I.
PENGANTAR
Pandangan tentang Hukum Kodrat dalam Gereja Katolik
beraneka ragam dan terus berkembang dan mengalami dinamika sampai sekarang.
Tokoh-tokoh agama Katolik memberi sumbangsih pemikiran di bidang Hukum Kodrat
berdasarkan paling tidak ada tiga pendekatan seperti pendekatan ontologis,
epistemologis dan teologis. Ada yang menggunakan satu pendekatan, ada juga
mencakup dua atau tiga pendekatan sekaligus. Pandangan para pemikir tersebut
ada yang diterima otoritas Gereja dan ada pula yang ditolak. Dalam paper ini, kami
mencoba meneropong pandangan tentang Hukum Kodrat dalam Gereja Katolik mulai
dari era kehidupan Gereja Katolik awali, era patristik, abad pertengahan,
sampai dengan era modern/postmodern
serta diakhiri dengan relevansinya dalam konteks Indonesia.
II.
HUKUM
KODRAT MENURUT GEREJA KATOLIK
1. Perbedaan
Pandangan dalam Cendekiawan Katolik
Hukum Kodrat merupakan masalah mendasar paling tidak
sejak masa Santo Klementinus dari Alexandria (150-215). Hukum Kodrat dikaitkan dengan
moralitas pribadi dan publik. Pemahaman baik dari sisi ontologis maupun
epistemologis masih menjadi perdebatan di antara para pakar Hukum Kodrat
Katolik. Hal mendasar yang diselidiki dalam Hukum Kodrat adalah bagaimana
hubungan antara iman-rasio (akal budi), dan relasi antara kodrat-rahmat. Relasi iman-rasio dan kodrat-rahmat dapat
ditemukan dalam tulisan akademis Neo-Thomisme, Thomisme Transendental, dan Neo
Agustinianisme/Agustinianisme-Thomisme. Pemahaman
akan hubungan antara iman-rasio dan antara kodrat-rahmat melahirkan beraneka
ragam teori Hukum Kodrat di kalangan Gereja Katolik.
Menurut Russel Hittinger, setidaknya ada tiga hal yang
menjadi titik berat (foci) dalam
teori-teori tersebut: (1) ada teori yang memandang Hukum Kodrat sebagai
proposisi atau perintah yang menduduki posisi utama dalam suatu proses
deliberasi rasio praktis; (2) ada yang memandang Hukum Kodrat itu melekat pada
kodrat manusia, dan (3) ada juga yang melihat
Hukum Kodrat sebagai tatanan yang diberikan oleh legislator ilahi. Pendekatan
pertama (1) menggunakan lensa epistemologis, pendekatan kedua (2) menggunakan
lensa ontologis, dan pendekatan ketiga (3) memakai lensa teologis. Sebagian
teori menggunakan salah satu dari ketiga pendekatan tersebut, tetapi ada juga
yang mencakup dua atau tiga pendekatan sekaligus.
Teori Hukum Kodrat Baru (the New Natural Law theory) seperti yang dikembangkan oleh John Finnis,
dkk menggunakan pendekatan pertama
(1) karena ia mengedepankan kemasukakalan (reasonableness)
prinsip Hukum Kodrat dalam suatu deliberasi rasio praktis. Bagi John Finnis
teori Hukum Kodrat tidak tergantung pada legislasi ilahi ataupun mengandaikan
pandangan metafisis tertentu (adanya kodrat), tetapi sepenuhnya hanya
berlandaskan pada rasionalitas. Gratianus, ahli hukum Gereja di Abad
Pertengahan, menekankan pendekatan ketiga (3)
sebab ia memahami Hukum Kodrat sebagai
hukum Ilahi yang dinyatakan melalui Hukum Musa dan Injil. Teori Hukum
Kodrat Thomas Aquinas sendiri mencakup ketiga pendekatan itu sekaligus.
2. Era
Bapa Gereja dan Abad Pertengahan
Pandangan tentang Hukum Kodrat dapat ditemukan dala
karya-karya Bapa Gereja Awal (the Early
Church Fathers) dan Abad
Pertengahan. Sebut saja karya Santo Klementinus dari Alexandria (150-215) membahas hubungan antara Hukum
Musa dan Hukum Kodrat dalam karyanya Stromata.
Santo Gregorius dari Nyssa (335-394)
dalam The Life of Moses berbicara
tentang ‘maksud hukum’, yang tertanam dalam kodrat manusia untuk menuntut manusia ke arah yang ilahi dan menjauh dari kejahatan.
Dari semua otoritas Bapak Gereja, yang
paling berpengaruh adalah Santo Agustinus (354-430), yang membentuk teori Hukum
Kodrat dari sintesis wahyu Kristiani dengan pemikiran Platon dan Stoik. Bagi Santo Agustinus,
Hukum Kodrat terikat dengan Hukum Abadi (lex
aeterna). Sebagaimana dikutip Tracey Rowland, Anton-Herman Chroust
merangkum pandangan Agustinian tentang Hukum Kodrat:
Hukum Abadi, sebagai
tatanan universal, juga merupakan rasio abadi dari semua yang diciptakan, ada
dalam setiap makhluk yang diciptakan dalam bentuk kecambah. Dengan kata lain,
rasio abadi ada pada setiap makhluk dalam bentuk benih rasio (ratio seminalis). Rasio abadi ini menjdi
nyata dalam semua hal dan terjadi dalam bentuk ‘hukum’, yang dalam analisis
final, merupakan ‘sifat batin’. Rasio abadi atau lex aeterna mengungkapkan dirinya dalam setiap makhluk berupa hukum
kodrat (lex naturalis)
Pada awal abad
pertengahan topik tersebut diangkat oleh ahli hukum Gratianus, penulis kumpulan
hukum gerejawi berjudul Decretum. Dalam
dokumen ini, ia menegaskan bahwa ada dua jenis hukum: hukum kodrat dan hukum
adat. Menurut pengikut Gratianus, Hukum Kodrat adalah hukum ilahi yang
ditemukan dalam hukum Musa dan dalam Injil.
Santo Albertus
Agung, OP (1200-1280), yang dikenal sebagai Doktor Universal, membahas topik
ini dalam dua karyanya: pertama De Bono (dikarang
antara tahun 1240 dan 1244) dan komentarnya tentang Nicomachean Ethics Aristoteles
(dikarang antara 1248 dan 1252). Albertus Agung disebutkan telah membalikkan pendekatan abad
pertengahan awal terhadap Hukum Kodrat yang bersifat yuridis menjadi sesuatu
yang ontologis dan intelek-sentris. Menurut Stanley B. Cunningham, bagi
Albertus Agung Hukum Kodrat ‘bukanlah norma eksterior yang harus dipatuhi
manusia, tetapi kesempurnaan batin (interior
perfection) akal budi yang menuntun dan menghubungkan manusia dengan
kehidupan yang adil dari dalam.
Murid Santo Albertus
Agung, Santo Thomas Aquinas (1225-1274) yang digelari Doktor Malaikat membahas
Hukum Kodrat dalam Summa Theologiae buku
I, bagian II, pada pertanyaan 91-95. Ia memandang Hukum Kodrat sebagai suatu
partisipasi makhluk yang rasional dalam hukum abadi (Lex Aeterna).
3. Hukum
Kodrat sebagai Ideologi Alternatif Abad Keduapuluh
Pada paruh pertama abad keduapuluh Hukum Kodrat menjadi
pusat perhatian kalangan intelektual Katolik. Hal ini sebagian dipicu oleh
antusiasme Paus Leo XIII yang memandang Thomisme sebagai alat penangkal segala
kesalahan intelektual modern. Selain itu, hal ini merupakan respons terhadap
Perang Dunia Pertama dan kebangkitan tirani di Eropa. Pada tahun 1930-an,
beberapa cendekiawan Eropa melarikan diri ke Amerika Serikat untuk menghindari
penganiayaan. Selama dua dekade berikutnya, penelitian mereka menawarkan suatu
teori Hukum Kodrat sebagai alternatif bagi ideologi yang
merenggut jutaan nyawa manusia selama masa peperangan hebat.
Salah satu dari cendekiawan tersebut yang berpengaruh
adalah Jacques Maritain (1882-1973). Dia merupakan teman Paus Paulus IV dan
delegasi Perancis pada komite perancang Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
(1948). Karya Maritain yang paling
penting adalah Religion
and Culture (1930), The Dream of Descartes (1932), Integral
Humanism (1936), The Rights of Man
and the Natural Law (1942), Christianity
and Democracy (1943), The Person and
the Common Good (1947) dan Man and
the State (1951). Dalam buku Man and
the State ia menulis bahwa ‘segala sesuatu yang ada di alam, tanaman,
anjing, kuda, memiliki hukum kodratnya sendiri, yaitu kenormalan fungsinya,
caranya sendiri, dengan rasio struktur dan tujuan spesifiknya, ia ‘harus’
mencapai kepenuhannya dalam pertumbuhan dan perilakunya’.
Maritain juga membedakan pemahaman Hukum
Kodrat (sebagai persoalan ontologis) dengan pengetahuan seseorang (persoalan
gnoseologis). Ia mengklaim bahwa
‘satu-satunya pengetahuan praktis secara kodrati/alami diketahui setiap manusia
tanpa dapat keliru adalah prinsip yang jelas – tak terbantahkan (self-evident) – dimegerti oleh intelek
dari konsep itu sendiri – bahwa kita harus melakukan yang baik dan menghindari
yang jahat.
Bagi Maritain, Hukum Kodrat merupakan pembuka
dari hal-hal yang harus dilakukan dan tidak dilakukan dengan cara yang perlu
dan dari fakta yang sederhana bahwa manusia adalah manusia, dan tidak ada lagi
yang diperhitungkan.
Maritain merupakan tokoh intelektual yang
berupaya memulihkan hubungan Katolik dengan kaum Liberalisme. Dia menawarkan
umat Katolik Amerika dan Perancis cara mendamaikan diri mereka dengan revolusi
Perancis 1776 dan 1789. Maritain menberikan prinsip bahwa Hukum Kodrat
diarahkan pada masalah-masalah publik daripada masalah pribadi. Namun para
cendekiawan abad 21 cenderung menganggap proyek pemulihan hubungan Katolik
dengan liberalisme sebagai proyek gagal, karena Liberalisme
Politik pada setengah abad terakhir sepenuhnya menolak gagasan Hukum Kodrat.
John Rawls (1921-2002), tokoh utama Politik Liberalisme memandang gagasan Santo
Thomas Aquinas sebagai gagasan ‘berbahaya’ dan gagasan Santo Ignatius Loyola
bahwa tujuan manusia adalah untuk melayani Allah adalah irasional dan sebagai
‘gila’. Maritain rupanya tidak mengantisipasi bahwa kaum liberalis yang akan
menyangkalnya terkait dengan hak-hak kodrati/alami di kemudian hari, dimana
rasio dipersoalkan atau disangsikan sebagai pilar penting dan valid dari teori
Hukum Kodrat.
4.
Teori
Hukum Kodrat Baru
Pada tahun 1960-an terjadi transisi fokus
perhatian Hukum Kodrat dari moralitas publik menjadi moralitas pribadi.
Ensiklik Humanae Vitae, yang
diumumkan Paus VI tahun 1968, secara tegas melarang praktik kontrasepsi buatan
dengan alasan bahwa itu bertentangan dengan Hukum Kodrat. Ensiklik ini
memunculkan dua reaksi, yang satu membela tradisi Hukum Kodrat dengan tokoh
utama Karol Wojtyla (Paus Johanes Paulus II), dan yang lain menentangnya dengan menawarkan
teori-teori moralitas baru seperti etika situasi, konsekuensialisme, dan
proporsionalisme. Setelah satu dekade, munculnya ‘moralitas baru’ ini, John
Finnis menerbitkan karya seminalisnya Natural Law and Natural Rights (1980). Ini menjadi rujukan ‘Hukum Kodrat Baru’ atau
‘Hukum Kodrat Klasik Baru’ (istilah yang
lebih disukai Finnis, tetapi jarang digunakan).
Selain John Finnis, tokoh lain penggagas
Teori Hukum Kodrat Baru, G. Grisez dan R.P. George berusaha mengembangkan suatu
teori yang bisa menghadapi relativisme dan sekaligus menjadi alternatif atas
liberalisme. Mereka ingin teori mereka menarik bagi umat Katolik dan Non
Katolik. Pandangan mereka tentang Hukum Kodrat adalah baru karena hanya
berfokus pada satu titik beratnya yaitu rasio praktis, ia menghindari
pendekatan ontologis (selain rasio praktis), karena ingin menghindari kritik
David Hume – bahwa dari fakta ‘is’
tak bisa ditarik kesimpulan ‘ought’ –
dan pendekatan teologis agar teori mereka dapat diterima secara universal. Mereka menghindari pendekatan teologis, meskipun ‘agama’ dipandang sebagai salah satu dari 7
nilai dasar kebaikan bagi manusia, Selain ‘agama’, ada 6 nilai dasar lainnya
yaitu: kehidupan, pengetahuan,
persahabatan, permainan, pengalaman estetika dan kewajaran praktis. Grisez
menawarkan nilai dasar kebaikan bagi manusia, yaitu: integrasi diri, kewajaran
praktis, keaslian, keadilan dan persahabatan, kehidupan dan kesehatan,
pengetahuan tentang kebenaran, penghargaan terhadap keindahan dan kegiatan yang
menyenangkan serta agama.
Namun teori Hukum Kodrat Baru
(Klasik) belum disambut baik kalangan Katolik maupun akademisi Kristen Gereja
Reformasi dengan beberapa alasan. Pertama,
mereka menolak pendapat Finnis dkk bahwa ‘nilai-nilai dasar (the basic goods) itu tak dapat
dibandingkan (incommensurable) dan
bahkan agama hanya merupakan salah
satu dari ketujuh nilai dasar serta tidak menjadi landasan atau semacam
infrastruktur bagi teori moral yang dibangun. Kedua, ada banyak kritik soal bagaimana seseorang bisa berpindah
dari level pra-moral (yaitu level
tujuh nilai-nilai dasar) ke level moral
di mana orang menghormati masing-masing nilai dalam tindakan konkrit. Ketiga, terkait hubungan rahmat-kodrat,
Finnis dkk. menolak bahwa hanya ada satu tujuan dari kodrat manusia.
Finnis dkk. mengatakan bahwa ada dua tujuan, yang satu kodrati dan
yang satu lagi adikodrati/supranatural. Padahal, untuk Thomas Aquinas, tujuan
terakhir manusia pada akhirnya satu saja, yakni kebahagiaan adikodrati. Grisez,
misalnya, secara eksplisit menolak gagasan Aquinas tersebut, dan menurutnya
hati manusia tidak tidak secara kodrati/alami berorientasi pada adopsi sebagai
anak Allah dan kepada warisan surgawi yang diperoleh karena status adopsi
tersebut. Menurut Grisez, hati manusia secara kodrati terarah pada kepenuhan
eksistensi manusiawinya, yakni dalam nilai-nilai dasar
manusiawi, dimana seseorang manusia dapat merealisasikannya semakin hari
semakin penuh.
5. Ajaran
Resmi Gereja Katolik (Magisterium)
Melihat berbagai pandangan tentang Hukum
Kodrat di kalangan cendekiawan Katolik begitu kompleks, maka pandangan resmi
dan paling aman dapat kita lihat pada
ajaran resmi Gereja Katolik. Berdasarkan ensiklik Paus Leo XII, Libertas Praestantissimum, Katekismus
Gereja Katolik (§1954) mengajarkan bahwa “Manusia
mengambil bagian dalam kebijaksanaan dan kebaikan Sang Pencipta, yang memberi
kepadanya
kekuasaan atas perbuatannya dan memberi kepadanya kemampuan memimpin diri
sendiri dalam upaya mencapai kebenaran dan kebaikan. Hukum Kodrat
mengekspresikan pengetahuan moral yang mendasar, yang memungkinkan manusia
melalui akal budi, membeda-bedakan antara yang baik dan yang buruk, antara
kebenaran dan kebohongan. Dalam
Ensiklik
Paus Leo XIII, Libertas Praestantissimum
berbunyi: “Hukum Kodrat ditulis dan dipahat di dalam hati setiap manusia,
karena akal budi manusia sendirilah yang memberi perintah untuk melakukan yang
baik dan melarang dosa…. Tetapi perintah dari akal budi manusia ini hanya dapat
mempunyai kekuatan hukum, kalau ia adalah suara sekaligus penafsir dari satu
akal budi lebih tinggi, kepada siapa roh dan kebenaran kita harus takhluk”.
Ayat kitab suci yang mendukung gagasan
bahwa Hukum Kodrat terukir dalam hati manusia diambil dari Surat Rasul Paulus
kepada umat di Roma (Rm 2:14-15):
(14) Apabila bangsa-bangsa lain yang tidak memiliki hukum
hukum Taurat dorongan diri sendiri melakukan apa yang dituntut hukum Taurat,
maka, walaupun mereka tidak memiliki hukum Taurat, mereka menjadi hukum Taurat
bagi diri mereka sendiri. (15) Sebab dengan itu mereka menunjukkan, bahwa isi
hukum Taurat ada tertulis di dalam hati mereka dan suara hati mereka turut
bersaksi dan pikiran mereka saling menuduh atau saling membela
Magisterium
dalam Katekismus Gereja Katolik juga mengutip ajaran Santo Thomas Aquinas,
“Hukum Kodrat tidak lain tidak bukan merupakan terang akal budi yang diletakkan
Allah di dalam kita. Melalui itu, kita mengetahui apa yang harus kita lakukan
dan apa
yang harus kita hindarkan. Terang dan hukum ini telah diberikan Allah kepada
manusia pada saat penciptaan”.
Hukum Kodrat, menurut Katekismus Gereja
Katolik, menyediakan perintah utama dan paling esensial bagi kehidupan moral.
Perintah-perintah utama Hukum Kodrat terdapat dalam Sepuluh Perintah Allah
(Dekalog). Dekalog dikatakan sebagai Hukum Kodrat, menurut Katekismus, bukan
karena merujuk pada kodrat (nature)
dari pengada irasional (benda dan binatang) melainkan karena akal budi (rasio)
yang menetapkan hukum tersebut merupakan bagian integral dari kodrat manusia (human nature). Katekismus juga mencatat
bahwa Sepuluh Perintah Allah adalah “cahaya yang diberikan kepada hati nurani
tiap orang” sebagaimana Katekismus juga mengutip Santo Agustinus, “Allah telah menulis di alas loh-loh
batu apa yang tidak dibaca manusia dalam hatinya”.
Menurut Katekismus, Hukum Kodrat yang
hadir dalam hati tiap orang dan ditetapkan oleh akal budi (rasio) bersifat universal serta mengekspresikan martabat manusia
sehingga menjadi landasan bagi hak-hak dan kewajiban asasinya. Hukum Kodrat itu
tetap tidak berubah, akan tetapi penerapannya sangat bervariasi karena menuntut
pertimbangan mengenai kondisi kehidupan seturut waktu, tempat, dan situasi.
Meskipun penerapannya bervariasi, Hukum Kodrat tetap berlaku dan mengikat bagi
semua manusia dari segala zaman, karena Hukum Kodrat merupakan dasar yang
kokoh, dan menjadi landasan dalam membangun aturan-aturan moral yang akan
membimbingnya dalam membuat tiap keputusan moral.
Ajaran magisterium Gereja Katolik lainnya
yang berbicara tentang Hukum Kodrat adalah ensiklik Veritatis
Splendor 1993 (Terang Kebenaran) yang dikeluarkan oleh Paus Johanes Paulus
II. Ensiklik ini menyatakan bahwa teori hukum moral (sekuler) yang murni hanya
mendasarkan diri pada akal budi (rasio). Ensiklik ini juga mengakui otonomi
akal budi manusia untuk menetapkan aturan moral yang berguna bagi kehidupan
manusia di dunia ini. Namun ensiklik ini menyatakan dengan tegas bahwa akal
budi manusia tidak bisa menciptakan sendiri nilai-nilai moral, akal budi hanya
memilah, tidak menciptakannya. Selanjutnya manusia berpartisipasi saja dalam
tatanan moral yang bersumber pada Allah sendiri, manusia hanya mengambil bagian
saja dalam Hukum Abadi yang telah digariskan Allah. Menurut ensiklik ini,
konsep Hukum Kodrat juga dibedakan dari hukum biologi, meskipunn Hukum Kodrat
memang berhubungan dengan cara manusia menggunakan tubuhnya. Tapi hukum itu
tidak dianggap sebagai seperangkat norma di tingkat biologis; melainkan harus
didefinisikan sebagai tatanan rasional di mana manusia dipanggil oleh Pencipta
untuk mengatur dan mengarahkan kehidupan dan tindakannya dan khususnya untuk mempergunakan
tubuhnya. Ensiklik ini mengajarkan bahwa Hukum Kodrat mengungkapkan tuntutan
dan tujuan universal apa yang secara moral baik, dan hati nurani merupakan
penerapan Hukum Kodrat dalam kasus-kasus tertentu.
6. Pandangan
Joseph Ratzinger
Pemikir Katolik lain, Josep Ratzinger
(yang kemudian menjadi Paus Benediktus XVI) membuat penekanan pada dasar-dasar
teologis Hukum Kodrat. Dalam sebuah makalah yang ditulis pada tahun 1962,
berjudul Gratia Praesupponit Naturam,
Ratzinger menawarkan analisisnya sendiri tentang kata physis (kodrat) dalam surat-Surat Rasul Paulus dan menyimpulkan,
“jika kita mengumpulkan data-data dalam surat-surat Paulus, tak dapat disangkal
bahwa kata physis (kodrat) memiliki
suatu pengertian ‘penuntun’; meski demikian, kata ini tidak memiliki status
sebagai norma yang tidak ambigu dan absolut. Manusia menerima pencerahan sejati
tentang keberadaannya bukan dari physis
(kodrat), tetapi dari perjumpaannya dengan Kristus dalam iman”. Ratzinger juga menambahkan, dengan kemunculan
Kristianitas, “konsep biologis tentang physis
menjadi konsep teologis dengan pengertian baru; physis tidak lagi dipahami dalam pengertian biologis atau
metafisik-rasional, tetapi dalam pengertian sejarah konkrit yang telah dan
sedang berlangsung antara Allah dan manusia”.
Dapat dikatakan bahwa bagi Ratzinger kodrat manusia tidak dapat
dipahami secara sekuler murni. Kodrat atau physis
yang dikemukakan oleh Aristoteles bukanlah kodrat atau physis Kristiani sebab Aristoteles tidak mengenal inkarnasi.
Manusia tidak dapat dipahami hanya berdasarkan Kitab Perjanjian Lama – citra
Allah (imago Dei) – tetapi juga
dipahami berdasarkan Kitab Perjanjian Baru, yaitu dalam diri Yesus Kristus yang
menjelma menjadi Adam baru.
Dalam sebuah artikel tentang pembaruan
teologi moral dalam terang Veritatis
Splendor, Ratzinger menyimpulkan bahwa “tidak ada etika yang dapat dibangun
tanpa Tuhan”. Dia juga mengatakan bahwa Sepuluh Perintah Allah tidak harus
ditafsirkan pertama-tama sebagai hukum, tetapi sebagai anugerah dari Tuhan
untuk manusia. Loh batu kedua (berisi
perintah Allah keempat sampai dengan kesepuluh) tidak dapat dimaknai tanpa
loh batu pertama (berisi perintah Allah
kesatu sampai dengan ketiga).
Ratzinger juga dengan merujuk pada Hukum
Kodrat berpendapat bahwa pemerintah perlu mengakui bahwa mereka sendiri tunduk
pada hukum yang lebih tinggi. Pandangan ini ada bukan hanya dalam
Katolik, tetapi juga dalam tradisi agama lainnya di dunia. Tradisi-tradisi keagamaan mengakui
gagasan adanya keteraturan dalam penciptaan. Ratzinger mengakui bahwa pandangan
ini tidak dimiliki oleh elit intelektual kontemporer posmodern. Dalam diskusi
dengan para cendekiawan postmodern, Ratzinger mengklaim bahwa wacana tentang
Hukum Kodrat adalah ‘instrumen tumpul’.
7. Pandangan
Alkitabiah tentag Hukum Kodrat
Mengikuti kesimpulan Ratzinger, Matthew
Levering dalam bukunya Biblical Natural
Law, yang berdasarkan penelitiannya tentang Hukum Kodrat dalam Kitab Suci,
menyimpulkan bahwa pengertian hukum dalam Kitab Suci selalu bersifat
teosentris. Hukum tidak pertama-tama tergantung pada kodrat (nature) atau pada akal budi manusia (human nature), sebab landasan hukum
adalah Allah, bukan manusia. Manusia hanya mengambil bagian dalam kebijaksanaan
ilahi.
8. Hukum
Kodrat dan Kecerdasan Emosi
Dalam dokumen Komisi Teologi
Internasional 2009, berjudul The Search for a Universal Ethic: A New Look at the
Natural Law, dalam paragraph 54-57, diakui
pentingya “kebijaksanaan pengalaman” dan “kecerdasan emosi” bagi moralitas
tindakan manusia. Dokumen tersebut juga mencatat bahwa subyek moral harus
dianugerahi disposisi batin yang memungkinkannya terbuka terhadap tuntutan
Hukum Kodrat. Dalam paragraph 59 dokumen tersebut disimpulkan bahwa subyek
perlu memiliki disposisi intelektual dan afektif yang memungkinkan keterbukaan
diri akan kebenaran moral, sehingga penilaiannya juga memadai secara moral.
Dokumen tersebut dalam paragraph 10, mengusulkan doktrin tradisional Hukum
Kodrat dapat membantu mewujudkan dimensi personal dan eksistensial kehidupan moral.
Pendekatan dalam dokumen tersebut senada dengan penekanan Ratzinger terkait
hubungan saling menguatkan antara kasih - akal budi (rasio) – yang juga disebut
‘pilar kembar dari realitas.
Dalam Gereja
Katolik hubungan Hukum Kodrat dan Kecerdasan Emosi ini dimediasi dalam
kehidupan komunitas (persekutuan). Konsep
Thomas Aquinas tentng Hukum Kodrat menekankan pentingnya kehidupan manusia
secara sosial dan historis. Manusia pada kodratnya cenderung hidup dalam komunitas.
Dalam komunitas setiap subyek dididik, dan ikut ambil bagian dalam kehidupan
bersama, Penalaran praktis dan pengetahuan tentang Hukum Kodrat dapat bertumbuhkembang atau mandek hanya melalui budaya dan praktik sosial
tertentu.
Intinya, Gereja Katolik sebagai komunitas sangat penting sebagai wadah penyadaran akan Hukum Kodrat dan
fundamental.
III.
CATATAN
PENUTUP
Hukum Kodrat dalam
Gereja Katolik merupakan dasar penting bagi ajaran moral Katolik. Tetapi dewasa
ini, Hukum Kodrat tersebut cenderung
menjauh dari gagasan bahwa Hukum Kodrat dapat dilihat netral secara teologis
dan lalu
pelan-pelan menuju sebuah Hukum
Kodrat yang Alkitabiah dan Kristosentris, seperti ditunjukkan
dalam dokumen ajaran resmi Gereja Katolik (Magisterium). Hukum Kodrat tidak lagi dipandang otonom berdasarkan
rasio atau akal budi manusia, tetapi Hukum Kodrat yang teosentris. Hukum Kodrat
harus dimengerti dalam konteks hubungan kodrat-rahmat Allah dan rasio-iman.
Hukum Kodrat harus dipahami bahwa Allahlah sebagai landasannya. Rasio manusia
hanya berpartisipasi dalam rasio tertinggi, yaitu rasio Ilahi.
Adanya beberapa
pemikir Katolik yang mencoba mengembangkan Hukum Kodrat sekuler, seperti Hukum
Kodrat Baru yang digagas John Finnis, dkk., hanya demi menarik perhatian dan
diterima kaum Non Katolik, kurang diterima oleh Gereja Katolik.
Hukum Kodrat yang
teosentris merupakan pandangan yang diterima dalam Gereja Katolik, sebagaimana semangat
yang sama ini juga sedang bergema dan cenderung trending dalam tradisi Non Katolik.
Hukum Kodrat dalam
tradisi agama-agama, termasuk dalam pandangan Gereja Katolik tetap relevan dan
aktual dalam konteks Indonesia yang membutuhkan pendekatan interdisiplin ilmu dalam memecahkan berbagai persoalan
bangsa, seperti: masalah hukum atas euthanasia, aborsi, homoseksual, rekayasa genetik, dan
lain sebagainya. Dalam hal ini, para pakar Hukum Kodrat Katolik dapat memberi
kontribusi berharga dalam pembangunan hukum dan kehidupan moral bangsa
Indonesia dari perspektif agama.
DAFTAR PUSTAKA
Tom Angier, ed., 2019, artikel Rowland Tracey Natural Law in Catholic Christianity dalam The Cambridge Companion to Natural Ethics, New
York : Cambridge University Press, 2019
Kristanto,
Dr. H. Dwi, 2020, bahan kuliah pertemuan 8, Hukum
Kodrat dalam Tradisi Agama Kristen, STF Driyarkara, Jakarta
“The lex aeterna, which as the universal order also constitutes the ratio aeterna of all that is created,
resides in every creature in a germinating manner. In other words, the ratio aeterna exists in every creature
in the form of a ratio seminaria or ratio seminalis. This ratio aeterna becomes manifest in all
created things, and does so in the form of ‘laws’ which, in the final analysis,
constitute the ‘inner nature’ of these things. The ratio aeterna, or lex aeterna,
reveals itself in every creature in the form of the lex naturalis” dalam Tom Angier, ed., 2019, hal. 137-8