan dan kelurahan/desa?
FKUB dapat dibentuk di tingkat kecamatan dan kelurahan/desa untuk kepentingan dinamisasi kerukunan,  tetapi tidak memiliki tugas formal sebagaimana FKUB tingkat provinsi, kabupaten/kota

4.       Siapa yang membentuk FKUB?
FKUB dibentuk oleh masyarakat dan difasilitasi oleh pemerintah daerah.


5.       Bagaimana hubungan antara FKUB provinsi dengan FKUB kabupaten/kota?
Hubungan keduanya bersifat konsultatif.

6.       Apa tugas FKUB provinsi?
Tugas FKUB provinsi:
a.       melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat;
b.      menampung aspirasi ormas keagamaan dan aspirasi masyarakat;
c.       menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan gubernur; dan
d.      melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan dan kebijakan di bidang keagamaan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama dan pemberdayaan masyarakat.

7.       Apa tugas FKUB kabupaten/kota?
Tugas FKUB provinsi:
a.       melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat;
b.      menampung aspirasi ormas keagamaan dan aspirasi masyarakat;
c.       menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan bupati/walikota;
d.      melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan dan kebijakan di bidang keagamaan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama dan pemberdayaan masyarakat;
e.      memberikan rekomendasi tertulis atas permohonan pendirian rumah ibadat, dan memberikan pendapat tertulis untuk izin sementara pemanfaatan bangunan gedung bukan rumah ibadat yang diberikan oleh bupati/walikota; dan
f.        memberikan pendapat atau saran dalam hal penyelesaian perselisihan pendirian rumah ibadat kepada bupati/walikota.

8.       Siapa saya yang berhak menjadi anggota FKUB?
Keanggotaan FKUB terdiri dari pemuka-pemuka agama yaitu tokoh komunitas umat beragama baik yang memimpin ormas keagamaan maupun yang tidak memimpin ormas keagamaan yang diakui atau dihormati oleh masyarakat setempat sebagai panutan.

9.       Berapa jumlah FKUB?
Untuk tingkat provinsi jumlah anggota FKUB maksimal 21 orang dan untuk tingkat kabupaten/kota maksimal anggotanya berjumlah 17 orang.

10.   Berikan contoh cara penghitungan anggota FKUB di suatu daerah!
Di satu provinsi misalnya telah ditetapkan jumlah anggota FKUB sebanyak 21 orang (dua puluh satu) orang. Diasumsikan bahwa di provinsi tersebut terdapat 6 (enam) agama yang dipeluk masyarakat , yaitu: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, danKhonghucu. Langkah pertama diambil 6 (enam) orang sebagai perwakilan setiap agama untuk menjadi anggota FKUB. Setelah itu dihitung, 100% dari jumlah umat beragama dari provinsi dibagi 21 (dua puluh satu) orang anggota FKUB provinsi, berarti seorang anggota FKUB provinsi memerlukan proporsi penduduk umatnya4,76% dari keseluruhan jumlah umat beragama provinsi. Jika proporsi suatu umat beragama  adalah 4,76% atau kurang, maka seorang wakil yang telah ditetapkan di atas berarti hanya satu itulah wakilnya. Demikian seterusnya setiap kelipatan 4,76% bertambah wakilnya seorang lagi. Jika kelipatan tersebut tidak persis 4,76% maka dimusyawarahkan bersama.

Demikian pula cara untuk penghitungan anggota FKUB kabupaten/kota. Di suatu kabupaten/kota misalnya telah ditetapkan jumlah FKUB sebanyak 17 (tujuh belas) orang. Diasumsikan bahwa di kabupaten/kota tersebut terdapat 6 (enam) agama yang dipeluk masyarakat, yaitu: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, danKhonghucu. Langkah pertama diambil 6 (enam) orang sebagai perwakilan setiap agama untuk menjadi anggota FKUB. Setelah itu dihitung, 100% dari jumlah umat beragama kabupaten/kota dibagi 17 (tujuh belas) orang anggota FKUB kabupaten/kota, berarti seorang anggota FKUB kabupaten/kota memerlukan proporsi penduduk umatnya 5,88% dari keseluruhan jumlah umat beragama kabupaten/kota. Jika suatu proporsi suatu umat beragama adalah 5,88% atau kurang, maka seorang wakil yang telah ditetapkan di atas berarti hanya satu itulah wakilnya. Demikian seterusnya setiap kelipatan 5,88% bertambah wakilnya seorang lagi. Jika kelipatan tersebut tidak persis 5,88% maka dimusyawarahkan bersama.

11.   Kenapa keanggotaan FKUB dihitung menurut perimbangan jumlah penduduk?
Perhitungan menurut perimbangan jumlah penduduk dipandang lebih mendekati keadilan.

12.   Apakah sistem keanggotaan FKUB tidak membuat FKUB itu seperti lembaga perwakilan?
FKUB  bukanlah lembaga perwakilan. FKUB merupakan suatu forum/wadah yang dibentuk untuk menampung seluruh aspirasi kepentingan umat beragama dan pemberdayaan masyarakat. Demikian pula FKUB dalam mengambil keputusan selalu melalui musyawarah dan mufakat, serta tidak melalui voting.

13.   Bagaimana jika setelah dilakukan perhitungan berdasarkan proporsi jumlah penduduk  ternyata jumlah anggota FKUB tidak pas, dalam arti bertambah atau berkurang 1 orang?
Dalam hal demikian, maka para pemuka agama yang bersangkutan bermusyawarah untuk memperoleh jumlah sesuai dengan yang ditetapkan menurut pasal 10 ayat (2).

14.   Bagaimana struktur kepemimpinan FKUB?
FKUB dipimpin oleh seorang ketua, dibantu oleh 2 orang wakil ketua, satu orang sekretaris dan satu orang wakil sekretaris. Pengurus tersebut dipilih secara musyawarah oleh anggota.

15.   Apa tugas Dewan Penasehat FKUB
Tugas Dewan Penasehat FKUB:
a.       Membantu kepala daerah dalammerumuskan kebijakan pemeliharaan kerukunan umat beragama; dan
b.      Memfasilitasi hubungan kerja FKUB dengan pemerintah daerah dan hubungan antar sesama instansi pemerintah di daerah dalam rangka pemeliharaan kerukunan umat beragama.

16.   Siapa saja yang duduk sebagai anggota Dewan Penasehat FKUB di tingkat provinsi?
Anggota Dewan Penasehat FKUB adalah para pejabat di lingkungan pemerintah daerah yang ditetapkan oleh gubernur dengan susunan anggota sebagai berikut:
Ketua                   : wakil gubernur
Wakil Ketua       : kepala kantor wilayah departemen agama provinsi;
Sekretaris           : kepala badan kesatuan bangsa dan politik provinsi
Anggota              : pimpinan instansi terkait, dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku

17.   Siapa saja yang duduk sebagai anggota Dewan Penasehat FKUB di tingkat kabupaten/kota?
Anggota Dewan Penasehat  FKUB adalah para pejabat di lingkungan pemerintah daerah yang ditetapkan oleh bupati/walikota dengan susunan sebagai berikut:
Ketua                   :  wakil bupati/walikota;
Wakil Ketua       :  kepala kantor departemen agama kabupaten/kota
Sekretaris           :  kepala badan kesatuan bangsa dan politik kabupaten/kota
Anggota              : pimpinan instansi terkait, dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

18.   Bagaimana pola hubungan FKUB dengan Dewan Penasehat FKUB?
FKUB dan Dewan Penasehat FKUB adalah dua struktur organisasi yang terpisah namun kedua lembaga tersebut mempunyai hubungan kemitraan.

19.   Apa saja yang diatur oleh Peraturan Gubernur?
Yang diatur oleh Peraturan Gubernur mengenai FKUB dan Dewan Penasehat  FKUB baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota antara lain adalah:
a.       Pengukuhan/pelantikan anggota FKUB dan Dewan Penasehat FKUB;
b.      Masa kerja FKUB dan Dewan Penasehat FKUB;
c.       Penggantian antar waktu FKUB dan Dewan Penasehat  FKUB bila berhalangan tetap, pindah alamat, dan sebab-sebab lain karena tidak mampu melaksanakan tugasnya;
d.      Tata administrasi umum dan keuangan FKUB dan Dewan Penasehat  FKUB; dan
e.      Prinsip dasar tata kelola FKUB yang selanjutnya diatur dalam anggaran rumah tangga FKUB.

 
BAB IV
PENDIRIAN RUMAH IBADAT

1.       Apa yang menjadi dasar utama keinginan mendirikan rumah ibadat?
Pendirian rumah ibadat didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan bagi pelayanan umat beragamayang bersangkutan di wilayah kelurahan/desa. Dalam hal keperluan nyata bagi pelayanan umat beragama di wilayah kelurahan/desa sebagaimana dimaksud di atas tidak terpenuhi, pertimbangan komposisi jumlah penduduk digunakan batas wilayah kecamatan atau kabupaten/kota atau provinsi.

2.       Apa yang dimaksud dengan keperluan nyata dan sungguh-sungguh?
Keperluan nyata  dan sungguh-sungguh adalah bila terdapat sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) pemeluk agama dewasa (dengan KTP) di suatu wilayah kelurahan/desa atau kecamatan atau kabupaten/kota atau provinsi.

3.       Apa lagi yang harus dipertimbangkan bila mendirikan rumah ibadat?
Pendirian rumah ibadat dilakukan dengan tetap menjaga  kerukunan umat beragama,tidak mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, serta mematuhi peraturanperundang-undangan.

4.       Di kelurahan/desa manakah rumah ibadat itu didirikan apabila pendirian suatu rumah ibadat didasarkan atas perhitungan pada tingkat kecamatan atau kabupaten/kota atau provinsi?
Rumah ibadat itu didirikan di kelurahan/desa dimana terdapat dukungan 60 (enam puluh) orang dewasa penduduk setempat.

5.       Siapa sajakah yang boleh menjadi pendukung itu?
Penduduk setempat di luar yang 90 (sembilan puluh) orang tanpa memandang agama yang dianut.

6.       Apabila persyaratan 90 (sembilan puluh) orang terpenuhi dan dukungan 60 (enam puluh) orang sudah terpenuhi, persyaratan apalagi yang diperlukan?
Ada dua persyaratan lagi yaitu rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota dan rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota.

7.       Apakah dukungan 60 (enam puluh) orang tersebut bersifat mutlak?
Tidak. Apabila dukungan itu tidak mencapai 60 (enam puluh) orang maka pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadat.

8.       Apakah ketentuan mengenai kedua rekomendasi tersebut berlaku untuk seluruh provinsi?
Ya, kecuali untuk DKI Jakarta karena di DKI Jakarta IMB diterbitkan oleh Gubernur maka rekomendasi-rekomendasi yang diperlukan tersebut disesuaikan pada tingkat provinsi.
9.       Apa yang dimaksud persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung?
Persyaratan administratif adalah seperti surat keterangan tanah dan lain-lain. Adapun persyaratan teknis bangunan gedung  adalah seperti persyaratan tata bangunan gedung. Kedua tata persyaratan tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.

10.   Bagaimana cara FKUB menerbitkan rekomendasi itu?
Rekomendasi FKUB harus berbentuk tertulis yang merupakan hasil musyawarah dan mufakat dalam rapat FKUB.

11.   Siapa yang harus mengajukan permohonan pendirian rumah ibadat?
Permohonan pendirian rumah ibadat diajukan oleh panitia pembangunan rumah ibadat. Panitia pembangunan rumah ibadat  dibentuk oleh umat beragama, ormas keagamaan atau pengurus rumah ibadat.

12.   Kepada siapa permohonan IMB rumah ibadat diajukan?
Permohonan IMB rumah ibadat diajukan kepada bupati/walikota, khusus untuk DKI Jakarta diajukan kepada Gubernur.

13.   Berapa lama jangka waktu bupati/walikota/ gubernur DKI Jakarta memberikan keputusan terhadap permohonan IMB rumah ibadat?
Bupati/walikota/Gubernur DKI Jakarta memberikan keputusan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak permohonan pendirian rumah ibadat diajukan. Penghitungan  waktu 90 (sembilan puluh) hari dimulai pada saat panitia pembangunan menyerahkan syarat-syarat yang lengkap kepada pemerintahan kabupaten/kota/Gubernur DKI Jakarta.

14.   Tindakan apa yang harus dilakukan pemerintah daerah terhadap bangunan rumah ibadat yang telah memiliki IMB apabila terjadu perubahan tata ruang?
Pemerintah daerah memfasilitasi penyediaan lokasi baru dan segala kompensasi serta ganti rugi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.



BAB V
IZIN SEMENTARA PEMANFAATAN
BANGUNAN GEDUNG

1.       Apakah suatau bangunan gedung yang bukan rumah ibadat dapat difungsikan sebagai rumah ibadat sementara?
Bangunan gedung bukan rumah ibadat, dapat digunakan sebagai rumah ibadat sementara oleh kelompok umat beragama di suatu wilayah, setelah memperoleh Surat Keterangan Pemberian Izin Sementara Pemanfaatan Gedung dari Bupat/Walikota/Gubernur DKI Jakarta

2.       Apa syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh surat keterangan pemberian izin sementara pemanfaatan bangunan gedung sebagai rumah ibadat?
Syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah:
a.       laik fungsi yang mengacu pada peraturan perundang-undangan tentang bangunangedung.
b.      terpeliharanya kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban masyarakat dengan persyaratan meliputi:
1)      izin tertulis pemilik bangunan;
2)      rekomendasi tertulis lurah/kepala desa;
3)      pelaporan tertulis kepadaFKUB kabupaten/kota; dan
4)      pelaporan tertulis kepada kepala kantor departemen agama kabupaten/kota.

3.       Apa dasar pertimbangan bupati/walikota/Gubernur DKI Jakarta untuk menerbitkan Surat Keterangan Pemberian Izin Sementara rumah ibadat?
Surat Keterangan Pemberian Izin Sementara pemanfaatan  bangunan gedung bukan rumah ibadat sebagai rumah ibadat diterbitkan bupati/walikota/Gubernur DKI Jakarta setelah mempertimbangkan pendapat tertulis kepada kepala departemen agama dan FKUB Kabupaten/kota.

4.       Berapa lama masa berlaku Surat Keterangan Pemberian Izin Sementara tersebut?
Surat Keterangan Pemberian Izin Sementara pemanfaatan  bangunan gedung bukan rumah ibadat sebagai rumah ibadat tersebut berlaku paling lama 2 (dua) tahun.

5.       Bagaimana apabila masa 2 (dua) tahun telah berakhir?
Pengguna bangunan gedung bukan rumah ibadat dapat mengajukan kembali permohonan Surat Keterangan Pemberian Izin Sementara pemanfaatan  bangunan gedung bukan rumah ibadat sebagai rumah ibadat sesuai persyaratan dalam pasal 18 ayat (1), (2), dan (3).

6.       Apakah wewenang bupati/walikota/Gubernur DKI Jakarta menerbitkan Surat Keterangan Izin Sementara Pemanfaatan Bangunan Gedung bukan rumah ibadat itu, dapat dilimpahkan kepada pejabat lain?
Penerbitan Surat Keterangan Pemberian Izin Sementara pemanfaatan  bangunan gedung bukan rumah ibadat sebagai rumah ibadat yang difungsikan sebagai rumah ibadat , dapat dilimpahkan kepada camat setelah mempertimbangkan pendapat tertulis kepala kantor departemen agama dan FKUB kabupaten/kota setempat. Khusus untuk DKI Jakarta gubernur dapat melimpahkan kepada pejabat di bawahnya.


BAB VI
PENYELESAIAN  PERSELISIHAN

7.       Apa yang dimaksud dengan perselisihan akibat pendirian dan penggunaan rumah ibadat?
Yang dimaksud dengan perselisihan akibat pendirian rumah ibadat ialah perselisihan antara pihak panitia pendiri atau pengguna atau calon pengguna rumah ibadat dengan pihak masyarakat setempat, dengan pemerintah daerah, dengan kantor departemen agama kabupaten/kota atau dengan FKUB setempat dalam hal ini berkaitan dengan izin dan persyaratan pendirian rumah ibadat, ataupun penggunaan bangunan gedung bukan rumah ibadat yang akan atau telah dipergunakan sebagai rumah ibadat.

8.       Apa yang menyebabkan terjadinya perselisihan tersebut?
Tindakan yang mengganggu ketenteraman dan ketertiban masyarakat sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

9.       Bagaimana proses penyelesaian perselisihan akibat pendirian rumah ibadat?
a.       Penyelesaian perselisihan akibat pendirian rumah ibadat harus diselesaikan secara berjenjang diawali di tingkat kelurahan/desa, kecamatan, dan terakhir di tingkat kabupaten/kota dengan mengedepankan prinsip musyawarah yang difasilitasi oleh para pemuka masyarakat setempat termasuk FKUB.
b.      Dalam hal musyawarah  penyelesaian perselisihan oleh masyarakat setempat tidak tercapai maka penyelesaiannya ditingkatkan kepada bupati/walikota yang dibantu oleh kepala kantor departemen agama dengan mempertimbangkan pendapat/saran FKUB kabupaten/ kota dan harus dilakukan secara adil dan tidak memihak sehingga masing-masing pihak yang berselisih tidak ada yang dirugikan. Pihak-pihak yang berselisih dihadirkan bersama dengan pihak-pihak terkait. Hasil keputusan musyawarah dituangkan dalam bentuk kesepakatan tertulis yang ditandatangani para pihak yang berselisih dan menjadi dokumen yang mengikat.
c.       Jika penyelesaian perselisihan  yang dilakukan bupati/walikota setempat tidak tercapai kesepakatan, barulah penyelesaian perselisihan dilakukan melalui Pengadilan Negeri setempat. Kepada Pengadilan Negeri hendaknya disampaikan bukti-bukti dan dokumen berita acara yang telah dicapai pada musyawarah penyelesaian perselisihan di tingkat-tingkat sebelumnya. Dengan demikian proses penyelesaian perselisihan pendirian atau penggunaan rumah ibadat hendaknya dilakukan secara bertahap, tidak secara langsung ke Pengadilan Negeri setempat demi untuk menjaga semangat kebersamaan, ketenteraman dan ketertiban masyarakat dalam kehidupan keagamaan.

10.   Bagaimana kalau perselisihan itu terjadi dalam hal penggunaan rumah ibadat ?
Penyelesaian perselisihan penggunaan rumah ibadat ini sama dengan proses penyelesaian perselisihan pendirian rumah ibadat.

11.   Bagaimana tanggung jawab gubernur terhadap penyelesaian perselisihan  yang berkaitan dengan rumah ibadat?
Gubernur bertanggun jawab melaksanakan pembinaan yakni monitoring, pengarahan, dan pengawasan terhadap bupati/walikota serta instansi terkait  di daerahnya dalam menyelesaikan perselisihan pendirian danpenggunaan rumah ibadat agar berlaku secara adil dan tidak memihak.


BAB VII
TENTANG PENGAWASAN DAN PELAPORAN


1.       Apa saja substansi yang diawasi oleh gubernur di wilayahnya?
Gubernur dibantu oleh kepala kantor wilayah departemen agama provinsi melakukan pengawasan terhadap bupati/walikota serta instansi terkait di daerahnya atas pelaksanaan pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan FKUB dan pendirian rumah ibadat

2.       Apa saja substansi yang diawasi oleh bupati/walikota di wilayahnya?
Bupati/walikota dibantu oleh kepala kantor departemenagama kabupaten/kota melakukan pengawasan terhadap camat dan lurah/kepala desa serta instansi terkait di daerahnya atas pelaksanaan pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan FKUB dan pendirian rumah ibadat.

3.       Bagaimana mekanisme dan waktu pelaporan gubernur  atas pelaksanaan tugas dan wewenang tanggung jawabnya?
Gubernur melaporkan pelaksanaan pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan FKUB dan pengaturan pendirian rumah ibadat di provinsi.
·         Laporan disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama.
·         Tembusan dikirim kepada Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, sertaMenteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat.
·         Laporan disampaikan setiap 6 (enam) bulan pada pulan Januari dan Juli atau sewaktu-waktu jika dipandang perlu.

4.       Bagaimana mekanisme dan waktu pelaporan bupati/walikota  atas pelaksanaan tugas dan wewenang tanggung jawabnya?
Bupati/walikota melaporkan pelaksanaan pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan FKUB dan pengaturan pendirian rumah ibadat di kabupaten/kota.
·         Laporan disampikan kepada gubernur.
·         Tembusan disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama.
·         Laporan disampaikan setiap 6 (enam) bulan pada pulan Januari dan Juli atau sewaktu-waktu jika dipandang perlu.

BAB VIII
BELANJA PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
TERHADAP PEMELIHARAAN KERUKUNAN UMAT
BERAGAMA SERTA PEMBERDAYAAN FKUB

Dari mana anggaran belanja pembinaan dan dan pengawasan terhadap pemeliharaan kerukunan umat  beragama serta pemberdayaan FKUB?
Anggaran belanja pembinaan dan pengawasan terhadap pemeliharaan kerukunan umat beragama serta pemberdayaan FKUB ditentukan sebagai berikut:
a.       di tingkat nasional didanai dari dan atas beban APBN;
b.      di tingkat provinsi didanai dari dan atas beban APBD provinsi; dan
c.       di tingkat kabupaten/kota didanai dari dan atas beban APBD kabupaten/kota.



BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN

1.       Kapan batas akhir pembentukan FKUB dan Dewan Penasehat FKUB di provinsi dan kabupaten/kota?
FKUB dan Dewan Penasehat FKUB di provinsi dan kabupaten/kota dibentuk paling lambat tanggal 21 Maret 2007.

2.       Bagaimana dengan FKUB atau forum sejenis yang sudah dibentuk di provinsi dan kabupaten/kota sebelum berlakunya Peraturan Bersama Menteri ini?
FKUB atau forum sejenis yang sudah dibentuk di provinsi dan kabupaten/kota disesuaikan dengan Peraturan Bersama Menteri ini paling lambat 21 Maret 2007.

3.       Bagaimana status izin bangunan gedung rumah ibadat yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah  sebelum berlakunya Peraturan Bersama Menteri ini?
Izin bangunan gedung rumah ibadat yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah sebelum berlakunya Peraturan Bersama Menteri ini dinyatakan sah dan tetap berlaku.

4.       Bagaimana proses renovasi bangunan gedung rumah ibadat yang telah mempunyai IMB rumah ibadat?
Renovasi bangunan gedung rumah ibadat yang telah mempunyai IMB rumah ibadat, diproses sesuai dengan ketentuan IMB yang mengacu pada peraturan perundang-undangan, sepanjang tidak terjadi pemindahan lokasi.

5.       Bagaimana apabila bangunan gedung rumah ibadat yang telah digunakan secara permanen dan/atau memiliki nilai sejarah tetapi belum memiliki IMB rumah ibadat sebelum berlakunya Peraturan Bersama Menteri ini?
Bupati/walikota membantu memfasilitasi  kemudahan penerbitan IMB untuk rumah ibadat dimaksud namun pihak pengguna bangunan rumah ibadat tetap harus mengurus IMB rumah ibadat.

6.       Bagaimana status peraturan perundang-undangan yang mengatur pendirian rumah ibadat yang telah ditetapkan pemerintah daerah, sebelum keluarnya Peraturan Bersama Menteri ini?
Peraturan Perundang-Undangan yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah , sebelum keluarnya Peraturan Bersama Menteri ini, wajib disesuaikan dengan Peraturan Bersama Menteri ini paling lambat tanggal 21 Maret 2008.


BAB X
KETENTUAN PENUTUP

1.       Bagaimana kedudukan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 01/BER/MDN-MAG/1969 setelah Peraturan Bersama Menteri ini diberlakukan?
Setelah Peraturan Bersama Menteri ini diberlakukan maka SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 01/BER/MDN-MAG/1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran  Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-pemeluknya, khusus mengenai ketentuan yang mengatur pendirian rumah ibadat dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

2.       Kapan Peraturan Bersama Menteri ini diberlakukan?
Peraturan Bersama Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal 21 Maret 2006.


Sumber:
Buku Tanya Jawab Peraturan Bersama Menteri  Agama dan  Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006  tentang PEDOMAN PELAKSANAAN TUGAS KEPALA DAERAH/WAKIL KEPALA DAERAH   DALAM PEMELIHARAAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA, PEMBERDAYAAN FORUM KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DAN PENDIRIAN RUMAH IBADAT, yang diterbitkan oleh Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, cetakan I 2007 dan digandakan kembali oleh Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik Departemen Agama RI Tahun 2009

Jumat, Oktober 24, 2014

Revolusi Mental Negara Melindungi Segenap Bangsa

Bagaimana mengimplementasikan amanat konstitusi kita "… untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia .."? Pertanyaan tersebut dilontarkan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin pada acara Seminar sehari Peta Masalah Pelayanan Negara Terhadap Kehidupan Beragama yang diselenggarakan oleh Pusat Kerukunan Umat Beragama di Jakarta (20/9).

Pertemuan yang diprakarsai Menag yang masa jabatanya sudah berakhir tersebut (kemungkinan dipilih lagi?) mendapat apresiasi dari peserta Seminar. Inisiatif ini harus ditindaklanjuti, karena kenyataan di lapangan selama ini, masih jauh dari harapan kehidupan berbangsa dan bernegara yang aman dan terjamin.Inisiatif tersebut menyampaikan pesan bahwa Pemerintah/Negara perlu memetakan masalah pelayanan dan perlindungan warga negara sehingga bisa mengimplementasikan programnya guna mewujudkan Indonesia yang maju, aman, rukun, adil, sejahtera dan bermartabat. Istilah keren sekarang, perlu revolusi mental perlindungan negara terhadap warganya.

Penulis menyoroti bahwa perlindungan kepada segenap bangsa yang diberikan oleh negara belum benar-benar sesuai konstitusi, padahal Indonesia sudah 69 tahun merayakan kemerdekaannya. Negara atau Pemerintah perlu introspeksi diri atas tugasnya sebagai pelindung dan pelayan segenap warga negara menurut konstitusi.

Dasar Negara
Salah satu pendasaran negara untuk melindungi dan menjamin kehidupan beragama segenap warga bangsa sudah jelas ditegaskan dalam regulasi kita. Undang-undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat (2): "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu".
Prinsip kebebasan beragama (freedom of religion) telah diperkuat oleh MPR dengan dua pasal hasil amandemen kedua yakni Pasal 28E ayat (1) yang berbunyi: "Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali" dan pasal 28I ayat (1) yang berbunyi: "Hak untuk Hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun".

Namun, penegakan dan pelaksanaan regulasi tersebut untuk melindungi warga negara oleh Pemerintah dirasakan belum maksimal. Selama masa reformasi, kekerasan berbasis agama atau keyakinan di Indonesia, menurut Setara Institute (2011) dan CRCS UGM (2014), cenderung meningkat. Kontras mencatat kasus kekerasan terhadap warga oleh aparat negara meningkat dari 112 kasus (2011) menjadi 448 kasus (2012) dan meningkat lagi menjadi 709 kasus dengan korban mencapai 4.569 warga. (Kompas, 7/10).

Hak Warga yang belum terlayani
Beberapa catatan mengenai hak warga negara belum terlayani dan terjamin adalah kesulitan mendirikan tempat ibadah bagi agama non mayoritas, hak menjalankan tradisi ibadah menurut agama dan kepercayaan di rumah warga, dan pemenuhan hak-hak sipil bagi agama di luar agama yang diakui (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu).

Peraturan Bersama Menteri (PBM) oleh Menteri Agama (Menag) dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Tugas Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat dinilai kurang memadai dalam menindak pelanggaran terhadapnya. Untuk itu, status regulasi tersebut perlu ditingkatkan menjadi Undang-undang atau Peraturan Presiden.
Kekerasan dan peminggiran nasib sebagian warga bangsa ini membuat kita prihatin. Kasus Cikeusik, Pandeglang, pengusiran jemaah Ahmadiyan dan Syiah merupakan bukti bahwa perlindungan negara terhadap warganya belum optimal. Negara juga tidak tegas dan keras dalam menerapkan hukum yang berlaku. Akibatnya hak hidup dan kebebasan beragama sebagian warga tidak dilindungi.

Perlindungan lain yang belum benar-benar dirasakan sebagian warga negara soal bagi penduduk yang memeluk "agama"/ kepercayaan di luar agama yang enam, seperti, Sunda Wiwitan, Kaharingan, Parmalim dan lain-lain. Mereka kerapkali kesulitan ketika mengajukan permohonan pencatatan perkawinan, Kantor Catatan Sipil tidak bersedia mencatat dengan alasan agamanya tidak termasuk agama yang diakui sebagaimana ketentuan pada Pasal 8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Masalah ini akan berlanjut pada kesulitan pemenuhan hak-hak sipil karena tidak adanya Akta Kelahiran Anak, dan lainnya.

Belum lagi, masalah pendidikan agama bagi keluarga yang beragama di luar agama yang enam. Padahal layanan pendidikan agama di sekolah adalah hak yang diberikan oleh negara kepada setiap peserta didik di sekolah maupun di Perguruan Tinggi, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 12 ayat (1) huruf a: "Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan anak berhak: (a) mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama".

Warga beragama di luar agama yang enam juga menghadapi masalah dimana penetapan persyaratan pada rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil dan TNI/POLRI tertutup bagi mereka. Fasilitas keringanan hukuman (remisi pidana) bagi narapidana yang menganut agama selain yang enam, karena hari Raya di luar agama yang enam belum diakui.

Revolusi Mental Perlindungan Negara
Sudah saatnya kita melakukan revolusi mental perlindungan segenap bangsa. Regulasi kita sudah transparan dan disepakati bersama untuk berlaku di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maka penegakan, pelaksanaan dan perbaikan regulasi tersebut harus tegas, tepat dan inklusif. Negara atau Pemerintah tidak lagi bisa sekedar berwacana dan pandai bersilat lidah dengan bahasa-bahasa halus untuk menutupi kelemahan atau kekurangan Negara atau Pemerintah dalam melindungi warganya.

Inisiatif Menag untuk memetakan masalah pelayanan dan perlindungan Negara bagi warga menyiratkan bahwa hak asasi manusia sebagaimana pada pasal 28I ayat (1) UUD 1945 harus dijunjung tinggi. Hak untuk Hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun harus menjadi pegangan, pedoman, dan paradigma semua elemen bangsa mulai dari Pemerintah sampai dengan rakyat di akar rumput. Sosialisasi peraturan ini menjadi mendesak. Siapa mengurangi hak asasi ini berarti melawan negara. Negara harus menindak siapapun atau kelompok manapun yang berusaha mengurangi hak asasi tersebut, dengan memperhatikan hak yang wajar dan sesuai konstitusi.

Harapan ini lebih tepat diarahkan kepada Presiden dan wakil Presiden terpilih Jokowi-Jusuf Kalla yang mengharapkan perlunya Revolusi Mental bagi segenap bangsa dan negara Indonesia. Jokowi-JK dengan jajaran pembantunya (Kementerian Agama, POLRI, Kemendagri, dan lain-lain) mensosialisasikan lewat program bimbingan masyarakat. Visi mereka adalah terwujudnya Indonesia yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian berlandaskan gotong royong. Gotong-royong merupakan kekuatan rakyat dalam bahu-membahu mengatasi masalah dan mencari solusi bersama.

Dengan gotong royong ini semakin memungkinkan Negara untuk menjamin kehidupan dan melindungi warga negara Indonesia. Salah satu agenda prioritas Pemerintahan Jokowi-JK dari 9 program (Nawa Cita) adalah menghadirkan kembali Negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara.

Bung Karno mengharapkan segenap bangsa Indonesia bisa hidup adil dan makmur, tiap-tiap manusia hidup bahagia di dalamnya. Hal ini ditegaskannya dalam Pidato 4 Mei 1963, "...mengadakan di dalam republik Indonesia itu satu masyarakat yang adil dan makmur, satu masyarakat yang tiap-tiap orang hidup bahagia, cukup sandang, cukup pangan. Mendapat perumahan yang baik. Tak ada anak-anak sekolah yang tidak masuk sekolah. Pendek kata, satu masyarakat yang adil dan makmur yang tiap-tiap manusia hidup bahagia di dalamnya." Semoga.

Pormadi Simbolon, alumnus STFT Widya Sasana Malang, tulisan merupakan pandangan pribadi

Powered by Telkomsel BlackBerry®

Rabu, Oktober 15, 2014

Pembina BIA: Membagi Pengalaman Iman


Direktur Urusan Agama Katolik berfoto bersama Pejabat dan peserta.
Pertemuan Pembina Bina Iman Anak (BIA) diarahkan untuk mengenalkan Yesus kepada anak-anak dan membawa anak-anak kepada Yesus. Demikian salah satu garis besar pertemuan Pembina Bina Iman Anak Keuskupan Padang yang berlangsung dari tanggal 30 September sampai dengan 3 Oktober di Hotel Mercure Padang.   

Acara pertemuan Pembina BIA dibuka oleh Direktur Urusan Agama Katolik Kementerian Agama RI, Fransiskus Endang. Fransiskus Endang dalam sambutannya mengatakan bahwa pembinaan BIA merupakan salah satu program Bimas Katolik sebagai bentuk perhatian Pemerintah dalam rangka mengajak masyarakat Katolik untuk menjadi Katolik 100 persen dan seutuhnya Pancasilais.  

Pada kesempatan pembukaan tersebut, Pengganti Sementara Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sumatera Barat, H. Afrijal, S.Ag, MM menyambut baik kegiatan pertemuan pembina BIA Keuskupan Padang. Umat Katolik di Keuskupan Padang meskipun minoritas, tetapi ikut berpartisipasi dalam mewujudkan masyarakat Provinsi Sumatera Barat menjadi masyarakat yang religius, berbudaya dan toleran. Untuk itu, sejak usia anak-anak, iman anak-anak perlu dibina agar menjadi masyarakat yang religius, berbudi luhur dan berkepribadian. Segenap masyarakat Provinsi Sumatera Barat diajak terlibat dalam membangun tri-kerukunan, yaitu kerukunan antar umat beragama, kerukunan internal umat beragama dan kerukunan antara umat beragama dengan Pemerintah. 

Ketua Panitia Penyelenggara, Sigit Basuki Taruno, pertemuan ini dimaksudkan untuk membantu para peserta meningkatkan kemampuan dan mengembangkan profesionalitasnya melalui peningkatan kemampuan menguasai materi/ bahan ajar dan wawasan umum tentang disiplin ilmu yang berkaitan dengan tugasnya, serta meningkatkan kemampuan dalam menggunakan metodologi pembelajaran dan pembinaan iman anak. Melalui kegiatan ini, para peserta diharapkan semakin profesional, mandiri dan percaya diri dalam menjalankan tugas dan panggilannya sebagai Pembina BIA.

Pertemuan Pembina BIA yang diikuti 50 orang pembina BIA dari paroki-paroki yang ada di Provinsi SumateraBarat tersebut diisi masukan pembekalan dan pencerahan dari para narasumber yang kompeten di bidangnya dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan Pembina BIA kepada anak-anak Katolik.

Pastor Alex Irwan Suwandi,Pr, Ketua Komisi Kateketik Keuskupan Padang, sebagai salah satu narasumber menegaskan bahwa peran pembina BIA amat penting dalam menanamkan iman Katolik sehingga benar-benar berakar, agar kelak umat tidak gampang pindah agama. Para pembina BIA harus kreatif dalam mewartakan iman kepada anak-anak melalaui ajaran/doktrin, pengalaman hidup anak-anak, metode tanya jawab, cerita, media pembelajaran. Untuk itu, pastor yang juga Ketua Komisi Kateketik Keuskupan Padang tersebut para Pembina BIA perlu mencari waktu untuk berkumpul berbagi pengalaman dan membicarakan metode yang tepat dalam membina anak sesuai dengan kondisi di tempat masing-masing.

Pastor yang merupakan Ketua Yayasan Prayoga Keuskupan Padang tersebut, meneguhkan para pembina BIA harus memiliki spiritualitas sebagai murid Kristus yang hidup di bawah bimbingan Roh Kudus. Untuk itu, para pembina iman anak harus terlebih dulu menimba pengalaman kasih Allah, sebab pengalaman kasih Allah tersebutlah yang kita bagikan kepada anak-anak. Tidak mungkin kita membagi pengalaman kasih Allah, kalau pembina BIA sendiri belum mengalami kasih Allah.

Terkait pentingnya iman mengakar dalam diri anak, juga ditekankan oleh Maria Veronika Loanti, S.Ag, pembinaan BIA harus benar-benar membuat iman akan Yesus itu berakar, dan menjadi kebanggaan tersendiri bagi anak-anak. Untuk itu “kurikulum” dan materi pembinaan iman anak harus benar-benar dipersiapkan.

Narasumber lain, Eko Cahyo Rudianto, S.Pd menyebutkan bahwa salah satu metode pembinaan iman anak adalah penggunaan media permainan. Metode permainan tersebut dapat menggunakan alat permainan edukatif (APE). Beberapa hal perlu diperhatikan, bahwa APE itu digunakan untuk mendukung kegiatan main anak, disesuaikan usia anak, dapat dibuat sendiri bersama orang tua anak. APE tersebut juga harus terbuat dari bahan aman untuk anak, menarik dan dapat dimainkan oleh anak dengan berbagai cara serta mudah didapatkan di lingkungan sekitar.

Narasumber lain, Fidelis Waruwu menegaskan bahwa pembentukan dan pertumbuhan kepribadian anak dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu faktor organ biologik (genetic behaviour), faktor sosial-budaya (core value and attitude) dan faktor psiko-edukatif (learned behaviour). Menurutnya, pembentukan kepribadian manusia 55% dipengaruhi faktor organ-biologik, 20% faktor sosial budaya dan 25% dipengaruhi faktor psiko-edukatif. Ketiga faktor ini perlu diperhatikan para pembina Bina Iman Anak.

Fidelis Waruwu, yang juga dosen Psikologi pada Universitas Tarumanagara Jakarta, menjelaskan kepada para peserta pertemuan, bahwa proses pembentukan karakter anak-anak berangkat dari tahap oberservasi anak terhadap nilai-nilai yang diperankan dan ditampilkan orang tua/ orang-orang di sekitarnya, kemudian anak memasuki tahap meniru, lalu dapat menjadi kebiasaan anak-anak, lama-kelamaan menjadi sifat dalam diri anak-anak, lalu pada akhirnya bisa menjadi karakter karena sifat-sifat tersebut terjadi berulang-ulang dalam setiap waktu dan kondisi. Itu berarti karakter itu dipelajari anak dari teladan dari orang-orang dewasa yang di sekitar anak-anak.

Pada hari terakhir pertemuan, para pembina BIA berharap pembinaan dan pelatihan semacam ini dapat dialami semua pembina BIA secara periodik agar mereka mendapatkan pengetahuan dan keterampilan dalam mewartakan iman kepada anak-anak Katolik. Pormadi Simbolon (diliput dari Padang)

Harus Menjadi Pelaksana Firman


Penyuluh sebagai petugas pewarta Firman Allah harus menjadi teladan dari firman itu sendiri. Jika tidak menjadi teladan, orang susah percaya. Demikian salah satu pesan Direktur Jenderal (Dirjen) Bimbingan Masyarakat Katolik Kementerian Agama RI ketika menutup acara Pembinaan Juru Penerang/Penyuluh Agama Katolik Provinsi Gerejawi Keuskupan Agung Makassar di Mamuju (29/8).

“Para Penyuluh Agama Katolik merupakan tenaga pewarta Firman Allah. Ia harus menjadi teladan dari firman itu sendiri, banyak orang susah percaya akan apa yang dikatakan pewarta, orang baru percaya atas apa dibuat oleh pewarta ”, tegas Eusabius Binsasai.

Pimpinan Ditjen Bimas Katolik tersebut juga menegaskan bahwa para penyuluh agama Katolik dan umat sudah dibaptis dan diutus untuk melakukan tugas sebagai imam, nabi dan raja. Sebagai imam, dipanggil untuk menguduskan, sebagai nabi diutus untuk mewartakan firman Allah dan sebagai raja dipanggil untuk memimpin.

Untuk dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara maksimal di lapangan, pesan Dirjen, para Juru Penerang/ penyuluh agama Katolik harus memberikan teladan, perlu membuat data dan peta pelayanan kerja sehingga tepat sasaran.

Acara yang dihadiri 60 peserta yang berasal dari Provinsi Gerejawi Keuskupan Agung Makassar tersebut diawali dengan pembukaan oleh Direktur Urusan Agama Katolik, Fransiskus Endang didampingi oleh perwakilan Kepala Bidang Bimbingan Masyarakat Islam Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sulawesi Barat, Drs. H.M. Muflih BF, MM, lalu dilanjutkan masukan pembinaan dari para narasumber yaitu RD. Martinus Pasomba, vikaris episkopalis Provinsi Sulawesi Barat, RD. Viktor Patabang, Ketua Komisi Kateketik Keuskupan agung Makassar dan Fidelis Elisati Waruwu, Dosen Psikologi Universitas Tarumanagara Jakarta.

Adapun tema-tema materi terkait dengan arah dasar pastoral Gereja Katolik, pedoman praktis dalam penyuluhan, tantangan dan optimisme penyuluh agama Katolik di Provinsi Gerejawi Keuskupan Agung Makassar, pendidikan karakter melalui penyuluhan, penggunaan media dalam penyuluhan, dan spiritualitas panggilan sebagai penyuluh agama Katolik.

Setelah menerima masukan narasumber, para peserta berdiskusi dan kerja kelompok mengenai permasalahan yang dihadapi para Juru Penerang/ Penyuluh agama Katolik di daerah masing-masing, dan berbagi solusi yang telah diusahakan masing-masing. Seusai memberi sambutan dan pengarahannya, Dirjen menutup acara Pembinaan Juru Penerang/Penyuluh Agama Katolik Provinsi Gerejawi Keuskupan Agung Makassar di Mamuju yang berlangsung 4 hari (26-29 Agustus 2014) di Mamuju. Provinsi Gerejawi Keuskupan Agung Makassar meliputi Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Maluku, Maluku Utara, Gorontalo dan Sulawesi Utara. (Pormadi)

Senin, Juni 23, 2014

Hal Beribadah di Rumah


Beribadah di rumah (foto ilustrasi: pormadi
Sikap intoleransi disertai aksi kekerasan di Daerah Istimewa Yogyakarta dinilai sudah dalam tahap darurat. Dalam sepekan terjadi dua peristiwa intoleransi. Pertama, Minggu (1/6) siang, di Kabupaten Sleman, puluhan orang merusak sebuah bangunan yang biasa dipakai umat Kristen untuk beribadah. Bangunan yang dirusak itu milik pendeta berinisial NL. Bangunan yang bersebelahan dengan rumah NL itu terletak di Dusun Pangukan, Desa Tridadi, Kecamatan Sleman.

Kemudian, dua hari sebelumnya, Kamis (29/5) malam, rumah Julius Felicianus (54) di Dusun Tanjungsari, Desa Sukoharjo, Kecamatan Ngaglik, Sleman, diserang puluhan orang. Penyerangan yang dilakukan saat beberapa umat Katolik berdoa bersama di rumah.

Kapolri Jenderal Sutarman mengatakan bahwa berdasarkan aturan, rumah hunian pribadi tidak boleh digunakan untuk melakukan ibadah yang bersifat rutin, seperti shalat Jumat dan kebaktian yang dilakukan secara rutin. (Kompas.com, Rabu 4/6)

Setelah peristiwa tersebut, penulis menyoroti hal beribadah di rumah yang merupakan tradisi yang dapat ditemukan dalam tradisi agama-agama di Indonesia.


Perihal Tempat Ibadat


Yang menjadi titik tolak alasan penyerangan rumah oleh sekelompok orang di Yogyakarta adalah masalah penggunaan rumah sebagai tempat ibadah atau doa bersama oleh Jemaat. Seperti umat Islam, Kristen, Budha, Hindu, umat Katolik juga memiliki tradisi melaksanakan doa bersama atau pengajian di rumah keluarga secara bergantian. Kalau dalam tradisi Islam, ada kegiatan “Jamiyah Yasinan” dan “Jamiyah Tahlilan” yang berpindah-pindah dari satu rumah ke rumah yang lain.

Jadi amat masuk akal apa dipertanyakan oleh Jusuf Kalla menanggapi peristiwa penyerangan rumah Julius Felicianus (54) di Dusun Tanjungsari, Desa Sukoharjo, Kecamatan Ngaglik, Sleman, “Seseorang boleh berdoa di mana pun. Kita ngaji di rumah-rumah enggak soal, kenapa orang beribadah di rumah sendiri ada yang marah?” tandasnya (Kompas.com, 2/6).

Tempat ibadah umat beragama adalah tempat dimana umat beragama dapat melakukan ibadahnya dengan baik sesuai dengan tata aturan masing-masing agama. Dalam rumah ibadah itulah umat dapat berdoa secara khusuk, dapat merayakan perayaan ritual dan secara istimewa menjadi tempat yang resmi untuk berdoa. Yang paling penting dan paling sering digunakan adalah tempat ibadah resmi. Tempat ibadah resmi itu adalah Masjid, gereja, Pura, Klenteng, Vihara.

Secara umum pendirian rumah ibadah umat beragama harus mendapat ijin dan selalu mengikuti prosedur Peraturan tentang Pendirian Rumah Ibadah (Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9/8 Tahun 2006).



Tradisi Umat Katolik


Sejatinya, Tempat ibadah umat Katolik adalah tempat dimana umat katolik dapat melakukan ibadahnya dengan baik sesuai dengan tata aturan resmi liturgi Gereja Katolik. Dalam rumah ibadah itulah umat Katolik dapat berdoa secara khusuk, dapat merayakan perayaan liturgis dan secara istimewa menjadi tempat yang resmi untuk berdoa.

Ada beberapa tradisi yang umum dilaksanakan umat Katolik di dalam rumah keluarga, sebagaimana umat Islam melakukan pengajian atau syukuran di tengah masyarakat. Tradisi tersebut adalah doa bersama tiap bulan Mei dan Oktober sebagai bulan ROSARIO/ bulan Bunda Maria, membaca dan merenungkan Kitab Suci secara bersama pada Bulan Kitab Suci Nasional tiap bulan September, melaksanakan Ibadat/Doa Harian secara kelompok atau secara pribadi,

Salah satu tradisi umat Katolik, adalah ibadat atau doa keluarga dapat dilaksanakan di rumah umat/ warga katolik yang dipakai untuk berdoa rosario dalam lingkungan/stasi/Komunitas Basis Umat Katolik masing-masing. Doa rosario tersebut hanya digunakan sepanjang bulan Mei dan bulan Oktober setiap tahun dari rumah umat yang satu ke rumah umat lainnya. Setiap umat mendapatkan gilirannya biasanya satu kali dalam minggu/ bulan bersangkutan. Lingkungan/ stasi/ Komunitas Umat Basis merupakan komunitas kecil bagian dari umat Paroki secara keseluruhan.

Kegiatan yang dilaksanakan pada Kamis (29/5) malam, di rumah Julius Felicianus (54) di Dusun Tanjungsari, Desa Sukoharjo, Kecamatan Ngaglik, Sleman, adalah kegiatan doa Rosario rutin yang dilaksanakan pada setiap Bulan Maria yaitu pada bulan Mei dan Oktober. Sangat mengherankan dan disayangkan, rumah tempat kegiatan doa rutin tersebut diserang puluhan orang, padahal, doa rutin yang sama dan yang sudah berlangsung dari awal Mei hingga Rabu (28/5) berjalan dengan baik tanpa gangguan apapun.

Tradisi lainnya adalah umat berhimpun pada hari Minggu maksudnya umat Kristen berkumpul dalam suatu tempat ibadah (gedung gereja, kapel) untuk merayakan Ekaristi/ Misa atau perayaan Ibadat Sabda (bdk. KHK 1274-1248). Kebiasaan ini didasarkan pada tradisi para rasul yang berpangkal pada hari Kebangkitan Kristus (Isa Al-Masih) sendiri. Pada hari Minggu umat berkumpul untuk merayakan misteri Paskah, yakni mengenangkan sengsara, wafat, kebangkitan dan kemuliaan Tuhan Yesus. Dalam pengenangan ini, umat mendengarkan Sabda Allah dan berpartisipasi dalam perayaan Ekaristi/ Misa; Gereja juga bersyukur kepada Allah yang telah “melahirkan kembali mereka ke dalam hidup yang penuh pengharapan” (lih. 1 Ptr 1:3; Konstitusi Liturgi , disingkat KL, 106).


Hak beribadah yang sama


Kelompok umat yang berdoa rosario di rumah Julius Felicianus (54) di Dusun Tanjungsari, Desa Sukoharjo, Kecamatan Ngaglik, Sleman merupakan umat yang berada dalam sebuah lingkungan/ Komunitas umat Basis, yang setiap hari Minggu beribadah di tempat ibadat resmi di wilayah Keuskupan Agung Semarang. Beribadah di rumah semacam ini juga ditemukan dalam tradisi agama lain. Apakah semua agama harus minta ijin untuk doa/ibadah semacam ini? Terlalu banyak pekerjaan tidak substansial bagi aparatur.

Sebagaimana umat beragama lainnya memiliki tradisi berdoa/ beribadah rutin di rumah jemaat untuk meningkatkan kualitas pengetahuan, pengahayatan, dan pengamalan nilai-nilai agamanya masing-masing, demikian pula tiap umat beragama juga memiliki hak yang sama. Ibadah adalah hak yang hakiki yang tidak dapat dibatasi justru dijamin konstitusi. Hal itu pun telah dikuatkan melalui Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Tahun 2006.

Pernyataan Kapolri Jenderal Sutarman mengatakan bahwa berdasarkan aturan, rumah hunian pribadi tidak boleh digunakan untuk melakukan ibadah yang bersifat rutin, seperti shalat Jumat dan kebaktian yang dilakukan secara rutin merupakan pernyataan yang tidak menyejukkan dan sejatinya aparatur negara harus menjunjung tinggi kerukunan, toleransi, persatuan dan kesatuan bangsa.

Dalam suasana kampanye Pemilihan Presiden sekarang ini, agama bisa dimanfaatkan sebagai kesempatan untuk mencapai tujuan sesaat dalam politik. Untuk itu peran pemuka/tokoh dan jemaat tiap agama sangat penting dalam menjaga hidup yang rukun dan toleran di tengah masyarakat.

Pormadi Simbolon, umat Katolik, tinggal di Jakarta
Powered By Blogger