Trima kasih mengunjungi blog kami!

Para pengunjung yth. semua isi blog ini ditulis atau disusun atas kemauan pribadi. Itu berarti blog ini berisi aneka pendapat, pemahaman, persepsi pribadi, dan pemikiran pribadi atas lingkungan kerja dan hidup sekitarnya. Harapan kami isi blog ini bermanfaat bagi pengunjung yang memerlukannya. Salam, GBU.

Senin, Mei 03, 2010

Mgr. Silvester San: Umat Butuh Rumah Ibadat


Keterangan Foto:
Mgr. Silvester San, Uskup Denpasar bersama pejabat Perwailan Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Pejabat Kementerian Agama dari Kepala Kanwil Kementerian Agama RI NTB dan Bapak Semara Duran Antonius, Sekretaris Ditjen Bimas Katolik memasuki ruangan pertemuan Konsultatif Aparatur Bimas Katolik Pusat dan Daerah di Mataram (19/04/2010)


Umat Katolik di Kecamatan Praya Lombok Tengah di Pulau Lombok hingga sekarang belum memiliki satu pun rumah ibadat, sehingga umat harus beribadah jauh ke gereja di luar kecamatan Praya. Padahal umat sangat berharap dapat beribadat dengan tenang dan nyaman.
Oleh karena itu Uskup Denpasar, Mgr. Silvester San Tungga, PR, atau yang akrab dipanggil Mgr. Silvester San, menyampaikan keinginannya agar umat Katolik Keuskupan Denpasar yang ada di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat segera memperoleh ijin mendirikan rumah ibadat agar kebebasan beribadat setiap warga terjamin oleh negara.


Menurut Jurnal Penelitian Keislaman, Vol.2 No. 1 Juni 2005, umat Katolik di Praya berjumlah 72 orang. Sudah menjadi rahasia umum, negara belum sungguh-sungguh melindungi dan menjamin warganya beribadat sesuai agama dan kepercayaannya seberapapun jumlah pemeluknya, namun kenyataanya masih berorientasi pada mayoritas dan minoritas seperti yang terlihat dari peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Agama RI Nomor 9 dan 8 tahun 2006 tentang pedoman pelaksanaan tugas kepala daerah / wakil kepala daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama (FKUB), dan pendirian rumah ibadah.

Keinginan tersebut disampaikan kepada Pejabat Kementerian Agama RI dan Pejabat Pemerintah setempat yang hadir pada Acara Pembukaan Pertemuan Konsultasi Pejabat Bimas Katolik Pusat dan Daerah di kota Mataram (19 April 2010). Dalam sambutannya, selain memiliki kembali rumah ibadat yang pernah ada, Mgr. Silvester San menyampaikan terima kasih kepada Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama RI atas segala bantuannya dalam pembangunan umat Katolik di keuskupan Denpasar.


Terkait kerukunan antar umat beragama, Uskup Denpasar juga menegaskan dalam sambutannya bahwa umat Katolik bersedia membangun kerukunan umat beragama melalui dialog yang saling menguntungkan, sebab keharmonisan dan kedamaian merupakan syarat mutlak untuk membangun Nusa Tenggara Barat. Untuk mendukung itu semua maka dibutuhkan rasa persaudaraan dan saling percaya satu sama lainDalam sejarahnya, ada 21 bangunan gereja yang menjadi sasaran amukan massa, 9 dibakar dan 12 dirusak pada Peristiwa 171 alias Peristiwa 17 Januari 2000. Gereja Katolik yang pernah ada menjadi salah satu korban amukan massa. Sejak saat itu, umat Katolik tidak memiliki rumah ibadat lagi. (Pormadi Simbolon)


Rabu, Maret 03, 2010

Menanti Kebenaran dalam Kasus Bank Century

Publik menantikan, kebenaran apakah yang akan dihasilkan dari proses penyelidikan kasus Bank Century. Menyaksikan proses rapat Bamus dan Paripurna DPR RI, publik banyak ragu atas keputusan akhir paripurna anggota dewan. Syukurlah, akhirnya ada keputusan paripurna anggota dewan. Mayoritas mengatakan ada bail out dana Bank Century bermasalah (325 lawan 212)

Lalu, nanti kebenaran apakah yang akan dihasilkan sebagai kelanjutan dari keputusan politis anggota dewan?

Dalam pembicaraan filsafat ada beberapa teori tentang kebenaran, antara lain teori korespondensi (kebenaran berkorespondensi atau sesuai dengan kenyataan), teori koherensi (kebenaran adalah sistem ide yang koheren), teori pragmatis (kebenaran adalah pemecahan yang memuaskan atau praktis atas situasi problematis), teori semantik (pernyataan-pernyataan tentang kebenaran berada dalam suatu metabahasa dan mengena pada pernyataan-pernyataan dalam bahasa dasar), teori performatif (pernyataan kebenaran merupakan persetujuan yang diberikan terhadap pernyataan tertentu).

Lalu apa kriteria kebenaran itu? Mengutip Lorens Bagus (2002) Kriteria kebenaran adalah tanda-tanda yang memungkinkan kita mengetahui kebenaran. Ada indikasi kecurigaan atau kesesuaian-kesesuaian pandangan umum atas suatu kasus atau hal. Koherensi dan kepraktisan merupakan contoh kriteria macam ini.

Aristoteles, mengutip Lorens Bagus, menyediakan ungkapan definitif tentang teori korespondensi: “Menyatakan ada yang tidak ada, atau tidak ada yang ada adalah salah, sedangkan menyatakan ada yang ada dan tidak ada yang tidak ada adalah tidak benar”.

Kembali ke kasus Bank Century, Presiden sudah mengaku akan bertanggung jawab, meskipun masih ada kata meski ("saya tidak memberi instruksi"). Sampai dimana batas tanggung jawab SBY? Apakah akan mengorbankan Boediono dan Sri Mulyani?Lalu, apakah akhir Kasus Bank Century akan menghasilkan kebenaran yang sesuai dengan deal-deal politik atau akan menghasilkan kebenaran korespondensi dengan kriteria sesuai fakta dan kenyataan? Publik tinggal menunggu, kebenaran apakah yang dihasilkan panitia Pansus Bank Century jika ditindaklanjuti ke jalur hukum.

Selasa, Februari 09, 2010

Indonesia Negaraku, Katolik Agamaku

Ketika saya menonton film-fil Amerika Serikat (AS), ada satu hal yang tidak pernah hilang dari pengamatanku. Satu hal itu adalah kebanggaan warga AS. Ialah bendera Amerika. Kadang terlihat tergantung di depan pintu rumah, kadang di tempel di kemeja atau topi, dan pasti bendera kebanggaan mereka itu selalu ada.

Akhir-akhir ini saya coba surfing blog di blogspot, saya sering ketemu blog-blog warga Malaysia. Mayoritas mereka juga selalu memasang foto bendera mereka di sisi kanan atau kiri blog mereka. Sebuah bendera Malaysia, dan di sampingnya bertuliskan “JAYA MALAYSIAKU”.
Bagi kita di Indonesia, kebanggaan itu menurut saya ada pada jaman Soekarno. Bendera itu selalu tertempel di topi atau seragam pemerintah. Setiap kali bertemua antara yang satu dengan yang lain, selalu berteriak, “Merdeka Bung! Atau Hidup Indonesia Raya!
Bila kita amati situasi bangsa dan negara ini sekarang, hampir rasa kebanggaan sebagai warga negara Indonesia hilang, meskipun selalu didelorakan, “Aku Cinta Produk Indonesia!” atau ketika kasus Ambalat yang memicu kerenggaran hubungan antar negara dengan Malaysia, baru rasa kebanggaan itu muncul pada warga Indonesia.
Yang lebih tidak enak lagi, para oknum pejabat negeri ini sibuk memikirkan untuk mempertahankan kekuasaan atau jabatan. Sedangkan rakyat atau mereka yang dilayaninya dibiarkan hidup sengsara dan menderita. Apa lagi yang menjadi kebanggaan mereka sebagai warga Indonesia? Mereka hanya bangga dengan kekuasaannya.
Kita salut terhadap warga AS yang bangga dengan negaranya, Malaysia dengan kebanggaannya sendiri.
Sebenarnya, di Indonesia banyak hal yang sangat membanggakan yang dipuji oleh manca negara. Pancasila adalah salah satu yang dipuji sebagai kebanggaan Indonesia karena bisa mempersatukan warga negara indonesia yang majemuk, plural, mutlikultural atau apa saja sebutannya.
Bila dikaji lebih dalam, soal kebanggaan Indonesia ada beberapa hal: bendera merah putih lambang negara Indonesia. Ada aneka agama (sekurangnya 6 agama) dan dengan berbagai bahasa dan dipersatukan bahasa Indonesia.
Kebanggaan itu bisa terpatri dalam lubuk Indonesia bila menyadari aneka kebanggaan yang dimilikinya itu. Suatu saat nanti para warga negara Indonesia suatu saat mengatakan:
1. INDONESIA NEGARAKU, ISLAM AGAMAKU;
2. INDONESIA NEGARAKU, KATOLIK AGAMAKU;
3. INDONESIA NEGARAKU, KRISTEN AGAMAKU;
4. INDONESIA NEGARAKU, BUDDHA AGAMAKU;
5. INDONESIA NEGARAKU, HINDU AGAMAKU;
6. INDONESIA NEGARAKU, KONGHUCU AGAMAKU; dst.
Kebanggaan itu tidak perlu mengurangi rasa, nilai dan jiwa keindonesiaan kita dan kehidupan keagamaan kita. Sebab Pancasila adalah pedoman atau prinsip hidup bersama dalam bernegara dan berbangsa di tengah keberbedaan kita. Nilai-nilai Pancasila seperti ketuhanan, kemanusiaa, perdsatuan, kerakyatan yang dipimpin kebijaksanaan dan keadilan sosiak menjadi prinsip dalam hidup bersama sebagai warga negara.
Agama adalah perekat hubungan kita secara vertikal dengan Tuhan dan horizsontal dengan sesama dan seagama. Agama lain harus dihormati.Apakah kita masih bangga dengan dengan bendera merah putih sebagai lambang negara Indonesia? Apakah anda masih bangga dengan Pancasila? Wallahualam. Bila masih bangga, insyaallah dan alhamdulillah.

Jumat, Februari 05, 2010

Menjadi Peserta Pertemuan Tokoh Masyarakat Katolik di Balikpapan

Saya sebagai peserta dari Jakarta , bersama panitia yaitu Aloma Sarumaha, Heru, Bu Tatik dan para pejabat Bimas Katolik (Dirjen, Drs Stef Agus, Direktur Pendidikan Agama Katolik, Drs. Natanael Sesa, M.Si dan Direktur Urusan Agama katolik, Drs. FX. Suharno) mengikuti Pertemuan forum konsultasi tokoh masyarakat Katolik sekeuskupan Agung Samarinda diselenggarakan pada di Hotel Grand Tiga Mulia, pada tanggal 10-12 September 2009, dan dihadiri oleh peserta yang berasal dari utusan dari Keuskupan Agung Samarinda, Keuskupan Tanjung Selor, Keuskupan Banjarmasin, Keuskupan Palangkaraya, Departemen Agama RI Dirjen Bimas Katolik, Departemen Agama Pembimas Katolik Propinsi Kalimantan Timur, Departement Agama Pembimas Katolik Propinsi Kalimantan Tengah, dan Departement Agama Pembimas Katolik Propinsi Kalimantan Selatan.

Pertemuan ini terselenggarakan atas prakarsa Dirjen Bimas Katolik dengan Para Uskup Provinsi Gereja Samarinda.

Pada hari pertama, tanggal 10 September 2009, pertemuan diisi dengan kegiatan sebagai berikut: diawali dengan Pembukaan, Misa Pembukaan, Sambutan-Sambutan, Sambutan Uskup Agung Samarinda, Sambutan Gubernur Kalimantan Timur sekaligus membuka pertemuan secara resmi kemudian dilanjutkan dengan Keynote speech dari Dirjen Bimas Katolik.

Pada acara berikutnya ada masukan-Masukan Pimpinan Gereja Katolik yaitu dari Uskup Agung Samarinda, Uskup Tanjung Selor, Vicjen Keuskupan Palangkaraya, dan Vikjen Keuskupan Banjarmasin

Pada sesi berikutnya ada

Panel Masukan Narasumber Daerah yaitu Gubernur Kalimantan Timur (asisten Gubernur Kaltim Drs. H. Awang Faroek Ishak) dan Dosen UNMUL/FIKIP : Drs. G. Simon Devung, M.Pd.
Selanjutnya ada Panel Informasi Lapangan (Pendidikan & Ekonomi) dari Wakil Keuskupan Banjarmasin, Wakil Keuskupan Palangkaraya, Wakil Keuskupan Agung Samarinda, dan Wakil Keuskupan Tanjung Selor.
Untuk melengkapi masukan, kemudian Panel Narasumber Pusat menyampaikan mater-materi sesuai dengan bidangnya. Para tokoh dari pusat itu adalah: DR Cosmas Batubara, Mayjen TNI (Purn) Herman Musakabe, DR Yan Riberu dan Frans Meak Parera.

ISI PERTEMUAN
Misa Pembukaan dipimpin oleh Uskup Keuskupan Agung Samarinda, Mgr. Sului Florentinus MSF dan didampingi oleh Mgr. Yulius Harjo Susanto, MSF (Uskup Keuskupan Tanjung Selor), dan 5 orang Imam. Dalam Kotbah Misa Pembukaan, Mgr. Sului Florentinus MSF mengatakan bahwa pertemuan ini bertujuan untuk mencari, menyusun strategi pemberdayaan kader katolik se-Keuskupan Agung Samarinda di bidang politik dan ekonomi. Dalam rangka penyusunan ini, Mgr Sului Florentinus, MSF mengingatkan beberapa hal sebagai berikut :
  • Berdoa dan berusaha yang serius agar Roh Allah membimbing untuk menemukan strategi tersebut.
  • Bersikap seperti Paulus, yaitu bahwa Gereja Katolik dan pemerintah dan semua unsure masyarakat perlu menyadari dan menghayati dengan benar dan tepat pengertian dan peranan, tugas serta tugas perutusan Gereja di masyarakat di wilayah kita.
  • Bekerja bersama dengan masyarakat demi pembangunan masyarakat karena Gereja adalah bagian integral masyarakat Indonesia
  • Bertobat. Gereja Katolik dan masyarakat perlu bertobat secara masal dan nasional dari berbagai penyakit dan dosa masyarakat.
  • Perlu merumuskan cara untuk merealisasi cita-cita kita yaitu strategi pemberdayaan masyarakat di Indonesia di bidang politik dan Ekonomi sebagai tanggapan Gereja atas masalah social di tengah masyarakt.

Sambutan-Sambutan


Ketua Panitia Bpk Sarumaha mengatakan bahwa tujuan pertemuan forum konsultatif tokoh masyarakat katolik di Balikpapan ini adalah (1). Memahami kondisi riil Agama Katolik menyangkut hambatan, Kekuatan, tantangan dan peluang dalam pembangunan bangsa, (2). Meningkatkan kerjasama yang mesra antara Pemerintah dan Gereja Katolik, (3). Merumuskan langkah-langkah strategis untuk mewujudkan peran Gereja Katolik dalam pembangunan di wilayah Gerejawi Samarinda. Sementara itu, sasaran pertemuan ini adalah (1). Adanya kesamaan persepsi tentang peran masyarakat Katolik di Wilayah Gerejawi Samarinda, (2). Terciptanya relasi kerjasama yang kondusif dalam Gereja local, (3). Tersusunnya komitmen bersama dan rencana konkret untuk dikembangkan bersama, antara tokoh Katolik dan umat .

Dalam sambutannya, Mgr Florentinus Sului, MSF, Uskup Keuskupan Agung Samarinda menyatakan bahwa pertemuan yang diprakarsai dan diselenggarakan ini menunjukkan adanya pengertian dan perhatian yang baik dari pemerintah kepada umat Katolik. Mgr Florentinus Sului, MSF juga mengharapkan bahwa pertemuan semacam ini masih akan dilanjutkan dengan pertemuan-pertemuan berikutnya, dan pertemuan ini menghasilkan butir-butir pelajaran untuk dijadikan bahan kaderisasi umat Katolik dalam bidang politik dan ekonomi.

Dalam sambutannya, Gubernur Kalimantan Timur yang diwakili oleh kepala Biro KESBANG Propinsi Kalimantan Timur mengatakan bahwa Tema kegiatan forum konsultasi umat Katolik Propinsi Gerejawi Samarinda ini sangat baik dan sejalan dengan visi dan misi Pemerintah Kalimantan Timur dalam melaksanakan roda pemerintahan dan jalannya pembangunan secara khusus dalam peningkatan sumber daya manusia yang cerdas, beriman, berakhlak mulia, handal dan berkualitas, serta mempunyai kemampuan di berbagai bidang di tengah persaingan global dewasa ini.

Dirjen Bimas Katolik Departemen Agama RI memberikan Keynote Speech untuk memberikan latar belakang pertemuan sebagai berikut : keberhasilan 500 tahun pertama kehadiran Gereja Katolik di Indonesia telah ditandai dengan hadirnya hirarki yang diisi oleh orang Indonesia, dan tokoh-tokoh awam yang sangat dikagumi baik di lingkungan umat Katolik sendiri maupun di kalangan orang beragama lain. Pertanyaannya adalah dalam semangat menuju kemandirian gereja, bagaimana kita mengisi 500 ke depan Gereja Katolik di Indonesia.

Indonesia sebagai sebuah Negara dewasa ini sedang bergerak kearah yang tidak jelas. Pancasila kurang dijadikan acuan dalam diskusi bangsa, aneka masalah menggerogoti keutuhan bangsa, adanya segolongan masyarakat yang mau menggantikan pilar-pilar bangsa, pendidikan belum efektif membangun bangsa, kerusakan lingkungan, dan adanya penyalah-gunaan symbol agama untuk menindas agama lain.

Maka maksud pertemuan ini adalah membangun sikap dan pandangan bersama para tokoh agama Katolik terhadap persoalan bangsa, meningkatkan kerja sama dengan membangun soliditas dan solidaritas serta tekad bersama pemberdayaan kader Katolik di propinsi Gerejawi Samarinda di bidang social ekonomi, dan menggugah untuk mengembalikan kebanggan bersama akan insane-insan Katolik yang berperan dalam pembangunan.

Panel Masukan Pimpinan Gereja Katolik

Mgr. Julius Harjosusanto, MSF (Uskup Tanjung Selor)
Keuskupan Tanjung Selor merupakan pemekaran dari Keuskupan Agung Samarinda, pada tahun 2002. Jumlah umat adalah 6,69% dari penduduk, yang tersebar di 11 paroki, dengan mata pencaharian utama umat adalah berladang, dan wirausaha, perkebunan, dan kantor pemerintah.

Dewasa ini di wilayah Keuskupan Tanjung Selor terjadi pergeseran yang cukup signifikan dengan dibangunnya jalan darat dan masuknya perkebunan kelapa sawit. Jumlah umat bertambah, peredaran uang bertambah, tapi kekuatan ekonomi umat tidak bertambah. Kondisi ini diperparah dengan mentalitas umat yang berorientasi pada uang dan sikap konsumerisme.

Saat ini sudah ada upaya-upaya untuk mengatasi sifat konsumerisme ini yaitu lewat CU. Walau yang menjadi anggota CU masih sedikit, tapi CU ini bisa mendidik orang untuk menabung sehingga dapat meningkatkan ekonominya.

Masalah ini muncul karena belum berkembangnya tingkat pendidikan anak-anak. Ini berkaitan dengan motivasi orang tua untuk mengirim anaknya ke sekolah. Ada peluang untuk mengatasi hal itu. Misalnya adalah dari pemerintah yaitu pengembangan sarana pendidikan pemerintah. Gedung-gedung disediakan dengan baik, kadang letaknya tidak baik. Tapi pendidikan nampaknya tidak terlaksana dengan baik karena ritme hidup. Usaha yang pernah dilakukan oleh Keuskupan untuk mengatasi hal ini adalah mengadakan kampanye pendidikan dengan mendorong orang tua agar anak masuk dalam sekolah.

Tantangan dalam pemberdayaan adalah (1). Mentalitas dan budaya yang kadang ada unsure budaya yang menghambat, (2). rendahnya mutu pendidikan, (3). ada perbedaan ekonomi dan peranan ekonomi antara penduduk asli dan pendatang.

Harapan untuk mengatasi tantangan adalah adanya forum seperti ini yang berkumpul secara frekuen, dan munculnya sebuah perguruan tinggi katolik dimana akan menjanjikan akan munculnya tokoh-tokoh Katolik baik di bidang politik maupun ekonomi


Mgr. Florentinus Sului, MSF (Uskup Keuskupan Agung Samarinda)

Kehadiran Gereja Katolik di suatu wilayah adalah untuk meneruskan karya kristus dalam melayani Umat Allah. Di Indonesia, Gereja Katolik tetap meneruskan karya Kristus dalam melayani Umat Allah dan membantu pemerintah dalam pelayanan terhadap masyarakat Indonesia, termasuk yang beragama Katolik karena mereka juga merupakan bagian integral bangsa Indonesia.

Dengan demikian, Kehadiran Gereja Katolik dihadapan pemerintah sebenarnya adalah sebagai mitra, tapi ternyata kondisinya Gereja belum mampu menjadi mitra yang setingkat dengan Pemerintah. Untuk itu, pemerintah perlu juga membantu Gereja dalam bidang ketenagaan, dana dan lain-lain.

Tapi walaupun demikian, Gereja perlu tetap mengkomunikasikan peran kenabiannya untuk meluruskan jalan terhadap pemerintah dan para pelaku ekonomi. Gereja perlu juga menjadi pelaku dalam memberdayakan pemerintah. Tapi mampukah Gereja berlaku seperti itu? Untuk itu diperlukan pertobatan masal dan nasional di segala bidang. Oleh karena itu, perlu pertobatan masal dan nasional di segala bidang.

Vikjen Keuskupan Palangkaraya

Keuskupan Palangkaraya merupakan pemekaran dari Keuskupan Banjarmasin tahun 1993, dengan jumlah umat menurut statistic pemerintah sejumlah 3% dari total penduduk Kalimantan Tengah.
Dalam rangka pengembangan di bidang karya pastoral, terlebih pengembangan kader karya pastoral di tengah umat, pada tahun 2002 dibangun STIPAS sebagai pendidikan kader awam, dan telah menghasilkan 50 sarjana.
Tantangan pengembangan Kader Katolik adalah Kualitas pendidikan yang lemah. Dampaknya adalah rendahnya keterlibatan umat, atau peran serta umat.

Vikjen Keuskupan Banjarmasin

Wilayah Keuskupan Banjarmasin hanya di wilayah Propinsi Kalimantan Selatan, dengan jumlah umat 0,45% dari total penduduk Kalimantan Selatan di 9 paroki, sehingga kalau dalam tataran politik, Umat Katolik tidak mempunyai pengaruh. Dalam tataran ekonomi, orang Katolik terkonsentrasi di Banjarmasin. Banyak para pengusaha, yang beragama Katolik, sementara itu, di luar Banjarmasin, orang Katolik memiliki mata pencaharian sebagai petani, transmigran, buruh. Tapi walaupun kecil, dalam jumlah, Umat Katolik di Keuskupan Banjarmasin juga berperan dalam pengembangan masyarakat di Kalimantan Selatan lewat usaha sebagai berikut :

Di Kalimantan Selatan, ada bagian dari masyarakat yang begitu ketinggal baik dari sisi pendidikan, politik, ekonomi, yaitu masyarakat Dayak Meratus. Saat ini Situasi masyarakat Meratus ini menjadi keprihatinan Gereja, dan ditindaklanjuti oleh umat Katolik dengan antusias.

Uskup baru mengembangkan dan memberi contoh pola pendekatan terhadap umat non Katolik dengan mengadakan atau menjalin persaudaraan, atau tali silahturahmi dengan umat beragama lain.

Panel Masukan Narasumber Daerah

Gubernur Kalimantan Timur (asisten Gubernur Kaltim Drs. H. Awang Faroek Ishak) memaparkan adanya 5 Persoalan mendasar di Kalimantan Timur sebagai berikut : Kemiskinan, Ketenagakerjaan, Keinfrastrukturan, Ketimpangan Antar Daerah, Kualitas SDMprogram pembangunan Kalimantan Timur sebagai berikut. Untuk mengatasi masalah itu, pemerintah daerah telah merancang program sebagai berikut : Pemantapan reformasi birokrasi dan peningkatan tatakelola pemerintahan yang baik, Percepatan pembangunan daerah perbatasan, pedalaman dan daerah tertinggal, Peningkatan pertumbuhan sektor riil dan ketahanan pangan, melalui revitalisasi pertanian dan pembangunan perdesaan, Pembangunan infrastruktur dasar berupa peningkatan sarana dan prasarana transportasi, perumahan rakyat, air bersih dan kelistrikan, Peningkatan kualitas sumberdaya manusia berupa peningkatan kualitas pelayanan pendidikan, kesehatan serta peningkatan keimanan dan ketaqwaan, Percepatan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui perlindungan sosial bagi masyarakat miskin dan penciptaan lapangan dan kesempatan kerja.

Dosen UNMUL/FIKIP : Drs. G. Simon Devung, M.Pd dalam paparannya menyatakan bahwa dalam pemberdayaan kader katolik, perlu diperhatikan hal sebagai berikut : Kebijakan pastoral kaderisasi perlu digarap dengan lebih matang oleh suatu tim khusus Program kaderisasi yang diturunkan dari kebijakan pastoral kaderisasi perlu ditangani

oleh suatu lembaga khusus di tingkat keuskupan dan nasional [dirjen bimas kat - kawi], kaderisasi diawali dengan pengkaderan pengelola lembaga kaderisasi dan pengkaderan kader kaderisasi, arah dan isi kebijakan serta program kaderisasi diarahkan sepenuhnya untuk pemberdayaan segenap potensi kader katolik di bidang politik dalam dimensi-dimensi seperti yang sudah dipaparkan di atas .

Panel Informasi Lapangan (Pendidikan & Ekonomi)

Wakil Keuskupan Palangkaraya DR. Petrus Purwadi, MS :
diungkapkan kondisi umum yaitu adanya perimbangan kekuatan politik namun peran umat katolik masih dirasaskan kurang menonjol, adanya kecendrungan politikus katolik tidak kompak dan cenderung cari selamat untuk diri sendiri, dan Beberapa kader politik Katolik seperti lupa kacang pada kulitnya. Penting mendudukan orang di situ untuk melakukan lobi-lobi politik untuk pembangunan karya gereja.

Kondisi umum bidang ekonomi adalah sebagai berikut : Perekonomian umat pedersaan bergantung pada sektero pertanian dan perkebunan, Budaya menanam dan mengolah masih jauh dari harapan. Sebaliknya budya mengambil dan menjual masih tumbuh subur, Umat katolik kota masih pegawai negeri dan swasta

Untuk mengatasi hal ini, diusulkan beberapa strategi dalam bidang politik sebagai berikut: Mendorong putera daerah katolik untuk mau terjun dalam bidang politik, Membuat program kaderisasi politik yang sistematis dan komprehensif, Memberikan pendidikan politik bagi kaum muda, Jika perlu, jaring kaum muda militant untuk dijadikan kader politik yang handal, beri beasiswa dan pendampingan, Membuat jaringan politis katolik baik dilegislatif maupun eksekutif. Ini perlu untuk membuat aksi bersama, untuk saling mendukung dan membantu promosi jabatan

Strategi pemberdayaan dibidang ekonomi adalah sebagai berikut: Pemberdyaan ekonomi berbasis pertanian dan perkebunan dengan terlebih dahulu mengidentifikasi potensi umat, Mengubah mentalitas ambil jual menjadi mentalitas tanan ambil olah jual, Memberikan pelatihan keterampilan mengelolah hasil pertanian dan perkebunan Membentuk kelompok tani , membentuk kelompok focus group dissucion, Mengaktifkan kembali pusat pelatihan pertanian dan perkebunan yang dimiliki keuskupan, Penguatan peran CU baik di pedesaan maupun di perkotaan, Memberikan pendidikan enterpreneurshiop bagi kaum muda ini penting agar kaum mmuda tidak semata-mata ingin menjadi PNS, Membentuk jaringan pengusaha umat katolik (semacam pukat).

Wakil Keuskupan Banjarmasin (Rm Antonius Bambang Doso, Pr. Lic)
Diungkapkan kondisi umum Keuskupan Banjarmasin sebagai berikut ; Propinsi paling kecil, tapi penduduknya paling banyak. Kalau melihat bidang ekonomi, pemerintah selalu menunjukkan grafik yang maju. Yang menonjol adalah pertanian, dan pertambangan. Efeknya adalah kerusakan lingkungan hidup. Ternyata hal ini orang masih tidak begitu peduli. Peningkatan ekonomi juga ada beberapa hal lain: pengolahan gas, perumahan.

Situasi umat katolik, Jumlah umat katolik 17 ribu jiwa, 0,05%. Orang katolik belum terlibat dalam pembangunan di bidang politik. Ada 10 umat mencalonkan diri sebagai caleg, yang terpilih hanya 1. Penyebabnya adalah karena orang katolik alergi pada politik karena Karier politik tidak menjanjikan. Hal ini berbeda dengan situasi ekonomi. Banyak pelaku aktif ekonomi adalah orang katolik karena mayoritas mereka adalah etnis Tionghoa.

Wakil Keuskupan Tanjung Selor, P. DR. Antonius Rajabana, OMI
Keuskupan tanjung selor terdiri dari 2 wilayah yaitu kota dan pedalaman yang masing-masing punya polanya sendiri. Di kota diwarnai dengan kehidupan politik biasa, namun sebenarnya itu adalah dipermukaan. Didalamnya adalah ikatan keluarga/suku. Di pedalaman, adat lebih berperanan. Peluangnya sangat besar dengan system politik baru dalam legislative, namun peluang itu belum dimanfaatkan dengan cukup baik. Kita hanya mempunyai 4 legislatif.

Ekonomi juga dibagi menjadi 2. Ekonomi perkotaan berbasis uang. Ini mempunyai logika dan mekanisme sendiri. Sementara ekonomi pedalaman dipakai hari itu, habis hari itu.

Harapan dalam bidang politik yaitu pemilihan langsung caleg dimana kita bisa masuk, tapi dipikirkan juga untuk merumuskan kembali memasukan orang dalam politik. Berjuang dalam level yang sama misalnya FKUB, Perjuangan kepentingan bersama pelestarian bersama, atau keutuhan ciptaan.

Dibidang ekonomi, Memadukan dua system keuskupan: subsisten tidak berbasis uang dan moneter berbasis uang, Mengembangkan alternative makanan pokok yang tahan : sukun, ubi, sagu, System ekonomi kerakyatan berbasis uang, perlu diajarkan ke subsistem, menyetop Stop penebangan.

Secara umum mempertegas posisi gereja dihadapan pemerintah dan pemodal, berperan dalam menciptakan dan menguatkan solidaritas umat, dan member Kesaksian hidup sebagai warga masyarakat yang jujur, solider, dengan dasar sebagai orang warga Negara.

Wakil Keuskupan Agung Samarinda, Ibu Veridiana Wang
Memaparkan pengalamannya sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Point menarik dalam paparan adalah dengan tidak adanya tata ruang dalam Kaltim sampai saat ini, dikhawatirkan orang Dayak tidak mpunya tanah, atau tidak punya air. Kehilangan sawah, kehilangan sumber penghasilan.

Panel Narasumber Pusat

DR Cosmas Batubara
Kita harus ikut berpartisipasi dalam politik, kalau tidak kita akan dipermainkan oleh orang lain.
Dalam menjalankan sebagai kader politik, orang katolik hendaknya memperjuangkan kepentingan umum, dan mampu menjadi titik temu dari semua golongan dan kepentingan.
Untuk terjun dalam dunia politik, kader katolik hendaknya

Mayjen TNI (Purn) Herman Musakabe
Untuk menciptakan strategi pemberdayaan sumber daya manusia katolik, Strategi yang ditempuh adalah sebagai berikut : Menciptakan kerjasama sinergeis antar tokoh-tokoh katolik di pemerintahan daerah, Menciptakan kader-kader generasi muda katolik untuk memasuki birokrasi pemerintah, Memciptakan kader-kader katolik untuk menjadi anggota legislative via jalur politik, Meningkatkan mutu pendidikan Katolik, Kader-kader katolik di pemerintahan perlu mempersiapkan diri untuk penugasan dalam jabatan yang bervariasi, Mengadakan pemanduan bakat terhadap kader-kader Katolik yang potensial, Menerapkan kepemimpinan yang melayani untuk kader-kader katolik

DR Yan Riberu
Tanpa pendidikan, orang katolik tidak bisa menjadi Kader Politik dan Ekonomi, yang profesional
Profesionalisme : punya pengetahuan, keterampilan, sikap professional, moralitas.

Frans Meak Parera
Orang Katolik dapat juga berperan untuk diluar pemerintahan dengan mengembangkan media komunikasi.
Saya mendapatkan begitu banyak pengalaman dan pengetahuan dari para pimpinan Gereja, Pemerintahan, para pakar dan semua yang terlibat di dalamnya.

Acara ditutup dengan Misa bersama umat di Paroki Santa Theresia Balikpapan yang dipimpin para Uskup dan Vikjen.

Jumat, Januari 29, 2010

Ternyata Memperkosa Perempuan Juga

Gak perlu heran bila kita mendengar seorang pendeta memperkosa seorang perempuan yang notabene umat yang dipimpinya, atau seorang kiai yang melecehkan perempuan secara seksual. Atau seorang pastor melakukan pelecehan seksual atau sodomi kepada salah seorang misdinarnya. Bila kita cermat meneliti dan membaca berita massa, maka kita semua akan mengakui bahwa mereka juga adalah MANUSIA BIASA.

Mereka memang manusia biasa, namun yang menjadi soal adalah adanya pendidikan agama dan keagamaan yang mereka terima secara khusus sesuai dengan agama mereka. Konsekwensinya logisnya, mereka adalah pemuka agama yang menjadi teladan bagi umatnya. Mereka adalah teladan di bidang beriman, berperilaku dan lain sebagainya dalam kaitan dengan hidup.


Harus kita akui, masih banyak kiai, pendeta atau pastor yang menjadi teladan dan sangat dihormati umatnya. Kita salut dan bangga karena mereka menjalankan panggilan hidupnya dengan baik sesuai dengan imannya dan pendidikan yang diterimanya.


Namun, bila kita mendengar seorang kiai, pendeta atau pastor melakukan perbuatan menyimpang, maka kita akan kecewa mendengarnya. Kita akan merasa mereka juga sama seperti kita, biasa aja, nggak usah diperlakukan khusus.


Yang patut disadari bersama, meskipun seorang kiai, pastor atau pendeta berpendidikan tinggi atau doktoral, namun soal nafsu yang satu itu sama saja primitif sebagaimana manusia lainnya. Maka perlu juga kritis dalam meneladani dan menilai seorang kiai, pendeta atau pastor.


Kita semua berharap bahwa seorang kiai, pendeta dan pastor bisa menjadi teladan hidup beriman di tengah masyarakat majemuk, pembela kemanusiaan, pembela kaum miskin dan marjinal. Semoga

Jumat, Januari 22, 2010

Umat Katolik di Propinsi Gerejawi Kupang: HARUS MENGUBAH MENTALITAS

Umat Katolik di Propinsi Gerejawi Kupang harus mengubah pola perilaku hidup Komunal Feodal dan ketergantungan, menuju perilaku komunal yang produktif dan mandiri. Mentalitas lama harus diubah demi kesejahteraan umat. Demikian salah satu kesepakatan bersama pertemuan Forum Konsultasi Tokoh Umat katolik Provinsi Gerejawi Kupang pada 11-13 Desember 2009 di Hotel Kristal, Kupang – Nusa Tenggara Timur (NTT)


Pertemuan yang diprakarsai oleh Dirjen Bimas Katolik dengan para pimpinan Gereja lokal tersebut mendapat sambutan hangat dari pimpinan Gereja lokal dan pemerintah setempat. Selain para Uskup, turut hadir para tokoh nasional dari Jakarta seperti Cosmas Batubara, J. Riberu, Ferry Tinggogoy, Herman Musakabe, Frans M. Parera dan para pengurua PSE masing –masing keuskupan dan tokoh umat setempat seperti Linus Haukilo, Ambros Korbaffo dan Laurensius Juang.

Sebagai ruang pembelajaran bersama, pertemuan tersebut bertujuan untuk melihat kondisi riil ekonomi umat di wilayah propinsi gerejawi Kupang dan menemukan solusi yang tepat mewujudkan kesejahteraan umat dan kehadiran keselamatan dari Allah di dunia ini.

Menurut pengamatan Uskup Agung Kupang, Mgr. Petrus Turang, pada keadaan riil di wilayah Keuskupan Agung Kupang, umat masih berjuang sekedar untuk bertahan hidup (survival). Melalui pertanian dan peternakan, umat berusaha memenuhi kebutuhan hidup sehari-sehari. Sistem ekonomi masih sistem face to face, dengan sistem kekerabatan dan sistem pinjam-meminjam. Gereja pernah mencoba melakukan pemberdayaan ekonomi melalui pendekatan Koperasi. Namun pada kenyataanya, Koperasi belum mampu mengubah ekonomi umat hingga sekarang. Koperasi masih lemah.

Untuk itu, menurut Uskup Agung Kupang, diperlukan agar semua pihak baik pemerintah/ Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) maupun pimpinan gerejawi untuk bekerjasama memberdayakan dan mendorong pertumbuhan sosial ekonomi umat melalui budaya tani dan ternak. Gereja hanya mempunyai perutusan untuk menyadarkan umat tentang perbaikan kehidupan ekonomi umat. Sedangkan yang memberikan kemampuan teknis di bidang pertanian dan peternakan adalah pemerintah dan LSM.

Tidak jauh berbeda dengan keadaan ekonomi umat di Keuskupan Agung Kupang, kemiskinan dan pengangguran juga melanda umat di Keuskupan Weetebula. Menurut Uskup Weetebula, Mgr. Edmund Woga, CSsR, “Gereja dan Pemerintah memang sudah lama hadir di Keuskupan Weetebula, namun rakyat masih miskin dan melarat. Kesejahteraan atau keselamatan dari Allah belum dirasakan sejak di dunia ini. Siapa dan apa yang salah?” Demikian pertanyaan retoris uskup Weetebula ini kepada para peserta.

Dari hasil permenungan Bapak Uskup Weetebula ada beberapa sumber kesalahan yang perlu diperbaiki. Pertama, sisi adat. Ada kebiasaan-kebiasaan yang membuat umat makin miskin dan melarat. Kedua, kesalahan Gereja. Gereja mencoba membongkar adat, padahal Gereja belum tahu banyak tentang adat, sudah mulai melarang ini dan itu. Sehingga umat merasa adat para misionaris ini lebih tinggi. Pada kesempatan lain, Gereja mengajarkan hal-hal akhirat dan rohani semata. Sikap Gereja yang suka memberi kepada umat, sehingga mentalitas umat untuk berusaha dan mandiri dalam hidup tidak tumbuh.

Sumber kesalahan ketiga adalah pelayan publik. Ada oknum pejabat publik yang menyalahkangunakan dana publik. Di NTT sendiri tercium aroma bau korupsi. Keempat, kesalahan dari diri sendiri (mental, sikap, dll). Orientasi para petani kita baru dapur, belum berorientasi ke PASAR. Pasar baru hanya sebatas tempat bertemu. Kelima, mempersalahkan hubungan kekerabatan (paguyuban/ gotong royong konsumtif). Hal ini ikut memperlambat kemajuan. Semangat menabung belum ada. Untuk itu, menurut Uskup, hal ini menjadi pemikiran dan perbaikan bersama agar kesejahteraan dan keselamatan dari Allah bisa dinikmati umat.

Keadaan riil ekonomi di masyarakat Keuskupan Atambua tidak jauh berbeda dengan di Kupang dan Weetebula. Menurut Uskup Atambua, Mgr. Dominikus Saku,Pr kemiskinan dan kemelaratan masih dirasakan umatnya. Padahal kehadiran dunia pendidikan sudah lama di Atambua. Namun, sejumlah 72,6 % umat dari total 517.183 jiwa (data 2008) hanya mengenyam pendidikan Sekolah Dasar. Maka tidak heran sebagian besar (86 %) umat bermata pencaharian dari pertanian dan peternakan. Yang lebih memprihatinkan lagi, sebesar 56 % dari jumlah orang muda Katolik hanya berpendidikan SD dan sedang pengangguran. Apa yang bisa diharapkan dari dari keadaan demikian?

Bagaimana keadaan demikian diatasi? Uskup Atambua mencoba menawarkan upaya dari dua arah. Pertama ke dalam (internal). Pimpinan Gereja membina persekutuan di dalam Gereja supaya Gereja menjadi Gereja umat, memberikan peran lebih besar kepada umat supaya menunjukkan diri mereka sebagai GEREJA. Kedua, ke luar (eksternal). Pemerintah supaya lebih merakyat. Sebab pembayaran pajak, warga tidak tahu harus membayar ke siapa. Orang dari desa harus menunggu pejabat dari Pusat yang berkunjung ke desa, baru jalan-jalan desa dibangun. Demikian dijelaskan Bapak Uskup yang baru kurang lebih 3 tahun memimpin umat Keuskupan Atambua.

Mentalitas harus diubah

Pada akhir pertemuan, semua peserta berkomitmen dan bersepakat untuk meningkatkan sikap solidaritas dan saling percaya di kalangan umat Katolik dalam membangun ekonomi umat melalui pendekatan koperasi.
Dari sudut pendidikan, para peserta berkomitmen mengusahakan pengembangan Kewirausahaan melalui pendidikan formal, non formal dan informal untuk mengembangkan pola hidup produktif dan peningkatan Disiplin hidup dan membangun budaya kerja jeras, kerja cerdas dan tuntas.

Mengingat penting konsientisasi umat, perlu diusahakan bersama penyadaran umat untuk mengkritisi kebiasaan dan adat istiadat setempat yang menghambat pertumbuhan ekonomi umat dan pentingnya peningkatan kualitas pendidikan Sumber Daya Manusia yang handal, untuk mengelola Sumber Daya Alam, Sumber Daya Kelembagaan, Sumber Daya Waktu, dan Sumber Daya Uang serta penyadaran umat untuk membangun sikap dan perilaku menabung.

Selain itu, disepakati pula untuk membangun jejaring kerja dan informasi pemasaran melalui koperasi dan mengusahakan perubahan pola perilaku hidup Komunal Feodal dan ketergantungan, menuju perilaku komunal yang produktif dan mandiri. Forum bersama tersebut berniat melaksanakan kesepakatan tersebut dengan kesungguhan hati, sebagai panggilan iman dan moral Katolik untuk menanggapi keprihatinan sosial Gereja di Bidang kehidupan Sosial Ekonomi umat. (Pormadi Simbolon)

Selasa, Januari 19, 2010

PELAJARAN AGAMA BELUM BERMANFAAT SIGNIFIKAN!

Melihat banyaknya kasus tindak korupsi, kekerasan dalam rumah tangga,
dan penyalahgunaan wewenang sebagai pejabat publik, kita patut bertanya apakah orang ini tidak mendapat pelajaran agama? Tidak bisa dipungkiri, bahwa semua pelajar Indonesia relatif pasti mendapat pelajaran agama sesuai dengan iman dan agamanya itu. Persoalannya, ada apa dengan pelajaran agama?

Selama ini pelajaran agama, kerapkali tampak sekedar pemindahan ilmu pengetahuan dari seorang guru kepada murid-muridnya, tidak ada bedanya dengan pelajaran Fisika, atau Biologi. Guru terkesan sekedar menyuruh menghafal materi pelajaran agama, menghafal ayat-ayat Kitab Suci, tanpa melihat relevansi pelajaran agama itu dalam hidupnya. Guru pun tidak memberikan teladan seperti apa yang diajarkannya.



Akhirnya, lahirlah banyak pejabat atau pengusaha yang mempelajari agama sekedar sebagai ilmu pengetahuan. Ia tahu tentang ilmu agama, namun tidak tahu bagaimana menjalaninya dalam hidup.



Sudah saatnya, pembelajaran pendidikan agama dan keagamaan benar-benar menyentuh seluruh diri pribadi seorang peserta didik secara utuh. Pelajaran agama bukan sekedar memindahkan ilmu tentang agama, namun juga menginternalisasi nilai-nilai ajran agama seperti nilai kejujuran, keadilan, toleran, demokratis, tanggung jawab, loyal, tangguh, dan lain sebagainya.



Sebab kita tahu bahwa hekekan pendidikan nasional (menurut UU Sisdiknas No 20/2003 pasal 1 butir 1) adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.



Mudah-mudahan metode pembelajaran agama ke depan tidak lagi sekedar pengalihan ilmu tentang agama namun benar-benar menjadi sarana pembentukan pribadi manusia yang beriman, bertakwa, budi luhur, adil, demokratis, toleran, mandiri, tangguna jawab, disiplin, solider loyal, dan lain sebagainya (Bdk. PP Nomor 55 Tahun 2007, pasal 5) . Semoga.
Powered By Blogger