Trima kasih mengunjungi blog kami!

Para pengunjung yth. semua isi blog ini ditulis atau disusun atas kemauan pribadi. Itu berarti blog ini berisi aneka pendapat, pemahaman, persepsi pribadi, dan pemikiran pribadi atas lingkungan kerja dan hidup sekitarnya. Harapan kami isi blog ini bermanfaat bagi pengunjung yang memerlukannya. Salam, GBU.

Kamis, Agustus 22, 2019

Postmodernisme dan Wacana Kritisisme Pendidikan (perspektif Henry A. Giroux)

Foto: riseuptimes.org
I.          Pendahuluhan
Postmodernisme mengkritisi asumsi dan bahasa modernisme terkait dengan pendidikan umum. Modernisme menekankan pendidikan yang mengacu pada cita-cita Era Pencerahan, postmodernisme menekankan  pendidikan yang menghargai otherness (keberlainan). Dalam tulisan ini, penulis mencoba meihat postmodernisme dan wacana kritisisme pendidikan berdasarkan tulisan Henry A. Giroux berjudul Postmodernism and The Discourse of Educational Criticism (Aronowitz, Stanley, dan, Henry A. Giroux, 1997). Henry A. Giroux memaparkan bahwa pedagogi menuntut para pendidik agar mengelaborasi nilai-nilai modernisme  dengan teori perlawanan postmodernisme  yang menghargai Otherness. Terlepas dari kegagalan teoritisnya, postmodernisme menawarkan sejumlah wawasan penting sebagai bagian dari teori pendidikan dan pedagogi kritis. Dalam tulisan ini, kami mengikuti sistematika artikel Giroux dimulai pembahasan tentang krisis modernisme di era postmodernisme, makna postmodernisme, lalu dilanjutkan dengan pembahasan problematika postmodern meliputi krisis totalitas, fondasionalisme, budaya, Otherness, krisis bahasa, dan  kami tambahkan catatan penutup.

Kata kunci: postmodernisme, modernisme, pedagogi kritis, pendidikan
           
II.       Postmodernisme dan Wacana Kritisisme Pendidikan
A.     Krisis Modernisme di Era Postmodernisme
Teori dan praktek pendidikan selalu dikaitkan dengan  kata dan asumsi modernisme. Beragam tokoh pendidik seperti John Dewey (1916), Ralph Tyler (1950), Herb Gintis (Bowles dan Gintis, 1976), John Goodlad (1984), dan Martin Carnoy (Carnoy dan Levin, 1985) mengungkanpan pandangannya bahwa pendidikan modernis menekankan kapasitas individu untuk berpikir kritis, untuk menjalankan tanggung jawab sosial, dan untuk membangun dunia sesuai cita-cita Era Pencerahan yaitu akal budi dan kebebasan.
Postmodernisme mempersoalkan prinsip-prinsip paling dasar modernitas (model budaya dan peradaban Eropa). Hal itu berarti postmodernisme perlu mendefinisikan kembali makna sekolah, dan juga mempertanyakan dasar sejarah, budaya, dan segala manifestasi serta ekspresi dalam kehidupan publik. Mengkritik modernisme berarti menggambar ulang dan memetakan kembali sifat dari geografi sosial, politik, dan budaya. Karena alasan ini saja tantangan yang diajukan oleh berbagai wacana postmodernis perlu diangkat dan diperiksa secara kritis oleh para pendidik.
Giroux berpendapat bahwa tantangan postmodernisme penting bagi para pendidik karena mengkritisi aspek hegemonik modernisme dan mempengaruhi makna dan dinamika sekolah masa kini. Kritik postmodern penting karena menggambar ulang batas-batas politik, sosial, dan budaya, sementara secara bersamaan menegaskan politik perbedaan ras, gender, dan etnis.  Pedagogi kritis tidak dapat dikembangkan atas dasar pilihan antara modernisme dan postmodernisme tapi dapat  membuat pedagogi kritis yang mengacu pada kekuatan masing-masing.

B.     Makna Postmodernisme
Paling tidak ada dua dua pandangan tentang postmodernisme  seperti yang diartikulasikan oleh dua ahli teori terkemuka, Jean-Francois Lyotard (1984) dan Fredric Jameson (1984).
Lyotard menggambarkan postmodernisme sebagai penolakan terhadap narasi besar, filosofi metafisik, dan pemikiran totalisasi lainnya. Baginya, makna postmodernisme terkait erat dengan perubahan kondisi pengetahuan dan teknologi yang menghasilkan bentuk organisasi sosial yang merusak kebiasaan lama, ikatan, dan praktik sosial modernitas.
Tulisan Fredric Jameson (1984, 1988) tentang postmodernisme, mendefinisikan postmodernisme sebagai "logika budaya" yang mewakili tahap besar ketiga dari kapitalisme akhir, serta budaya baru dominan pada zaman di masyarakat Barat. Baginya, postmodernisme adalah perubahan besar yang mengingatkan kita pada pemetaan kembali ruang sosial saat ini dan penciptaan formasi sosial baru.
Terlepas dari perbedaan politik dan analisis yang disajikan, sebagian ahli teori pendidikan mengakui bahwa kita hidup di era transisi perubahan menuju ke abad kedua puluh satu. Kita perlu memahami lebih jelas perubahan apa yang terjadi di berbagai bidang artistik, intelektual, dan akademis mengenai produksi, distribusi, dan penerimaan berbagai teori dan wacana.

C.     Problematika Postmodern
Giroux berpendapat bahwa berbagai teori dan praktik  yang bernuansa postmodern mewakili apa yang sebenarnya dapat disebut problematika postmodern: krisis totalitas, foundasionalisme, budaya dan problematika keberlainan (otherness), krisis bahasa dan subjektivitas..

1)      Postmodernisme, Krisis Totalitas, dan Foundasionalisme
Lyotard mengartikulasikan antagonisme yang telah menjadi fitur utama dari wacana postmodernis. Yaitu, postmodernisme menolak aspek-aspek Pencerahan dan tradisi filosofis Barat yang mengandalkan narasi utama.
Kritik postmodern terhadap totalitas juga merupakan penolakan terhadap klaim-klaim mendasar yang membungkus diri dengan sains, objektivitas, netralitas, dan ketidaktertarikan ilmiah. Dalam kasus ini, wacana postmodern menolak, misalnya, teori total Marxisme, Hegelianisme, Kristen, dan filosofi sejarah lainnya berdasarkan pada gagasan sebab akibat dan resolusi global yang mencakup semua tentang nasib manusia.
Perlawanan postmodern pada totalitas dan narasi utama perlu ditafsirkan secara dialektik jika ingin berkontribusi pada teori radikal pendidikan dan politik budaya. Pada satu sisi, kritik narasi utama penting karena membuat kita memperhatikan unsur-unsur fondasionalisme. Di sisi lain, menolak semua gagasan tentang totalitas berarti menghadapi risiko terperangkap dalam teori-teori partikularistik yang tidak dapat menjelaskan bagaimana berbagai hubungan yang berbeda yang membentuk sistem sosial, politik, dan global yang lebih besar saling terkait atau saling menentukan dan membatasi satu sama lain.

2)      Postmodernisme, Budaya dan Problematika Otherness (keberlainan)
Selain penolakan gagasan totalitas, perhatian utama postmodernisme lainnya adalah pengembangan politik yang membahas budaya populer sebagai objek serius kritik estetika dan budaya, di satu sisi, dan memberi sinyal dan menegaskan pentingnya budaya minoritas sebagai bentuk produksi budaya spesifik secara historis di sisi lain. Demikian pula, postmodernisme telah menyediakan kondisi yang diperlukan untuk mengeksplorasi dan memulihkan tradisi dari berbagai bentuk otherness (keberlainan) sebagai dimensi fundamental dari lingkup budaya dan sosial-politik.
Contoh yang paling tepat terkait posisi Barat yang dikritik terdapat dalam dalam karya liberal postmodernis Richard Rorty (1979, 1985). Postmodernisme Rorty berupaya memberikan ruang bagi beragam suara kelompok-kelompok yang terpinggirkan dengan memasukkan mereka dalam percakapan yang memperluas gagasan solidaritas dan komunitas manusia. Wacana postmodern ingin mengenali dan mengistimewakan kaum marjinal tanpa melibatkan isu penting seperti kondisi dan kesiapan menjalankan bentuk pemberdayaan diri dan sosial. Dengan cara yang sama, apa yang perlu ditangani dalam wacana postmodernis mengenai problematika otherness adalah bagaimana kelompok-kelompok subordinat dapat memperjuangkan suara dan visi mereka sendiri untuk mengubah kondisi sosial dan material yang telah menindas mereka.

3)      Postmodernisme dan Krisis Bahasa dan Subjektivitas.
Fitur terpenting postmodernisme adalah bahasa dan subjektivitas sebagai bidang baru dalam memikirkan kembali masalah makna, identitas, dan politik. Wacana postmodern menteoretisasi kembali (retheorized) sifat bahasa sebagai sistem tanda-tanda yang terstruktur dalam permainan perbedaan yang tak terbatas, dan dengan demikian telah merusak gagasan positivis dominan tentang bahasa sebagai media transparan untuk mentransmisikan ide dan makna. Jacques Derrida (1976), khususnya, telah memainkan peran utama dalam me-retheorizing bahasa melalui prinsip apa yang disebutnya differance. Pandangan ini menunjukkan bahwa makna adalah produk dari bahasa yang dibangun dari dan tunduk pada permainan perbedaan yang tak ada habisnya antara penanda. Apa yang merupakan arti dari penanda ditentukan oleh pergeseran, perubahan hubungan perbedaan yang menjadi ciri permainan referensial bahasa.
Resistensi postmodern pada sentralitas wacana modernisme menghasilkan pemikiran tentang gagasan subjektivitas didasarkan pada kesadaran yang bersatu, rasional, dan menentukan nasib sendiri. Dalam pandangan ini, subjek individu adalah sumber pengetahuan diri, dan pandangannya tentang dunia dibentuk melalui penerapan cara pemahaman dan pengetahuan yang rasional dan otonom.

III.        Kesimpulan
Terlepas dari beberapa kegagalan teoretisnya, postmodernisme menawarkan kepada para pendidik sejumlah wawasan penting yang dapat diambil sebagai bagian dari teori pendidikan (sekolah) yang lebih luas dan sebagai pedagogi kritis.
Bagi para pendidik,  postmodernisme menawarkan alat teoretis baru untuk memikirkan ulang konteks luas dan spesifik di mana makna otoritas didefinisikan; ia menawarkan apa yang oleh Richard Bernstein disebut sebagai "kecurigaan yang sehat terhadap semua  melalui perbaikan batas-batas dan cara-cara tersembunyi (Bernstein, 1988.267). Postmodernisme juga menawarkan para pendidik berbagai wacana, yaitu  (1) untuk menyelidiki ketergantungan modernisme pada teori totalisasi yang berdasarkan kepastian dan yang absolut; (2) untuk melibatkan pentingnya yang kontinjen, spesifik, dan historis sebagai aspek sentral dari pedagogi yang membebaskan dan memberdayakan.
Berbicara tentang kehidupan publik berarti berbicara tentang wacana pluralitas dan kewarganegaraan kritis. Gagasan ini tidak bertentangan dengan gagasan demokrasi yang menekankan keadilan, kebebasan, dan kehidupan yang baik. Bagi para pendidik, perhatian kaum modernis pada subjek yang tercerahkan, dan pandangan  kaum postmodernis yang menekankan pada keragaman, kontingensi, dan pluralisme budaya, memiliki arti bahwa  siswa dididik menjadi warga negara kritis sekaligus membangun kehidupan yang demokratis yang menghargai perbedaan dalam budaya yang lain (otherness). 

IV.   Catatan Penutup
Henry A. Giroux berpendapat bahwa pedagogi kritis tidak dapat dikembangkan atas dasar pilihan antara modernisme dan postmodernisme. Baik modernism maupun postmodernisme, masing-masing mengandung unsur kelebihan. Untuk itu, para pendidik diberi kesempatan membuat pedagogi kritis yang mengacu pada kelebihan masing-masing. Modernisme menekankan pendidikan subjek tercerahkan dan demokrasi, dan postmodernisme menekankan pendidikan berbasis kehidupan dalam keberagamanan dan kesetaraan. Untuk itu pendidik perlu mengintegrasikan wacana pendidikan modernisme dan postmodernisme agar tercipta peserta didik menjadi warga negara kritis, tercerahkan, demokratis serta menghargai otherness (keberlainan) dalam kehidupan publik. (*)


Sumber Pustaka
Aronowitz, Stanley, dan, Henry A. Giroux, Postmodernism and The Discourse of Educational Criticism, dalam buku Postmodern Education, Politics, Culture, and Social Criticism, Uniersity of Minnesota Press Minneapolis-London, 1997

Senin, Agustus 12, 2019

Islam Moderat dan Isu-isu Demokratisasi


Judul : Islam Moderat dan Isu-isu Kontemporer
Penulis : Ayang Utriza, DEA., Ph.D
Penerbit : Kencana, 2016, Divisi dari Prenadamediamedia Group
Cetakan : ke-1, Oktober 2016
Tebal : xiv + 252 hlm
ISBN : 978-602-422-052-5

Ayang Utriza Yakin, DEA., Ph.D, lulusan S3 (doktoral) bidang Sejarah, Filologi, dan Hukum Islam pada tahun 2013 dari Ecole des Hautes en Sciences Sociales, Paris, Prancis, banyak menulis artikel di media.

Sebagian pembacanya menuduh fundamentalis atau liberal. Ayang sendiri memilih jalan tengah dalam melihat persoalan-persoalan keislam­an kontemporer, moderat. Buku Islam Moderat dan Isu-isu Kontemporer me­rupakan kumpulan artikelnya berisi tema-tema demokrasi, pluralisme, kebebasan beragama, nonmuslim, po­ligami, dan Jihad.

Demokrasi dalam konteks Piagam Madinah: Arkeologi Demokrasi dalam Islam dimuat dalam bab 1. Nilai-nilai demokrasi seperti persamaan di de­pan hukum, kebebasan beragama, hak asasi manusia, dan musyawarah dapat ditelusuri dalam sejarah keislaman, khususnya dalam piagam Madinah (hal 23).

Buku ini juga mengangkat tema HAM, demokrasi, dan peran masya­rakat madani Indonesia. Demokrasi adalah pemerintahan di tangan rakyat. Indonesia berbentuk negara republik yang demokratis, namun baru pada ta­hun 1998 memasuki pentas demokrasi sesungguhnya.

Untuk mewujudkan Indonesia yang demokratis, menghargai HAM, telah ada keterlibatan LSM, pers, dan orga­nisasi keagamaan. Demokratisasi ada­lah jalan terbaik untuk memelihara, melestarikan, dan mengukuhkan aset nasional, seperti stabilitas, keamanan, persatuan, atau kesatuan (hal 49), bu­kan sistem yang lain.

Dalam sejarahnya, Islam memben­tuk dan menyakralkan pluralisme (ke­majemukan). Pluralisme bukan rin­tangan, tapi potensi. Rakyat dituntut mampu melestarikan nilai berharga itu di masa depan (hal 103).

Islam memberi kebebasan sepe­nuhnya dalam beragama. Pandangan tentang kebebasan beragama dan kebebasan berpikir kritis atas teks agama ini menimbulkan kontroversi dan ancaman murtad dalam masyara­kat Islam, tidak kebenaran tunggal dan pasti. Allah adalah akhir dari sebuah kebenaran (hal 105–120).

Dalam wilayah Islam, status hu­kum nonmuslim dalam kitab-kitab fikih berada pada posisi terbatas, tidak sama di depan hukum, atau diskriminatif. Hal ini terjadi karena status dzimmi (berdasarkan perjanjian di daerah Islam) yang disandang non­muslim dan status tersebut bernuansa politis. Para fakih klasik sudah apriori terhadap nonmuslim sebelum pem­buktian lebih dulu. Penilaian seperti itu tergesa-gesa dan mengada-ada.

Poligami termasuk tema yang banyak diperdebatkan masyarakat. Pada masa Nabi, poligami dibolehkan untuk menolak kemadaratan anak yatim piatu yang dinikahi, lalu diambil hartanya oleh suami mereka. “Ka­rena keburukan yang ditimbulkannya lebih besar dari kebaikannya, maka poligami sudah seharusnya dilarang” (hal 171)

Masih terkait poligami, pada bab 7 dengan judul Tafsir dan Sejarah Ayat Poligami dan Praktik Poligami Rasulullah SAW (hal 173–201) disim­pulkan, berdasarkan sumber-sumber utama sejarah Islam, ternyata poli­gami hak khusus Nabi Muhammad Saw (beristri 24). Umat Islam tidak boleh mengikutinya.

Terkait isu jihad dijelaskan sebagai perjuangan awal kemunculan Islam untuk penyebaran dan kekuasaan Is­lam. Namun, jihad kerap kali disalah­gunakan ketika diri atau kelompoknya tidak mendapat kekuasaan. “Siapa pun yang mengatasnamakan Islam dan mengaku berjihad, tetapi mem­bunuh mereka yang tidak bersalah, maka mereka bukanlah muslim. Me­reka hanyalah pembunuh dan teroris (hal 244).

Secara umum, buku Islam Moderat dan Isu-isu Kontemporer dapat dika­takan mengarah pada sebuah gagasan untuk mengarusutamakan moderasi beragama. Hakikat agama adalah me­manusiakan manusia, membawa misi damai dan keselamatan, kemudian mengakui dan menghargai kemaje­mukan masyarakat. Diresensi Pormadi Simbolon, Mahasiswa Pascasarjana STF Dri­yarkara Jakarta

Sumber: Koran Jakarta, 18 Juli 2019

Link:  http://www.koran-jakarta.com/islam-moderat-dan-isu-isu-demokratisasi/

Lindungi Anak dari Bibit Intoleransi



 Sumber Koran Jakarta, 17 Mei 2017

http://www.koran-jakarta.com/lindungi-anak-dari-bibit-intoleransi/

Rabu, Agustus 07, 2019

Paul Ricoeur: Hermeneutika, Tubuh dan Disproporsionalitas Manusia


            Dalam tulisan ini akan dipaparkan pandangan Paul Ricoeur tentang hermeneutika, tubuh dan disproporsionalitas manusia.

Hermeneutika
Hermeneutika berusaha menjadikan dekat apa yang jauh secara temporal, geografis, ilmiah, kultural dengan ‘mengapropriasi’ makna yang mengalami distansi dari kesadaran. Dengan memaparkan diriku pada horizon makna “yang lain” aku melampaui batas-batas kesadaran subjektif dan menjadikan diriku terbuka pada kemungkinan dunia baru (Richard Kearney).

Bagi Ricoeur hermeneutika dimulai dari penafsiran simbol menuju interpretasi teks. Hermeneutika berusaha mencari makna dari symbol dan teks. Symbol gives rise to thought. Simbol itu mengundang, aku tidak menentukan makna, symbol dan teks mengandung makna yang tersembunyi. Makna yang tersembunyi itu masih perlu dipikirkan, harus ditafsirkan dan dipahami.
Dipengaruhi oleh Gadamer, Ricoeur menggunakan  konsep distansiasi.   Distansiasi  merupakan pengambilan jarak dari pengarang teks dan kondisi budayanya, dengan situasi sekarang. Bagi Gadamer distansiasi itu membuat asing (alienating), tetapi bagi Ricoeur, distansiasi itu positif dan produktif. Bagi Ricoeur, teks menampilkan karakteristik fundmental teks secara historis.
Di sini Ricoeur mengkombinasikan antara masa lampau dan masa sekarang. Masa lampau dalam teks harus dianalisis secara objektif dengan ilmu-ilmu (positif) yang diperlukan dalam penelaahan teks tersebut. Misalnya, bila saya mau menafsirkan Injil Yohanes, maka saya harus mendekati Injil tersebut dari secara temporal, geografis, ilmiah, kultural (sejarahnya, asal usul, semiotik, filologis, dan lain sebagainya). Sesudah didekati dengan ilmu-ilmu tersebut, kemudian terbukalah bagi saya bahwa ada sesuatu yang baru yang mau dikatakan Injil Yohanes. Tetapi sesuau yang baru itu harus saya serap dalam diri saya. Ketika menyerap inilah yang disebut “mengaproriasi” (mengambil menjadi milik sendiri), menjadi teks Injil Yohanes meberi makna baru (dunia baru) bagi saya. Dapat digambarkan, hermeneutika Ricoeur (hermeneutika lengkung) memiliki tahap-tahap yaitu: tahap awal membaca teks, dilanjutkan dengan tahap kritis (mendalami makna teks) dan diakhiri dengan tahap post-kritis yaitu meng-apropriasi. Dalam hermenetika ini, diriku yang telah menjawab makna yang ditawarkan oleh terbukanya teks. Aku memperoleh  diriku kembali setelah mencapai akhir hermeneutika.



Tubuh
Ricoeur (bersumber dari buku Le Volontaire et l’involluntaire, 1955 dan Freedom and Nature, 1966) memperlakukan “tubuh” sebagai subjek sebagai sutau pendekatan berfilsafat. Penekatan ini  menekankan pengutamaan tubuhku sebagai, tubuh yang tidak bisa lepas dari subjek, melainkan tubuh itu selalu terkait dengan subjek. Tubuhku adalah tubuhku dan tubuhmu adalah tubuhmu.  Dengan mengamati tindakan yang lain, aku dapat mengenali intensionalitas tindakan ini dan asal subjektifnya. Subjektif bersifat eksternal dan internal. Melalui empati (Einfühlung), aku memiliki hubungan dengan yang lain, yang tak dapat direduksi sebagai suatu aspek dari persepsiku. Ini penemuan tubuh pada pribadi kedua, suatu pengakuan akan tubuh yang lain, sebagai organ dan hakekat yang lain. Masalah antar subjektivitas diatasi dengan menolak untuk memperlakukan tubuh hanya sebagai suatu objek; kesadaranku ditransformasikan melalui kesadaranku akan orang lain.
Pendekatan tubuh sebagai Subjek merupakan penolakan terhadap pendekatan psikologi empirik. Pendekatan psikologi empirik tidak dapat menangkap makna penuh dari manusia sebagai incarnate existence. Pendekatan ini cenderung memperlakukan tubuh sebagai objek yang diobservasi secara ilmiah, dan mengabaikan pengalaman hidup. Metode ini mereduksi tindakan manusia (dengan intensionalitas dan referensinya kepda ego, menjadi fakta). Dengan mereduksi ketidaksadaran (involuntary) menjadi sejenis fakta empiric, psikologi menyebabkan aspek kehendak dari Saya yang berpikir (Cogito) menghilang. “Aku menghendaki” sebagai  inisiatif yang bebas dihapuskan, karena tidak memiliki makna empiric, demikian pula subjektivitas dianalisis menurut ilmu-lmu alam.
Jadi menurut Ricoeur, tubuh manusia adalah subjek, satu kesatuan. Manusia harus dilihat sebagai subjek, dengan segala subjektivitasnya (segala pengalaman, referensi, kehendak, dan segala yang menjadi bagian dirinya). Dalam berfilsafat, maka manusia dilihat sebagai hubungan antar subjetivitasnya dengan segala keberlainan dan keberadaannya.
Pendekatan Ricoeur adalah pendekatan yang beralih dari sikap naturalistik kepada sikap fenomenologis. Dari pendekatan fenomenologislah, maksa sepenuhnya dari tubuh dapat dicapai. Di sini Ricoeur berusaha  mengatasi Husserl. Karena Husserl kehilangan kedalaman dan misteri “eksistensi bertubuh”. Bagi Ricoeur, tubuh tidak berwujud dalam arti objektivitas, juga tidak dibentuk oleh subjek transcendental. Keduanya tidak berlaku bagi tubuh. Tubuh adalah “aku yang bereksistensi. Baginya, fenomenologi tidak dapat mengabaikan tubuh. Tugas filsuf adalah mengklarifikasi. Uang diperlukan adalah mengintegrasikan tubuh ke dalam kesadaran, dan kesadaran dalam tubuh.

Disporporsionalitas Manusia
Menurut Ricoeur, manusia tidak proporsional dengan dirinya sendiri. Artinya realitas diri manusia tidak pernah identik dengan diri manusia yang penuh atau lengkap (cita-citanya). Manusia kerap kali secara de facto tidak sesuai dengan yang diinginkannya. Oleh karena itu, manusia berada di antara yang kehendak terbatas dan tidak terbatas. Oleh karena itu, manusia dapat melakukan atau jatuh dalam kesalahanatau kejahatan. Di sinilah kerapuhan (fragility) manusia.
Paul Ricoeur melihat kehidupan manusia sebagai suatu dialektik: di satu pihak aku adalah tuan atas diriku dan aku memilih dan menghendaki rangkaian tindakan (voluntary); di pihak lain aku tunduk pada keharusan, necessity, karena keberadaanku di dunia dengan segala sesuatu yang tak dapat aku kendalikan, karakterku, unsur-unsur tidak sadar yang menantang kehendakku (involuntary).
Kehidupan manusia adalah “negosiasi” antara kebebasanku sebagai manusia dan kendala yang aku alami sebagai manusia yang hidup di dunia.  Yang “baik” dan yang “jahat” muncul dalam dialektika antara kebebasan kehendak dan “necessity” atau dorongan-dorongan di luar kenendak atau “passions”. Sejauh manusia memiliki kebebasan untuk bertindak, ia dapat “jatuh” atau berbuat salah. “Fallibility” berasal dari kemungkinan manusia tunduk pada “passion”. Karena “passion” berasal dari tubuh, dan tubuh merupakan bagian intrinsik eksistensi, maka kemungkinan berbuat salah (kejahatan) bersifat melekat dalam diri manusia. Perlu ditekankan “kemungkinan” berbuat salah atau jahat – bukan berarti bahwa manusia secara inheren jahat. Kejahatan adalah kemungkinan yang terlahir bersama – apakah ia akan mewujudkan kemungkinkan atau tidak, terserah kepada manusia.
 Ada tiga ukuran disproporsi, yang merupakan tiga cara dalam berhubungan dengan orang lain, secara moral manusia rapuh, yaitu: imajinasi, karakter dan perasaan. Dalam imajinasi aku melihat diriku sebagaimana dilihat yang lain. Dalam karakter aku membedakan diriku dengan semua orang lain. Dalam perasaan, aku merasakan sifat baik atau buruk orang lain serta pilihanku mengenai yang bail Untuk itu, imajinasi, karakter dan perasaan perlu disintesekan dengan akal budi sehingga terbentuk pribadi yang utuh, pribadi (person) dengan stuatus moral. Konflik antara komponen yang tidak-intelektual dan yang intelektual merupakan sumber kreativitas, tetapi sekaligus memungkinkan yang jahat, karena melalui imajinasi, karakter dan perasaan kemungkinan besar kita berbuat salah.
***

Sumber Pustaka:
Simms, Karl, Paul Ricoeur, Routledge, London 2003
Sastrapratedja, M, Bahan-Bahan Kuliah Antropologi Filsafat,  2019.
Powered By Blogger