Trima kasih mengunjungi blog kami!

Para pengunjung yth. semua isi blog ini ditulis atau disusun atas kemauan pribadi. Itu berarti blog ini berisi aneka pendapat, pemahaman, persepsi pribadi, dan pemikiran pribadi atas lingkungan kerja dan hidup sekitarnya. Harapan kami isi blog ini bermanfaat bagi pengunjung yang memerlukannya. Salam, GBU.

Rabu, Mei 26, 2010

Pgs. Dirjen Bimas Katolik: Keberadaan Kementerian Agama Jangan Diperdebatkan Lagi

“Jangan ada bagi perdebatan soal keberadaan Kementerian Agama RI”, demikian salah satu isi paparan oleh Pgs. Dirjen Bimas Katolik yang juga Penjabat Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Agama RI, Bahrul Hayat, Ph.D pada pertemuan konsultatif seluruh Pejabat Bimas Katolik Pusat dan Daerah yang berlangsung di Mataram (22/4).

Dalam paparannya, Sekjen Kementerian Agama RI itu juga menegaskan bahwa hubungan agama dan negara di Indonesia, bukan teokrasi, dan bukan sekular (pemisahan total hubungan negara dan agama). “Di Indonesia, negara berperan memfasilitasi dan memberi ruang bagi kehidupan beragama. Republik Indonesia bukan teokrasi, bukan sekuler. Agama adalah bingkai . Di Singapura saja, agama diatur secara khusus oleh menteri”, lanjutnya.
Tegasnya, “Di Indonesia negara menjadi fasilitator bagi 6 (enam) agama). Agama diharapkan menjiwai seluruh kehidupan negara. Jangan ada lagi perdebatan soal keberadaan Kementerian Agama RI”.
Salahkah Sikap Negara Demikian?
Lanjutnya, “Pancasila adalah dasar negara. Pancasila menfasilitasi agama dan mendorong warga RI menjadi pemeluk terbaik sesuai agamanya. Oleh karena itu tidak ada istilah mayoritas-minoritas. Semua difasilitasi”.
Dalam materi yang disampaikan kepada semua peserta dan rombongan jajaran Pejabat Kakanwil Kementerian Agama Provinsi Nusa Tenggara Barat, Bahrul Hayat menegaskan “Pendidikan agama dan keagamaan disediakan oleh negara. Negara hadir membantu masyarakat dalam pendidikan agama dan keagamaan. Apakah salah sikap negara yang demikian?” Hal itu disampaikan adanya kritik sebagian kalangan terkait peran negara dalam hubungannya dengan agama.
Kepada semua pejabat Kementerian Agama Ditjen Bimas Katolik, ia menegaskan bahwa fungsi negara dalam NKRI: hanya sebagai fasilitator hubungan individu dengan Tuhan agar menjadi pemeluk yang baik; membangun harmonisasi relasi antar pemeluk agama. (Negara harus mengintervensi bila tidak harmonis; memfasilitasi pendidikan agama/keagamaan.
Tidak Boleh Tidak Memeluk Agama/Kepercayaan
Menurut dia, “Tafsir implisit atas UU Pembukaan UUD 1945: “Indonesia tidak boleh tidak memeluk agama dan kepercayaan. Ini juga tersirat dari Sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pada bagian akhir pemaparannya, Pejabat Penting Kementerian Agama RI itu berharap kepada para Pembimas/Kabid Katolik agar mendorong dan mengajak masyarakat untuk menjadi pemeluk agama Katolik yang baik; mendorong dan mengajak pembangunan harmonisasi umat; memberi pendidikan agama dan keagamaan untuk menciptakan kerukunan umat beragama.
Sehabis pemaparannya, Pgs. Dirjen Bimas Katolik sekaligus sebagai Sekjen Kementerian Agama RI melanjutkan perjalanan dinasnya yang didampingi Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama RI Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Senin, Mei 03, 2010

Titik Temu RPJPN dan Ajaran Sosial Gereja: Keadilan Sosial

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 merupakan periode 20 tahunan yang ditetapkan untuk memberikan arah sekaligus menjadi acuan bagi seluruh komponen bangsa (pemerintah, masyarakat dan dunia usaha) di dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional sesuai dengan visi, misi dan arah pembangunan yang disepakati bersama oleh para pemangku kepentingan.

Sebagai bagian dari komponen bangsa, Gereja Katolik Indonesia turut berpartisipasi aktif dalam mewujudkan rencana pembangunan nasional. Salah satu kontribusi Gereja Katolik adalah ajaran sosial Gereja yang menggumuli masalah-masalah kemiskinan, ketidakadilan dan ketidakdamaian. Ajaran sosial Gereja bernafaskan preferential option for the poor, memilih berpihak pada kelompok miskin.
RPJPN 2005-2025
Dalam teks Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 dikatakan bahwa Visi Pembangunan Nasional 2005-2025 adalah “Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil dan Makmur. Juga dijelaskan bahwa bangsa Indonesia bukan hanya sebagai yang mandiri dan maju, melainkan juga sebagai bangsa yang adil dan makmur. Keadilan dan kemakmuran harus tercermin dalam setiap aspek kehidupan . Semua rakyat mempunyai kesempatan yang sama dalam meningkatkan taraf kehidupan; memperoleh lapangan pekerjaan; mendapatkan pelayanan sosial, pendidikan dan kesehatan; mengemukakan pendapat; melaksanakan hak politik; mengamankan dan mempertahan-kan negara; serta mendapatkan perlindungan dan kesamaan di depan hukum.
Lebih lanjut dijelaskan, bangsa yang adil berarti tidak adanya diskriminasi dalam bentuk apapun, baik antar individu, gender maupun wilayah. Bangsa yang makmur adalah bangsa yang telah terpenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga dapat memberikan makna penting bagi bangsa-bangsa lain di dunia.
Untuk mewujudkan bangsa yang adil itu, salah satu misi yang ingin diwujudkan adalah mewujudkan pemerataan pembangunan dan berkeadilan, yaitu meningkatkan pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan sosial secara menyeluruh, keberpihakan kepada masyarakat, kelompok dan wilayah/ daerah yang masih lemah, menanggulangi kemiskinan dan pengangguran secara drastis, menyediakan akses yang sama bagi masyarakat terhadap pelayanan sosial serta sarana dan prasarana ekonomi, serta menghilangkan diskriminasi dalam berbagai aspek termasuk gender.
Ajaran Sosial Gereja
Dalam studi tentang Ajaran Sosial Gereja, 1891 sering kali disebut sebagai tonggak sejarah ajaran sosial Gereja. Pada tahun inilah Paus Leo XIII memaklumkan ensiklik sosial pada 1 Mei 1891 berjudul Rerum Novarum (RN). Melalui ajaran sosial Gereja yang ada di dalamnya, Gereja Katolik secara tegas dan bijak mengambil sikap profetis dan keberpihakan terutama pada korban perubahan sistem, struktur dan mentalitas dalam hidup bersama.
Dalam buku tersebut, paling tidak ada 3 (tiga) pokok yang mutlak perlu untuk membela masyarakat yang lemah dan tertindas. Pokok pertama, Gereja mengajar dan bertindak (Rerum Novarum, art. 13-24). Pokok kedua, negara campur tangan pada masalah-masalah kesejahteraan umum (Rerum Novarum, art. 25-35); dan pokok ketiga, perserikatan profesional (pemilik modal dan buruh) perlu mengorganisasi wilayah sosial. (Reru Novarum, art. 36-44).
Sejak diterbitkannya Rerum Novarum oleh Paus Leo XIII pada 1 Mei 1891 sampai dengan dipromulgasikannya Centesimus Annus, 1 Mei 1991 oleh Paus Yohanes Paulus II, sudah lebih dari sepuluh dokumen mengenai ajaran sosial Gereja.
Empat puluh tahun sesudah Rerum Novarum, diterbitkanlah Quadragesimo Anno (31 Mei 1931) yang bertujuan untuk memperbaiki tata sosial. Penerbitan ajaran sosial Gereja ini dilatarbelakangi oleh krisis ekonomi yang berlarut-larut yang mengakibatkan angka pengangguran membengkak.
Pada 19 Maret 1937, diterbitkan dokumen Divini Redemptoris yang intinya kontra dengan gelagat komunis-ateis. Pada artikel 58 dikatakan Komunisme itu secara intrinksik jahat. Komunisme itu melawan Allah dan peradaban.
Pada awal Juni 1941, saat mengenang usia Rerum Novarum ke-50, Paus Pius XII mengadakan pidato radio Vatikan. Salah satu ajaran penting yang disampaikannya adalah soal kesejahteraan umum. Adalah tugas dan panggilan negara untuk menggerakkan dan memajukan kesejahteraan umum.
Paus Yohanes XXIII menerbitkan Ensikliknya berjudul Mater et Magistra pada 15 Mei 1961yang membahas situasi terkini masalah sosial. Salah satu ajaran yang ditegaskan adalah pentingnya intervensi negara dengan memperhatikan prinsip subsidiaritas yang memberikan kepada pihak-pihak tertentu untuk berprakarsa dan memikul tanggung jawab. Terkait dengan upah yang adil, Gereja melalui Mater et Magistra menekankan perlu diterapkan pengertian upah adil dalam artian partisipasi dalam pengambilan keputusan. (Eddy Kristianto,OFM, Dioma 2003: 70).
Kemudian Gereja melalui Paus Yohanes Paulus II (14 September 1981) mengeluarkan Ensiklik Laborem Excercens yang berbicara tentang pekerjaan manusia. Dalam dokumen ini Gereja dipanggil untuk menciptakan spiritualitas kerja yang membantu semua orang mendekatkan diri kepada Allah Sang Khalik, untuk ikut serta dalam rencana-rencana penyelamatan Allah dalam tataran insani dan dunia dan membantu memperdalam persahabatan dengan Kristus melalui pekerjaan mereka (bdk. Laboreem Exercens art. 24,2).
Pada usia seratus tahun Rerum Novarum, Paus Yohanes Paulus II menerbitkan dokumen penting ajaran sosial Gereja berjudul Centesimus Annus. Centesimus Annus mengangkat pokok-pokok pikiran seperti martabat kerja, kerja bermakna personal dan sosial, hak milik, hak berserikat dalam Trade Unions, hak atas kondisi kerja yang menghormati standar-standar insani seturut usia dan jenis kelamin, kesepakatan-kesepakatan kerja hendaknya melindungi standar-standar tersebut, upah kerja yang adil, kewajiban negara untuk membela orang miskin.
Titik Temu
Ada satu kunci yang menjadi titik temu RPJPN 2005-2025 dengan Ajaran Sosial Gereja yaitu soal keadilan sosial bagi anggota masyarakat dan Gereja.
Dalam RPJPN, Negara menggambarkan bahwa bangsa yang adil berarti tidak adanya diskriminasi dalam bentuk apapun, baik antar individu, gender maupun wilayah. Upaya Negara dilakukan melalui usaha mewujudkan pemerataan pembangunan dan berkeadilan, yaitu meningkatkan pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan sosial secara menyeluruh, keberpihakan kepada masyarakat, kelompok dan wilayah/ daerah yang masih lemah, menanggulangi kemiskinan dan pengangguran secara drastis, menyediakan akses yang sama bagi masyarakat terhadap pelayanan sosial serta sarana dan prasarana ekonomi, serta menghilangkan diskriminasi dalam berbagai aspek termasuk gender.
Sebagai lembaga agama dan moral, Gereja menyuarakan ajaran sosial Gereja dan menegakkan moralitas sesuai dengan ajaran iman kekatolikannya. Gereja menyuarakan tuntutan upah yang adil, upah mesti menjamin hidup buruh. Kemudian setiap anggota Gereja termasuk para buruh bebas untuk berserikat untuk memiliki kesatuan dan kekuatan. Selain itu, Gereja menuntut intervensi negara. Menurut Gereja Katolik Negara berhak ikut mengatur hidup masyarakat karena negara wajib melindungi golongan yang lemah, namun di sini peran negara adalah subsidier. Gereja Katolik menolak aliran sosialisme. Sosialisme ditolak karena tidak mengakui hak milik.
Perbedaannya adalah roh yang mendasari masing-masing. Negara didasari oleh Konstitusi dan pilarnya yaitu Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Bhinneka Tunggal Ika. Sedangkan Gereja Katolik selain ikut Konstitusi dan pilar negara juga didasari oleh semangat Injili yaitu iman akan Kristus Yesus yang berkarya, merendah, sengsara, wafat, dan dibangkitkan.
Di tengah kesamaan dan keberbedaan itu, bila terjadi ketidakadilan, maka Gereja Katolik akan mengingatkan dan menyuarakan kembali nilai-nilai keadilan kepada Negara melalui Sura Gembala atau Nota Pastoral Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) atau Sidang Konferensi Waligereja Indonesia (KWI). Baik Negara maupun Gereja Katolik dituntut kerjasama sinergis membangun NKRI tanpa mengurangi otonomitas masing-masing sesuai dengan wewenang masing-masing pula. Salah satu Nota Pastoral yang dikeluarkan KWI pada tahun 2004 adalah Keadaban Publik: Menuju Habitus Baru Bangsa dengan subtema: Keadilan Sosial Bagi Semua: Pendekatan Sosio Budaya.

(Pormadi Simbolon ditulis pada Maret 2010, dengan sumber utama: RPJPN oleh Bappenas, Kompas 22 Desember 2008 dan Eddy Kristianto, Diskursus Sosial Gereja, Dioma, Malang: 2003).

Mgr. Silvester San: Umat Butuh Rumah Ibadat


Keterangan Foto:
Mgr. Silvester San, Uskup Denpasar bersama pejabat Perwailan Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Pejabat Kementerian Agama dari Kepala Kanwil Kementerian Agama RI NTB dan Bapak Semara Duran Antonius, Sekretaris Ditjen Bimas Katolik memasuki ruangan pertemuan Konsultatif Aparatur Bimas Katolik Pusat dan Daerah di Mataram (19/04/2010)


Umat Katolik di Kecamatan Praya Lombok Tengah di Pulau Lombok hingga sekarang belum memiliki satu pun rumah ibadat, sehingga umat harus beribadah jauh ke gereja di luar kecamatan Praya. Padahal umat sangat berharap dapat beribadat dengan tenang dan nyaman.
Oleh karena itu Uskup Denpasar, Mgr. Silvester San Tungga, PR, atau yang akrab dipanggil Mgr. Silvester San, menyampaikan keinginannya agar umat Katolik Keuskupan Denpasar yang ada di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat segera memperoleh ijin mendirikan rumah ibadat agar kebebasan beribadat setiap warga terjamin oleh negara.


Menurut Jurnal Penelitian Keislaman, Vol.2 No. 1 Juni 2005, umat Katolik di Praya berjumlah 72 orang. Sudah menjadi rahasia umum, negara belum sungguh-sungguh melindungi dan menjamin warganya beribadat sesuai agama dan kepercayaannya seberapapun jumlah pemeluknya, namun kenyataanya masih berorientasi pada mayoritas dan minoritas seperti yang terlihat dari peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Agama RI Nomor 9 dan 8 tahun 2006 tentang pedoman pelaksanaan tugas kepala daerah / wakil kepala daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama (FKUB), dan pendirian rumah ibadah.

Keinginan tersebut disampaikan kepada Pejabat Kementerian Agama RI dan Pejabat Pemerintah setempat yang hadir pada Acara Pembukaan Pertemuan Konsultasi Pejabat Bimas Katolik Pusat dan Daerah di kota Mataram (19 April 2010). Dalam sambutannya, selain memiliki kembali rumah ibadat yang pernah ada, Mgr. Silvester San menyampaikan terima kasih kepada Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama RI atas segala bantuannya dalam pembangunan umat Katolik di keuskupan Denpasar.


Terkait kerukunan antar umat beragama, Uskup Denpasar juga menegaskan dalam sambutannya bahwa umat Katolik bersedia membangun kerukunan umat beragama melalui dialog yang saling menguntungkan, sebab keharmonisan dan kedamaian merupakan syarat mutlak untuk membangun Nusa Tenggara Barat. Untuk mendukung itu semua maka dibutuhkan rasa persaudaraan dan saling percaya satu sama lainDalam sejarahnya, ada 21 bangunan gereja yang menjadi sasaran amukan massa, 9 dibakar dan 12 dirusak pada Peristiwa 171 alias Peristiwa 17 Januari 2000. Gereja Katolik yang pernah ada menjadi salah satu korban amukan massa. Sejak saat itu, umat Katolik tidak memiliki rumah ibadat lagi. (Pormadi Simbolon)


Rabu, Maret 03, 2010

Menanti Kebenaran dalam Kasus Bank Century

Publik menantikan, kebenaran apakah yang akan dihasilkan dari proses penyelidikan kasus Bank Century. Menyaksikan proses rapat Bamus dan Paripurna DPR RI, publik banyak ragu atas keputusan akhir paripurna anggota dewan. Syukurlah, akhirnya ada keputusan paripurna anggota dewan. Mayoritas mengatakan ada bail out dana Bank Century bermasalah (325 lawan 212)

Lalu, nanti kebenaran apakah yang akan dihasilkan sebagai kelanjutan dari keputusan politis anggota dewan?

Dalam pembicaraan filsafat ada beberapa teori tentang kebenaran, antara lain teori korespondensi (kebenaran berkorespondensi atau sesuai dengan kenyataan), teori koherensi (kebenaran adalah sistem ide yang koheren), teori pragmatis (kebenaran adalah pemecahan yang memuaskan atau praktis atas situasi problematis), teori semantik (pernyataan-pernyataan tentang kebenaran berada dalam suatu metabahasa dan mengena pada pernyataan-pernyataan dalam bahasa dasar), teori performatif (pernyataan kebenaran merupakan persetujuan yang diberikan terhadap pernyataan tertentu).

Lalu apa kriteria kebenaran itu? Mengutip Lorens Bagus (2002) Kriteria kebenaran adalah tanda-tanda yang memungkinkan kita mengetahui kebenaran. Ada indikasi kecurigaan atau kesesuaian-kesesuaian pandangan umum atas suatu kasus atau hal. Koherensi dan kepraktisan merupakan contoh kriteria macam ini.

Aristoteles, mengutip Lorens Bagus, menyediakan ungkapan definitif tentang teori korespondensi: “Menyatakan ada yang tidak ada, atau tidak ada yang ada adalah salah, sedangkan menyatakan ada yang ada dan tidak ada yang tidak ada adalah tidak benar”.

Kembali ke kasus Bank Century, Presiden sudah mengaku akan bertanggung jawab, meskipun masih ada kata meski ("saya tidak memberi instruksi"). Sampai dimana batas tanggung jawab SBY? Apakah akan mengorbankan Boediono dan Sri Mulyani?Lalu, apakah akhir Kasus Bank Century akan menghasilkan kebenaran yang sesuai dengan deal-deal politik atau akan menghasilkan kebenaran korespondensi dengan kriteria sesuai fakta dan kenyataan? Publik tinggal menunggu, kebenaran apakah yang dihasilkan panitia Pansus Bank Century jika ditindaklanjuti ke jalur hukum.

Selasa, Februari 09, 2010

Indonesia Negaraku, Katolik Agamaku

Ketika saya menonton film-fil Amerika Serikat (AS), ada satu hal yang tidak pernah hilang dari pengamatanku. Satu hal itu adalah kebanggaan warga AS. Ialah bendera Amerika. Kadang terlihat tergantung di depan pintu rumah, kadang di tempel di kemeja atau topi, dan pasti bendera kebanggaan mereka itu selalu ada.

Akhir-akhir ini saya coba surfing blog di blogspot, saya sering ketemu blog-blog warga Malaysia. Mayoritas mereka juga selalu memasang foto bendera mereka di sisi kanan atau kiri blog mereka. Sebuah bendera Malaysia, dan di sampingnya bertuliskan “JAYA MALAYSIAKU”.
Bagi kita di Indonesia, kebanggaan itu menurut saya ada pada jaman Soekarno. Bendera itu selalu tertempel di topi atau seragam pemerintah. Setiap kali bertemua antara yang satu dengan yang lain, selalu berteriak, “Merdeka Bung! Atau Hidup Indonesia Raya!
Bila kita amati situasi bangsa dan negara ini sekarang, hampir rasa kebanggaan sebagai warga negara Indonesia hilang, meskipun selalu didelorakan, “Aku Cinta Produk Indonesia!” atau ketika kasus Ambalat yang memicu kerenggaran hubungan antar negara dengan Malaysia, baru rasa kebanggaan itu muncul pada warga Indonesia.
Yang lebih tidak enak lagi, para oknum pejabat negeri ini sibuk memikirkan untuk mempertahankan kekuasaan atau jabatan. Sedangkan rakyat atau mereka yang dilayaninya dibiarkan hidup sengsara dan menderita. Apa lagi yang menjadi kebanggaan mereka sebagai warga Indonesia? Mereka hanya bangga dengan kekuasaannya.
Kita salut terhadap warga AS yang bangga dengan negaranya, Malaysia dengan kebanggaannya sendiri.
Sebenarnya, di Indonesia banyak hal yang sangat membanggakan yang dipuji oleh manca negara. Pancasila adalah salah satu yang dipuji sebagai kebanggaan Indonesia karena bisa mempersatukan warga negara indonesia yang majemuk, plural, mutlikultural atau apa saja sebutannya.
Bila dikaji lebih dalam, soal kebanggaan Indonesia ada beberapa hal: bendera merah putih lambang negara Indonesia. Ada aneka agama (sekurangnya 6 agama) dan dengan berbagai bahasa dan dipersatukan bahasa Indonesia.
Kebanggaan itu bisa terpatri dalam lubuk Indonesia bila menyadari aneka kebanggaan yang dimilikinya itu. Suatu saat nanti para warga negara Indonesia suatu saat mengatakan:
1. INDONESIA NEGARAKU, ISLAM AGAMAKU;
2. INDONESIA NEGARAKU, KATOLIK AGAMAKU;
3. INDONESIA NEGARAKU, KRISTEN AGAMAKU;
4. INDONESIA NEGARAKU, BUDDHA AGAMAKU;
5. INDONESIA NEGARAKU, HINDU AGAMAKU;
6. INDONESIA NEGARAKU, KONGHUCU AGAMAKU; dst.
Kebanggaan itu tidak perlu mengurangi rasa, nilai dan jiwa keindonesiaan kita dan kehidupan keagamaan kita. Sebab Pancasila adalah pedoman atau prinsip hidup bersama dalam bernegara dan berbangsa di tengah keberbedaan kita. Nilai-nilai Pancasila seperti ketuhanan, kemanusiaa, perdsatuan, kerakyatan yang dipimpin kebijaksanaan dan keadilan sosiak menjadi prinsip dalam hidup bersama sebagai warga negara.
Agama adalah perekat hubungan kita secara vertikal dengan Tuhan dan horizsontal dengan sesama dan seagama. Agama lain harus dihormati.Apakah kita masih bangga dengan dengan bendera merah putih sebagai lambang negara Indonesia? Apakah anda masih bangga dengan Pancasila? Wallahualam. Bila masih bangga, insyaallah dan alhamdulillah.

Jumat, Februari 05, 2010

Menjadi Peserta Pertemuan Tokoh Masyarakat Katolik di Balikpapan

Saya sebagai peserta dari Jakarta , bersama panitia yaitu Aloma Sarumaha, Heru, Bu Tatik dan para pejabat Bimas Katolik (Dirjen, Drs Stef Agus, Direktur Pendidikan Agama Katolik, Drs. Natanael Sesa, M.Si dan Direktur Urusan Agama katolik, Drs. FX. Suharno) mengikuti Pertemuan forum konsultasi tokoh masyarakat Katolik sekeuskupan Agung Samarinda diselenggarakan pada di Hotel Grand Tiga Mulia, pada tanggal 10-12 September 2009, dan dihadiri oleh peserta yang berasal dari utusan dari Keuskupan Agung Samarinda, Keuskupan Tanjung Selor, Keuskupan Banjarmasin, Keuskupan Palangkaraya, Departemen Agama RI Dirjen Bimas Katolik, Departemen Agama Pembimas Katolik Propinsi Kalimantan Timur, Departement Agama Pembimas Katolik Propinsi Kalimantan Tengah, dan Departement Agama Pembimas Katolik Propinsi Kalimantan Selatan.

Pertemuan ini terselenggarakan atas prakarsa Dirjen Bimas Katolik dengan Para Uskup Provinsi Gereja Samarinda.

Pada hari pertama, tanggal 10 September 2009, pertemuan diisi dengan kegiatan sebagai berikut: diawali dengan Pembukaan, Misa Pembukaan, Sambutan-Sambutan, Sambutan Uskup Agung Samarinda, Sambutan Gubernur Kalimantan Timur sekaligus membuka pertemuan secara resmi kemudian dilanjutkan dengan Keynote speech dari Dirjen Bimas Katolik.

Pada acara berikutnya ada masukan-Masukan Pimpinan Gereja Katolik yaitu dari Uskup Agung Samarinda, Uskup Tanjung Selor, Vicjen Keuskupan Palangkaraya, dan Vikjen Keuskupan Banjarmasin

Pada sesi berikutnya ada

Panel Masukan Narasumber Daerah yaitu Gubernur Kalimantan Timur (asisten Gubernur Kaltim Drs. H. Awang Faroek Ishak) dan Dosen UNMUL/FIKIP : Drs. G. Simon Devung, M.Pd.
Selanjutnya ada Panel Informasi Lapangan (Pendidikan & Ekonomi) dari Wakil Keuskupan Banjarmasin, Wakil Keuskupan Palangkaraya, Wakil Keuskupan Agung Samarinda, dan Wakil Keuskupan Tanjung Selor.
Untuk melengkapi masukan, kemudian Panel Narasumber Pusat menyampaikan mater-materi sesuai dengan bidangnya. Para tokoh dari pusat itu adalah: DR Cosmas Batubara, Mayjen TNI (Purn) Herman Musakabe, DR Yan Riberu dan Frans Meak Parera.

ISI PERTEMUAN
Misa Pembukaan dipimpin oleh Uskup Keuskupan Agung Samarinda, Mgr. Sului Florentinus MSF dan didampingi oleh Mgr. Yulius Harjo Susanto, MSF (Uskup Keuskupan Tanjung Selor), dan 5 orang Imam. Dalam Kotbah Misa Pembukaan, Mgr. Sului Florentinus MSF mengatakan bahwa pertemuan ini bertujuan untuk mencari, menyusun strategi pemberdayaan kader katolik se-Keuskupan Agung Samarinda di bidang politik dan ekonomi. Dalam rangka penyusunan ini, Mgr Sului Florentinus, MSF mengingatkan beberapa hal sebagai berikut :
  • Berdoa dan berusaha yang serius agar Roh Allah membimbing untuk menemukan strategi tersebut.
  • Bersikap seperti Paulus, yaitu bahwa Gereja Katolik dan pemerintah dan semua unsure masyarakat perlu menyadari dan menghayati dengan benar dan tepat pengertian dan peranan, tugas serta tugas perutusan Gereja di masyarakat di wilayah kita.
  • Bekerja bersama dengan masyarakat demi pembangunan masyarakat karena Gereja adalah bagian integral masyarakat Indonesia
  • Bertobat. Gereja Katolik dan masyarakat perlu bertobat secara masal dan nasional dari berbagai penyakit dan dosa masyarakat.
  • Perlu merumuskan cara untuk merealisasi cita-cita kita yaitu strategi pemberdayaan masyarakat di Indonesia di bidang politik dan Ekonomi sebagai tanggapan Gereja atas masalah social di tengah masyarakt.

Sambutan-Sambutan


Ketua Panitia Bpk Sarumaha mengatakan bahwa tujuan pertemuan forum konsultatif tokoh masyarakat katolik di Balikpapan ini adalah (1). Memahami kondisi riil Agama Katolik menyangkut hambatan, Kekuatan, tantangan dan peluang dalam pembangunan bangsa, (2). Meningkatkan kerjasama yang mesra antara Pemerintah dan Gereja Katolik, (3). Merumuskan langkah-langkah strategis untuk mewujudkan peran Gereja Katolik dalam pembangunan di wilayah Gerejawi Samarinda. Sementara itu, sasaran pertemuan ini adalah (1). Adanya kesamaan persepsi tentang peran masyarakat Katolik di Wilayah Gerejawi Samarinda, (2). Terciptanya relasi kerjasama yang kondusif dalam Gereja local, (3). Tersusunnya komitmen bersama dan rencana konkret untuk dikembangkan bersama, antara tokoh Katolik dan umat .

Dalam sambutannya, Mgr Florentinus Sului, MSF, Uskup Keuskupan Agung Samarinda menyatakan bahwa pertemuan yang diprakarsai dan diselenggarakan ini menunjukkan adanya pengertian dan perhatian yang baik dari pemerintah kepada umat Katolik. Mgr Florentinus Sului, MSF juga mengharapkan bahwa pertemuan semacam ini masih akan dilanjutkan dengan pertemuan-pertemuan berikutnya, dan pertemuan ini menghasilkan butir-butir pelajaran untuk dijadikan bahan kaderisasi umat Katolik dalam bidang politik dan ekonomi.

Dalam sambutannya, Gubernur Kalimantan Timur yang diwakili oleh kepala Biro KESBANG Propinsi Kalimantan Timur mengatakan bahwa Tema kegiatan forum konsultasi umat Katolik Propinsi Gerejawi Samarinda ini sangat baik dan sejalan dengan visi dan misi Pemerintah Kalimantan Timur dalam melaksanakan roda pemerintahan dan jalannya pembangunan secara khusus dalam peningkatan sumber daya manusia yang cerdas, beriman, berakhlak mulia, handal dan berkualitas, serta mempunyai kemampuan di berbagai bidang di tengah persaingan global dewasa ini.

Dirjen Bimas Katolik Departemen Agama RI memberikan Keynote Speech untuk memberikan latar belakang pertemuan sebagai berikut : keberhasilan 500 tahun pertama kehadiran Gereja Katolik di Indonesia telah ditandai dengan hadirnya hirarki yang diisi oleh orang Indonesia, dan tokoh-tokoh awam yang sangat dikagumi baik di lingkungan umat Katolik sendiri maupun di kalangan orang beragama lain. Pertanyaannya adalah dalam semangat menuju kemandirian gereja, bagaimana kita mengisi 500 ke depan Gereja Katolik di Indonesia.

Indonesia sebagai sebuah Negara dewasa ini sedang bergerak kearah yang tidak jelas. Pancasila kurang dijadikan acuan dalam diskusi bangsa, aneka masalah menggerogoti keutuhan bangsa, adanya segolongan masyarakat yang mau menggantikan pilar-pilar bangsa, pendidikan belum efektif membangun bangsa, kerusakan lingkungan, dan adanya penyalah-gunaan symbol agama untuk menindas agama lain.

Maka maksud pertemuan ini adalah membangun sikap dan pandangan bersama para tokoh agama Katolik terhadap persoalan bangsa, meningkatkan kerja sama dengan membangun soliditas dan solidaritas serta tekad bersama pemberdayaan kader Katolik di propinsi Gerejawi Samarinda di bidang social ekonomi, dan menggugah untuk mengembalikan kebanggan bersama akan insane-insan Katolik yang berperan dalam pembangunan.

Panel Masukan Pimpinan Gereja Katolik

Mgr. Julius Harjosusanto, MSF (Uskup Tanjung Selor)
Keuskupan Tanjung Selor merupakan pemekaran dari Keuskupan Agung Samarinda, pada tahun 2002. Jumlah umat adalah 6,69% dari penduduk, yang tersebar di 11 paroki, dengan mata pencaharian utama umat adalah berladang, dan wirausaha, perkebunan, dan kantor pemerintah.

Dewasa ini di wilayah Keuskupan Tanjung Selor terjadi pergeseran yang cukup signifikan dengan dibangunnya jalan darat dan masuknya perkebunan kelapa sawit. Jumlah umat bertambah, peredaran uang bertambah, tapi kekuatan ekonomi umat tidak bertambah. Kondisi ini diperparah dengan mentalitas umat yang berorientasi pada uang dan sikap konsumerisme.

Saat ini sudah ada upaya-upaya untuk mengatasi sifat konsumerisme ini yaitu lewat CU. Walau yang menjadi anggota CU masih sedikit, tapi CU ini bisa mendidik orang untuk menabung sehingga dapat meningkatkan ekonominya.

Masalah ini muncul karena belum berkembangnya tingkat pendidikan anak-anak. Ini berkaitan dengan motivasi orang tua untuk mengirim anaknya ke sekolah. Ada peluang untuk mengatasi hal itu. Misalnya adalah dari pemerintah yaitu pengembangan sarana pendidikan pemerintah. Gedung-gedung disediakan dengan baik, kadang letaknya tidak baik. Tapi pendidikan nampaknya tidak terlaksana dengan baik karena ritme hidup. Usaha yang pernah dilakukan oleh Keuskupan untuk mengatasi hal ini adalah mengadakan kampanye pendidikan dengan mendorong orang tua agar anak masuk dalam sekolah.

Tantangan dalam pemberdayaan adalah (1). Mentalitas dan budaya yang kadang ada unsure budaya yang menghambat, (2). rendahnya mutu pendidikan, (3). ada perbedaan ekonomi dan peranan ekonomi antara penduduk asli dan pendatang.

Harapan untuk mengatasi tantangan adalah adanya forum seperti ini yang berkumpul secara frekuen, dan munculnya sebuah perguruan tinggi katolik dimana akan menjanjikan akan munculnya tokoh-tokoh Katolik baik di bidang politik maupun ekonomi


Mgr. Florentinus Sului, MSF (Uskup Keuskupan Agung Samarinda)

Kehadiran Gereja Katolik di suatu wilayah adalah untuk meneruskan karya kristus dalam melayani Umat Allah. Di Indonesia, Gereja Katolik tetap meneruskan karya Kristus dalam melayani Umat Allah dan membantu pemerintah dalam pelayanan terhadap masyarakat Indonesia, termasuk yang beragama Katolik karena mereka juga merupakan bagian integral bangsa Indonesia.

Dengan demikian, Kehadiran Gereja Katolik dihadapan pemerintah sebenarnya adalah sebagai mitra, tapi ternyata kondisinya Gereja belum mampu menjadi mitra yang setingkat dengan Pemerintah. Untuk itu, pemerintah perlu juga membantu Gereja dalam bidang ketenagaan, dana dan lain-lain.

Tapi walaupun demikian, Gereja perlu tetap mengkomunikasikan peran kenabiannya untuk meluruskan jalan terhadap pemerintah dan para pelaku ekonomi. Gereja perlu juga menjadi pelaku dalam memberdayakan pemerintah. Tapi mampukah Gereja berlaku seperti itu? Untuk itu diperlukan pertobatan masal dan nasional di segala bidang. Oleh karena itu, perlu pertobatan masal dan nasional di segala bidang.

Vikjen Keuskupan Palangkaraya

Keuskupan Palangkaraya merupakan pemekaran dari Keuskupan Banjarmasin tahun 1993, dengan jumlah umat menurut statistic pemerintah sejumlah 3% dari total penduduk Kalimantan Tengah.
Dalam rangka pengembangan di bidang karya pastoral, terlebih pengembangan kader karya pastoral di tengah umat, pada tahun 2002 dibangun STIPAS sebagai pendidikan kader awam, dan telah menghasilkan 50 sarjana.
Tantangan pengembangan Kader Katolik adalah Kualitas pendidikan yang lemah. Dampaknya adalah rendahnya keterlibatan umat, atau peran serta umat.

Vikjen Keuskupan Banjarmasin

Wilayah Keuskupan Banjarmasin hanya di wilayah Propinsi Kalimantan Selatan, dengan jumlah umat 0,45% dari total penduduk Kalimantan Selatan di 9 paroki, sehingga kalau dalam tataran politik, Umat Katolik tidak mempunyai pengaruh. Dalam tataran ekonomi, orang Katolik terkonsentrasi di Banjarmasin. Banyak para pengusaha, yang beragama Katolik, sementara itu, di luar Banjarmasin, orang Katolik memiliki mata pencaharian sebagai petani, transmigran, buruh. Tapi walaupun kecil, dalam jumlah, Umat Katolik di Keuskupan Banjarmasin juga berperan dalam pengembangan masyarakat di Kalimantan Selatan lewat usaha sebagai berikut :

Di Kalimantan Selatan, ada bagian dari masyarakat yang begitu ketinggal baik dari sisi pendidikan, politik, ekonomi, yaitu masyarakat Dayak Meratus. Saat ini Situasi masyarakat Meratus ini menjadi keprihatinan Gereja, dan ditindaklanjuti oleh umat Katolik dengan antusias.

Uskup baru mengembangkan dan memberi contoh pola pendekatan terhadap umat non Katolik dengan mengadakan atau menjalin persaudaraan, atau tali silahturahmi dengan umat beragama lain.

Panel Masukan Narasumber Daerah

Gubernur Kalimantan Timur (asisten Gubernur Kaltim Drs. H. Awang Faroek Ishak) memaparkan adanya 5 Persoalan mendasar di Kalimantan Timur sebagai berikut : Kemiskinan, Ketenagakerjaan, Keinfrastrukturan, Ketimpangan Antar Daerah, Kualitas SDMprogram pembangunan Kalimantan Timur sebagai berikut. Untuk mengatasi masalah itu, pemerintah daerah telah merancang program sebagai berikut : Pemantapan reformasi birokrasi dan peningkatan tatakelola pemerintahan yang baik, Percepatan pembangunan daerah perbatasan, pedalaman dan daerah tertinggal, Peningkatan pertumbuhan sektor riil dan ketahanan pangan, melalui revitalisasi pertanian dan pembangunan perdesaan, Pembangunan infrastruktur dasar berupa peningkatan sarana dan prasarana transportasi, perumahan rakyat, air bersih dan kelistrikan, Peningkatan kualitas sumberdaya manusia berupa peningkatan kualitas pelayanan pendidikan, kesehatan serta peningkatan keimanan dan ketaqwaan, Percepatan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui perlindungan sosial bagi masyarakat miskin dan penciptaan lapangan dan kesempatan kerja.

Dosen UNMUL/FIKIP : Drs. G. Simon Devung, M.Pd dalam paparannya menyatakan bahwa dalam pemberdayaan kader katolik, perlu diperhatikan hal sebagai berikut : Kebijakan pastoral kaderisasi perlu digarap dengan lebih matang oleh suatu tim khusus Program kaderisasi yang diturunkan dari kebijakan pastoral kaderisasi perlu ditangani

oleh suatu lembaga khusus di tingkat keuskupan dan nasional [dirjen bimas kat - kawi], kaderisasi diawali dengan pengkaderan pengelola lembaga kaderisasi dan pengkaderan kader kaderisasi, arah dan isi kebijakan serta program kaderisasi diarahkan sepenuhnya untuk pemberdayaan segenap potensi kader katolik di bidang politik dalam dimensi-dimensi seperti yang sudah dipaparkan di atas .

Panel Informasi Lapangan (Pendidikan & Ekonomi)

Wakil Keuskupan Palangkaraya DR. Petrus Purwadi, MS :
diungkapkan kondisi umum yaitu adanya perimbangan kekuatan politik namun peran umat katolik masih dirasaskan kurang menonjol, adanya kecendrungan politikus katolik tidak kompak dan cenderung cari selamat untuk diri sendiri, dan Beberapa kader politik Katolik seperti lupa kacang pada kulitnya. Penting mendudukan orang di situ untuk melakukan lobi-lobi politik untuk pembangunan karya gereja.

Kondisi umum bidang ekonomi adalah sebagai berikut : Perekonomian umat pedersaan bergantung pada sektero pertanian dan perkebunan, Budaya menanam dan mengolah masih jauh dari harapan. Sebaliknya budya mengambil dan menjual masih tumbuh subur, Umat katolik kota masih pegawai negeri dan swasta

Untuk mengatasi hal ini, diusulkan beberapa strategi dalam bidang politik sebagai berikut: Mendorong putera daerah katolik untuk mau terjun dalam bidang politik, Membuat program kaderisasi politik yang sistematis dan komprehensif, Memberikan pendidikan politik bagi kaum muda, Jika perlu, jaring kaum muda militant untuk dijadikan kader politik yang handal, beri beasiswa dan pendampingan, Membuat jaringan politis katolik baik dilegislatif maupun eksekutif. Ini perlu untuk membuat aksi bersama, untuk saling mendukung dan membantu promosi jabatan

Strategi pemberdayaan dibidang ekonomi adalah sebagai berikut: Pemberdyaan ekonomi berbasis pertanian dan perkebunan dengan terlebih dahulu mengidentifikasi potensi umat, Mengubah mentalitas ambil jual menjadi mentalitas tanan ambil olah jual, Memberikan pelatihan keterampilan mengelolah hasil pertanian dan perkebunan Membentuk kelompok tani , membentuk kelompok focus group dissucion, Mengaktifkan kembali pusat pelatihan pertanian dan perkebunan yang dimiliki keuskupan, Penguatan peran CU baik di pedesaan maupun di perkotaan, Memberikan pendidikan enterpreneurshiop bagi kaum muda ini penting agar kaum mmuda tidak semata-mata ingin menjadi PNS, Membentuk jaringan pengusaha umat katolik (semacam pukat).

Wakil Keuskupan Banjarmasin (Rm Antonius Bambang Doso, Pr. Lic)
Diungkapkan kondisi umum Keuskupan Banjarmasin sebagai berikut ; Propinsi paling kecil, tapi penduduknya paling banyak. Kalau melihat bidang ekonomi, pemerintah selalu menunjukkan grafik yang maju. Yang menonjol adalah pertanian, dan pertambangan. Efeknya adalah kerusakan lingkungan hidup. Ternyata hal ini orang masih tidak begitu peduli. Peningkatan ekonomi juga ada beberapa hal lain: pengolahan gas, perumahan.

Situasi umat katolik, Jumlah umat katolik 17 ribu jiwa, 0,05%. Orang katolik belum terlibat dalam pembangunan di bidang politik. Ada 10 umat mencalonkan diri sebagai caleg, yang terpilih hanya 1. Penyebabnya adalah karena orang katolik alergi pada politik karena Karier politik tidak menjanjikan. Hal ini berbeda dengan situasi ekonomi. Banyak pelaku aktif ekonomi adalah orang katolik karena mayoritas mereka adalah etnis Tionghoa.

Wakil Keuskupan Tanjung Selor, P. DR. Antonius Rajabana, OMI
Keuskupan tanjung selor terdiri dari 2 wilayah yaitu kota dan pedalaman yang masing-masing punya polanya sendiri. Di kota diwarnai dengan kehidupan politik biasa, namun sebenarnya itu adalah dipermukaan. Didalamnya adalah ikatan keluarga/suku. Di pedalaman, adat lebih berperanan. Peluangnya sangat besar dengan system politik baru dalam legislative, namun peluang itu belum dimanfaatkan dengan cukup baik. Kita hanya mempunyai 4 legislatif.

Ekonomi juga dibagi menjadi 2. Ekonomi perkotaan berbasis uang. Ini mempunyai logika dan mekanisme sendiri. Sementara ekonomi pedalaman dipakai hari itu, habis hari itu.

Harapan dalam bidang politik yaitu pemilihan langsung caleg dimana kita bisa masuk, tapi dipikirkan juga untuk merumuskan kembali memasukan orang dalam politik. Berjuang dalam level yang sama misalnya FKUB, Perjuangan kepentingan bersama pelestarian bersama, atau keutuhan ciptaan.

Dibidang ekonomi, Memadukan dua system keuskupan: subsisten tidak berbasis uang dan moneter berbasis uang, Mengembangkan alternative makanan pokok yang tahan : sukun, ubi, sagu, System ekonomi kerakyatan berbasis uang, perlu diajarkan ke subsistem, menyetop Stop penebangan.

Secara umum mempertegas posisi gereja dihadapan pemerintah dan pemodal, berperan dalam menciptakan dan menguatkan solidaritas umat, dan member Kesaksian hidup sebagai warga masyarakat yang jujur, solider, dengan dasar sebagai orang warga Negara.

Wakil Keuskupan Agung Samarinda, Ibu Veridiana Wang
Memaparkan pengalamannya sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Point menarik dalam paparan adalah dengan tidak adanya tata ruang dalam Kaltim sampai saat ini, dikhawatirkan orang Dayak tidak mpunya tanah, atau tidak punya air. Kehilangan sawah, kehilangan sumber penghasilan.

Panel Narasumber Pusat

DR Cosmas Batubara
Kita harus ikut berpartisipasi dalam politik, kalau tidak kita akan dipermainkan oleh orang lain.
Dalam menjalankan sebagai kader politik, orang katolik hendaknya memperjuangkan kepentingan umum, dan mampu menjadi titik temu dari semua golongan dan kepentingan.
Untuk terjun dalam dunia politik, kader katolik hendaknya

Mayjen TNI (Purn) Herman Musakabe
Untuk menciptakan strategi pemberdayaan sumber daya manusia katolik, Strategi yang ditempuh adalah sebagai berikut : Menciptakan kerjasama sinergeis antar tokoh-tokoh katolik di pemerintahan daerah, Menciptakan kader-kader generasi muda katolik untuk memasuki birokrasi pemerintah, Memciptakan kader-kader katolik untuk menjadi anggota legislative via jalur politik, Meningkatkan mutu pendidikan Katolik, Kader-kader katolik di pemerintahan perlu mempersiapkan diri untuk penugasan dalam jabatan yang bervariasi, Mengadakan pemanduan bakat terhadap kader-kader Katolik yang potensial, Menerapkan kepemimpinan yang melayani untuk kader-kader katolik

DR Yan Riberu
Tanpa pendidikan, orang katolik tidak bisa menjadi Kader Politik dan Ekonomi, yang profesional
Profesionalisme : punya pengetahuan, keterampilan, sikap professional, moralitas.

Frans Meak Parera
Orang Katolik dapat juga berperan untuk diluar pemerintahan dengan mengembangkan media komunikasi.
Saya mendapatkan begitu banyak pengalaman dan pengetahuan dari para pimpinan Gereja, Pemerintahan, para pakar dan semua yang terlibat di dalamnya.

Acara ditutup dengan Misa bersama umat di Paroki Santa Theresia Balikpapan yang dipimpin para Uskup dan Vikjen.

Jumat, Januari 29, 2010

Ternyata Memperkosa Perempuan Juga

Gak perlu heran bila kita mendengar seorang pendeta memperkosa seorang perempuan yang notabene umat yang dipimpinya, atau seorang kiai yang melecehkan perempuan secara seksual. Atau seorang pastor melakukan pelecehan seksual atau sodomi kepada salah seorang misdinarnya. Bila kita cermat meneliti dan membaca berita massa, maka kita semua akan mengakui bahwa mereka juga adalah MANUSIA BIASA.

Mereka memang manusia biasa, namun yang menjadi soal adalah adanya pendidikan agama dan keagamaan yang mereka terima secara khusus sesuai dengan agama mereka. Konsekwensinya logisnya, mereka adalah pemuka agama yang menjadi teladan bagi umatnya. Mereka adalah teladan di bidang beriman, berperilaku dan lain sebagainya dalam kaitan dengan hidup.


Harus kita akui, masih banyak kiai, pendeta atau pastor yang menjadi teladan dan sangat dihormati umatnya. Kita salut dan bangga karena mereka menjalankan panggilan hidupnya dengan baik sesuai dengan imannya dan pendidikan yang diterimanya.


Namun, bila kita mendengar seorang kiai, pendeta atau pastor melakukan perbuatan menyimpang, maka kita akan kecewa mendengarnya. Kita akan merasa mereka juga sama seperti kita, biasa aja, nggak usah diperlakukan khusus.


Yang patut disadari bersama, meskipun seorang kiai, pastor atau pendeta berpendidikan tinggi atau doktoral, namun soal nafsu yang satu itu sama saja primitif sebagaimana manusia lainnya. Maka perlu juga kritis dalam meneladani dan menilai seorang kiai, pendeta atau pastor.


Kita semua berharap bahwa seorang kiai, pendeta dan pastor bisa menjadi teladan hidup beriman di tengah masyarakat majemuk, pembela kemanusiaan, pembela kaum miskin dan marjinal. Semoga
Powered By Blogger