KESEJATIAN PELAYANAN DAN TRANSFORMASI SIKAP
Oleh Pormadi Simbolon
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyerukan kepada seluruh bangsa Indonesia agar melakukan tobat nasional. Salah satu butir seruan tersebut disebutkan agar bangsa Indonesia menjauhi perbuatan yang langsung atau tidak langsung menyebabkan murka Allah, seperti melakukan kezaliman, kepalsuan atau kepura-puraan, kebohongan, pengrusakan kehormatan dan martabat sesama, pengrusakan keseimbangan alam, korupsi/ keserakahan, pengkhianatan hukum, pengkhianatan terhadap amanat, menelantarkan penderitaan rakyat kecil dan sebagainya, demikian diberitakan beberapa media cetak nasional.
Seruan tersebut amat relevan teristimewa bagi mereka yang mengaku pemegang mandat rakyat, wakil rakyat, dan penegak hukum. Mereka mengklaim bahwa jabatan atau tugas pelayanan mereka berasal dari, oleh dan untuk rakyat. Nyatanya, yang lebih meruyak ke permukaan adalah penelantaran rakyat, korupsi/ keserakahan dan pengkhianatan terhadap amanat dan hukum.
Kenyataan demikian bisa terjadi karena mereka yang mengaku bekerja untuk rakyat sebenarnya tidak mengerti dan memahami kesejatian atau kodrat mereka sebagai pelayan rakyat. Sejatinya mereka yang mengaku pemegang mandat rakyat, wakil rakyat dan penegak hukum adalah untuk pelayanan rakyat kebanyakan.
Kesejatian Pelayanan
Terjadinya jurang yang dalam antara pelaksanaan tugas pelayanan sebagai pemegang mandat (baca: amanat) rakyat, wakil rakyat dan penegak hukum dengan kesejatian ketiga tugas tersebut disebabkan ketiadaan pemahaman atau kesadaran yang benar akan hakekat tugas tersebut atau mereka sebatas mengetahui tetapi tidak mengamalkannya.
Mengenai kesejatian tugas pelayanan tersebut pernah diperdebatkan oleh Sokrates dengan Thrasymachus dalam dialog Republic (yang ditulis Plato, dalam buku I). Pertanyaan awal untuk mencari hakekat atau kesejatian itu diawali dari pertanyaan apakah? Misalnya apakah keadilan? Apakah seni menggembalakan? Metode pertanyaan yang sama dapat diajukan terhadap hakekat sesuatu yang lainnya.
Bagi Thrasymachus, berdasarkan pengalamannya, keadilan adalah the advantages of stronger. Maksudnya, keadilan adalah keuntungan penguasa. Thrasymachus Menganalogikan kebenaran argumentasinya dengan menyimak art of shehperd. Menurutnya, seni gembala adalah melakukan tugas penggembalaannya untuk dan demi keuntungannya sendiri. Sokrates menguji argumentasi Thrasymachus dengan bertanya apakah seni menggembalakan itu? Apakah seni (dengan “seni” dimaksudkan kecerdasan, kecakapan, ketrampilan) itu? Sokrates menguji benarkah seni menggembalakan itu dimaksudkan untuk dirinya sendiri (sang gembala)? Baginya kodrat seni ialah untuk profesionalitas bidang yang bersangkutan. Maksudnya seorang dokter misalnya belajar dengan giat untuk bisa makin pandai dan terampil menyembuhkan penyakit sang pasien (jadi bukan untuk dirinya sendiri). Demikian juga soal seni gembala. Kecerdikan seorang gembala dimaksudkan agar domba-dombanya memperoleh keamanan, menemukan rerumputan hijau, terhindar dari serigala dan seterusnya. Jadi kodrat seni berkuasa pun lantas tidak untuk kepentingan sang penguasa. Apabila seni berkuasa untuk dirinya sendiri, jelas itu merupakan pelanggaran, kesalahan, dan pemanipulasian.
Jika kita ajukan pertanyaan yang sama misalnya apakah pemegang mandat rakyat itu? Apakah wakil rakyat itu? Dan apakah penegak hukum itu? Pemegang mandat rakyat, wakil rakyat dan penegak hukum pada kodratnya melayani rakyat banyak pertama-tama tidak untuk kepentingan diri sendiri, melainkan demi profesionalitas pelayanan yang semakin baik demi kesejahteraan umum (bonum commune).
Kenyataan di lapangan menunjukkan banyak pemegang mandat rakyat, wakil rakyat dan penegak hukum tidak melakukan tugas pelayanannya demi kepentingan umum melainkan demi keuntungan pribadi atau kelompoknya sendiri.
Kesan tebar pesona, dan bukan tebar karya yang terjadi di tengah masyarakat, ketidakpekaan para wakil rakyat (PP Nomor 37 tahun 2006, November lalu rakyat dikejutkan dengan langkah Presiden menandatangani PP Nomor 37 Tahun 2006 yang memperkaya anggota legislatif daerah dengan gaji puluhan juta rupiah), dan penegakan hukum secara tebang pilih yang mengejar para koruptor kecil-kecilan merupakan beberapa contoh pemanipulasian tugas pelayanan oleh sebagian pejabat negara.
Transformasi Sikap
Kesalahan para pejabat publik terjadi dalam kapasitas masing-masing, yang terlena oleh kepentingan pribadi atau kelompok. Oleh karena itu seruan tobat nasional oleh PBNU paling aktual dan relevan bagi mereka yang paling bertanggung jawab terhadap nasib rakyat. Mereka semua perlu lebih dulu mengubah sikap alias transformasi sikap karena merekalah seyogiyanya yang menjadi panutan masyarakat banyak.
Kelemahan para pejabat publik, mereka tidak pernah melakukan transformasi sikap. Mereka masih saja asyik dengan cara-cara lama, padahal keadaan globalisasi sudah sepenuhnya menuntut harus berubah. Bahkan dalam demokrasi pun, mereka seringkali lebih menuntut haknya, tetapi mereka tidak pernah mau melaksanakan kewajiban yang sesuai dengan kodrat tugas pelayanan mereka dalam kapasitasnya masing-masing.
Transformasi sikap yang mereka lakukan sejatinya mengacu pada kodrat tugas pelayanan yang diberikan dan dipercayakan oleh rakyat kepada lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Apakah lembaga eksekutif itu? Apakah lembaga legislatif itu? Apakah lembaga yudikatif itu? Pertanyaan ini akan mengarah pada kodrat dan kesejatian keberadaan ketiga lembaga tersebut bila memang mereka tidak dikendalikan oleh egoisme dan kepentingan partainya. Jika mereka masih terkungkung dan terikat pada kepentingan dan keuntungan mereka sendiri, maka di situlah terjadi pelanggaran, kesalahan dan pemanipulasian mandat rakyat, kepercayaan dan aspirasi rakyat banyak sebagaimana pengujian Sokrates atas pengertian seni gembala yang dikemukakan Thrasymachus.
Persoalannya sekarang, masih terbukakah pintu hati nurani, akal budi dan mata mereka terhadap kodrat tugas pelayanan mereka? Ataukah mereka masih lebih menuntut hak daripada menunaikan kewajiban mereka terlebih dahulu? Jika masih demikian halnya, Indonesia tidak akan pernah menjadi negara maju setingkat Malaysia dan Singapura sekalipun. Indonesia akan tetap menjadi terbelakang di mata internasional. Semakin mendesaklah seruan tobat dan transformasi sikap secara nasional teristimewa bagi para pejabat yang mengklaim tugasnya berasal dari, oleh dan untuk rakyat. Semoga.
Penulis adalah alumnus STFT Widya Sasana Malang
Trima kasih mengunjungi blog kami!
Para pengunjung yth. semua isi blog ini ditulis atau disusun atas kemauan pribadi. Itu berarti blog ini berisi aneka pendapat, pemahaman, persepsi pribadi, dan pemikiran pribadi atas lingkungan kerja dan hidup sekitarnya. Harapan kami isi blog ini bermanfaat bagi pengunjung yang memerlukannya. Salam, GBU.
Jumat, Februari 02, 2007
KESEJATIAN PELAYANAN DAN TRANSFORMASI SIKAP
Label:
berita,
integritas diri,
opini,
pelayanan,
tanggung jawab,
transformasi sikap

Kamis, Januari 25, 2007
JAKARTA BERWAJAH "PANAS"!
JAKARTA BERWAJAH “PANAS”!
Oleh: Pormadi Simbolon
Pasca lebaran 2006, banyak pemudik membawa sanak saudara, kenalan, atau sahabat untuk mencari sesuap nasi di Ibukota Jakarta. “Salah seorang sahabat pemudik dari daerah SUMUT sana pernah berkata, Panasnya Ibukota Jakarta Lae!
Jakarta memang panas! Suhu udaranya membuat orang setiap haria harus berkeringat dari pagi hingga pada sore hari. Dari berangkat ke kantor hingga pada saat pulang dari kantor. Panas terik matahari siap membakar kulit para penduduk Jakarta.
Jakarta memang “panas”! Penduduknya juga gampang ikut menjadi panas karena kotanya sednriri sudah panas. Mulai dari pedagang asongan hingga pedagang toko. Mulai dari insan-insan bis non-AC hingga bis ber-AC. Mulai dari sopir bajaj hingga sopir busway. “Kepanasan” kota Jakarta semakin menusuk dan menyengat ketika kemacetan di sana sini terjadi. Kata-kata kotor kerap kali menjadi santapan telinga setiap hari. Akhir-akhir ini kepanasan itu semakin terasa ketika pemerintah provinsi Jakarta lagi sibuk menyelesaikan proyek busway. Kemacetan pun semakin menjadi-jadi.Meskipun demikian, ibukota bak gula bagi para pendatang baru.
“Siapa suruh datang ke Jakarta!”. Slogan ini masih ada terpampang di sebuah terminal Bis tempat kedatangan dari daerah. Pernyataan ini mengingatkan bahwa kota Jakarta adalah kota yang penuh dengan kekerasan, cuaca panas, banyak penduduknya kasar, dan sebuah kota yang sangat membutuhkan kerja keras untuk mencari sesuap nasi. Itulah sebabnya kerap terdengar slogan lain yang berbunyi, tidak ada uang sama dengan mati atau maut di Jakarta.
Tidak berlebihan pula, banyak orang menyebut kota Jakarta sebagai kota yang kejam. Ibukota memang kejam, lebih kejam dari ibu tiri. Di ibukota ii, ekonomi betjalan melalui cara-cara yang kasar dan keras. Untuk mencari orang melakukan segala cara. Merampok, mencopet, dan membunuh pun terpaksa dilakukan demi mempertahankan hidup bukan hal baru di Ibukota. Penggusuran dan pengusiran para pedagang kaki lima tanpa solusi yang memuaskan sering pula menjadi tontonan mata.
Lebih jauh, Jakarta kerap dipandang menjadi tempat untuk menjadi kaya di Indonesia. Banyak cara dihalalkan. Seseorang bisa menjadi kaya bila dia kuat dan menghalalkan segala cara. Jakarta memungkinkan seseorang dengan mudah berkuasa karena uanglah syarat perdananya. Mungkin ini menjadi pelajaran yang dipetik oleh pejabat-pejabat daerah.
Di Jakarta, kebanyakan orang memandang dan menetapkan harkat dan martabat seseorang dari jumlah materi yang dimilikinya. Dengan modal uang seseorang merasa dengan gampang mendapatkan kekuasaan di bidang hidup seperti politik, sosial atau budaya. Dengan uang orang dapat menjadi ktua organisasi, pejabat pemerintah, bahkan menjadi tokoh penting dalam partai politik dalam masyarakat.
Tak jarang pula, Jakartalah yang menciptakan kepanasan di daerah. Pada masa Orde Baru, Jakartalah yang memberi ijin kepada Freeport untuk berusaha di Irian Barat alias Papua. Jakarta yang tidak memperhatikan nasib penduduk lokal mendorong Freeport ikut-ikutan melakukan hal yang sama. Panas pulalah Papaua jadinya!
Sebagian media melansir, memanasnya situasi masyarakat di beberapa daerah seperti di Poso dan daerah lainnya, disebabkan oleh panasnya kepentingan politik di Jakarta. Jika pernyataan media tersebut benar berarti Jakarta memang benar-benar panas dan kejam serta menjadi penebar “panas” ke berbagai daerah.
Ketika nasib rakyat kebanyakan semakin tidak menentu dan menderita akibat kenaikan BBM, Jakartalah yang menjadi penyebabnya. Menyedihkannya, dampak kenaikan BBM itu belum juga pulih hingga sekarang. Rakyat keseluruhan masih menderita karena Jakarta.
Mutu pendidikan kita semakin menurun juga disebabkan oleh Jakarta. Panasnya kepentingan politik para pejabat di Jakarta mendorong pemaksaan praktek Ujian Nasional sebagai proyek. Proyek Jakarta tersebut jelas sekali kelihatan lebih mengutamakan makna politis daripada proses edukatif. Kebijakan Jakarta berakibat pada pemborosan anggaran negara, dan mutu pendidikan kita menjadi panas.
Memang Jakarta merupakan pusat dan barometer kemajuan bagi semua provinsi di Indonesia. Sistem, kebijakan, perilaku para insan birokrasi di Jakarta dengan cepat direkam dan dipraktekkan di daerah. Kerapkali adanya permintaan “upeti” dari pejabat di Jakarta, mendorong pejabat bawahan di lapangan harus memenuhi target setoran. Jika target setoran tidak tercapai, siap-siaplah pejabat pusat akan menggantinya dengan orang-orang yang lebih mampu setor.
Jakarta memang panas. Jika hanya cuacanya saja yang panas masih bisa atasi dengan alat pendingin (AC). Namun bila orang-orang Jakarta, mulai dari rakyat biasa hingga pada tokoh-tokoh elit negara (pejabat eksekutif, legislatif dan judikatif) ikut menjadi “panas”, dengan apakah mereka didinginkan?
Penulis adalah alumnus STFT Widya Sasana Malang, tinggal di Jakarta.
Oleh: Pormadi Simbolon
Pasca lebaran 2006, banyak pemudik membawa sanak saudara, kenalan, atau sahabat untuk mencari sesuap nasi di Ibukota Jakarta. “Salah seorang sahabat pemudik dari daerah SUMUT sana pernah berkata, Panasnya Ibukota Jakarta Lae!
Jakarta memang panas! Suhu udaranya membuat orang setiap haria harus berkeringat dari pagi hingga pada sore hari. Dari berangkat ke kantor hingga pada saat pulang dari kantor. Panas terik matahari siap membakar kulit para penduduk Jakarta.
Jakarta memang “panas”! Penduduknya juga gampang ikut menjadi panas karena kotanya sednriri sudah panas. Mulai dari pedagang asongan hingga pedagang toko. Mulai dari insan-insan bis non-AC hingga bis ber-AC. Mulai dari sopir bajaj hingga sopir busway. “Kepanasan” kota Jakarta semakin menusuk dan menyengat ketika kemacetan di sana sini terjadi. Kata-kata kotor kerap kali menjadi santapan telinga setiap hari. Akhir-akhir ini kepanasan itu semakin terasa ketika pemerintah provinsi Jakarta lagi sibuk menyelesaikan proyek busway. Kemacetan pun semakin menjadi-jadi.Meskipun demikian, ibukota bak gula bagi para pendatang baru.
“Siapa suruh datang ke Jakarta!”. Slogan ini masih ada terpampang di sebuah terminal Bis tempat kedatangan dari daerah. Pernyataan ini mengingatkan bahwa kota Jakarta adalah kota yang penuh dengan kekerasan, cuaca panas, banyak penduduknya kasar, dan sebuah kota yang sangat membutuhkan kerja keras untuk mencari sesuap nasi. Itulah sebabnya kerap terdengar slogan lain yang berbunyi, tidak ada uang sama dengan mati atau maut di Jakarta.
Tidak berlebihan pula, banyak orang menyebut kota Jakarta sebagai kota yang kejam. Ibukota memang kejam, lebih kejam dari ibu tiri. Di ibukota ii, ekonomi betjalan melalui cara-cara yang kasar dan keras. Untuk mencari orang melakukan segala cara. Merampok, mencopet, dan membunuh pun terpaksa dilakukan demi mempertahankan hidup bukan hal baru di Ibukota. Penggusuran dan pengusiran para pedagang kaki lima tanpa solusi yang memuaskan sering pula menjadi tontonan mata.
Lebih jauh, Jakarta kerap dipandang menjadi tempat untuk menjadi kaya di Indonesia. Banyak cara dihalalkan. Seseorang bisa menjadi kaya bila dia kuat dan menghalalkan segala cara. Jakarta memungkinkan seseorang dengan mudah berkuasa karena uanglah syarat perdananya. Mungkin ini menjadi pelajaran yang dipetik oleh pejabat-pejabat daerah.
Di Jakarta, kebanyakan orang memandang dan menetapkan harkat dan martabat seseorang dari jumlah materi yang dimilikinya. Dengan modal uang seseorang merasa dengan gampang mendapatkan kekuasaan di bidang hidup seperti politik, sosial atau budaya. Dengan uang orang dapat menjadi ktua organisasi, pejabat pemerintah, bahkan menjadi tokoh penting dalam partai politik dalam masyarakat.
Tak jarang pula, Jakartalah yang menciptakan kepanasan di daerah. Pada masa Orde Baru, Jakartalah yang memberi ijin kepada Freeport untuk berusaha di Irian Barat alias Papua. Jakarta yang tidak memperhatikan nasib penduduk lokal mendorong Freeport ikut-ikutan melakukan hal yang sama. Panas pulalah Papaua jadinya!
Sebagian media melansir, memanasnya situasi masyarakat di beberapa daerah seperti di Poso dan daerah lainnya, disebabkan oleh panasnya kepentingan politik di Jakarta. Jika pernyataan media tersebut benar berarti Jakarta memang benar-benar panas dan kejam serta menjadi penebar “panas” ke berbagai daerah.
Ketika nasib rakyat kebanyakan semakin tidak menentu dan menderita akibat kenaikan BBM, Jakartalah yang menjadi penyebabnya. Menyedihkannya, dampak kenaikan BBM itu belum juga pulih hingga sekarang. Rakyat keseluruhan masih menderita karena Jakarta.
Mutu pendidikan kita semakin menurun juga disebabkan oleh Jakarta. Panasnya kepentingan politik para pejabat di Jakarta mendorong pemaksaan praktek Ujian Nasional sebagai proyek. Proyek Jakarta tersebut jelas sekali kelihatan lebih mengutamakan makna politis daripada proses edukatif. Kebijakan Jakarta berakibat pada pemborosan anggaran negara, dan mutu pendidikan kita menjadi panas.
Memang Jakarta merupakan pusat dan barometer kemajuan bagi semua provinsi di Indonesia. Sistem, kebijakan, perilaku para insan birokrasi di Jakarta dengan cepat direkam dan dipraktekkan di daerah. Kerapkali adanya permintaan “upeti” dari pejabat di Jakarta, mendorong pejabat bawahan di lapangan harus memenuhi target setoran. Jika target setoran tidak tercapai, siap-siaplah pejabat pusat akan menggantinya dengan orang-orang yang lebih mampu setor.
Jakarta memang panas. Jika hanya cuacanya saja yang panas masih bisa atasi dengan alat pendingin (AC). Namun bila orang-orang Jakarta, mulai dari rakyat biasa hingga pada tokoh-tokoh elit negara (pejabat eksekutif, legislatif dan judikatif) ikut menjadi “panas”, dengan apakah mereka didinginkan?
Penulis adalah alumnus STFT Widya Sasana Malang, tinggal di Jakarta.

Minggu, Oktober 15, 2006
Sumber Perusak Kebersamaan dan Kerjasama
Sumber Perusak Kebersamaan dan Kerjasama
Pada dasarnya kebersamaan yang sudah terjaga dengan baik di tengah rakyat Indonesia kembali dirusak oleh sejumlah orang yang tidak menginginkan keselamatan NKRI dan Pancasila.
Adapun ketiga hal yang menjadi perusak itu adalah:
Ambisi pribadi baupun kelompok. Yang lain tidak tau/ atau bodoh dan rendah/ hina.
Irihati. Ada sebagian orang malah menjadi iri bila orang lain berhasil dan sukses. Mereka malah ingin menjatuhkan orang lain yang sukses.
Batu sandungan. Sering kali orang atau kelompok berusaha menjebak orang lain supaya terperangkap pada kehancuran atau jatuh/ bangkrut dalam tugas atau pekerjaannya.
Sumber dari ketiga hal perusak tersebut adalah:
Kegagalan orang menerima diri atau kelompok dengan segala kekurangan dan kelebihan yang dia miliki.
Orang tak menghargai lagi kebijaksanaan Allah yang telah menciptakan semua orang dengan segala keunikan dan kehasannya masing-masing. Semuanya diciptakan dengan bijak adalah untuk saling menyempurnakan.
Untuk membangun kerjasama dan kebersamaan sebagai bangsa dalam NKRI dan Pancsila adalah perlunya membuang penyakit itu. Semoga.
Pada dasarnya kebersamaan yang sudah terjaga dengan baik di tengah rakyat Indonesia kembali dirusak oleh sejumlah orang yang tidak menginginkan keselamatan NKRI dan Pancasila.

Adapun ketiga hal yang menjadi perusak itu adalah:
Ambisi pribadi baupun kelompok. Yang lain tidak tau/ atau bodoh dan rendah/ hina.
Irihati. Ada sebagian orang malah menjadi iri bila orang lain berhasil dan sukses. Mereka malah ingin menjatuhkan orang lain yang sukses.
Batu sandungan. Sering kali orang atau kelompok berusaha menjebak orang lain supaya terperangkap pada kehancuran atau jatuh/ bangkrut dalam tugas atau pekerjaannya.
Sumber dari ketiga hal perusak tersebut adalah:
Kegagalan orang menerima diri atau kelompok dengan segala kekurangan dan kelebihan yang dia miliki.
Orang tak menghargai lagi kebijaksanaan Allah yang telah menciptakan semua orang dengan segala keunikan dan kehasannya masing-masing. Semuanya diciptakan dengan bijak adalah untuk saling menyempurnakan.
Untuk membangun kerjasama dan kebersamaan sebagai bangsa dalam NKRI dan Pancsila adalah perlunya membuang penyakit itu. Semoga.
Label:
agama,
berita,
BIMAS KATOLIK,
fundamentalis,
garis keras,
perusak indonesia,
politik

Kamis, Mei 11, 2006
POLITIK KOTOR DI TUBAN

Politik Kotor di Tuban
Oleh Pormadi Simbolon
Pemrotes hasil pemilihan ke-pala daerah (pilkada) Bupati dan Wakil Bupati melakukan "politik" bakar membakar. Akibatnya, selain kantor KPU Tuban serta pendopo kabupaten, dirusak pula sebuah hotel, dua pompa bensin dan 12 mobil. Sampai akhirnya aparat keamanan memberlakukan jam malam untuk menghentikan penularan kerusuhan ke daerah lain. Apapun alasannya, para pemrotes hasil pilkada di Tuban telah melakukan "politik kotor" dengan cara bakar membakar. Tindakan para pemrotes tersebut amoral dan mencederai jalan demokratisasi di Indonesia.
Hitler pernah berkomentar, "Tidak ada lapangan kehidupan yang demikian kotor seperti politik!" Komentar tersebut menjadi prinsip Hitler menjustifikasi tindakannya dalam rangka memusnahkan orang-orang Yahudi. Pemeo yang kebenarannya secara umum tidak ada yang menyangkal itu memang sangat diminati para partisipan lapangan kehidupan politik. Diminati untuk membenarkan, mengesahkan, melegalkan aneka praktek perjuangan kepentingan yang melanggar keadilan.
Peristiwa Tuban tidak berlebihan jika dikatakan bahwa sekelompok massa telah melakukan cara- cara ilegal dan tidak adil dalam memperjuangkan hak-hak politiknya. Cara-cara mereka semakin membenarkan pemeo bahwa politik itu kotor. Pembenaran pemeo ini tidak saja berbahaya melainkan juga tidak tepat. Tidak tepat karena merupakan pelukisan sebagian saja dari sisi kenyataan lapangan kehidupan yang pada umumnya dianggap benar demikian.
Karena itu pemeo ini tidak bisa dipakai sebagai prinsip moral pembenaran suatu tindakan politis. Prinsip moral tidak bisa diasalkan secara induktif dari lapangan kehidupan konkret sekadar berdasar pada ciri umum tidaknya elemen- elemen prinsip itu. Sebab apa yang umum bisa dibilang tidak dan atau belum tentu baik dan benar.
Jadi walaupun pada umumnya diakui bahwa dalam lapangan kehidupan konkret apa yang disebut politik itu merupakan realitas keras, brutal, dan kotor, tidak bisa disimpulkan lantas dalam politik segala bentuk tindakan disahkan secara moral. Setiap keyakinan yang menjustifikasi kekerasan dan aneka penyalahgunaan karena meyakini pemeo "politik itu kotor" sangat naif. Tampaknya inilah yang terjadi pasca pengumuman hasil pilkada di Tuban.
Pembenaran terhadap prinsip "politik itu kotor" berasal dari pemikiran yang memisahkan antara moral dan politik. Diyakini oleh paham itu, moral merupakan lapangan pertimbangan dosa dan tidak dosa. Sedangkan politik adalah lapangan kekuasaan. Dalam mengejar dan membela kekuasaan pertimbangan dosa atau tidak dosa disisihkan, karena bukan saja akan mengganggu tekad untuk memutuskan tindakan tertentu, melainkan juga terutama tidak relevan.

Pemikiran semacam itu merupakan ciri khas filsafat machiavellian. Machiavelli, sang pioner filsafat politik modern, membedakan dan memproklamirkan pemisahan antara moral politik dan moral keutamaan manusiawi. Kebijaksanaan-yang dalam moral keutamaan manusiawi sama dengan keutamaan orang baik-dalam moral politik dipahami sebagai kepandaian untuk berperang, meneror pihak-pihak lawan demi perebutan kekuasaan.
Bagi Machiavelli, seorang raja atau pangeran yang baik adalah dia yang merebut, membela, dan mempertahankan kekuasaan. Bagai- mana itu dilakukan, Machiavelli tidak mempedulikan aturan prinsip-prinsip normatif caranya (bdk. The Prince, Bab XV).
Konsekuensi logis yang mengalir dari paham ini harus diakui, lantas terjadilah penendangan terhadap prinsip-prinsip moral. Di tangannya pula, politik lantas pertama-tama adalah soal merebut dan membela kekuasaan.
Politik Sejati
Politik adalah lapangan kehidupan yang menyentuh hampir secara menyeluruh hubungan antarmanusia. Dalam filsafat politik klasik, pengertian politik menunjuk pada rangkaian urusan yang berkaitan dengan sistem kehidupan yang sempurna dalam polis.
Pengertian ini bukan merupakan idealisasi atau romantisasi makna politik, melainkan merupakan pemahaman yang lahir dari pengalaman akal sehat dan memiliki keterarahan yang selaras dengan tujuan kodrat (natura) eksistensi manusia. Para filosof klasik memandang bahwa dalam kodratnya manusia hanya akan menemukan kesempurnaannya apabila menjalin hubungan sedemikian rupa dengan sesamanya. Konsep manusia sebagai makhluk sosial dan politis menemukan artinya di sini, yaitu dalam usahanya yang secara kodrati menuju kesempurnaannya dalam kehidupan bersama. Kesendirian manusia tidak saja melukiskan kesepian, ketidaklengkapan, kengenasan, melainkan juga terutama ketidaksempurnaan.
Konsekuensi selanjutnya dari konsep ini ialah lantas setiap tindakan yang menghancurkan, membakar sesamanya siapapun mereka bukan saja merupakan tindakan keji, tetapi juga melawan kodratnya. Karena kodrat manusia berasal dari Allah, maka pencetus kerusuhan itu secara frontal melawan Sang Pencipta sendiri. Konsep bahwa kesempurnaan manusia terletak pada hubungan damai dengan sesamanya ini tidak melawan ajaran manapun juga, karena konsep ini didasarkan pada kodrat manusiawi.
Relasi politik dan moral sebenarnya langsung dan konkret. Hubungan langsung dan konkret tersebut dicetuskan dalam preferensi bukan kekuasaan atau pribadi pemegang kekuasaan (prinsip Machiavelli) melainkan hukum. Intisari kodrat pengertian hukum yang esensial ialah bahwa ia harus adil. Prinsip keadilan melekat dalam cara ada manusia menurut kodrat akal budinya.
Hukum sebagai produk akal budi manusia harus adil, sebab jika tidak hukum itu menyalahi prinsip kodrati akal budi manusia. Hukum tidak adil dari segi moral akan kehilangan daya ikatnya sebagaimana dimaksudkan oleh hukum.
Jika suatu hukum tidak adil toh diberlakukan, dan pelanggaran atas hukum itu dikenai sanksi, sanksi yang bersangkutan tidak ada sangkut pautnya dengan kesalahan moral, melainkan merupakan kesewenangwenangan dari pihak yang memberi sanksi.
Dalam kasus kerusuhan Tuban, para pemrotes hasil pilkada melakukan jalur politik kotor dalam upaya memperjuangkan kekuasaan. Di satu sisi, tindakan bakar-membakar, mereka lakukan karena jalur hukum tidak akan menyelesaikan masalah mereka, namun di sisi lain, cara-cara mereka amoral dan mencederai proses demokratisasi Indonesia. Persoalannya adalah bila hukum belum ditegakkan secara tegas dan adil, maka selama itu pulalah akan terjadi politik kotor. Politik kotor dari Tuban akan menyebar ke daerah lain.
Penulis adalah alumnus STFT Widya Sasana Malang, tinggal di Jakarta
SUARA PEMBARUAN DAILY , Selasa, 09 Mei 2006
Label:
agama,
berita,
integritas diri,
opini,
politik

Jumat, Mei 05, 2006
PRESIDEN, HATI DAN PERILAKU YANG BERSIH
Oleh Pormadi Simbolon dan Liong Kwei Cun
PRESIDEN DAN HATI YANG BERSIH
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah menyatakan kekecewaannya terhadap kebersihan dan sanitasi air di SD Negeri 01, Pulau Kelapa, Kepulauan Seribu, Jakarta saat berkunjung ke sana Minggu Siang (16/04).
Menurut Presiden, jika lingkungan sekolah tidak bersih maka hati juga tidak bersih dan perilaku juga bisa menjadi tidak bersih.
Pernyataan Presiden SBY tersebut menarik dan relevan jika dihubungkan dengan kekecewaannya terhadap pemborosan barang/ harta negara oleh para pejabat beberapa hari yang lalu (Kompas, 13/04). Boleh dikatakan, Presiden juga kecewa terhadap lingkungan pemerintahan yang dipimpinnya yang belum bersih. Artinya, hati dan perilaku individu pada jajaran pemerintahannya bisa jadi juga menjadi tidak bersih yang dicirikan dengan masih terjadinya sikap dan perilaku kotor seperti korupsi dan pemborosan barang/ harta negara.
Program SBY
Salah satu program pemerintahan SBY adalah penciptaan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Presiden juga mengeluarkan sembilan instruksi kepada para gubernur dalam rangka mendukung terciptanya pemerintahan yang bersih dan para pejabatnya bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Tidak hanya itu, Presiden juga menggagas delapan langkah dalam rangka pemberantasan korupsi. Dan lebih tegas dan berani lagi, hal itu dilaksanakan pertama-tama dimulai dari membersihkan Kantor Kepresidenan, Kantor Wakil Presiden, Sekretariat Negara serta Yayasan-yayasan.
Namun sampai saat ini, pencapaian pemerintahan dengan birokrasi yang bersih dari korupsi masih tetap tinggal harapan. Kita belum menyaksikan hasil yang signifikan.
Memang perubahan menuju pemerintahan dan birokrasi yang bersih bukan tanggung jawab melulu pemerintah sendiri, tetapi juga masyarakat melalui sistem kontrol dan pengamatan.
Persoalannya, seringkali modal institusional (institutional capital) yang dimiliki SBY seperti Kabinet Indonesia Bersatu, DPR, MPR, Kejaksaan dan kehakiman tidak semuanya mendukung terciptanya perubahan menuju pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Tidak adanya dukungan dari kelembagaan negara tersebut di atas guna menggapai pemerintahan yang bersih ditandai dengan adanya pemborosan barang/ harta negara oleh sebagian pejabat hampir di semua lembaga negara. Penggunaan telepon, air dan listrik di kantor lembaga-lembaga negara ternyata menghabiskan banyak uang negara. Pemborosan masih menjadi faktor inefisiensi pembangunan nasional di segala bidang. Mental mengumpulkan harta negara untuk diri sendiri atau kelompok amat kental dalam diri sekelompok pejabat dan pegawai negeri.
Bukan hanya itu, korupsi, kolusi dan nepotisme yang tampak pada rekrutmen Calon Pegawai Negari Sipil menunjukkan bahwa pemerintahan SBY masih kotor alias tidak bersih.
Yang menarik, baru Presiden SBY (selain Megawati Soekarnoputri yang menyebut pemerintahannya bagaikan keranjang sampah) yang pernah kecewa terhadap pemborosan oleh pejabat negara dan mengungkapkannya kepada publik. Namun pengungkapan kekecewaann tersebut semestinya harus diwujudkan dalam bentuk gerakan bersama yang mendesak mengubah budaya sikap dan perilaku boros aparatur negara menuju budaya hemat. Gerakan hemat energi yang digemakan tahun lalu ternyata berlaku hanya sementara. Nyatanya pemborosan harta/ barang negara oleh sekelompok pejabat negara dan pegawai negeri sipil masih terjadi. Untuk itulah diperlukan sebuah gerakan hemat bersama yang terus menerus digalakkan pemerintah. Bahkan kalau mungkin, pemerintah dengan tegas menindak para pejabat dan pegawai berperilaku boros tersebut.
Hati yang Bersih
Pengungkapan kekecewaan Presiden SBY baik terhadap keadaan lingkungan SD Negeri 01 Pulau Kelapa maupun terhadap pemborosan oleh para pejabat negara menunjukkan budaya dan perilaku seorang pemimpin yang bijaksana.
Menurut Presiden, lingkungan dan sanitasi air SD Negeri 01 Pulau Kelapa yang kotor dapat membuat hati menjadi tidak bersih dan dengan demikian juga dapat menyebabkan perilaku menjadi tidak bersih pula.
Lalu bagaimana dengan keadaan lingkungan pemerintahan? Ada benarnya, jika lingkungan pemerintahan tidak bersih maka hati dan perilaku aparatur negara bisa menjadi tidak bersih. Pemborosan harta/ uang negara lewat pemborosan telepon, air dan listrik pada dasarnya dilandasi sikap dan perilaku egoistik. Banyak aparatur negara berpikiran bahwa barang/ harta negara diboroskan karena ia milik negara, bukan milik sendiri. Mungkin jika itu milik sendiri, maka mereka akan berhemat dan memeliharanya. Sikap dan perilaku pegawai negari demikian melukai rakyat yang tengah kesulitan ekonomi.
Sikap dan perilaku pejabat negara dan pegawai negeri dengan mental “itu milik negara, bukan milikku” merupakan sikap dan perilaku yang tidak bersih alias kotor. Sikap dan perilaku demikianlah yang seyogiyanya dibuang dari lingkungan pemerintahan oleh semua aparatur negara dan segenap masyarakat sehingga hati dan perilakunya juga menjadi bersih.

Sikap dan perilaku yang bersih lahir dari hati yang bersih. Hati yang bersih tumbuh dan berkembang dari kultur atau budaya individual maupun kolektif. Artinya kebudayaan menjadi sentral dalam pembangunan mencapai terciptanya pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Kebudayaan seharusnya menjadi pusat perhatian dalam mencapai produk perubahan dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika tidak, perubahan itu bersifat semu dan superfisial.
Pemerintah seyogianya memprioritaskan pengelolaan pembangunan di bidang kebudayaan yaitu dengan mencoba mengejar perubahan sikap dan perilaku yang ditandai dengan kultur yang beradab. Semua elemen bangsa, baik aparatur negara maupun masyarakat perlu komit untuk mengubah cara berpikir, kebiasaan mental dan cara bertindak manusia secara fundamental.
Pada hakekatnya sikap dan perilaku yang bersih berasal dari hati yang bersih. Hati yang bersih dicirikan dengan budaya hemat, jujur, kerja keras, bersih, disiplin, moderat, adil, dan demokratis, seperti yang dipraktekkan para pemimpin negara yang sukses seperti Benjamin Franklin (1706–1790). Ia menjadi Presiden Amerika Serikat yang sukses karena berhasil mengubah kultur hidupnya sendiri dan masyarakatnya.
Penulis adalah peserta kelompok diskusi filsafat dan masalah-masalah sosial.
PRESIDEN DAN HATI YANG BERSIH

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah menyatakan kekecewaannya terhadap kebersihan dan sanitasi air di SD Negeri 01, Pulau Kelapa, Kepulauan Seribu, Jakarta saat berkunjung ke sana Minggu Siang (16/04).
Menurut Presiden, jika lingkungan sekolah tidak bersih maka hati juga tidak bersih dan perilaku juga bisa menjadi tidak bersih.
Pernyataan Presiden SBY tersebut menarik dan relevan jika dihubungkan dengan kekecewaannya terhadap pemborosan barang/ harta negara oleh para pejabat beberapa hari yang lalu (Kompas, 13/04). Boleh dikatakan, Presiden juga kecewa terhadap lingkungan pemerintahan yang dipimpinnya yang belum bersih. Artinya, hati dan perilaku individu pada jajaran pemerintahannya bisa jadi juga menjadi tidak bersih yang dicirikan dengan masih terjadinya sikap dan perilaku kotor seperti korupsi dan pemborosan barang/ harta negara.
Program SBY
Salah satu program pemerintahan SBY adalah penciptaan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Presiden juga mengeluarkan sembilan instruksi kepada para gubernur dalam rangka mendukung terciptanya pemerintahan yang bersih dan para pejabatnya bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Tidak hanya itu, Presiden juga menggagas delapan langkah dalam rangka pemberantasan korupsi. Dan lebih tegas dan berani lagi, hal itu dilaksanakan pertama-tama dimulai dari membersihkan Kantor Kepresidenan, Kantor Wakil Presiden, Sekretariat Negara serta Yayasan-yayasan.
Namun sampai saat ini, pencapaian pemerintahan dengan birokrasi yang bersih dari korupsi masih tetap tinggal harapan. Kita belum menyaksikan hasil yang signifikan.
Memang perubahan menuju pemerintahan dan birokrasi yang bersih bukan tanggung jawab melulu pemerintah sendiri, tetapi juga masyarakat melalui sistem kontrol dan pengamatan.
Persoalannya, seringkali modal institusional (institutional capital) yang dimiliki SBY seperti Kabinet Indonesia Bersatu, DPR, MPR, Kejaksaan dan kehakiman tidak semuanya mendukung terciptanya perubahan menuju pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Tidak adanya dukungan dari kelembagaan negara tersebut di atas guna menggapai pemerintahan yang bersih ditandai dengan adanya pemborosan barang/ harta negara oleh sebagian pejabat hampir di semua lembaga negara. Penggunaan telepon, air dan listrik di kantor lembaga-lembaga negara ternyata menghabiskan banyak uang negara. Pemborosan masih menjadi faktor inefisiensi pembangunan nasional di segala bidang. Mental mengumpulkan harta negara untuk diri sendiri atau kelompok amat kental dalam diri sekelompok pejabat dan pegawai negeri.
Bukan hanya itu, korupsi, kolusi dan nepotisme yang tampak pada rekrutmen Calon Pegawai Negari Sipil menunjukkan bahwa pemerintahan SBY masih kotor alias tidak bersih.
Yang menarik, baru Presiden SBY (selain Megawati Soekarnoputri yang menyebut pemerintahannya bagaikan keranjang sampah) yang pernah kecewa terhadap pemborosan oleh pejabat negara dan mengungkapkannya kepada publik. Namun pengungkapan kekecewaann tersebut semestinya harus diwujudkan dalam bentuk gerakan bersama yang mendesak mengubah budaya sikap dan perilaku boros aparatur negara menuju budaya hemat. Gerakan hemat energi yang digemakan tahun lalu ternyata berlaku hanya sementara. Nyatanya pemborosan harta/ barang negara oleh sekelompok pejabat negara dan pegawai negeri sipil masih terjadi. Untuk itulah diperlukan sebuah gerakan hemat bersama yang terus menerus digalakkan pemerintah. Bahkan kalau mungkin, pemerintah dengan tegas menindak para pejabat dan pegawai berperilaku boros tersebut.
Hati yang Bersih
Pengungkapan kekecewaan Presiden SBY baik terhadap keadaan lingkungan SD Negeri 01 Pulau Kelapa maupun terhadap pemborosan oleh para pejabat negara menunjukkan budaya dan perilaku seorang pemimpin yang bijaksana.
Menurut Presiden, lingkungan dan sanitasi air SD Negeri 01 Pulau Kelapa yang kotor dapat membuat hati menjadi tidak bersih dan dengan demikian juga dapat menyebabkan perilaku menjadi tidak bersih pula.
Lalu bagaimana dengan keadaan lingkungan pemerintahan? Ada benarnya, jika lingkungan pemerintahan tidak bersih maka hati dan perilaku aparatur negara bisa menjadi tidak bersih. Pemborosan harta/ uang negara lewat pemborosan telepon, air dan listrik pada dasarnya dilandasi sikap dan perilaku egoistik. Banyak aparatur negara berpikiran bahwa barang/ harta negara diboroskan karena ia milik negara, bukan milik sendiri. Mungkin jika itu milik sendiri, maka mereka akan berhemat dan memeliharanya. Sikap dan perilaku pegawai negari demikian melukai rakyat yang tengah kesulitan ekonomi.
Sikap dan perilaku pejabat negara dan pegawai negeri dengan mental “itu milik negara, bukan milikku” merupakan sikap dan perilaku yang tidak bersih alias kotor. Sikap dan perilaku demikianlah yang seyogiyanya dibuang dari lingkungan pemerintahan oleh semua aparatur negara dan segenap masyarakat sehingga hati dan perilakunya juga menjadi bersih.

Sikap dan perilaku yang bersih lahir dari hati yang bersih. Hati yang bersih tumbuh dan berkembang dari kultur atau budaya individual maupun kolektif. Artinya kebudayaan menjadi sentral dalam pembangunan mencapai terciptanya pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Kebudayaan seharusnya menjadi pusat perhatian dalam mencapai produk perubahan dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika tidak, perubahan itu bersifat semu dan superfisial.
Pemerintah seyogianya memprioritaskan pengelolaan pembangunan di bidang kebudayaan yaitu dengan mencoba mengejar perubahan sikap dan perilaku yang ditandai dengan kultur yang beradab. Semua elemen bangsa, baik aparatur negara maupun masyarakat perlu komit untuk mengubah cara berpikir, kebiasaan mental dan cara bertindak manusia secara fundamental.
Pada hakekatnya sikap dan perilaku yang bersih berasal dari hati yang bersih. Hati yang bersih dicirikan dengan budaya hemat, jujur, kerja keras, bersih, disiplin, moderat, adil, dan demokratis, seperti yang dipraktekkan para pemimpin negara yang sukses seperti Benjamin Franklin (1706–1790). Ia menjadi Presiden Amerika Serikat yang sukses karena berhasil mengubah kultur hidupnya sendiri dan masyarakatnya.
Penulis adalah peserta kelompok diskusi filsafat dan masalah-masalah sosial.

Senin, April 24, 2006
“ROH” PERATURAN BERSAMA MENAG DAN MENDAGRI 2006
“ROH” PERATURAN BERSAMA MENAG DAN MENDAGRI 2006
Oleh Pormadi Simbolon
Peraturan Bersama Menteri (PBM) oleh Menteri Agama (Menag) dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Tugas Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat sudah ditetapkan pada tanggal 21 Maret 2006. Salah satu “roh” atau semangat mendasar yang penting dipegang oleh semua pihak, menurut hemat penulis adalah poin “h” pada bagian Menimbang, yaitu bahwa kerukunan umat beragama merupakan bagian penting dari kerukunan nasional.
PBM tersebut dalam seluruh prosesnya (10 putaran), materi rumusan bab dan pasal digarap langsung oleh semua unsur majelis agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha dari draf awal sampai rumusan akhir. Pemerintah bertindak sebagai fasilitator.
Kita patut menyambut baik produk PBM Menag dan Mendagri Nomor 9/8 Tahun 2006 ini dengan sikap mengedepankan “roh” kerukunan umat beragama menuju kerukunan nasional dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bermasyarakat.
Kerukunan Umat Beragama
Definisi kerukunan umat beragama didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerja sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (PBM Menag dan Mendagri Nomor 9/8 Tahun 2006, Bab I, Pasal 1, poin 1).
Defini tersebut mengingatkan kita pada apa yang pernah diucapkan mantan Presiden Soeharto berkaitan dengan makna kerukunan umat beragama dalam salah satu sambutannya. “Usaha membina kerukunan hidup umat beragama, saya rasa perlu beroleh perhatian yang lebih besar. Kerukunan mengandung makna hidup dalam kebersamaan. Oleh karena itu, dalam usaha membina kerukunan hidup bangsa kita yang menganut berbagai agama dan kepercayaan itu, kita harus berusaha membangun semangat dan sikap kebersamaan di antara penganut berbagai agama dan kepercayaan di kalangan bangsa kita”. (Sambutan Presiden Soeharto pada waktu menerima peserta Rapat Kerja Departemen Agama, 12 Maret 1991 di Bina Graha, Jakarta).
Pencapaian kerukunan umat beragama tersebut adalah imperatif dan menjadi tugas bagi setiap pemeluk dan penganut agama dan kepercayaan, pemerintah daerah dan pemerintah. Artinya semua komponen bangsa bekerja bersama-sama dan berkomitmen memelihara kerukunan umat beragama baik secara internal maupun eksternal berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Semangat membangun kerukunan umat beragama menjadi “roh” kebersamaan dalam kehidupan beragama, bermasyarakat dan berbangsa. Pandangan sempit, eksklusif dan menganggap pihak lain sebagai ancaman kiranya hilang dengan sendirinya. Sikap saling mencurigai dan merendahkan serta membenci antar umat beragama harus dihilangkan. Stigmatisasi agama lain sebagai kafir, warisan penjajah atau pendorong terorisme seyogiyanya sudah lenyap dari benak kita. Tidak ada lagi sikap formalisme yang membuat Pancasila hanya sebagai retorika, dimana nilai-nilainya tidak dilaksanakan. Semuanya harus mengedepankan roh kerukunan dalam kebersamaan.
Demikian pula sebagai fasilitator, pemerintah mulai dari kepala pemerintahan, gubernur, bupati/ walikota, camat, hingga pada lurah/ kepala desa wajib menciptakan dan menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, saling menghormati dan saling percaya di antara umat beragama. Dengan demikian suasana aman dan kondusif dalam menggapai Indonesia yang aman, damai, adil, demokratis dan sejahtera dapat berlangsung.
Sekali lagi peran pemerintah tersebut hanyalah sebagai fasilitator, dan pemeran utama adalah setiap umat beragama. Hal ini pernah diutarakan mantan Presiden Soeharto dalam salah satu sambutannya semasa memerintah. “Adalah tidak benar dan tidak pada tempatnya apabila pejabat pemerintah mempersukar atau menghalang-halangi kegiatan keagamaan. Hal ini tidak boleh terjadi dalam negara kita yang berdasarkan Pancasila. Tetapi sebaliknya alat-alat negara memang tidak dapat berdiam diri apabila ada unsur-unsur yang menyalahgunakan keleluasaan ibadah agama itu dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat menimbulkan keonaran dalam masyarakat (sambutan Presiden Soeharto pada peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, 29 Januari 1980 di Istana Negara).
Kerukunan Nasional
Kita patut mensyukuri kemajemukan bangsa kita. Teristimewa kemajemukan agama. Itulah sebabnya roh kerukunan yang terdapat pada PBM Menag dan Mendagri Nomor 9/8 Tahun 2006 itu menjadi bagian penting dari kerukunan antar umat beragama menuju keadaan kerukunan nasional.
Kemajemukan bangsa kita dapat menjadi aset pembangunan bangsa sekaligus ancaman kehancuran bangsa yang mengarah pada fragmentasi. Semua komponen bangsa (aparatur negara dan masyarakat) wajib memelihara dan membangun kerukunan nasional agar tidak terjadi keterpecahbelahan bangsa dan macetnya pembangunan nasional.
Kerukunan nasional memang tidak didefinisikan dalam PBM Menag dan Mendagri No 9/8 Tahun 2006 tersebut. Namun pengertian dan maknanya tentu mencakup kerukunan segenap warga negara dan masyarakat Indonesia. Boleh dikatakan kerukunan nasional adalah keadaan hubungan sesama warga negara Indonesia yang hidup bersama dan dilandasi visi kebangsaan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pemeliharaan kerukunan nasional adalah imperatif bagi semua umat beragama, masyarakat keseluruhannya, pemerintah daerah dan pemerintah pusat.
Roh PBM Menag dan Mendagri Nomor 9/8 Tahun 2006 tersebut menandaskan bahwa kerukunan nasional merupakan bahagian penting dari perwujudan kerukunan hidup antar umat beragama. Dengan perkataan lain, kerukunan nasional dapat tergapai bila kerukunan umat beragama sudah diupayakan dan dipelihara bersama. Dalam arti ini kehadiran PBM Menag dan Mendagri Nomor 9/8 tahun 2006 patut disambut dengan lapang dada. Sebab ada roh kerukunan sebagai penggerak bersama dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bermasyarakat. Beberapa pihak memang masih merasa tidak puas. Tetapi kalau semua pihak berpegang pada roh kerukunan yaitu bahwa kerukunan umat beragama merupakan bagian penting dari kerukunan nasional maka Indonesia yang aman, damai, adil, demokratis dan sejahtera pelan-pelan bisa dituju.
Kita semua berharap, sosialisasi PBM Menag dan Mendagri Nomor 9/8 Tahun 2006 nantinya seyogiyanya mengedepankan roh kerukunan yang berangkat dari kerukunan umat beragama sebagai bahagian dari perwujudan kerukunan nasional dan juga perwujudan perbaikan keadaan bangsa dan negara di masa yang akan datang menuju Indonesia baru dengan keadaban baru. Dengan demikian kita tidak lagi disebut sebagai bangsa Indonesia yang pura-pura Pancasilais dan bangsa yang seolah-olah beragama, tetapi memang sungguh-sungguh bangsa Indonesia yang sejatinya melaksanakan seratus persen nilai-nilai Pancasila dan seratus persen pula ajaran agamanya dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan perkataan lain, setiap warga Indonesia bisa seratus persen Indonesia dan seratus persen pula menjadi pemeluk agamanya yang dilandasi nilai Pancasila dan nilai-nilai hak asasi manusia seperti yang dideklarasikan semua anggota Perserikatan Bangsa-bangsa, termasuk Indonesia.
Penulis adalah pemerhati masalah hidup keagamaan,
Alumnus STFT Widya Sasana Malang.
Oleh Pormadi Simbolon
Peraturan Bersama Menteri (PBM) oleh Menteri Agama (Menag) dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Tugas Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat sudah ditetapkan pada tanggal 21 Maret 2006. Salah satu “roh” atau semangat mendasar yang penting dipegang oleh semua pihak, menurut hemat penulis adalah poin “h” pada bagian Menimbang, yaitu bahwa kerukunan umat beragama merupakan bagian penting dari kerukunan nasional.
PBM tersebut dalam seluruh prosesnya (10 putaran), materi rumusan bab dan pasal digarap langsung oleh semua unsur majelis agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha dari draf awal sampai rumusan akhir. Pemerintah bertindak sebagai fasilitator.
Kita patut menyambut baik produk PBM Menag dan Mendagri Nomor 9/8 Tahun 2006 ini dengan sikap mengedepankan “roh” kerukunan umat beragama menuju kerukunan nasional dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bermasyarakat.
Kerukunan Umat Beragama
Definisi kerukunan umat beragama didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerja sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (PBM Menag dan Mendagri Nomor 9/8 Tahun 2006, Bab I, Pasal 1, poin 1).
Defini tersebut mengingatkan kita pada apa yang pernah diucapkan mantan Presiden Soeharto berkaitan dengan makna kerukunan umat beragama dalam salah satu sambutannya. “Usaha membina kerukunan hidup umat beragama, saya rasa perlu beroleh perhatian yang lebih besar. Kerukunan mengandung makna hidup dalam kebersamaan. Oleh karena itu, dalam usaha membina kerukunan hidup bangsa kita yang menganut berbagai agama dan kepercayaan itu, kita harus berusaha membangun semangat dan sikap kebersamaan di antara penganut berbagai agama dan kepercayaan di kalangan bangsa kita”. (Sambutan Presiden Soeharto pada waktu menerima peserta Rapat Kerja Departemen Agama, 12 Maret 1991 di Bina Graha, Jakarta).
Pencapaian kerukunan umat beragama tersebut adalah imperatif dan menjadi tugas bagi setiap pemeluk dan penganut agama dan kepercayaan, pemerintah daerah dan pemerintah. Artinya semua komponen bangsa bekerja bersama-sama dan berkomitmen memelihara kerukunan umat beragama baik secara internal maupun eksternal berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Semangat membangun kerukunan umat beragama menjadi “roh” kebersamaan dalam kehidupan beragama, bermasyarakat dan berbangsa. Pandangan sempit, eksklusif dan menganggap pihak lain sebagai ancaman kiranya hilang dengan sendirinya. Sikap saling mencurigai dan merendahkan serta membenci antar umat beragama harus dihilangkan. Stigmatisasi agama lain sebagai kafir, warisan penjajah atau pendorong terorisme seyogiyanya sudah lenyap dari benak kita. Tidak ada lagi sikap formalisme yang membuat Pancasila hanya sebagai retorika, dimana nilai-nilainya tidak dilaksanakan. Semuanya harus mengedepankan roh kerukunan dalam kebersamaan.
Demikian pula sebagai fasilitator, pemerintah mulai dari kepala pemerintahan, gubernur, bupati/ walikota, camat, hingga pada lurah/ kepala desa wajib menciptakan dan menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, saling menghormati dan saling percaya di antara umat beragama. Dengan demikian suasana aman dan kondusif dalam menggapai Indonesia yang aman, damai, adil, demokratis dan sejahtera dapat berlangsung.
Sekali lagi peran pemerintah tersebut hanyalah sebagai fasilitator, dan pemeran utama adalah setiap umat beragama. Hal ini pernah diutarakan mantan Presiden Soeharto dalam salah satu sambutannya semasa memerintah. “Adalah tidak benar dan tidak pada tempatnya apabila pejabat pemerintah mempersukar atau menghalang-halangi kegiatan keagamaan. Hal ini tidak boleh terjadi dalam negara kita yang berdasarkan Pancasila. Tetapi sebaliknya alat-alat negara memang tidak dapat berdiam diri apabila ada unsur-unsur yang menyalahgunakan keleluasaan ibadah agama itu dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat menimbulkan keonaran dalam masyarakat (sambutan Presiden Soeharto pada peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, 29 Januari 1980 di Istana Negara).
Kerukunan Nasional
Kita patut mensyukuri kemajemukan bangsa kita. Teristimewa kemajemukan agama. Itulah sebabnya roh kerukunan yang terdapat pada PBM Menag dan Mendagri Nomor 9/8 Tahun 2006 itu menjadi bagian penting dari kerukunan antar umat beragama menuju keadaan kerukunan nasional.
Kemajemukan bangsa kita dapat menjadi aset pembangunan bangsa sekaligus ancaman kehancuran bangsa yang mengarah pada fragmentasi. Semua komponen bangsa (aparatur negara dan masyarakat) wajib memelihara dan membangun kerukunan nasional agar tidak terjadi keterpecahbelahan bangsa dan macetnya pembangunan nasional.
Kerukunan nasional memang tidak didefinisikan dalam PBM Menag dan Mendagri No 9/8 Tahun 2006 tersebut. Namun pengertian dan maknanya tentu mencakup kerukunan segenap warga negara dan masyarakat Indonesia. Boleh dikatakan kerukunan nasional adalah keadaan hubungan sesama warga negara Indonesia yang hidup bersama dan dilandasi visi kebangsaan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pemeliharaan kerukunan nasional adalah imperatif bagi semua umat beragama, masyarakat keseluruhannya, pemerintah daerah dan pemerintah pusat.
Roh PBM Menag dan Mendagri Nomor 9/8 Tahun 2006 tersebut menandaskan bahwa kerukunan nasional merupakan bahagian penting dari perwujudan kerukunan hidup antar umat beragama. Dengan perkataan lain, kerukunan nasional dapat tergapai bila kerukunan umat beragama sudah diupayakan dan dipelihara bersama. Dalam arti ini kehadiran PBM Menag dan Mendagri Nomor 9/8 tahun 2006 patut disambut dengan lapang dada. Sebab ada roh kerukunan sebagai penggerak bersama dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bermasyarakat. Beberapa pihak memang masih merasa tidak puas. Tetapi kalau semua pihak berpegang pada roh kerukunan yaitu bahwa kerukunan umat beragama merupakan bagian penting dari kerukunan nasional maka Indonesia yang aman, damai, adil, demokratis dan sejahtera pelan-pelan bisa dituju.
Kita semua berharap, sosialisasi PBM Menag dan Mendagri Nomor 9/8 Tahun 2006 nantinya seyogiyanya mengedepankan roh kerukunan yang berangkat dari kerukunan umat beragama sebagai bahagian dari perwujudan kerukunan nasional dan juga perwujudan perbaikan keadaan bangsa dan negara di masa yang akan datang menuju Indonesia baru dengan keadaban baru. Dengan demikian kita tidak lagi disebut sebagai bangsa Indonesia yang pura-pura Pancasilais dan bangsa yang seolah-olah beragama, tetapi memang sungguh-sungguh bangsa Indonesia yang sejatinya melaksanakan seratus persen nilai-nilai Pancasila dan seratus persen pula ajaran agamanya dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan perkataan lain, setiap warga Indonesia bisa seratus persen Indonesia dan seratus persen pula menjadi pemeluk agamanya yang dilandasi nilai Pancasila dan nilai-nilai hak asasi manusia seperti yang dideklarasikan semua anggota Perserikatan Bangsa-bangsa, termasuk Indonesia.
Penulis adalah pemerhati masalah hidup keagamaan,
Alumnus STFT Widya Sasana Malang.
Label:
agama,
berita,
BIMAS KATOLIK,
departeman agama,
dialog agama,
kementerian agama,
kerukunan umat beragama,
opini,
peraturan bersama menteri

Jumat, April 21, 2006
Cerpenku: ANGKA DI ATAS KUBURAN
ANGKA DI ATAS KUBURAN
( Pormadi Simbolon)
"Aku yakin ... Ucok pasti bisa menamatkan diri dari SMU. Ia cukup pintar, meskipun sekolah tingkat atas di pedesaan Sidikalang. Lagi pila ia sangat rajin belajar dan membantu ibunya di ladang". Inilah kata-kata yang keluar dari mulut Halomoan melihat anaknya si Ucok pergi ke sekolah.
Tengah hari itu, seusai pulang sekolah dan makan siang, Ucok langsung menyusul ayah dan ibunya bekerja di ladang. Mereka menyiangi padi yang sudah di tanam sebulan yang lalu bersama-sama dengan tetangga. Rencananya hasil padi itu akan digunakan sebagai biaya sekolah masuk perguruan tinggi, selain biaya untuk hidup. Dengan padi, ditambah dengan sedikit hasil kopi yang harganya sangat murah, menjadi bekal penerus hidup keluarga Halomoan. "Ucok, pulang kita dulu, sudah sore, bah.... Lagipula aku masih harus mengambil tuak kita di tepi tepi jurang pinggir ladang kita" pinta Halomoan.
Ladangnya memang di daerah berlembah-lembah dan bergunung-gunung. Itulah memang keadaan dataran tinggi Sidikalang, daerah tertinggal di Sumatera Utara. Di daerah bergunung-gunung demikian, terdapat deretan pohon enau yang menjadi sumber tuak bagi penduduk.
Tuak menjadi minuman penghangat badan sebelum istirahat malam. Tuak termasuk minuman pesta dan minuman khas penduduk Sidikalang, sama seperti di tempat lain. Ayah Ucok, Halomoan senang minum tuak, meskipun sedikit, selebihnya dijual di emperan, dan menjadi tempat penduduk berkumpul sambil minum tuak. Kadang-kadang kalau pohon enau lagi tidak "bertangan", Halomoan mengolah tuak dari "tangan" pohon kelapa. Tuak dari kelapa, merupakan hal biasa. Rasanya juga, kadang-kadang lebih enak dibandingkan dengan tuak dari pohon enau. Hal itu sudah dibuktikan para tetangga. "Rasanya, lebih enaklah, tuak kelapa" kata Sinaga pelanggan setia tuak Halomoan.
Hampir setiap sore hari, para bapak-bapak berdatangan ke "warung mini" Halomoan. Tuak kadang-kadang membawa rejeki bila lagi banyak airnya. Lumayan, bila tuak sampai 5 liter per hari. Tuak menjadi penghasilan tambahan, meskipun hanya untuk membeli gula pasir dan minyak goreng masing-masing satu kilo. Ya... mengurangi pengeluaran.
*******
Pagi-pagi benar Halomoan cepat bangun. Ia membuatkan kopi untuk dirinya. Membuatkan kopi bukanlah haruas dilayani istri. Itulah kebiasaan keluarganya. Lalu langsung berangkat ke ladang memulai pekerjaannya. Sedangkan istrinya, Ria Uli memasak sarapan pagi untuk suami dan anak-anak yang sudah siap pergi ke sekolah. Maklum anak-anak harus cepat bangun karena jarak rumah dengan sekolah cukup jauh. Lagi pula harus ditempuh dengan jalan kaki. Kalau betis-betis anak-anak sekolah besar-besar ukurannya, maka itu disebabkan latihan jalan setiap pagi dan pulang dari sekolah.
Setelah anak-anak sarapan dan pergi ke sekolah, barulah Ria Uli menyusul suaminya ke ladang sambil membawa sarapan. Saat itu jam menunjukkan pukul sembilan pagi. Ia tidak langsung mengajak suaminya sarapan. Ia ikut membantu suaminya menyiangi tanaman padi mereka. "Ibu Ucok, sarapanlah dulu kita, sudah pukkul sepuluh !" ajak Halomoan kepada istrinya. Perut memang sudah lapar dan harus diisi. Begitulah kebiasaan penduduk setempat yang mayoritas bermata pencaharian dari hasil ladang atau pertanian. Itulah gambaran kebanyakan petani-petani ladang di Sidikalang, kota kabupaten yang bergunung-gunung atau berbukit-bukit.
Sore itu Sinaga bersama tetangga lain kembali datang memesan tuak. Sitanggang , salah satu teman Sinaga, ikut juga hadir di warung mini Halomoan. Sitanggang yang masih serumpun dengan marga Halomoan yakni Simbolon, merupakan pecandu tuak. Selain pecandu tuak, Sitanggang mempunyai misi judi togel, judi dengan tebak angka, dulu dikenal SDSB atau Porkas. Ia menawarkan dan menjual lembaran togel kepada semua orang yang ikut minum tuak. Judi togel memang sudah terkenal dimana-mana. Tak terkecuali di pedesaan Sumatera Utara. Togel menjadi pembahasan penduduk, mulai dari bapak-bapak, ibu-ibu hingga ke pemuda-pemuda pengangguran. Kalau dulu para parmitu (Peminum tuak) berbicara lapo (lapangan politik), main catur dan lomba tarik suara, sekarang togel menjadi pembahasan utama. Barangkali togellah yang membuat berkurangnya pengaruh keramaian demo politik atau demo buruh di daerah ini. Kalau di daerah lain, banyak penduduk ikut demo apalagi ada yang menjarah toko-toko orang-orang Cina yang dikenal sangat tertutup dengan kelompoknya.
"Tadi malam aku bermimpi bah ! Mimpiku tentang orang gila". Kata Sinaga setelah membaca buku tafsir mimpi, yang disediakan Sitanggang. "Orang gila ? Mari kita bahas, buku ini memang menyediakan seribu satu tafsir mimpi" jelas Sitanggang. Lalu ia menunjukkan dalam buku tafsir yang mereka sebut juga buku esek-esek nipi (buku tebak mimpi), sebuah gambar orang gila dan di atasnya terdapat angka delapan tujuh. Lalu Sinaga membeli lima lembar kertas togel dengan maksud menuliskannya dalam lima tebakan. Menurut Sitanggang, tafsir mimpi tidak boleh ditafsirkan bulat-bulat dengan satu kali tebakan. Angka dari mimpi harus dibahas lagi dalam aneka tebakan. Kiat tersebut ternyata berhasil. Sinaga mendapat Rp 75.000,- untuk satu lembar dengan tebakan dua angka.
Menyaksikan Pak Sinaga yang mendapat rejeki tersebut, Halomoan akhirnya tertarik dengan judi togel. Harganya murah kok per lembar. Setiap lembar untuk tebakan versi dua angka hanya Rp 500,- saja, untuk versi tiga angka Rp 1.000,- dan untuk versi empat angka Rp 5.000,- dan untuk versi enam angka Rp 10.000,-. Itulah yang muncul dalam benaknya. Lebih menarik lagi, hadiah-hadiahnya cukup besar, untuk dua angka sebesar 75.000 rupiah, untuk tiga angka sebesar 300.000 rupiah, untuk empat angka sebesar 10.000.000, untuk lima angka sebesar 50.000.000,- dan untuk enam angka sebesar 100.000.000,-. Saya bisa kaya dan membiayai sekolah anakku, pikirnya.
Tak lama kemudian, Halomoan mewujudkan angan-angannya. Diam-diam, ia mempunyai mimpi yang selama ini selalu menemaninya dalam pembaringan. Selama ini Halomoan sudah berkali-kali menceritakan mimpi anehnya. Dalam mimpi ia selalu melihat kuburan di ladangnya. Mimpi tersebut membuat ia penasaran. Apa arti mimpi saya. Syukurlah togel ini ada, dan bisa menjadi tempat penyalurannya. Demikian pemikiran akhirnya. Buku tafsir mimpi togel pun ia pinjam. Dalam buku tersebut, tampak ada kuburan. Empat angka yang berbeda terdapat di samping gambar tersebut. "Empat angka ? ... semakin besarlah hadiahku nanti" tanyanya dalam hati bercampur hati gembira. Tanpa ragu-ragu ia membeli lima puluh lembar kertas togel, versi empat angka dengan harga seribu rupiah per lembar. Diam-diam Halomoan berkeyakinan, bahwa dengan semakin banyak tebakan, semakin banyak kemungkinan untuk menang. Ia belajar dari teman-temannya yang membeli sedikit lembaran togel dan jarang sekali menang. Ia berani menghabiskan hasil penjualan tuaknya. Ia mengacak keempat angka tersebut menjadi lima puluh tebakan versi empat angka. Ucok yang sibuk melayani pelanggan warung mini ayahnya, hanya menjadi penonton dan tidak mungkin mencampuri urusan orang-orang tua. Ucok hanya diam ketika melihat rencana ayahnya, dan ia sebagai anak mendoakan "usaha" ayahnya berhasil. Namun Ria Uli tidak tahu-menahu tentang langkah suaminya, sebab ia sibuk memasak di dapur untuk makan malam mereka. Halomoan sudah menyerahkan semua lembaran togel ke Sitanggang, tinggal menunggu pengumuman pada minggu berikutnya.
******
Dalam penantian penuh harapan, Halomoan tetap melakukan pekerjaannya. Kali ini begitu luar biasa semangatnya bekerja di ladang yang berada di antara dua perbukitan indah. Dalam benaknya, ia punya segudang angan-angan. Salah satu angan-angannya jika menjadi pemenang togel nanti adalah akan menggunakan uang tersebut untuk membeli seratus lembar togel lagi dalam versi enam angka.
Satu minggu berlalu tanpa terasa. Halomoan langsung mendatangi rumah Sitanggang, agen togel desanya. Ternyata satu dari lima puluh tebakan Halomoan benar dan ia menjadi satu-satunya pemenang di desa itu. Betapa mendalam kegembiraannya. Kegembiraan tersebut ia bagikan juga dengan Sitanggang. Ia memberikan lima ratus ribu kontan kepada agen togel tersebut. Lalu ia pulang sambil membawa uangnya. "Enak sekali hidup ini, dalam seminggu aku bisa mendapatkan uang sebesar 10.000.000 rupiah" ucapnya dalam hati. Dekat rumah, istri dan anaknya, Ucok melihat Halomoan berjalan cepat-cepat dan dengan gembira. Ucok tidak curiga, ia tahu ayahnya pasti dapat uang karena togelnya. "Ayah, minggu lalu membeli togel, ia pasti menang", kata Ucok pada ibunya. Halomoan langsung menunjukkan plastik kresek tempat uang tersebut pada istrinya. "Kita akan menjadi kaya, dan akan semakin kaya lagi dalam minggu-minggi mendatang" katanya dengan suara meyakinkan. " Pak, bernasib benar kita hari ini, bapak pasti setuju jika sebagian uang tersebut untuk dana melanjut ke Perguruan Tinggi di Medan" kata Ucok sambil merayu bapaknya. Halomoan hanya senyum, tanpa mengatakan sepatah kata juga. Rencana Halomoan kali ini makin bertambah. Dengan uang kurang lebih sepuluh juta, ia membangun tugu nenek moyangnya di Samosir dengan biaya enam juta, belum termasuk acara adat dan makan bersama, yang besarnya satu juta. Memang membangun tugu nenek moyang atau marga merupakan suatu kebanggaan orang-orang Toba. Dengan membangun tugu, status sosial menjadi lebih terpandang dan dihargai penduduk. Halomoan menjadi terkenal karena bisa menaikkan status keluarganya. "Kehebatan" Halomoan menjadi pembicaraan penduduk.
*******
Tanpa pikir yang lain-lain, diam-diam Halomoan akhirnya mewujudkan rencananya. Ia membeli seratus lembar togel versi enam angka, jadi seharga satu juta rupiah. Kali ini ia bermaksud menajdi pemenang seratus juta rupiah. Betapa tingginya impian Halomoan. Rencananya membuat ia selalu berdoa supaya mendapat mimpi lagi. Tiap malam ia berdoa minta kepada Tuhan supaya diberi mimpi versi enam angka. Satu minggu berlalu, namun mimpi belum juga datang. Hal itu tidak membuat ia putus asa. Sejenak ia merenung. Lalu akalnya muncul. Ia pergi ke Datu atau dukun peramal. supaya diberi angka atau petunjuk. Dukun, yang mereka sebut datu memberi syarat-syarat yang harus dipenuhi. Syaratnya Halomoan harus menyediakan dan menyembelih ayam berwarna hitam pekat dan tak bercacat. Ayam itu harus disajikan di atas lemarinya dengan mengucapkan permohonan mimpi. Malam itu juga, ia memenuhi seperti perintah datu tersebut. Setelah mencari ayam hitam, lalu menyembelih dan menyajikannya dalam talam di atas lemarinya dan mengucapkan permohonannya.
Pagi-pagi hari Minggu itu ia agak telat bangun, sedang istrinya sudah lama bangun dan memasakkan ubi untuk sarapan mereka. Sekali lagi, ia kembali bermimpi tentang kuburan di tengah-tengah ladangnya. Keanehan mimpi tersebut tidak membuat Halomoan heran dan ragu-ragu.
Halomoan langsung membahas mimpinya dengan buku tafsir mimpi di tangan kirinya. Kelihatanlah tetap empat angka yang sama dan tidak berubah. Lagi-lagi ia tidak terlalu heran. Barangkali keempat angka ini harus diacak dan menjadikannya seratus tebakan versi enam angka. Demikian timbul dalam pikirannnya. Semua angka hasil bahasannya ia tuliskan satu persatu pada lembaran yang sudah tersedia di kamar tidurnya. Dalam tiga jam, ia dapat menyelesaikan "pekerjaannya". Pada hari itu juga ia pergi ke rumah Sitanggang menyerahkan lembaran-lembaran togelnya. Ia rela tidak masuk gereja demi seratus juta rupiah.
******
Minggu itu merupakan minggu pertama dalam bulan Mei. Ucok yang memilih jurusan ilmu eksakta selama ini sibuk mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian akhir nasional. Ucok merasa yakin sudah siap menghadapinya. Selain pintar, ia rajin belajar baik pada malam hari maupun pada pagi-pagi kira-kira pukul empat. Ia membagi jadwal begini : malam hari mengerjakan pekerjaan rumah atau soal-soal latihan. Pagi-pagi ia mempelajari bahan yang akan diberikan gurunya. Hal itu dijalankannya seturut nasehat gurunya si Pandiangan.
Tidak sia-sia semua usaha Ucok selama ini. Ia dapat menamatkan diri dengan nilai ujian akhir nasional dengan total nilai empat puluh sembilan. "Hebat juga saya .... bah. Aku bisa mencapai nilai rata-rata tujuh. Aku hampir menyamai kedudukan juara umum se- Kabupaten Dairi dengan nilai lima puluh empat dari jurusan ilmu eksakta" puji Ucok pada dirinya. Tahun ini menurut panitia ujian, nilai-nilai ujian akhir nasional merosot, sama seperti di beberapa daerah lain. Tahun lalu nilai tertinggi mencapai 63 untuk jurusan ilmu sosial.
Ucok bangga karena dapat memenuhi harapan ayahnya selama ini. Langkah berikutnya, tinggal memikirkan jenjang ke perguruan tinggi.
******
Sebagian impian Halomoan sudah terwujud. Kali ini kembali teringat bahwa ia harus menyekolahkan anaknya sampai setinggi-tingginya. Sebab bagi mereka, anakkhon ki do hamoraon di au. Semboyan yang berarti "anakku merupakan kekayaan bagiku" tersebut merupakan prinsip bagi kebanyakan orang Toba. Banyak orang Toba rela tanpa ganti pakaian baru dan dengan makanan yang sederhana, asal saja anaknya dapat melanjut sekolah setinggi-tingginya. Demikianah pula prinsip Halomoan terhadap anak tunggalnya. Impian untuk menyekolahkan anaknya tersebut digantungkan pada togel versi enam angka yang akan diumumkan besok Minggu.
Ketika hari pengumuman togel tiba, ia dengan penuh harapan menuju rumah Sitanggang yang jaraknya kira-kira sepuluh rumah dari sebelah kiri rumahnya. Sitanggang, yang pernah mendapat persenan, menyambutnya dengan sangat hormat dan hati-hati. Lalu ia memberi lembaran pengumuman yang datang dari bandar pukul tujuh pagi tadi. Halomoan menerima lembaran tersebut seraya bertanya "Angka berapa keluar Tanggang". Namun, ia tidak mempedulikan jawaban pertanyaannya. Ia langsung melihat dan melihat sungguh-sungguh kertas berwarna-warni dan berukuran kwarto tersebut. Tak percaya, ia melihat kembali semua angka tebakannya dan mencocokkannya dengan versi enam angka yang keluar.
Akhirnya, ia baru yakin. Tak satu pun angka tebakannya persis mengena dengan pengumuman. Namun ada satu tebakan yang membuat ia penasanan. Dari enam angka tebakannya, angka paling di ekor tidak mengena, selebihnya persis mengena. Inilah yang membuat wajahnya semakin memerah. Ia mulai marah dan hendak membunuh datu peramal si pembohong. Sambil heran dan tak percaya ia pulang ke rumah. Semakin lama, ia semakin marah dan pusing-pusing. Ia melangkahkan kaki dengan tidak teratur. Ucok dan Ria uli, ibunya sudah menanti sang bapak. Suasana tempat mereka berubah. Ucok dan Ria Uli memahami bahwa sang bapak pasti ketiban sial. Tanpa mengeluarkan kata-kata, Halomoan langsung menuju kamarnya, ia tergeletak, pusing dan stres berat. Ria Uli tidak bisa berkata apa-apa, sebab selama ini perbuatan ayahnya sudah diketahui melalui cerita Ucok.
Berhari-hari Halomoan tidak selera makan dan minum. Ia sudah lama berbaring dan mengurung diri di kamar tanpa boleh diganggu siapapun. Akhirnya Halomoan tidak bisa bergerak. Menurut mantari (dokter) desa, ia kena stroke. Ia harus opname di rumah sakit. Cepat-cepat Ucok menghentikan mobil penumpang di depan rumahnya, dan membawa ayahnya ke rumah sakit umum di kota Sidikalang, yang jaraknya dua jam perjalanan angkutan desa.
******
Sebagian penduduk bisa memahami mengapa Halomoan jatuh stroke. Sebagian lagi, memandang sebelah mata. Itulah nasib orang yang mengandalkan judi. Kalau dulu pujian berdatangan kepada keluarga Halomoan, kini hinaan datang menimpanya. Mengapa tidak gara-gara togel, Halomoan melalaikan tanaman padinya, yang selama ini hanya dikerjakan Istrinya dan Ucok anaknya.
Ucok tertegun memandang ayahnya yang belum sadar di rumah sakit. Impian untuk melanjut ke perguruan tinggi di Medan sudah pupus. Uang untuk biaya pengobatan ayahku pun sudah membengkak. Ucok hanya dapat mengeluh dalam hatinya. Semuanya pupus hanya karena angka di atas kuburan.
*(saya tulis ketika masih kuliah)

Langganan:
Postingan (Atom)