Trima kasih mengunjungi blog kami!

Para pengunjung yth. semua isi blog ini ditulis atau disusun atas kemauan pribadi. Itu berarti blog ini berisi aneka pendapat, pemahaman, persepsi pribadi, dan pemikiran pribadi atas lingkungan kerja dan hidup sekitarnya. Harapan kami isi blog ini bermanfaat bagi pengunjung yang memerlukannya. Salam, GBU.

Senin, Mei 22, 2017

Bimas Katolik Tanda Kehadiran Negara

Keberadaan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik merupakan pengakuan negara atas keberadaan umat Katolik Indonesia. Agama Katolik merupakan agama yang resmi diakui. Demikian salah satu benang merah sambutan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik melalui sambutan yang disampaikan oleh Direktur Urusan Agama Katolik, Sihar Petrus Simbolon, ketika membuka acara Pembinaan Pembina Keluarga Bahagia Provinsi Sumatera Utara dan Aceh di Medan (Selasa, 16/5/2017). 

"Ditjen Bimas Katolik dibentuk dan ditugaskan untuk melayani dan memfasilitasi umat Katolik agar menjadi pemeluk agam terbaik. Kita ini bukan umat Katolik yang dianggap liar. Kita memiliki hak dan kewajiban yang sama, sama seperti pemeluk agama lain yang di Indonesia" kata Sihar Petrus Imbolon.

Lebih lanjut ia mengatakan kepada 60 orang Pembina keluarga Katolik dari berbagai Kabupaten dan Kota di Provinsi Sumatera Utara dan Aceh, "Para Pembina Keluarga Katolik  merupakan utusan Tuhan yang bertugas membina keluarga Katolik di Paroki atau stasi masing-masing. Keluarga merupakan inti pembangunan bangsa dan Gereja. Jika keluarga hancur maka bangsa atau negara bisa hancur".

Ketua Panitia, Basuki Sigit Taruno, dalam laporannya mengatakan bahwa  pembinaan tenaga Pembina keluarga Katolik yang berlangsung dari Selasa (16/5) dan berakhir pada Jumat (19/5) merupakan program Kementerian Agama guna membangun keluarga agar memiliki daya tahan terhadap tantangan dan terbantu mengatasi permasalahan aktual dewasa ini seperti maraknya berita hoaks, intoleransi, radikalisme, masalah narkoba. 

Para tenaga Pembina keluarga Katolik dibekali oleh para narasumber dari otoritas Keuskupan, pakar kesehatan, akademisi/praktisi pembinaan keluarga dengan materi pembinaan di bidang ajaran iman dan hukum Katolik terkait perkawinan dan keluarga, edukasi kesehatan bagi keluarga, pengembangan ekonomi keluarga, pendekatan konseling pastoral dalam membantu umat menyelesaikan persoalan keluarga,  dan hakekat pembinaan iman anak di era digital dan informasi dan teknologi. 
Selain masukan dari para narasumber, para peserta diajak berdiskusi dalam kelompok terkait pelaksanaan pembinaan keluarga, menginventarisasi masalah dan mencari solusi serta saran-saran untuk tindak lanjut perbaikan pembinaan keluarga ke depan.
Pada hari terakhir, salah seorang peserta, Erlin Tandi dari Paroki Aek Kanopan mengatakan, "Pembinaan ini sangat baik. Semoga kami dapat membagikan pengetahuan dan informasi berharga ini, memperdalam dan menerapkannya di paroki atau stasi kami masing-masing. Kami berharap juga agar Bimas Katolik tetap mengadakan pembinaan Pembina keluarga setiap tahun".

Kegiatan pembinaan tenaga pembina keluarga Katolik merupakan program prioritas Ditjen Bimas Katolik Kementerian Agama guna mewujudkan masyarakat Katolik yang memiliki daya tahan menghadapi tantangan jaman dan seutuhnya Katolik yang meng-Indonesia. 

Acara pembinaan Pembina keluarga Katolik dihadiri Kepala Bagian Tata Usaha, Bapak Muhammad David Saragih mewakili kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sumatera Utara, dan Pembimas Katolik Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sumatera Utara, Yulia Sinurat (Pormadi) ‎

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Lindungi Anak dari Bibit Intoleransi

Oleh Pormadi Simbolon

Anak-anak paling rentan diracuni sikap intoleran dan radikalisme. Banyak peristiwa di lingkungan hidup anak tidak kondusif bagi pertumbuhan diri secara utuh. Dalam beberapa bulan terakhir, semakin sering demonstrasi dan tidak sedikit melibatkan anak. Lebih lagi, demonstran mengkhotbahkan doktrin radikalisme. Gema bibit radikalisme merupakan faktor perusak diri anak dalam masyarakat majemuk seperti Jakarta.

Banyak program televisi juga kurang mendidik. Ada sinetron dan reality show tertentu yang mempertontonkan adegan kurang sopan dan tidak toleran terhadap etnis dan agama yang berbeda. Yang lebih parah, ada lingkungan pendidikan sudah dirasuki bibit intoleransi dan radikalisme. Ada guru TK mengajarkan radikalisme sejak usia dini yang disebut “tepuk anak sholeh”. Anak-anak diajarkan saling menepuk tangannya dengan slogan-slogan yang diucapkan bersama-sama “Muslim yes, kafir no.” Ini sangat merusak kebersamaan dalam masyarakat majemuk.

Menurut Depkes, 0–5 tahun disebut usia dini dan usia anak-anak, 5–11 tahun. Usia tersebut merupakan masa emas pertumbuhan diri yang berawal dari dalam keluarga sebagai unit terkecil masyarakat. Keluarga menjadi tempat anak menerima dan menginternalisasi nilai-nilai iman (jangan membunuh, jangan berzina, jangan mencuri, jangan berbohong, dan sebagainya) dan kebaikan. Keluarga tempat terbaik penanaman nilai-nilai sejak dini. Rumah menjadi sekolah iman dan cinta.

Maka, ayah-ibu memiliki kewajiban menciptakan lingkup keluarga penuh semangat bakti kepada Allah dan kasih sayang terhadap sesama sebagai penunjang keutuhan pendidikan pribadi dan sosial anak-anak. Maka, keluarga adalah lingkungan pendidikan pertama akan keutamaan-keutamaan.

Pembangunan masyarakat harus berbasis keluarga.

Sebagai penerus bangsa, anak-anak di keluarga, sekolah, dan masyarakat perlu dilindungi dari racun intolerasi dan radikalisme. Bocah-bocah sejak dini harus dididik akan nilai-nilai cinta kasih kepada Tuhan dan sesama manusia sebagaimana telah dikristalkan dalam Pancasila.

Semua negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, termasuk Indonesia, melalui Konvensi Hak-hak Anak menyetujui pendidikan dan pembinaan anak-anak diarahkan, antara lain pada pengembangan menghormati hak-hak asasi manusia dan kebebasan hakiki. Kemudian, arah pengembangan menghormati orang tua, kebudayaan, bahasa, dan nilai-nilainya.

Lalu, arah persiapan anak untuk kehidupan yang bertanggung jawab dalam suatu masyarakat bebas. Ini dalam semangat pengertian, perdamaian, tenggang rasa, persamaan jenis kelamin, dan persaudaraan dengan semua orang (Pasal 29 Konvensi Hak Anak-anak PBB tanggal 20 November 1989)

Nilai-nilai

Lingkungan yang penuh kepalsuan, kemunafikan, kebohongan, mengembangkan kebencian terkait SARA, ajaran intoleransi dan radikalisme menjadi bibit kerusakan jiwa anak-anak. Bocah yang seharusnya bertumbuh kembang sesuai dengan nilai-nilai universal hak asasi manusia, bisa menjadi radikal, intoleran, pembohong, dan munafik.

Pertumbuhan anak-anak berawal dari keluarga, berlanjut di sekolah dan masyarakat. Pemerintah dapat memprogramkan pembangunan masyarakat berbasis keluarga. Negara harus hadir dalam pembangunan keluarga. Pembinaan keluarga melalui tahap pra dan pascanikah.

Sebelum pernikahan, calon suami-istri dibekali berbagai pengetahuan dan informasi, seperti ajaran nilai perkawinan, ekonomi keluarga, pemeliharaan keluarga yang sehat, dan penyiapan pendidikan anak-anak. Sesudah menikah, suami-istri perlu dibekali cara mendidik anak, di antaranya cara menanamkan nilai-nilai universal, seperti, jujur, kerja keras, tanggung jawab, tolong-menolong, kerja sama, dan rendah hati.

Nilai-nilai tersebut harus ditanamkan agar menjadi karakter anak-anak. Ayah-ibu juga perlu mendapat bantuan, seperti konselor keluarga dalam menyelesaikan masalah-masalah yang disediakan pemerintah. Di sekolah, pemerintah perlu mengawasi tenaga pendidik yang mengajarkan intoleransi dan radikalisme. Guru-guru demikian perlu dipertimbangkan untuk diberhentikan.

Siswa akan terlindungi bila tenaga pendidik sadar akan tugasnya untuk menumbuhkembangkan anak. Di sekolah, murid-murid mendapat pendidikan, pembelajaran yang menyenangkan serta keteladanan dari tenaga pendidik. Guru bersikap sopan, bersahabat, dan mendengarkan pandangan anak. Dia mengembangkan kreativitas, tidak memarahi peserta didik di depan siswa lain.

Masyarakat berperan melindungi anak-anak dari dampak negatif lingkungan yang intoleran dan radikal. Tokoh atau anggota masyarakat perlu mengawasi lingkungan sekitar yang terindikasi ada benih-benih sikap intoleran dan radikal. Tokoh-tokoh masyarakat dipanggil untuk ikut berperan dalam menumbuhkembangkan bocah dengan memberi teladan.

Program siaran televisi yang menampilkan kekerasan, bibit intoleransi, dan radikalisme selayaknya dihentikan. Program televisi harus berkualitas dan membangun kebersamaan dalam kehidupan yang majemuk. Pertumbuhan dan masa depan anak sangat ditentukan kehidupan dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat. Jika anak-anak mengalami keteladanan yang baik, akan menjadi generasi masa depan bangsa.

Penulis ASN Kemenag



Sumber: http://www.koran-jakarta.com/lindungi-anak-dari-bibit-intoleransi/

Senin, Mei 08, 2017

Berharap pada Pemerintahan Anies-Sandi

Oleh Pormadi Simbolon

Pasangan Cagub dan Cawagub DKI Jakarta, Anis-Sandi sudah terpilih menjadi Gubernur dan wakil gubernur periode 2017-2022. Suasana panas sebelum Pilkada sedikit mereda, kini suasana lebih sejuk, terlebih setelah pasangan yang kalah,  Ahok-Djarot bisa menerima hasil Pilkada Versi Quick Count. Ahok-Djarrot sudah menyampaikan ucapan selamat

Sebelum pencoblosan pilkada DKI Jakarta putaran 2, pada 19 April lalu, kesan nuansa SARA selama kampanye sangat terasa. Sampai ada elit politik menyuarakan bahwa kita ini sedang mencari pemimpin pemerintahan, bukan mencari pemimpin agama dengan harapan  tidak  mempergunakan isu SARA dalam pemilihan kepala daerah putaran kedua di Provinsi DKI Jakarta. 

Sejatinya kemenangan pasangan Anis-Sandi adalah kemenangan rakyat yang beraneka ragam suku, agama, ras dan antar golongan, yang menghendaki pemimpin pemerintahan bukan pemimpin agama. Hal ini sangat relevan dalam konteks Negara Indonesia yang memiliki Lambang Negara yaitu Garuda Pancasila dan semboyannya adalah Bhinneka Tunggal Ika (Pasal 36A UUD 1945). Itulah sebabnya, pasca Pilkada, baik pendukung Anis-Sandi maupun pendukung Ahok-Djarot  seyogiyanya kembali menjadi satu, melakukan rekonsiliasi mendukung pemimpin pemerintahan terpilih secara demokratis.

Pemimpin pemerintahan pada hakekatnya melaksanakan tugasnya sesuai dengan Konstitusi yang disepakati para pendahulu atau pendiri bangsa, berdasarkan fakta kemajemukan dan nilai-nilai kearifan lokal warga bangsa Indonesia. Nilai-nilai kearifan lokal (termasuk nilai-nilai agama) sudah dipadatkan dalam nilai-nilai yang terdapat dalam lima sila Pancasila. 

Hal senada disampaikan Marshal, pakar politik bahwa Pemimpin pemerintahan dalam negara demokrasi dipilih oleh warga negara yang beranekaragam suku, agama, ras dan golongan. Sebagai warga negara yang memiliki hak yang sama maka pemimpin pemerintahan sejatinya melayani semua warga negara tanpa memandang ras dan agama (Marshall, 1950). 

Gambaran seorang pemimpin pemerintahan "tidak mengenal" agama mirip dengan gambaran pemimpin yang digambarkan oleh Sokrates. Dalam dialog antara Socrates dengan Thrasymacus dalam buku Republic dilustrasikan bahwa pemimpin yang baik sebagai berikut: "Orang-orang baik tidak akan mau memerintah demi uang atau kehormatan. Karena mereka tidak ingin secara terbuka menentukan upah untuk memerintah demi uang atau kehormatan. Karena mereka tidak ingin secara terbuka menentukan upah untuk memerintah dan disebut bekerja demi uang, juga tidak ingin secara rahasia memetik manfaat saat memerintah dan disebut sebagai para pencuri. Demikian pula, mereka tidak ingin memerintah demi kehormatan karena mereka bukanlah pecinta kehormatan" dikutip dari buku,"Political Theory: Kajian klasik dan Kontemporer: Edisi Kedua karya Joseph Losco & Leonard Williams (2005).  Pemimpin pemerintahan ideal adalah orang yang bijaksana, yang melayani secara jujur, tulus, bersih dan sungguh-sunguh sesuai dengan hakekat tugas pemimpin, bukan pencuri, bukan demi uang dan kehormatan. 

Pasca Pilkada semua unsur masyarakat baik pendukung pemenang Pilkada maupun pihak yang kalah dipanggil menciptakan suasana kpndusif dan damai. Sejak masa kampanye putaran pertama hingga putaran kedua ini, tidak jarang isu suku, agama, ras dan antar golongan ditampilkan ke publik melalui spanduk yang beredar di ranah umum. Isu SARA melahirkan tensi politik tinggi dan menghabiskan energi dan tenaga yang tidak sedikit.

Paling tidak ada 2 alasan bahwa kepemimpinan Anis-Sandi adalah kepemimpinan pemerintahan, dan bukan pemimpin agama, sebagaimana selama ini pasangan Anis-Sandi, lebih dominan didukung tokoh agama dan ormas keagamaan. 

Pertama, masyarakat warga DKI Jakarta bukan homogen, tapi terdiri dari bermacam suku, agama, ras atau golongan. Masyarakat yang beraneka ragam membutuhkan pemimpin yang melindungi dan menjaga kehidupan masyarakat yang beraneka ragam. Negara hadir melalui pemimpin pemerintahan untuk menyelamatkan semua. Hal ini sesuai dengan amanat konstisusi kita (Pembukaan UUD 1945) bahwa negara dibentuk untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Jika ada calon pemimpin dalam rekam jejaknya diskriminatif terhadap suku, agama, golongan tertentu, maka sangat sulit diharapkan dia mampu melindungi semua.   

Alasan kedua, Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan bahwa negara dibentuk untuk memajukan kesejahteraan umum (bonum commune) dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk mewujudkan amanat tersebut, dibutuhkan pemimpin yang yang memperhatikan kesejahteraan umum dan pendidikan yang mencerdaskan. Barangkali untuk alasan amanat konstitusi ini pulalah, para pendahulu atau pendiri bangsa ini mendirikan Kementerian Agama memiliki pembangunan di bidang agama. Semua agama yang diakui negara dan penganut aliran kepercayaan difasilitasi dan dilayani.
 
Bukan didikte pemimpin agama
Kepemimpinan Anis-Sandi seyogiyanya tidak dapat didikte oleh pemimpin agama atau ormas tertentu.  Untuk konteks hidup bernegara dan bermasyarakat dalam negara kesatuan Republik Indonesia, pemimpin melindungi segenap warga tanpa melihat unsur SARA. 

Sejatinya, semua pemimpin di negeri ini, mulai dari tingkat  tertinggi sampai pada tingkat terendah "tidak mengenal" agama, dalam arti ia adalah pemimpin bagi warga yang beraneka ragam suku, agama, ras dan golongaan. Ia menganut suatu agama, tapi ia melayani semua sesuai dengan aturan yang berlaku. Aturan yang berlaku, sejauh pengetahuan penulis, tidak bertentangan dengan ajaran agama. Karena tugasnya sebagai pemimpin untuk semua maka ia harus merangkul dan melindungi semua. Mulai dari ketua RT, Kepala Lurah/Desa, Camat, Bupati, Walikota, Gubernur hingga Presiden terpilih hadir untuk semua, karena konstitusi kita mengamatkan itu. Pemimpin yang terpilih itu juga hadir sebagai pemimpin bagi warga beragama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu dan semua penganut kepercayaan yang ada.

Amat tidak adil dan sangat bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila misalnya, jika seorang Menteri Agama yang beragama Islam, hanya memperhatikan umat Islam. Seorang Menteri Agama adalah juga menteri yang melayani agama Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha dan lain sebagainya. Menteri Agama memfasilitasi semua agama dalam mewujudkan kesejahteraan umum dan mamajukan pembangunan bidang agama untuk semua agama yang diakui negara.
Bila  konflik antara warga dengan pemerintah kerap terjadi di daerah-daerah tertentu, patut dipertanyakan, apakah pemimpin-pemimpin di sana merupakan pemimpin pemerintahan atau pemimpin yang berpihak pada kelompok tertentu saja. 

Hasil Pemilihan Kepala Daerah Provinsi DKI Jakarta putaran kedua ini merupakan barometer bagi daerah lainnya dalam menampilkan pemimpin pemerintahan ideal. Provinsi DKI Jakarta dimana ibukota negara ada di dalamnya, juga merupakan cermin terdepan dan sorotan dunia internasional dalam melaksanakan demokrasi untuk kesejahteraan umum. 

Sejatinya, kita berharap kepemimpinan Anis-Sandi adalah kepemimpinan pemerintahan yang melayani semua, kepentingan semua, kesejahteraan umum, bukan pemimpin agama yang hadir hanya untuk agama tertentu dengan aturan dan ajaran agama yang bersangkutan. Mari kita dukung dan berharap Anis-Sandi menjadi pemimpin pemerintahan yang melayani semua dan untuk kemajuan semua. Semoga. 

Pormadi Simbolon, alumnus STFT Widyasasana Malang

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Kamis, April 27, 2017

Usulan Fraksi MUI di DPR!

Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas mengusulkan adanya fraksi MUI di DPR. Menurut Anwar, usul pembentukan fraksi MUI di DPR bertujuan untuk memperkuat nilai-nilai Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hal tersebut diungkapkan Anwar dalam rapat pleno ke-17 Dewan Pertimbangan MUI di gedung MUI, Jakarta Pusat, Rabu (26/4/2017) sebagaimana dikutip Kompas.com (26/4/2017)

Ada apa dengan MUI ini? Kalau MUI mengusulkan ada fraksi MUI di DPR, dengan tujuan memperjuangkan nilai-nilai Islam, mengapa tidak mengajak lembaga majelis agama yang lain seperti PGI, KWI, WALUBI, Majelis Hindu dan Konghucu?

Saya curiga, gerakan Islam, sudah mengarah kepada tujuan mengislamkan Indonesia. Padahal empat pilar sudah final yaitu Pancasila, Bhinneka Tungga Ika, NKRI dan UUD 1945? Semoga ini tidak terjadi (pormadi)


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Sabtu, April 22, 2017

Keteladanan pemimpin: Kinerja dan Sikap perilaku

Kiriman gambar di atas beredar di Whatsapp. Melihat gambar itu sebenarnya biasa saja, Namun menjadi tidak biasa kalau kita lihat dari sisi keteladanan seorang pemimpin.

Iya, itulah resiko seorang pemimpin. Kalau ia tidak memberi teladan, maka akan cepat disorot orang di sekitarnya, apalagi kalau perilaku itu kurang elok dilihat. Bahkan langsung beredar di media sosial.

Pada hakekatnya, seorang pemimpin akan disorot paling tidak 2 hal, pertama kinerjanya, dan kedua sikap dan perilaku sehari-harinya. 

Jika kinerjanya baik, maka akan diteladani dan diikuti semua yang dipimpinnya. Kinerjanya juga akan disorot dipublikasikan entau melalui lisan kepada yang lain, maupun melalui media sosial.

Demikian juga soal sikap dan perilakunya. Orang yang dipimpinnya akan cepat mengintipnya. Salah satu contoh gambar di atas. Belum lagi, baru-baru ini, dikabarkan cagub terpilin Anis Baswedan naik Helikopter ke Balai Kota Jakarta. Orang melihat akan menilai soal kepantasannya. Alasan Anis, agar on time bertemu Ahok BTP di kantornya. Alasan masuk akal. Tapi ada orang yang melihatnya lebay.

Hati-hati dan bijaksanalah hari para pemimpin. Kinerja dan sikap perilakumu menjadi ukuran kewibawaanmu. Itulah resiko menjadi pemimpin. 

Setelah terpilih jadi Gubernur dan wakilnya (Anis-Sandi baru DKI Jakarta, mari kita soroti keteladanan kinerja dan sikap perilaku mereka‎. (pormadi)

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Selasa, April 18, 2017

Pemimpin (Pemerintahan) “Tidak Mengenal” Agama

Oleh Pormadi Simbolon

Baru-baru ini sebuah video berdurasi 1 menit 19 detik beredar melalui media  sosial Whatsapp. Dalam video tersebut, mantan presiden RI,  Megawati Soekarnoputri menegaskan bahwa kita adalah warga negara bersama. Kita ini sedang mencari pemimpin pemerintahan, bukan mencari pemimpin agama. Ia berharap warga tidak  mempergunakan isu SARA dalam pemilihan kepala daerah putaran kedua di Provinsi DKI Jakarta.

Pernyataan Presiden ke-5 RI tersebut amat jelas membedakan pemimpin pemerintahan dengan pemimpin agama. Dalam pernyataan tersebut tersirat bahwa pemimpin ideal bagi kita sebagai warga negara adalah pemimpin pemerintahan. Hal ini sangat relevan dalam konteks Negara Indonesia yang memiliki Lambang Negara yaitu Garuda Pancasila dan semboyannya adalah Bhinneka Tunggal Ika (Pasal 36A UUD 1945). Itulah sebabnya, Megawati Soekarnoputri yang juga merupakan ketua PDI-P tersebut  mengajak warga DKI Jakarta mencari pemimpin pemerintahan dan bukan mencari pemimpin agama. 

Pemimpin pemerintahan melaksanakan tugasnya sesuai dengan Konstitusi yang disepakati para pendahulu atau pendiri bangsa, berdasarkan fakta kemajemukan dan nilai-nilai kearifan lokal warga bangsa Indonesia. Nilai-nilai kearifan lokal (termasuk nilai-nilai agama) sudah dipadatkan dalam nilai-nilai yang terdapat dalam lima sila Pancasila. Sedangkan pemimpin agama berdasarkan aturan dan ajaran agama tertentu saja, yaitu agama yang dianutnya.

Pemimpin pemerintahan dipilih oleh warga negara yang beranekaragam suku, agama, ras dan golongan. Sebagai warga negara yang memiliki hak yang sama maka pemimpin pemerintahan sejatinya melayani semua warga negara tanpa memandang ras dan agama (Marshall, 1950). 

Gambaran seorang pemimpin pemerintahan "tidak mengenal" agama mirip dengan gambaran pemimpin yang digambarkan oleh Sokrates. Dalam dialog antara Socrates dengan Thrasymacus dalam buku Republic tentang pemimpin yang baik "Orang-orang baik tidak akan mau memerintah demi uang atau kehormatan. Karena mereka tidak ingin secara terbuka menentukan upah untuk memerintah demi uang atau kehormatan. Karena mereka tidak ingin secara terbuka menentukan upah untuk memerintah dan disebut bekerja demi uang, juga tidak ingin secara rahasia memetik manfaat saat memerintah dan disebut sebagai para pencuri. Demikian pula, mereka tidak ingin memerintah demi kehormatan karena mereka bukanlah pecinta kehormatan" dikutip dari buku,"Political Theory: Kajian klasik dan Kontemporer: Edisi Kedua karya Joseph Losco & Leonard Williams (2005).  Pemimpin pemerintahan ideal adalah orang yang bijaksana, yang melayani secara jujur, tulus, bersih dan sungguh-sunguh sesuai dengan hakekat tugas pemimpin, bukan pencuri, bukan demi uang dan kehormatan. 

Bulan April ini, warga DKI Jakarta sedang mempersiapkan diri melaksanakan pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta putaran kedua, pada 19 April 2017. Sejak masa kampanye putaran pertama hingga putaran kedua ini, tidak jarang isu suku, agama, ras dan antar golongan ditampilkan ke publik melalui spanduk yang beredar di ranah umum. Isu SARA melahirkan tensi politik tinggi dan menghabiskan energi dan tenaga yang tidak sedikit.

Paling tidak 2 alasan bahwa warga seyogiyanya mencari pemimpin pemerintahan yang ideal, dan bukan pemimpin agama. Pertama, masyarakat warga DKI Jakarta bukan homogen, tapi terdiri dari bermacam suku, agama, ras atau golongan. Masyarakat yang beraneka ragam membutuhkan pemimpin yang melindungi dan menjaga kehidupan masyarakat yang beraneka ragam. Negara hadir melalui pemimpin pemerintahan untuk menyelamatkan semua. Hal ini sesuai dengan amanat konstisusi kita (Pembukaan UUD 1945) bahwa negara dibentuk untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Jika ada calon pemimpin dalam rekam jejaknya diskriminatif terhadap suku, agama, golongan tertentu, maka sangat sulit diharapkan dia mampu melindungi semua.   

Alasan kedua, Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan bahwa negara dibentuk untuk memajukan kesejahteraan umum (bonum commune) dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk mewujudkan amanat tersebut, dibutuhkan pemimpin yang yang memperhatikan kesejahteraan umum dan pendidikan yang mencerdaskan. Barangkali untuk alasan amanat konstitusi ini pulalah, para pendahulu atau pendiri bangsa ini mendirikan Kementerian Agama memiliki pembangunan di bidang agama. Semua agama yang diakui negara dan penganut aliran kepercayaan difasilitasi dan dilayani.
Bukan mencari pemimpin agama
Mencari pemimpin pemerintahan berbeda dengan mencari pemimpin agama. Mencari pemimpin agama sudah diatur sesuai aturan lembaga agama yang ada, entah itu dipilih melalui penunjukan otoritas agama atau melalui pemungutan suara di kalangan internal agama sesuai dengan aturan dan dalil agama yang berangkutan. Sudah pastilah, bahwa tugas dan fungsi pemimpin agama melayani kepentingan dan masa depan keberadaan agama itu sendiri. Untuk konteks hidup bernegara dan bermasyarakat dalam negara kesatuan Republik Indonesia, kita bukan mencari pemimpin agama, tapi pemimpin pemerintahan.
Sejatinya, semua pemimpin di negeri ini, mulai dari tingkat  tertinggi sampai pada tingkat terendah "tidak mengenal" agama, dalam arti ia adalah pemimpin bagi warga yang beraneka ragam suku, agama, ras dan golongaan. Ia menganut suatu agama, tapi ia melayani semua sesuai dengan aturan yang berlaku. Aturan yang berlaku, sejauh pengetahuan penulis, tidak bertentangan dengan ajaran agama. Karena tugasnya sebagai pemimpin untuk semua maka ia harus merangkul dan melindungi semua. Mulai dari ketua RT, Kepala Lurah/Desa, Camat, Bupati, Walikota, Gubernur hingga Presiden terpilih hadir untuk semua, karena konstitusi kita mengamatkan itu. Pemimpin yang terpilih itu juga hadir sebagai pemimpin bagi warga beragama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu dan semua penganut kepercayaan yang ada.

Amat tidak adil dan sangat bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila misalnya, jika seorang Menteri Agama yang beragama Islam, hanya memperhatikan umat Islam. Seorang Menteri Agama adalah juga menteri yang melayani agama Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha dan lain sebagainya. Menteri Agama memfasilitasi semua agama dalam mewujudkan kesejahteraan umum dan mamajukan pembangunan bidang agama untuk semua agama yang diakui negara.

Bila  konflik antara warga dengan pemerintah kerap terjadi di daerah-derah tertentu, patut dipertanyakan, apakah pemimpin-pemimpin di sana merupakan pemimpin pemerintahan atau pemimpin yang berpihak pada kelompok tertentu saja. 

Pemilihan Kepala Daerah Provinsi DKI Jakarta putaran kedua ini merupakan barometer bagi daerah lainnya dalam memilih pemimpin pemerintahan ideal. Provinsi DKI Jakarta dimana ibukota negara ada di dalamnya, juga merupakan cermin terdepan dan sorotan dunia internasional dalam melaksanakan pesta demokrasi. 

Sejatinya, kita mencari pemimpin pemerintahan yang melayani semua, kepentingan semua, kesejahteraan umum, bukan pemimpin agama yang hadir hanya untuk agama tertentu dengan aturan dan ajaran agama yang bersangkutan. Mari kita mencari dan memilih pemimpin pemerintahan yang melayani semua dan untuk kemajuan semua. Semoga. 

Pormadi Simbolon, alumnus STFT Widyasasana Malang

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Kamis, Januari 26, 2017

Perijinan 11 Rumah Ibadat Non Muslim di Aceh Singkil Dilanjutkan


Para Narasumber. foto: pormadi 

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI menegaskan bahwa proses perijinan 11 rumah ibadat yang disepakati sejak Oktober 2015 menggunakan Peraturan Gubernus Nomor 25 Tahun 2007 tentang Pedoman Pendirian Rumah Ibadah.

Demikian salah satu penegasan hasil Lokakarya tentang Hak atas Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan yang diselenggarakan Komnas HAM RI selama dua hari, Kamis dan Jumat (19-20 /01/2017) di Subulussalam, Aceh.

Dalam lokakarya tersebut, ketua Komnas HAM RI, Dr. Imdadun Rahmat menegaskan, “Sesuai kesepakatan dan pembicaraan resmi dengan Plt. Bupati Aceh Singkil, pada 18 Januari 2017 di rumah dinas Bupati, pukul 21.00-22.00 WIB bahwa proses perizinan pendirian 11 gereja tetap berdasarkan pada Peraturan Gubernur Nomor 25 Tahun 2007, mengingat proses perizinan 11 gereja telah dikeluarkan sejak Oktober 2015 sebelum Qanun (Red. Qanun nomor 4 Tahun 2016). Ini harus dipegang bersama”.

Hal itu dikatakan Ketua Komnas HAM, yang juga sekaligus menjadi pembicara, ketika ada pertanyaan dari peserta lokakarya yang berasal dari seorang pejabat setingkat eselon III di jajaran pemerintah Kabupaten Aceh Singkil.

Lebih lanjut Imdadun Rahmat menjelaskan bahwa ada hak-hak internum setiap individu, yang tidak bisa dikurangi, yaitu hak untuk mengimani dan memilih satu agama (non derogable rights). Selain hak-hak internum, adapula hak-hak yang bida sa dibatasi (ditangguhkan) atau diatur cara menikmati dan melaksananakannya, tetapi tidak bisa dihilangkan secara keseluruhan. Sifat hak asasi manusia secara keseluruhan adalah tidak boleh dihilangkan.

Terkait hak untuk mengimani dan memilih satu agama, menurut Prof. Dr. Syahrizal Abbas, MA, Kepala Dinas Syariat Islam Aceh dan juga Guru Besar UIN Ar-Raniry Banda Aceh yang juga menjadi pembicara pembicara pada lokakarya tersebut sepakat bahwa hak atas KBB tidak bertentangan dengan Syariat Islam, bahkan nilai-nilai dan sejarah peradaban Islam mendukung pelaksanaan prinsip kebebasan beragama dan berkeyakinan itu. Kepala Dinas Syariat Islam tersebut mengapresiasi dan memberikan penghargaan kepada Komnas HAM atas pertemuan ini untuk saling berdiskusi, mendengar, dan membicarakan tentang sisi normatif dan praktik Syariat Islam di Aceh dalam kaitannya dengan kebebasan beragama.



Tiga Masalah Ditemukan Komnas HAM

Koordinator KBB Komnas HAM, Dr. Jayadi Damanik, yang menjadi pembicara berikutnya, mengemukakan bahwa Komnas HAM menemukan tiga permasalahan kebebasan beragama yang telah muncul di Aceh Singkil, yaitu pendirian rumah ibadah, pendidikan agama peserta didik di sekolah, dan hak-hak penghayat kepercayaan, antara lain Parmalim (Pambi).

Dari materi dan pemantauannya di Kabupaten Aceh Singkil, Koordinator KBB Komnas HAM, merekomendasikan beberapa hal, antara lain berikut ini: (1) pendirian rumah ibadah Non Muslim di Aceh Singkil, termasuk untuk kelanjutan pendirian rumah ibadat di Aceh Singkil yang telah memperoleh Rekeomendasi Kemenag dan FKUB setempat, merujuk pada PBM No.9/8 Tahun 2006, setidaknya merujuk pada Pergub No. 25/2007; (2) Qanun Nomor 4 Tahun 2016 tidak dapat diterapkan sebagai dasar hukum pendirian rumah ibadat non muslim di Aceh, termasuk di Aceh Singkil; (3) bila hendak mengatur secara khusus pendirian Rumah Ibadah Muslim di Aceh, maka pengaturannya dapat dengan Qanun, tetapi Qanun tidak dapat mengatur pendirian rumah ibadah non muslim, sebab pengaturan (pembatasan) hak asasi manusia hanya dapat dilakukan dengan undang-undang (bdk. Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945).

Salah satu peserta dari Kementerian Agama RI, Direktur Urusan Agama Katolik, Sihar Petrus Simbolon menyampaikan ucapan terimakasih kepada Komnas HAM RI yang mengikutsertakan Ditjen Bimas Katolik dalam lokakarya ini.

“Saya mengucapkan terimakasih kepada Komnas HAM, karena kami diikutsertakan. Saya banyak belajar dari lokakarya ini. Kesan saya, seluruh peserta yang hadir, baik pejabat pemerintah dari Pusat mau[pun dari Daerah punya rasa cinta dan keadilan, bertekad menyelesaikan persoalan di Aceh Singkil. Persoalan di Aceh SIngkil perlu kita selesaikan, agar umat beragama dapat beribadat dengan tenang dan aman. Sebagai Direktur Urusan Agama Katolik, saya berdoa dan memohon agar tekad kita, umat beragama di Aceh Singkil segera mendapat ijin 11 rumah ibadat sesudah PILKADA serentak 2017”, katanya penuh harap.

Pada akhir pertemuan, peserta lokakarya memberikan masukan dan penegasan kepada Pemerintah Kabupaten Aceh agar (1) melanjutkan proses penerbitan IMB pendirian rumah ibadat untuk 11 rumah ibadat segera setelah Pilkada di Aceh Singkil berdasarkan Pergub. Nomor 25 Tahun 2006; (2) berupaya memfasilitasi guru agama selain Islam di sekolah-sekolah Negeri atau setidaknya tidak memaksakan pendidikan agama Islam kepada anak-anak yang menganut agama lain; (3) memberikan jaminan hak atas identitas kependudukan, termasuk dokumen kependudukan lainnya dan layanan publik, bagi penganut penghayat kepercayaan di Aceh Singkil. Panitia Lokakarya yang mengundang peserta dari berbagai unsur terkait dari jajaran Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil (Kodim, Polsek, KakanKemenag), Pemerintah Provinsi Aceh, dan Kementerian terkait (Kementerian Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kementerian Agama RI) bertujuan untuk memperkuat pemahaman hak atas Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) dan mendorong peranserta aktif semua stakeholder, termasuk Pemerintah Daerah dalam pemenuhan dan perlindungan hak atas KBB di Aceh secara umum dan di Aceh Singkil secara khusus. (sudah pernah ditayangkan di bimaskatolik.kemenag.go.id, Pormadi, liputan dari Aceh)
Powered By Blogger