Trima kasih mengunjungi blog kami!

Para pengunjung yth. semua isi blog ini ditulis atau disusun atas kemauan pribadi. Itu berarti blog ini berisi aneka pendapat, pemahaman, persepsi pribadi, dan pemikiran pribadi atas lingkungan kerja dan hidup sekitarnya. Harapan kami isi blog ini bermanfaat bagi pengunjung yang memerlukannya. Salam, GBU.

Selasa, Juli 23, 2019

Ambruknya Komunisme Internasional

foto: amazon.co.uk

Pengantar
Leninisme  merupakan tokoh kunci dalam sosok ideologis komunisme di seluruh dunia. Dalam perjalanan sejarahnya, komunisme bercita-cita untuk mewujudkan suatu masyarakat yang anggota-anggotanya sama-sama bebas, sama-sama sejahtera, sama-sama terhormat dan solider satu sama lain. Namun cita-cita ini runtuh akibat perilaku para penguasa komunis sendiri, yang tidak konsisten pada ideologi dan tidak mempunyai etika politik. Dalam tulisan ini, akan dibahas mengapa komunisme runtuh. Pokok bahasan ini dipilih dengan maksud mengambil pelajaran berharga dari sejarah ambruknya komunisme. Pembahasan ini dimulai sejarah singkat pemikiran Karl Marx, Marxisme-Leninisme, mengapa komunisme internasional ambruk dan pelajaran berharga untuk jaman sekarang.

Dasar Pemikiran Karl Marx (1818-1883)[1]
Konteks dasar yang menentukan arah perkembangan (pemikiran) Karl Marx  sesudah menyelesaikan sekolah gymnasium adalah situasi politik represif di Prussia (negara yang menguasai sebagian besar Jerman Utara, salah satu dari puluhan negara berdaulat di tanah Jerman waktu itu) yang telah menghapus kembali hampir semua kebebasan yang diperjuangkan oleh rakyat dalam perang melawan Napoleon. Di Universitas Berlin, Marx segera terpesona pemikiran oleh filsafat Gerog Wilhelm Fridriech Hegel (1770-1831). Dari Hegel, ia mencari jawaban atas pertanyaan yang menggerakkannya: bagaimana membebaskan manusia dari penindasan sistem politik reaksioner (pemikiran tahap I)? Pemikiran Marx semakin berkembang setelah berkenalan dengan filsafat  Ludwig Feuerbah (1804-1872).  Sekarang Marx memaknai ciri reaksioner negara Prussia sebagai ungkapan keterasingan manusia dari dirinya sendiri (pemikiran tahap 2). Yang menjadi pertanyaan Marx adalah di mana ia harus mencari sumber keterasingan itu. Jawabannya ditemukan sesudah berjumpa dengan kaum sosialis radikal di Paris. Di Paris  Marx menjadi yakin bahwa keterasingan paling dasar berlangsung dalam proses pekerjaan manusia. Sebenarnya pekerjaan adalah kegiatan di mana manusia justru menemukan identitasnya, tetapi sistem hak milik pribadi kapitalis menjungkirbalikkan makna pekerjaan menjadi sarana eksploitasi. Melalui pekerjaan, manusia tidak menemukan, melainkan mengasingkan diri. Hal itu terjadi karena sistem hak milik pribadi membagi masyarakat ke dalam para pemilik modal dan para pekerja yang tereksploitasi. Manusia hanya dapat dibebaskan apabila hak milik pribadi atas alat-alat produksi dihapus melalui revolusi kaum buruh, dengan demikian, Marx sampai pada posisi pemikiran klasik sosialisme (pemikiran tahap 3).
Karena itu, Marx semakin memusatkan perhatiannya pada syarat-syarat penghapusan hak milik pribadi. Ia mengklaim bahwa sosialismenya adalah sosialisme ilmiah yang tidak hanya didorong oleh cita-cita moral, melainkan berdasarkan pengetahuan ilmiah tentang hukum-hukum perkembangan masyarakat . Dengan demikian pendekatan  Marx berubah dari yang bersifat murni filosofis menjadi semakin sosiologis. Sosialisme ilmiah itu disebut Marx sebagai “paham sejarah yang materialistis”: sejarah dimengerti sebagai dialektika antara perkembangan ekonomi di satu pihak dan struktur kelas-kelas sosial di pihak lain. Marx sampai pendapat yang akan menjadi dasar ajarannya, bahwa faktor yang menentukan sejarah bukanlah politik atau ideologi, melainkan ekonomi. Perkembangan dalam cara produksi lama-kelamaan  akan membuat struktur-struktur hak milik lama menjadi hambatan kemajuan. Dalam situasi ini akan timbul revolusi sosial yang melahirkan bentuk masyarakat yang lebih tinggi (pemikira tahap 4).
Persoalannya apakah pernah akan lahir masyarakat  di mana hak milik pribadi sama sekali terhapus? Jadi, apakah komunisme, masyarakat tanpa hak milik pribadi dan tanpa kelas-kelas sosial itu, pernah akan terwujud? Karena faktor yang menentukan perkembangan masyarakat adalah bidang ekonomi, pertanyaan itu harus dijawab melalui analisis dinamika ekonomi tertinggi, yang sudah dihasilkan oleh sejarah, kapitalisme. Itulah sebabnya, Marx makin lama makin memusatkan studinya pada ilmu ekonomi, khususnya ekonomi kapitalistis. Studi itu membawa Marx pada kesimpulan bahwa ekonomi kapitalisme niscaya akan menghasilkan kehancurannya sendiri, karena kapitalisme seluruhnya terarah pada keuntungan pemilik sebesar-besarnya, kapitalisme menghasilkan pengisapan manusia pekerja, dan karena itu, akan terjadi pertentangan kelas paling tajam.
Karena itu produksi kapitalisme semakin tidak terjual karena semakin tak terbeli oleh massa buruh yang sebenarnya membutuhkannya. Kontradiksi internal sistem produksi kapitalis itulah akhirnya niscaya akan melahirkan revolusi kelas buruh yang akan menghapus hak milik pribadi atas alat-alat produksi dan mewujudkan masyarakat sosialis tanpa kelas (pemikiran tahap 5).
Pemikiran Marx mengalami tahap perkembangan dan kesinambungan. Para ahli mengelompokkan tahap 1-3 sebagai pemikiran Marx Muda, dan tahap 4 dan 5 sebagai pemikiran Marx tua.

Marxisme Leninisme dan Ideologi Komunisme[2]
Ajaran Karl Marx mempengaruhi Vladimir Ilyic Lenin (1870-1924). Lenin mempelajari dan merealisasikan ajaran dan gagaran Marx seturut pemahamannya dengan tujuan pembebasan kelompok tertindas. Dengan Lenin, ajaran Marx semakin banyak dibahas dan dipelajari di dunia internasional.
Belum lama Lenin meninggal, Josef Vissarionovich, alias Stalin (1878-1953) sudah membakukan ajaran-ajarannya sebagai “Leninisme”. Sebagai bagian Marxisme-Leninisme, Leninisme  dengan demikian menjadi unsur kunci dalam sosok ideologis komunisme di seluruh dunia. Tidak berlebihan dikatakan bahwa hanya karena “Leninisme”, Marxisme menjadi alat perjuangan sebagian besar dari gerakan-gerakan revolusioner abad ke-20. Karena Lenin juga, komunisme menjadi salah satu kekuatan politik yang paling ditakuti di abad ke-20.
Pertanyaan mengenai bagaimana sampai pemikiran seorang Lenin, yang mengerahkan seluruh hidupnya demi pembebasan kelas-kelas tertindas bisa menjadi bagian dari sebuah ideologi yang menjadi legitimasi beberapa kejahatan paling mengerikan dalam sejarah manusia.
Konsepsi Lenin tentang partai kader membuat pengertian kunci Marx (muda) tentang kesatuan antara teori dan praxis pada akarnya. Bagi Marx, pemikiran filosofis merupakan bagian dalam dialektika perjuangan yang memotori sejarah. Teori Marx bukan produk pemikiran orang pintaryang kemudian dipakai untuk mengarahkan perjuangan proletariat, melainkan ungkapan teoritis perjuangan itu sendiri. Apa yang nyata-nyata dirasakan proletariat dalam kedudukannya sebagai kelas tertindas, dirumuskan dalam dimensi teori oleh Karl Marx untuk dikembalikan ke proletariat yang mengenalnya sebagai ungkapan konsepsional realitasnya sendiri. “Tujuan dan tindakan historis proletariat (apa yang dirumuskan dalam teori Marx tentang sosialisme, buku Franz Magnis-Suseno) sudah digariskan secara indrawi, tak terbantah dalam situasi kehidupannya maupun dalam seluruh organisasi masyarakat borjuis sejarang” (seperti dikutip Franz Magnis-Suseno). Dalam konsepsi ini kesadaran proletariat tentang sosialisme hanya dapat, dan memang akan, tumbuh dari perjuangannya. Begitu kesadaran sosialis-revolusioneer dipisahkan dari perjuangan buruh sendiri dan menjadi sesuatu yang harus dipompakan ke dalamnya dari luar, seluruh gagasan inti Marx tentang emansipasi manusia menguap. Manusia tetap terasing dari dirinya sendiri, “kekuatan-kekuatan hakikatnya”  tetap “terpecah-belah” dan buruh, dari pada memiliki diri dan mengalami revolusi sosialis sebagai realisasi keutuhan dirinya, tetap tergantung dari kekuatan luarnya. Dari perspektif Marx muda, konsepsi Lenin menanamkan kembali di inti teorinya apa yang mau dihapus dengannya, yaitu ketergantungan dan ketertindasan baru.
Masalahnya tidak sesederhana itu. Marx sendiri tidak mempertahankan keterkaitan dialektis teorinya dengan praxis revolusionernya proletariat secara konsisten. Marx dalam obsesinya untuk membedakan pemikirannya dari apa yang disebutnya “sosialisme utopis”, semakin memahaminya sebagai teori “ilmiah”. Sosialismenya adalah “sosialisme ilmiah”, hasil penemuannya tentang hukum-hukum perkembangan masyarakat objektif, yang oleh Friedrich Engels (1820-1938), dengan persetujuan Marx sendiri, diperbandingkan dengan teori evolusi Charles Darwin. Teori objektif  semacam itu tidak mempunyai kaitan internal dengan perjuangan kelas. Menurut Jurgen Habermas, Marx jatuh ke dalam “salah paham positivistik” terhadap teorinya sendiri. Akhirnya, “materiaslieme sejarah”, nama resmi teori Marx, menjadi “pandangan dunia ilmiah proletariat”. Teori itu bukan lagi teori proletariat sendiri, melainkan “demi proletariat” yang lalu harus disosialisasikan dulu ke dalamnya.
Dalam kenyataan, seluruh Marxisme pasca-Marx, dan bukan hanya Lenin, sama sekali lupa akan konsepsi Marx muda. Penegasan Marx tentang kaitan antara teori tentang revolusi sosialis dan perjuangan praktis proletariat sudah lama ditinggalkan. Pengertian Marxisme sebagai “teori yang sudah benar tentang hukum-hukum perkembangan kapitalisme” pada akhir  abad ke-19 menimbulkan perbedaan serius di kalangan kaumm Marxis: Bagaimana kenyataan yang semakin tidak terbantah ini harus dijelaskan, yaitu bahwa kapitalisme dunia bukannya semakin rapuh sebagaimana diramalkan oleh Marxisme, melainkan semakin jaya. Berhadapan dengan masalah ini muncul berbagai posisi. Salah satu posisi tersebut adalah Lenin. Lenin yang sependapat dengan  Luxemburg bahwa tidak ada revolusi tanpa kesadaran revolusioner kelas buruh, tetapi menyangkal anggapan Luxemburg bahwa kesadaran revolusioner kaum buruh akan berkembang secara spontan sebagai naif. Dengan sendirinya kelas buruh tidak bisa melampuai “kesadaran serikat buruh”. Hanya di bawah pimpinan sebuah partai kader revolusioner kelas buruh dapat membentuk kesadaran teoritis benar yang akan membuat mereka melaksanakan revolusi sosialis. Bertolak dari perlunya revolusi, Lenin menggagaskan sebuah partai  revolusioner yang bertugas menggiring kaum buruh yang sebenarnya, tidak revolusioner. Bagi Lenin, revolusi bukan lagi hal yang tak terelakkan, revolusi tergantung dari adanya kehendak revolusioner. Karena itu, Marxisme Lenin bersifat voluntaristik. Lenin menghendaki revolusi. Konsepsi Lenin yang sangat jauh dari Karl Marx ini akhirnya mendai kenyataan dalam sejarah dan ia menjadi bidan Komunisme.
Penyimpangan lainnya dari ajaran Karl Marx adalah soal kediktatoran proletariat. Marx tidak pernah memikirkan kediktatoran proletariat sebagai keadaan semi permanen yang bisa berjalan selama berpuluh-puluh tahun sebagaimana diantisipasi Lenin. Pengandaian Marx dan Lenin sama sekali berbeda. Menurut Marx, revolusi sosialis baru mungkin dilaksanakan apabila bagian terbesar masyarakat terdiri dari proletariat  yang berhadapat dengan segelintir pemilik modal. Proletariat memang untuk sementara waktu harus menjalankan kediktatoran keras untuk menindas usaha dari sisa-sisa kaum kapitalis untuk bangkit sekali lagi. Tetapi, begitu usaha itu ditumpas, masyarakat yang seluruhnya terdiri atas pekerja tidak mempunyai “musuh kelas” lagi dan karena itu aparat penindas negara tidak diperlukan lagi.
Situasi Lenin sama sekali lain. Di Rusia, kelas buruh industry yang merebut kekuasaan dalam Revolusi Oktober merupakan minoritas kecil di antara kelas-kelas lain (kelas tani, borjuasi, dan kaum feudal). Kelas-kelas itu, mayoritas besar bangsa Rusia, menentang mati-matian monopoli kekuasaan Bolshevik dan pemaksaan sosialisme. Jelaslah dalam situasi itu hanyalah penindasan tanpa ampun, kediktatoran tanpa kompromi, yang dapat menyelamatkan sosialisme. Hanya dengan menindas segala perlawanan dan melalui tindakan-tindakan dikatoris, sosialisme akan dapat dibangun dan kelas-kelas yang berbeda lama kelamaan dileburkan menjadi satu kelas pekerja. Mengingat keterbelakangan Rusia, pembangunan sosialisme, dan karena itu kediktatoran proletariat yang dilaksanakan partai komunis, akann berlangsung berpuluh-puluh tahun lamanya.
Argumentasi ini tidak dapat dibantah. Yang menjadi masalah adalah apakah masuk akal memaksanakan sosialisme apabila prasyarat yang dianggap menentukan oleh Marx, yaitu proletarisasi seluruh masyarakat, sama seali belum terwujud? Itulah sudut balik voluntarisme Lenin yang menggantikan dialetika keharusan sejarah dengan tekad revolusioner partai. Kesalahan Lenin adalah memaksakan sosialisme dalam situasi dimana sebagian besar masyarakat belum siap.
Komunisme Internasional
Pada tahun 1919 di Moskow didirikan KOMINTERN, Internasionale Komunis”, dengan tujuan untuk memperjuangakan “dengan segala cara yang tersedia, termasuk kekuatan bersenjata, penggulingan borjuasi internasional dan penciptaan republik Soviet internasional sebagai transisi ke tahap penghapusan total negara. Komintern mengorordinasikan kebijakan komunis di seluruh dunia. Moskow menjadi pusat komunisme inter nasional. Uni Soviet menjadi tanah air sosialisme radikal, menjadi tempat dan sumber arahan dan bantuan.

Pragmatisme Kekuasaan[3]
Para tokoh ajaran komunisme, seperti Lenin, Trotsky, dan semua tokoh Bolshevik, dan kemudian semua penguasa partai komunisme sadar betul bahwa revolusi tidak bisa lahir secara spontan dalam rangka  penghacuran kaum kapitalis. Oleh karena itu, fokus mereka akhirnya selalu tertuju pada kekuasaan. Demi sosialisme yang diyakininya, akhirnya Lenin, hanya mengenal satu sasaran: merebut kekuasaan dan pemakaiannya untuk memaksakan  pembentukan masyarakat sosialis. Akibatnya, ideologi komunisme pun, apalagi sesudah pembakuannya oleh Stalin, merosot menjadi sarana untuk membenarkan kekuasaan total di tangan pimpinan partai komunis. Cita-cita sosialis merosot menjadi pragmatisme kekuasaan.
Demi sosialisme, perbuatan apapun dapat dibenarkan. Upaya menciptakan sosialisme diserahkan kepada partai sebagai pelaksana. Melalui tangan besinya, partai boleh menumpas semua perlawanan dan memaksa semua buruh  untuk menerima kebijakan-kebijakan partai. Prinsip legitimasi mereka adalah membenarkan segala perbuatan apapun demi kemantapan kekuasaan di tangan komunis.

Tanpa Moralitas, Hukum dan Penghormatan HAM
Pragmatisme kekuasaan Leninistik ini dengan sendirinya menyingkirkan kemungkinan untuk mengadakan pertimbangan etis atau moral. Marxisme ortodoks, sesuai pemikiran Marx dan Hegel, memang selalu  meremehkan moral sebagai tipuan ideologis. Pragmatisme kekuasaan ini semakin menyingkirkan pertimbangan moral maupun etika. Pragmatisme kekuasaan menjadi tempat persemayaman benih-benih totalitarianisme. Karena itu partai meremehkan jatuhnya korban demi “membangun sosialisme”: darah ditumpahkan, pengritik dikubur dalam kam-kam kerja, proses hukum dikesampingkan, pertanggungjawaban demokratis dan hormat terhadap hak-hak asasi manusia ditertawakan.
Bagi partai komunis, stabilitas kekuasaan tidak bisa diganggu. Mengkritik kediktatoran aparat partai dengan mengacu pada moralitas dan bahkan cita-cita Marxisme sendiri mengancam stabilitas kekuasaan partai, dan karena itu harus ditindas. Itulah juga sebabnya, sampai pada tahun 1970-an, partai-partai komunis melarang semua diskurus-diskursus dalam partai tentang Marxisme.  Pemikir-pemikir Marxisme Leninis, seperti Lukaks, Korsch, dan Tan Malaka tidak bisa dibiarkan.
Dalam kurun waktu hanya 74 tahun, dari revolusi Oktober sampai 1991, rezim-rezim komunis sedunia membunuh sekurang-kurangnya 60 juta orang, suatu angka yang mengerikan. Angka ini berlum termasuk jumlah sekitar 65 juta orang terbunuh selama perjuangan Komunis di Tiongkok.

Sosialisme Eropa Melepaskan Marxisme
Akibat dari cara-cara  partai komunis yant tidak manusiawi tersebut, mayoritas kaum sosialis di Eropa menolak kekerasan dan teror. Bagi sosialis Eropa, pada hakekatnya sosialieme merupakan sesuatu yang etis dan karena itu, sosialisme hanya dapat diperjuangkan dengan cara-cara yang sesuai dengan tuntutan etika dan kemanusiaan. Lama-kelamaan, sosialisme  Eropa melepaskan Marxisme sebagai ideologi  perjuangan dan menggantikannya dengan sosialisme demokratis. Perkembangan ini dianggap sebagai kemenangan revisionism. Karl Kautsky dan banyak tokoh-tokoh ortodoks ajaran Marx lainnya menolak kebijakan terror Lenin.
            Sampai tahun 1975, kekuasaan komunis memuncak. Sepertiga umat manusia hidup dalam negara-negara yang dikuasai oleh partai Komunis. Pada tahun yang sama, tahun ini juga  sekaligus merupakan titik balik. Persatuan dunia komunis mulai retak. Pada tahun 1989, akhirnya komunisme internasional berakhir. Rezim-rezim komunis di Eropa  Timur kolaps, partai-partai komunis melepaskan kekuasaan, dan terbukalah pintu untuk demokrasi. Dengan sendirinya Pakta Warsawa (aliansi negara Komunis/blok Timur, pimpinan Uni Soviet,  sebagai tandingan NATO dan SEATO (blok Barat, pimpinan Amerika Serikat) ambruk.
Pada akhir tahun 1991, Uni Soviet, negara adikuasa kedua, pecah menjadi 14 Republik independen. Hanya di Cina, Korea Utara, Vietnam, Laos dan Kuba rezim-rezim komunis masih berhasil berpegang pada kekuasaan. Namun mereka pun berhadapan dengan pilihan dilematis: mengubah perekonomian menjadi ekonomi pasar  dan dengan demikian melepaskan sosialisme, atau ketinggalan zaman mirip fosil dari Jurassik Park.

Penutup
            Pragmatisme kekuasaan  yang menggunakan segala cara dan kediktatoran melalui Partai Komunis (baik pada tingkat nasional maupun tingkat internasional) demi mewujudkan sosialisme  yang dicita-citakan sejak awal, terbukti tidak berhasil karena mengabaikan ideologi, etika, penghormatan hak asasi manusia serta kesejahteraan masyarakat. Pelajaran berharga bagi penguasa-penguasa dan politisi jaman sekarang adalah bahwa suatu ideologi hanya dapat dan mungkin berhasil diwujudkan bila sistem kekuasaannya diterima dan dibenarkan oleh masyarakatnya.


DAFTAR PUSTAKA

Magnis-Suseno, Franz, 1999, Pemikiran Karl Marx, Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, Jakarta: Gramedia
---------------------------, 2003, Dalam Bayang-Bayang Lenin, Enam Pemikiran Marxisme Dari Lenin sampai Tan Malaka, Jakarta: Gramedia
----------------------------, 2013, Dari Mao ke Marcuse, Percikan Filsafat Marxis Pasca-Lenin, Jakarta: Gramedia


[1] Pemikiran Marx diambil dari Buku Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx, Gramedia: Jakarta, 1999, halaman 8-11.
[2] Diambil dari buku Franz Magnis-Suseno, Dalam Bayang-Bayang Lenin, Enam Pemikiran Marxisme dari Lenin sampai Tan Malaka, Gramedia, Jakarta: 2003, Hl. 42-50.
[3] Referensi dari buku Diambil dari buku Franz Magnis-Suseno, Dalam Bayang-Bayang Lenin, Enam Pemikiran Marxisme dari Lenin sampai Tan Malaka, Gramedia, Jakarta: 2003, Halaman. 234-238.

Senin, Juli 22, 2019

Analisis Film “Hotel Rwanda” (Perspektif Filsafat Emmanuel Levinas)


Foto: amazon.com
Analisis Film “Hotel Rwanda” (2004)[1]
(Perspektif Filsafat Emmanuel Levinas)
       I.            Pendahuluan
Pada akhir abad keduapuluh, tepatnya tahun 1994 terjadi peristiwa pembersihan etnis atau genosida yang dilakukan suku Hutu terhadap suku Tutsi di Rwanda, sebuah negara di Afrika Tengah. Peristiwa tersebut diangkat ke dalam layar lebar melalui sebuah berjudul Hotel Rwanda (2004). Kisah pembantaian manusia tersebut disinyalir merupakan pembersihan etnis terburuk  sesudah berakhirnya Perang Dunia Kedua yang masih banyak dipengaruhi pemikiran modernisme.
Dalam konteks refleksi filsafat, pertanyaan dasarnya adalah mengapa sampai terjadi kekejaman seperti itu? Apakah peristiwa tersebut merupakan produk pemikiran modern, termasuk filsafat Barat? Pemikiran modern atau filsafat Barat menampilkan pengagungan narasi kekuatan akal budi, totalisasi, dan kebebasan, sehingga terjadi pengkotak-kotakan antar manusia, stigmatisasi/tematisasi buruk atas suku lain (sebutan kecoa), terjadi penguasaan atas orang yang  berbeda dan memasukkanya ke dalam yang sama dengan kelompok manusia pelaku yang lebih kuat. Hal inilah yang dikritik Emanuel Levinas (1905-1995)  dalam pemikiran filsafatnya, yaitu mengecam pemikiran filsafat Barat dan lalu menawarkan sebuah pemikiran yang etis mengenai relasi antar manusia secara konkrit. Relasi manusia harus didasarkan pada  relasi yang etis, yaitu bahwa manusia yang satu  (the I ) berhubungan dengan manusia lain yang konkrit dan bertanggung jawab terhadap manusia lain (the Other) karena dalam wajah yang lain ada jejak yang tak terbatas.
Dalam paper ini akan diuraikan analisis film Hotel Rwanda (bagian pengantar, bagian inti dan penutup Film) dalam perspektif pemikiran filsafat Emanuel Levinas dan diakhiri dengan catatan serta tanggapan penutup.
Kata kunci: fenomenologi, Emanuel Levinas, wajah, film hotel Rwanda, relasi etis,
    II.            Analisis Film “Hotel Rwanda” Perspektif Levinas
1.      Hotel Rwanda
Film Hotel Rwanda merupakan kisah nyata yang terjadi di negara Republik Rwanda[2], dan dan diabadikan menjadi kisah dalam layar lebar. Film ini diproduksi tahun 2004 disutradarai oleh Terry George dan diproduseri oleh Terry George bersama A. Kitman Ho. Naskah film ini ditulis oleh Terry George dan Keir Pearson.
Secara garis besar film ini berisi kisah perseteruan suku Hutu dan Tutsi yang menyebabkan perang saudara terjadi di Rwanda sejak kemerdekaannya dari Belgia dan dibubarkanya pemerintahan monarki yang dipimpin raja dari Tutsi. Situasi politik makin memburuk pasca pembunuhan Presiden Rwanda Juvenal Habyarimana yang berasal dari etnis Hutu pada 7 April 1994, gejolak itu memuncak dalam genosida. Pasukan penjaga perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa gagal melakukan misi menjaga perdamaian sehingga korban tewas yang mayoritas berasal dari suku minoritas yaitu Tutsi dan Twa diperkirakan mencapai 800.000 sampai dengan satu juta orang. Film ini berakhir dengan dengan keselamatan tokoh pemeran utama, Paul Rusesabagina (diperankan oleh Don Cheadle) dan keluarga beserta 1.268 pengungsi Rwanda di Hotel des Mille Collines dan berhasil mengungsi ke tempat aman.
2.      Pandangan Umum Film Hotel Rwanda dalam Filsafat Emanuel Levinas
Dalam perspektif filsafat Levinas, kisah film ini memperlihatkan fenomena kekejaman manusia dan  tindakan genosida sebagai bencana kemanusiaan serta fenomena  destruktif yang menimpa manusia  dalam hal ini di Rwanda, sama seperti dua Perang Dunia, holocaust,  dan bom Hiroshima pada awal abad keduapuluh. Dalam kisah ini, hubungan antara manusia dengan manusia lain ditandai dengan sebuah relasi penundukan segala sesuatu yang bersifat lain (other) atau asing (foreign atau strange) demi kepentingan sekelompok manusia lain. Orang lain harus ditundukkan demi sebuah hasrat manusia untuk menguasai yang lain. Relasi yang etis yaitu relasi antar subyek dengan subyek, dilandasi sensibilitas  subyek  yang menerima subyek lain (the other) dengan segala keberlainannya dan kediriannya. Namun dalam perseteruan Hutu dan Tutsi, relasi yang etis antar manusia menjadi hilang, yang ada adalah pendominasian dan penginkorporasian Yang-Lain (the Other) ke dalam diri yang sama (the Same) demi kepentingan politik pelaku atau rasa kebencian semata.

3.      Analisis Film Hotel Rwanda dalam Perspektif Filsafat Levinas
A.     Pengantar Film
Pada cuplikan pengantar Film Rwanda (menit: 00:32), sejumlah pernyataan disiarkan melalui Radio Hutu (RTLM). Pernyataan tersebut menampilkan fenomena kesadaran manusia tentang adanya hubungan subyek-obyek, stigmatisasi/tematisasi buruk atas suku lain (sebutan kecoa), pengkotak-kotakan dan kebencian antar manusia berdasarkan etnis dan jumlah penduduk, sehingga muncul gagasan bahwa Suku Hutulah suku mayoritas dan pemilik pulau Rwanda, sementara suku lainnya, seperti Tutsi adalah kelompok lain, yang bersekutu dengan penjajah Belgia. Cuplikan tersebut adalah sebagai berikut:

Ketika orang bertanya kepadaku, pendengar baik, kenapa aku membenci semua Tutsi. Aku berkata: Baca Sejarah kami. Tutsi bekerja sama dengan kolonisasi Belgia. Mencuri pulau Hutu kami. Mereka mencuri pulu Hutu kami, sekarang mereka kembali, Pemberontak Tutsi ini. Mereka adalah kecoa. Mereka adalah pembunuh.Rwanda adalah pulau Hutu kami. Kami adalah mayoritas. Mereka adalah minoritas pemberontak dan penjajah. Kami akan menghentikannya dan kami akan menghancurkan pemberontak RPF. Ini adalah RTLM,  radio Power Hutu. Tetap berhati-hati. Awasi tetanggamu (adegan: 00:32),

Dalam konteks filsafat Levinas, pernyataan pangantar dalam radio tersebut merupakan sebuah fenomena kesadaran manusia yang dapat dianalisis melalui metode fenomenologi. Filsafat Levinas merupakan aliran filsafat dengan metode fenomenologi[3]. Metode fenomenologi merupakan sebuah cara baru dalam berfilsafat. Aliran filsafat ini berusaha mengangkat dan menyelidiki hakekat sedalam-dalamnya hakekat fenomena dalam arti luas, yakni semua hal yang menampakkan diri dalam kesadaran manusia yang mengalaminya. Yang menjadi obyek penyelidikan fenomenologi adalah kesadaran manusia (human consciousness) dengan semua obyek yang ada di dalamnya baik bersifat fisik (pohon, manusia, dan lain-lain), mental (seperti imaji mengenai orang, tempat) atau ingatan. Dalam menyelidiki fenomena tersebut, fenomenologi mencoba menghindari berbagai macam pengandaian dan prasangka yang sudah lama tertanam dalam tradisi budaya, agama, ilmu pengetahuan, dan juga dalam pandangan hidup sehari-hari yang berkaitan dengan fenomen tersebut, sehingga yang ada adalah fenomena menampilkan diri apa adanya.
Levinas dalam filsafatnya, banyak dipengaruhi oleh metode fenomenologi Edmund Husserl (1859-1938) dan Martin Heidegger (1889-1976). Pendekatan fenomenologi digunakan Levinas tidak hanya dalam menganalisis fenomena kecil seperti makan dan tidur, melainkan juga fenomena besar seperti kehidupan itu sendiri.
Soal menganalisis kehidupan itu sendiri sudah dimulai Husserl sendiri. Bedanya, dalam pandangan Levinas, kehidupan yang ditelaah gurunya, Husserl, bukanlah sesuatu yang hidup. “Bagi Husserl, intuisi filosofis merupakan refleksi atas kehidupan yang ditelaah dalam segala kepenuhan dan kekayaan konkretnya, sebuah kehidupan yang ditelaah namun tidak lagi dihidupi. Refleksi atas kehidupan dipisahkan dari kehidupan itu sendiri, ….[4]. Dalam pandangan Husserl, obyek-obyek kenikmatan, kehendak, dan sebagainya harus direpresentasikan atau dicerna dahulu oleh akal budi kita sebelum sungguh dapat dinikmati atau diinginkan[5]. Itu berarti, analisis Husserl masih terlalu intelektual dan tidak konkrit. Dalam hal ini, Levinas memuji Heidegger karena filsuf Jerman ini berhasil mengatasi “intelektualisme klasik” Husserl: memahami sebuah alat tidak lagi berarti sekedar memandangnya, melainkan mengetahui bagaimana menggunakannya[6].
Levinas juga melihat bahwa teori intensionalitas sebagaimana dipahami oleh Husserl hanyalah mengungkapkan sebagian realitas kehidupan. Perhatian Husserl adalah segala sesuatu yang menampakkan diri pada kesadaran kita dan menjadi perhatian kesadaran kita. Intensionalitas berarti kesadaran manusia selalu mengarah pada obyek tertentu, keterarahan kesadaran pada obyek yang ingin diketahui sekaligus kesadaran kitalah yang memberikan makna kepada obyek yang kita lihat dan analisis. Ada semacam keselarasan yang sudah terbangun sebelumnya antara pemikiran (thought) dan Ada (Being), mengingat semua hal yang ada, termasuk bumi, tubuh kita, dan benda-benda di sekitar kita, memberikan diri mereka kepada pemikiran untuk dipahami[7]
Asumsi keselarasan antara pemikiran dan Ada itulah yang mendasari definisi klasik kebenaran (truth) sebagai penyamaan atau korespondensi antara hal yang ada dan hal yang dipikirkan (adaequatio rei et intellectus). Dalam idealisme transendensi Husserl, kesadaran manusialah yang menjadi tolok ukur segalanya. “Penampakan sebuah obyek, representasi, selalu selaras dengan kesadaran. Yang terjadi adalah penyamaan antara ego dengan non-ego, Yang-Sama (the Same) dan Yang-Lain (the Other). Begitu direpresentasikan, Yang-Lain pun menjadi setara dengan Yang-Sama…Kesadaran akan selalu menjadi sumber makna, …. Apa yang melampaui batas-batas kesadaran sama sekali tidak berarti apa-apa  bagi kesadaran tersebut”[8]
Pandangan idealisme transendental Hussel ini membawa Levinas pada kesimpulan  bahwa dalam filsafat semacam itu, kesadaran manusia pada akhirnya akan menundukkan segala sesuatu yang bersifat lain (other) atau asing (foreign atau strange). Menurut Levinas, klaim Husserl mengenai kemutlakan kesadaran manusia merupakan puncak dari kecenderungan utama tradisi filsafat Barat sejak Plato, untuk menguasai segala sesuatu dalam pemikiran.
Filsafat Barat pada dasarnya merupakan sebuah ontologi, yakni usaha untuk memahami Ada (the Being) apa yang ada atau pengada-pengada. Hal itu dilakukan melalui proyek untuk memiliki obyek dalam aktivitas kerja, seperti gerakan tangan yang mencengkeram (prend) dan memahami (comprend) pengada-pengada agar dapat menguasainya. Dengan demikian, filsafat Barat telah mereduksi alteritas atau keberlainan pengada-pengada kepada pemahaman atas Ada (Being). Ontologi seperti ini pada hakekatanya merupakan gerakan menuju diri sendiri, dan ini bukanlah transendensi[9].
Terkait makna Ada, menurut Levinas, sebagaimana ditelaah oleh Heidegger dalam bukunya Being and Time sudah mengandaikan pemahaman atas Ada yang tidak mengakui alteritas Yang-Lain[10]. Klaim keselarasan antara kesadaran terhadap diri dan kesadaran terhadap keseluruhan, atau pemahaman atas Ada melalui pengada-pengada inilah yang dipertanyakan oleh Levinas dalam apa yang disebutnya ‘etika’, yakni dalam pertemuan konkrit dengan orang lain. Dalam pertemuan dengan orang lain, ada keterbatasan akal budi manusia dalam memahami realitas orang lain yang dihadapi. Dalam konteks ini, Levinas mengajukan pertanyaan: “Apakah pemikiran mendapatkan maknanya hanya lewat  kesadaran terhadap dunia? Bukankah surplus potensial dari dunia sendiri, lebih dan melampaui segala bentuk kehadiran, mestinya dicari dalam masa lalu yang tidak dapat diingat lagi (immemorial past)?[11] Pertanyaan atas realitas ini menjadi salah satu pemikiran filsafatnya yang penting, yaitu soal relasi yang etis.
Dalam pemikiran Levinas, relasi yang etis adalah pertemuan konkrit antara sebuah subyek dan Yang-Lain yang ada di luar dirinya, termasuk orang lain. Dalam pertemuan sederhana seperti ini sudah terdapat ruang etis dimana sang subyek dituntut memberikan tanggapan terhadap kehadiran Yang-Lain, seberapa jauh subyek menghargai keunikan dan keberlainan Yang Lain serta bersedia dipertanyakan olehnya akan menentukan seberapa etis relasi yang terbentuk. Relasi menjadi tidak etis, ketika ada kecenderungan manusia untuk mendominasi dan menginkorporasikan segala sesuatu ke dalam pemikirannya sendiri.
 Kembali ke pengantar film Hotel Rwanda, fenomena perseteruan suku Hutu dan Tutsi merupakan ketiadaan relasi yang etis, dimana antara Suku Hutu dan Tutsi memiliki kecenderungan  untuk mendominasi dan saling menginkorporasikan. Kedua suku, baik Hutu dan Tutsi cenderung mau menguasai yang lain demi sebuah kepentingan diri sendiri atau kelompok, bukan demi relasi yang saling menerima keberlainan dan kedirian orang lain yang unik. 

B.     Bagian Inti Film: Kisah Genosida di Rwanda
Dalam pandangan Levinas, manusia atau the I adalah subyektivitas yang memiliki sensibilitas  dan tanggung jawab terhadap manusia yang lain (the other). Dalam film ini, subyektivitas  yang mewakili pandangan Levinas adalah Paul Rusesabagina, tokoh utama dalam film, yang berasal dari etnis Hutu. Paul menikah dengan dengan perempuan yang berasal dati suku Tutsi. Di tengah perseteruan suku Hutu dan Tutsi bergejolak, tapi Paul yang beretnis Hutu, terusik dan terpanggil untuk bertanggung jawab atas istrinya, Tatiana beretnis Tutsi, yang berbeda suku dengan dirinya, dan pengungsi yang datang ke hotelnya. Paul melihat dan menerima keberadaan istrinya dan semua pengungsi yang datang ke hotelnya sebagai manusia (the other)  dengan segala keberlainan dan kediriannya.
Perseteruan Suku Hutu dan Tutsi menyebabkan kebencian dan perang di antara warga Rwanda. Budaya korupsi dan suap menyuap di kalangan pejabat merupakan hal lumrah, termasuk apa yang dilakukan Paul demi menyelematkan keluarganya dan orang lain. Paul Rusesabagina, manajer Sabena dan pemilik Hotel des Mille dan Collines adalah seorang Hutu, dan istrinya, Tatiana (diperankan Sophie Okonedo) adalah seorang Tutsi. Pernikahan berbeda suku tersebut merupakan salah satu sumber perselisihannya dengan ektrimis Hutu, terutama Geroges Rutaganda (diperankan Hakeem Kar-Kazim). Georges Rutaganda merupakan pemasok barang langganan ke hotel tempat Paul bekerja, dan juga seorang pemimpin lokal Interhamwe, sebuah milisi anti-Tutsi yang brutal.
      Saat situasi politik kian memburuk yang diikuti pembunuhan Presiden Rwanda Juvenal Habyarimana dan Presiden Burundi Cyprien Ntaryamira (adegan: 19:17). Paul dan keluarganya melihat tetangganya satu per satu dibunuh dengan keji sebagai tahap awal genosida. Paul kemudian membujuk pihak-pihak yang berpengaruh, menyuap mereka dengan uang dan minuman alkohol dan berusaha membuat keluarganya tetap aman. Ketika perang saudara terjadi dan seorang tentara Angkatan Darat Rwanda datang mengancam Paul dan tetangganya, Paul langsung bernegosiasi hingga bisa mengungsikan semua orang yang bersamanya ke hotel tempat ia bekerja (adegan: 23: 39 s.d. 30:15). Banyak pengungsi yang datang ke hotel dari Kamp PBB, pengungsi kiriman palang merah dan anak-anak yatim piatu. Ketika situasinya makin ganas, Paul harus mengalihkan tentara Hutu, merawat para pengungsi, menjadi sumber kekuatan bagi keluarganya dan menjaga penampilan hotel agar tetap berfungsi.
Suatu kali peristiwa, Paul dengan sopirnya pergi  bertemu dengan Georges Rutaganda untuk mengumpulkan persediaannya  ke hotel. Dalam perjalanan, ia menyaksikan para sandera Tutsi diperlakukan dengan kejam oleh milisi Hutu. Georges menjelaskan kepada Paul bahwa uang “kecoa yang kaya” akan menjadi tidak berharga karena semua Tutsi akan mati. Paul tidak percaya bahwa ekstrimis Hutu akan menghapus semua Tutsi dan George malah menjawab, “Kenapa tidak? Kita sudah setengah jalan di sana”. Dengan seorang sopir, pegawainya yang lain, Gregoire, Paul kembali ke hotel melalui kabut tebal dalam gelap di jalan yang direkomendasikan oleh Georges. Pada satu titik, Paul yakin mereka telah mengambil jalan salah dan memberitahu pengemudi untuk berhenti. Ketika Paul keluar, ia melihat jalan tepi sungai penuh bergelimpangan mayat. Ia menyaksikan kengerian kemanusiaan yang terjadi, akibat ulah ekstrimis Hutu. Ia sadar bahwa Georges benar dalam memperkirakan bahwa setengah Tutsi telah mati. (adegan: 01:10:53 s.d. 01:16:29).
Pembantaian manusia oleh manusia lain secara terencana dan sistematis merupakan sesuatu yang sulit diterima. Dalam konteks pemikiran Levinas, pembantaian yang terjadi di Rwanda merupakan upaya saling menguasai antara manusia yang satu dengan manusia lain, sebagai produk pemikiran Barat yaitu yang sangat mempercayai akal budi dan kesadaran yang mendominasi Barat dan mengabaikan sensibilitas yang sesungguhnya juga menjadi ciri otentik seorang manusia[12].  
Penjaga perdamaian yang dipimpin oleh Kolonel Oliver (diperankan Nick Nolte) tidak dapat mengambil tindakan tegas terhadap Interhamwe karena mereka dilarang untuk campur tangan dalam hal tersebut dan yang bisa dilakukan mereka hanyalah evakuasi. Evakuasi pun didahulukan terhadap para warga negara asing, sementara para penduduk asli Rwanda ditinggalkan dulu. Ketika Pasukan PBB akhirnya berupaya mengevakuasi sekelompok dari penduduk asli, termasuk keluarga Paul, mereka diserang oleh Interahamwe di tengah jalan dan harus kembali ke pengungsian. Dalam upaya terakhir untuk menyelamatkan para pengungsi, Paul meminta bantuan dari Jenderal angkatan Darat Rwanda, Augustin Bizimungu. Namun, ketika Paul sudah tidak sanggup lagi menyuap sang Jenderal, Paul memerasnya dengan ancaman bahwa ia akan diadili sebagai penjahat perang. Segera setelah itu, keluarganya dan para pengungsi hotel akhirnya mampu meninggalkan hotel yang telah terkepung dalam sebuah konvoi PBB. Dalam perjalanan, mereka melewati para pengungsi dan milisi yang mundur dari perang.
Suatu kali peristiwa dalam sebuah percakapan antara Paul, tokoh utama dengan Kolonel Oliver (adegan menit: 49:39 s.d. 50:49), sebagai berikut:

Paul             : Selamat Kolonel! Kau telah menunjukkan keajaiban (sambil menuangkan segelas minuman Scotch kepada Kolonel)
Kol. Olivier : (dengan wajah sedih) Kau meludahi mukaku.
Paul             : (dengan rasa kaget), permisi Kolonel!
Kol. Olivier : Kau kotoran. Kita pikir kau kotoral Paul.
Paul             : Siapa itu “kita”?
Kol. Olivier : Barat. Seluruh kekuatan hebat, segala yang kau percaya, Paul. Mereka pikir kau kotoran, mereka pikir kau tak berharga.
Paul             : Aku takut aku tak mengerti apa yang kau bilang pak.
Kol. Olivier : Ayo, jangan kau bohongi aku, Paul. Kau pria terpintar di sini. Kau buat mereka semua makan dari tanganmu. Kau bisa memiliki hotel ini, kecuali satu hal. Kau hitam! Kau bahkan bukan negro. Kau orang Afrika. Mereka (Barat, pasukan PBB) tidak akan tinggal. Mereka tidak akan menghentikan pembantaian ini.

Dalam dialog tersebut dapat direfleksikan menurut pemikiran filsafat Levinas bahwa manusia kerapkali dilihat berdasarkan gagasan atau abstraksi yang kita miliki atas orang lain tersebut. Barat, yang terwakili lewat Kolonel Oliver memandang Paul sebagai orang Afrika, hitam, tak berharga dan kotoran. Gagasan ini mengakibatkan Barat, termasuk Amerika Serikat tidak melakukan tindakan untuk menyelamatkan manusia dari pembantaian keji di Rwanda, karena melihat tidak ada kepentingan menguntungkan untuk dilindungi. Akibatnya genosida terjadi.
Menurut Levinas, pengada di luar diri (eksterior) harus dilihat sebagi ‘wajah’, yakni keseluruhan “cara Yang-Lain memperlihatkan dirinya, melampaui gagasan mengenai Yang-Lain dalam diriku”[13]. Makna ‘wajah’ di sini tidak hanya mengacu fisik tubuh manusia, tapi juga sebagai rujukan atas identitas orang. Yang dimaksud Levinas dengan wajah, jauh melebihi bagian fisik manusia. Wajah bukanlah seperti obyek biasa dan memperlakukannya seperti obyek lain, misalnya meja atau pohon.  Wajah bagi Levinas secara persis mengungkapkan keberlainan Yang-Lain yang tidak dapat direduksikan baik pada apa yang kelihatan maupun tidak kelihatan di baliknya[14]. Manusia tidak dilihat dari warna kulit, suku atau unsur fisik lainnya yang kelihatan semata.
Dalam adegan lain, Paul masih terbayang dengan mayat-mayat terpapar akibat kekejaman pembantaian ekstrimis Hutu. Wajah-wajah manusia yang telah meninggal datang ke dalam pikiran Paul, sehingga ia sedih dan menangis tak terkendali di ruang kerjanya. Sopirnya, Dube, melihat hal itu dan bertanya apa yang terjadi. Paul berusaha menyembunyikan pengalaman kengerian yang membayangi kesadarannya. Akhirnya, suatu hari, sambil menonton anak-anak pengungsi dan yatim piatu yang sedang latihan menyanyi dan menari penuh senyum, ia menceritakan tragedi kemanusiaan yang dilihatnya di pinggir sungai. Dube, sopirnya bertanya: Mengapa orang sangat kejam? (adegan: 01:17:24 s.d. 01:19:13).
Dalam refleksi Levinas, pembunuhan entah terhadap satu individu maupun sekelompok orang tertentu seperti genosida, biasanya terjadi karena kita melihat orang lain hanya sekedar gagasan: bahwa orang atau kelompok orang ini memiliki sifat atau karakter tertentu yang merugikan saya atau kelompok tersebut, atau dalam konteks Film Rwanda, bahwa suku Hutu memandang suku Tutsi sebagai kelompok penjajah Hutu, yang dipandang lebih elegan dan dipekerjakan oleh Belgia dalam pemerintahan, selama menjajah Rwanda. Dalam konteks ini, kita sama sekali belum bertemu dengan orang-orang konkrit, yang kita hadapi hanyalah gagasan belaka mengenai mereka. Relasi sejati, menurut Levinas, baru berlangsung melalui pertemuan konkrit dengan wajah orang lain karena wajah merupakan “pemaknaan tanpa konteks, yang bermakna pada dirinya sendiri. Artinya makna keberadaan manusia tidaklah ditentukan oleh konteks apapun dimana ia ditemukan: miskin, kaya, mayoritas, minoritas, liberal atau konservatif, manusia tetaplah bermakna dalam dan pada dirinya sendiri[15].
Wajah dari Yang-Lain (the face ot the Other), bagi Levinas, menghancurkan dan melampaui gambaran plastik orang terhadapnya; wajah manusia mengekspresikan dirinya sendiri[16]. Wajah ini bukanlah sesuatu yang dapat dilihat, tetapi dapat menunjukkan keberadaannya kepada sensibilitas kita.  Wajah Yang-Lain menyingkapkan diri apa adanya atau telanjang serta tanpa mediasi apapun untuk diproses oleh kesadaran kita. Mengingat wajah adalah “identitas persis seorang pengada”, ia tidak dapat ditangkap begitu saja oleh gambaran fenomenologi[17].
Dalam konteks film Hotel Rwanda, wajah Yang-Lain baik yang sudah menjadi korban pembantaian maupun yang masih hidup, mengusik subyektivitas Paul. Paul tidak dapat melarikan diri dari tanggung jawab pada Yang-Lain. Ia melakukan respons dengan menolong mereka yang masih hidup. Ia berupaya melakukan apa saja yang bisa dia lakukan demi menyelamatkan orang lain, dalam hal ini pengungsi, baik Hutu maupun Tutsi. Paul tertawan dan terpanggil untuk bertanggung jawab atas keselamatan yang lain.
     
C.     Bagian Akhir Film
Film ini berakhir (adegan: 01:46:45 s.d. 01:55:07) dengan serangkaian gambar yang menunjukkan bahwa Paul Rusesabagina dibantu Pasukan Penjaga PBB dan Pasukan Pemberontak Tutsi telah menyelamatkan 1.268 pengungsi Rwanda di Hotel des Mille Collines ke tempat aman, dan kini Paul tinggal di Belgia bersama keluarganya. Sementara Georges Rutaganda dan Jenderal Augustin Bizimungu telah diadili dan dihukum oleh PBB sebagai penjahat perang. Diperkirakan 800.000 hingga satu juta manusia tewas dalam genosida, yang berakhir pada bulan Juli 1994.
Dalam konteks pemikiran Levinas, subyektivitas manusia sebagai yang memiliki struktur “Yang-Lain-dalam-Yang-Sama” (the Other in the Same)[18] merupakan subyek yang bertanggung jawab dan diri sebagai tawanan orang lain. Dalam diri tokoh utama film ini, kita melihat subyek yang membuka dirinya bagi Yang-Lain, ia memberikan dirinya bagi lain.  Ia berusaha menyelamatkan wajah-wajah orang lain, yaitu para pengungsi baik Tutsi maupun Hutu yang moderat di dalam hotel. Tokoh utama dalam film ini tidak bisa menghindar atas tanggung jawabnya terhadap Yang-Lain. Dalam konteks pandangan Levinas, tokoh utama, Paul Rusesabagina merupakan subyek, yang tertawan oleh orang lain (hostage of the Other). Ia bukan lagi sebuah subyek yang dapat menentukan dirinya sendiri dan melakukan apa yang ingin ia lakukan dengan bebas, melainkan telah menjadi tawanan orang lain dan harus mewujudkan tanggung jawabnya pada orang lain[19] dalam hal ini atas keluarga dan pengungsi Rwanda, baik Hutu yang moderat maupun Tutsi.

 III.            Catatan dan Tanggapan Penutup
Kisah Film Hotel Rwanda (2004) merupakan narasi pembersihan etnis manusia secara terencana matang, sistematis dan masif. Dalam perpektif filsafat Emanuel Levinas, kisah tragedi kemanusiaan tersebut merupakan produk dari gagasan pemikiran filsafat Barat (modern) yang terlalu mempercayai akal budi (rasio manusia) sebagai sarana menuju pencerahan dan emasipasi manusia. Kenyataannya, rasionalitas manusia kerapkali hanya berkutat di tingkat gagasan, ideologi, atau ajaran, tapi tidak sampai kepada realitas otentik manusia. Untuk itu, menurut Levinas, perlu beralih dari pengagungan rasionalitas dan kesadaran yang mendominasi filsafat Barat menuju sensibilitas yang sesungguhnya yang menjadi ciri otentik manusia[20]. Sensibilitas yang merupakan bagian hakiki subyektivitas manusia memberi akses terhadap kemanusiaan yang dimiliki orang lain, betapapun jauhnya perbedaan sosial yang ada antara Hutu dan Tutsi. Sensibilitas tidak boleh ditekan atau dikuasai oleh usaha rasionalisasi dalam bentuk apapun.
Pembantaian ekstrimis Hutu terhadap Tutsi tidak bisa diterima karena menginjak-injak rasa kemanusiaan kita. Harga dan nilai nyawa seorang manusia seringkali dianggap tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kelanggengan kepentingan politik pelaku. Penghancuran dan pembunuhan massal yang membabi buta dan tak mengenal rasa kemanusiaan terjadi dengan mudah demi kepentingan kelompok manusia pelaku. Manusia telah kehilangan wajahnya, dimana ada jejak dari Yang-Tak-Terbatas. Inilah humanisme Levinas: manusia lain adalah jejak Yang-Tak-Terbatas; tanggung jawab kita terhadap orang lain adalah ‘perintah’ yang tak dapat diingat lagi (immemorial past) dari Yang-Tak-Terbatas. Tanggung jawab tersebut bukan hanya sebagai pelaksanaan kewajiban belaka, apalagi sekedar reaksi simpatik dalam menghadapi sebuah tragedi, melainkan hakekat sejati subyektivitas manusia.
Namun, ada pertanyaan reflektif pantas diajukan dalam konteks filsafat Levinas, dalam kehidupan konkrit dan dunia politik, apakah relasi yang etis bisa diajarkan kepada anak-anak atau masyarakat pada umumnya, sehingga masa depan manusia lebih baik? Apakah relasi yang etis bisa dibakukan menjadi suatu ‘peraturan atau hukum positif’ sehingga bisa disosialisasikan? Ataukah humanisme Levinas hanya bisa berlaku bagi para pemikir, mahasiswa, dan dosen ilmu filsafat? Apakah filsafat Levinas perlu diajarkan kepada para pemimpin negara atau masyarakat? Pertanyaan ini tidak mudah dijawab, tetapi humanisme Levinas memberikan cahaya harapan bagi upaya membangun rasa persaudaraan antar manusia dan dapat mengurangi aksi kekejaman kemanusiaan.
***

Sumber Pustaka

Levinas, Emanuel, Totality and Infinity, An Essay on Exteriority, Terj. Alphonso Lingis, The Haque/Boston/London: Martinus Nijhoff Publisher and Duquesne University Press, 1979
-----------------------,  Otherwise than Being or Beyond Essence, Terj. Alphonso Lingis. Springer Science+Business Media Dordrecht, 1991
-----------------------,  The I and Totality”, Entre Nous: Thinking-of-the-Other, Terj. Michael B. Smith and Barbara Harshaw. New York: Columbia University Press, 1998
------------------------, The Theory of Intuition in Husserl’s Phenomenology,  terjemahan oleh Andre Orianne, second edition. Evanston,IL: Northwestern University Press, 1995
Tjaya, Thomas Hidya, Emanuel Levinas, Enigma Wajah Orang Lain, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2018,


[1] Mata Kuliah Filsaft
[2] Negara Republik Rwanda terletak beberapa derajat  di bawah garis katulistiwa dan berbatasan dengan  negara Republik Demoratik Kongo, Uganda, Tanzania, dan Burundi.
[3] Tjaya, Emanuel Levinas, Enigma Wajah Orang Lain, Hal. 23-24
[4] For Husserl, philosophical intuition is a reflection on life considered in all its concrete fullness and wealth, a life which is considered but no longer lived. The reflection upon life is divorced from life itself, …. dalam  Levinas, The Theory of Intuition in Husserl’s Phenomenology, hal. 142
[5] Ibid., 57
[6] Tjaya, Emanuel Levinas, Enigma Wajah Orang Lain Hal. 37
[7] Ibid.,, Hal. 37
[8] Ibid., Hal. 38-39
[9] Ibid., hal. 40-41
[10] Levinas, Emanuel, Totality and Infinity, An Essay on Exteriority, Terj. Alphonso Lingis, The Haque/Boston/London: Martinus Nijhoff Publisher and Duquesne University Press, 1979, Hal. 45
[11] Tjaya, Emanuel Levinas, Enigma Wajah Orang Lain, Hal. 43
[12] Ibid., Hal. 160
[13] “The way in which the other presents himself, exceeding the idea of the other in me, we here name face,  Levinas, Totality and Infinity, Hal. 50
[14] Tjaya, Emanuel Levinas, Enigma Wajah Orang Lain, Hal. 78-79
[15] Ibid., Hal. 81
[16] Levinas, Totality and Infinity, Hal. 51
[17] “The face is the very identity of a being; it manifests itself in it in terms of itself, without a concept., dalam  Levinas, The I and Totality”, Entre Nous, Hal. 33
[18] Subjectivity is the other in the same, dalam Levinas, Otherwise than Being, Hal. 25
[19] Tjaya, Emanuel Levinas, Enigma Wajah Orang Lain, Hal. 118
[20] Tjaya, Emanuel Levinas, Enigma Wajah Orang Lain, Hal. 161
Powered By Blogger