Trima kasih mengunjungi blog kami!

Para pengunjung yth. semua isi blog ini ditulis atau disusun atas kemauan pribadi. Itu berarti blog ini berisi aneka pendapat, pemahaman, persepsi pribadi, dan pemikiran pribadi atas lingkungan kerja dan hidup sekitarnya. Harapan kami isi blog ini bermanfaat bagi pengunjung yang memerlukannya. Salam, GBU.

Senin, November 23, 2009

MENDIDIK ANAK MENJADI INSAN BERBUDAYA DAN BERIMAN

Semua pihak, negara, pemerintah, keluarga dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mewujudkan anak-anak menjadi insan berbudaya dan beriman. Namun yang pertama dan terutama adalah orang tualah yang paling bertanggung jawab menciptakan anak menjadi insan berbudaya dan beriman.

Pembentukan anak tidak bisa diserahkan sepenuhnya ke pihak sekolah atau lembaga-lembaga lain, tanggung jawab orang tua mutlak diperlukan. Lembaga atau masyarakat hanyalah bersifat bantun dalam membentuk anak menjadi insan berbudaya dan beriman.

Masalah Anak Dewasa Ini

Dewasa ini, jutaan anak-anak berada di pinggiran jalan, tidak bisa menikmati keceriaan dan kasih sayang dari orang tua. Banyak anak yang kurang mendapat perhatian dan pengawasan dari orang tuanya, bahkan hidup tanpa keluarga, yang kemudian mendapat tindak kekerasan fisik, mental maupun seksual dari lingkungan sekitarnya.

Belum lagi, banyak pula anak sudah harus menanggung beban hidup amat berat, baik fisik, maupun mental yang menghambat proses tumbuh kembang anak secara normal.
Anak-anak yang kurang beruntung demikian banyak kita jumpai di pinggiran jalan, tidur di pasar, di emper toko atau di setasiu kereta api, hidup menggelandang, mengasi rejeki melalui aktivita mengemis dan bekerja di sekitarnya.



Ditambah lagi, ratusan ribu anak desa terperangkap sindikat perdagangan anak. Mereka yang seharusnya masih bersekolah dan bergembira terpaksa harus merantau jauh ke kota besar, lalu terpaksa menjual diri di tempat kelab-kelab malam, dikotek, atau panti pijat.



Menurut data Komnas Perlindungan Anak, jumlah anak terperangkap perdagangan anak pada tahun 2006 mencapai 42.771 orang, meningkat menjadi 745.817 orang di tahun 2007, dan akhir Juni 2008 mencapai lebih dari 400.000 orang. (Kompas, 13/07/2008). Anak-anak menjadi tidak bertumbuh kembang secara normal.



Beberapa tahun belakangan ini, anak-anak disuguhi tontonan televisi yang mengandung isi yang kurang mendidik. Padahal pembentukan karakter anak amat tergantung dari apa yang dilihat, dibaca dan didengar. Saat menonton televisi ketiga kegiatan tersebut berjalan sekaligus. Walikelas mereka adalah pemain sinetron, penyanyi dan presenter. Kurikulumnya sinetron dengan silabus utama adegan kekerasan (Kompas, 23/7/2008).



Semua pihak prihatin melihat masa depan anak Indonesia yang dipengaruhi dan dibentuk oleh lingkungan masyaralat. Tidak sedikit orang atau lembaga berseru, “Selamatkan anak-anak kita!”. Seto Mulyadi mengharapkan pemerintah agar mencanangkan “Gerakan Nasional Stop Kekerasan Terhadap Anak!”



Kebijakan Pemerintah terhadap Anak



Menurut Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (pasal 1), yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Anak tersebut dilindungi dengan tujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera (UU RI Nomor 23 Tahun 2002, pasal 3).



Dalam sistem pendidikan nasional, fungsi pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dengan tujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga yang demokratis serta bertanggung jawab (UU RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 3).



Dari sisi dunia agama, pendidikan agama berfungsi membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan intern dan antarumat beragama (Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007, pasal 2).



Dari sisi kebijakan pemerintah, perhatian yang mengedepankan pembentukan kepribadian anak untuk menjadi insan berbudaya dan beriman cukup memadai. Persoalannya, aplikasi kebijakan tersebut masih perlu diperjuangkan dan disosialisasikan dengan kerjasama antara semua pihak, negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua agar kebijakan indah itu tidak menjadi pasal-pasal di atas kertas saja.

Pandangan Keliru
Selama ini banyak orang tua berpandangan bahwa pendidikan dan pembentukan kepribadian anak secara nyaman dan kondusif diserahkan ke pihak sekolah dan dengan demikian tugas orang tua selesai. Namun kenyataannya, sekolah yang seharusnya menjadi tempat nyaman dan kondusif bagi anak-anak sebagai tempat pembentukan anak menjadi insan berbudaya dan beriman, sering menjadi tempat kekerasan dalam berbagai bentuk. Misalnya sarana-prasarana yang tidak memadai seperti gedung sekolah yang bocor atau ambruk, kurikulum padat, PR bertumpuk, bullying yang mencekam, guru yang galak, evaluasi belajar yang cenderung lebih untuk “kepentingan terbaik” bagi pemimpin daripada untuk siswa, semakin membuat anak-anak stres dan berkembang menjadi penyandang school-phobia (Seto Mulyadi, Kompas, 23 Juli 2009).



Adanya mitos, bahwa anak adalah hak milik orang tua, yang boleh diperlakukan semau gue sesuai dengan ambisinya mempengaruhi peningkatan kekerasan yang menghambat pertumbuhkembangan diri anak secara optimal. Ada pula pandangan, bahwa anak adalah komunitas kelas bawah yang cenderung tidak menjadi skala prioritas sehingga penanganan dan kebijakan yang diambil tidak mengedepankan kepentingan anak.

Menjadikan Anak berbudaya dan Beriman
Dalam penjelasan Bagian Umum UU RI nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, anak dijelaskan sebagai amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa.



Pertanyaannya, apakah semua pihak menyadari bahwa nasib, masa depan serta pertumbuhkembangan diri anak secara integral pertama-tama dan utama tergantung dari peran dan tanggung jawab orang tua? Pemerintah melalui kebijakan politiknya selalu menekankan bahwa orang tua bertanggung jawab dan berkewajiban mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak; menubuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan dan minatnya; dan mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak (UU RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, pasal 26).



Dapat dipastikan dalam setiap agama, peran orang tua sangat mendasar dikothbahkan dalam menumbuhkembangkan diri anak secara menyeluruh baik fisik, rohani, sosial, dan moral. Tidak ada agama yang mengajarkan umatnya untuk melalaikan pertumbuhkembangan diri anak, sebab anak-anak adalah karunia Tuhan yang akan meneruskan eksistensi umatNya di dunia.
Terlebih lagi di era jaman globalisasi, era teknologi dan informasi canggih yang penuh tantangan dan krisis moralitas, peran orang tua dalam keluarga semakin besar dan mutlak diperlukan dalam pertumbuhkembangan diri anak. Orang tua hendaknya sadar bahwa pendidikan dasar dan utama bagi anak-anak berada di dalam keluarga masing-masing agar tercipta anak yang berbudaya dan beriman. Maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.



Pertama, arti pentingnya orang tua dalam keluarga. Keluarga menjadi tempat pendidikan untuk memperkaya kemanusiaan. Pendidikan yang diwariskan orang tua dalam keluarga haruslah pendidikan dalam arti menyeluruh, yang meliputi pendidikan fisik, kepribadian, intelektual, sosial, iman dan moral. Supaya keluarga mampu mencapai kepenuhan hidup dan misinya, diperlukan komunikasi hati penuh kebaikan, kesepakatan suami istri, dan kerjasama orang tua yang tekun dalam pendidikan anak.



Kedua, peran ayah dan ibu terhadap anak. Kehadiran seorang ayah sangat membantu pembinaan anak, tetapi juga peran ibu yang mengurus rumah tangga dengan baik. Anak-anak memerlukan perhatian, kehangatan dan kemesraan hubungan dengan orang tua dan saudara-saudara mereka. Orang tua harus bisa bertindak sebagai ‘sahabat’ bagi anak-anaknya. Orang tua perlu menggunakan cara-cara yang sesuai dengan tingkat perumbuhan kedewasaan anak.
Ketiga, anak belajar dalam keluarga. Di dalam keluargalah anak-anak mendapat banyak pembelajaran tentang cara berelasi dengan orang lain, lingkungan masyarakat dan alam sekitarnya, diri sendiri dan Tuhan dalam kehidupan bersama. Soal iman akan Tuhan, harapan akan kehidupan sejahtera dan kasih kepada sesama manusia berawal dan bertumbuh di dalam keluarga. Oleh karena itu orang tua harus menjadi teladan dengan menciptakan iklim rukun dan damai, kesehatan badaniah, kebersihan rumah dan pekarangannya, mengasihi dan melayani orang lain, bersedia tenggang rasa, peka terhadap orang lain, hormat terhadap kehidupan seks, saling membantu guna mengenal dan mencintai Tuhan dan rajin berdoa (sholat) dan beribadat. Dengan demikian, anak-anak akan melihat, membaca, mendengar dan meneladani orang tua dalam segala hal, dan lambat laun anak-anak menjadi insan berbudaya dan beriman.



Melihat hal-hal penting dalam keluarga tersebut, peran orang tua amat berat. Orang tua mempunyai kewajiban yang sangat berat dan hak primer sekuat tenaga mengusahakan pendidikan anak, baik fisik, sosial dan kultural, maupun sosial dan religius. Orang tua sendiri harus menjadi pemberi teladan insan berbudaya dan beriman terlebih dahulu. Oleh karena itu, benarlah apa yang dikatakan oleh Sigmund Freud, anak akan memperlakukan orang lain di masa dewasa seperti ketika ia diperlakukan orang lain pada masa anak-anak (Corey, 2001). Anak akan menjadikan orang tua sebagai panutan dalam hidupnya.



Sudah saatnya peran dan tanggung jawab orang tua perlu ditekankan dan diberdayakan oleh semua pemangku kepentingan (stakeholder) dalam pembangunan keluarga Indonesia yang berkualitas. Ini dimulai dari perlunya penanaman paradigma bahwa perkawinan suami-istri sebagai pembentukan keluarga adalah hal suci (sakral) dan mempunyai tuntutan yang bertanggung jawab terhadap pendidikan dan kesejahteraan anak lahir dan batin. Pembentukan anak berbudaya dan beriman akan dapat mengurangi sebagian besar permasalahan anak dewasa ini bila paradigma lama yang melalaikan peran dan taladan orang tua, kita diubah menjadi paradigma baru yaitu bahwa peran dan tanggung jawab serta teladan orang tua, hak dan kewajiban mutlak orang tua dalam memperhatikan dan memilih pendidikan anak merupakan hal esensial dalam menciptakan manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga yang demokratis serta bertanggung jawab. Peran sekolah, negara dan masyarakat pada dasarnya hanyalah bersifat sekunder, fasilitator dan pendukung. (Pormadi Simbolon,Bulletin Bimas Katolik, Edisi XX, Mei-Agustus 2009)

Kamis, November 05, 2009

UMAT KATOLIK PROVINSI GEREJAWI SAMARINDA: HARUS LEBIH AKTIF MEMBANGUN

Gereja Katolik sesungguhnya adalah bagian integral dan tidak terpisahkan dari seluruh masayarakat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, segala kemajuan, kebaikan dan kemakmuran dicapai oleh pemerintah bersama masyarakat juga merupakan kemajuan, kebaikan dan kemakmuran masyarakat Katolik. Sebaliknya, kedamaian dan cinta kasih serta nilai-nilai luhur yang ada dalam Gereja Katolik adalah juga kekayaan yang mesti dirasakan dan dialami juga oleh masyarakat dan pemerintah.

Demikian pernyataan Uskup Agung Samarinda, Mgr. Sului Florentinus, MSF dalam sambutannya pada pembukaan pertemuan Forum Konsultatif Tokoh Masyarakat Katolik Provinsi Gerejawi Samarinda yang berlangsung pada 11-13 September 2009 di Hotel Grand Tiga Mustika, Balikpapan, Kalimantan Timur.

Sementara Gubernur Kalimantan Timur yang diwakili oleh Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Provinsi Kalimantan Timur, Ambransyah Mukrie menyambut baik pertemuan ini. Sebelum membuka pertemuan ini secara resmi, ia mengharapkan pertemuan konsultatif ini memberikan masukan berupa pemikiran yang konstruktif untuk kebaikan umat dan berdampak positif terhadap hubungan antar umat beragama sehingga terjalin harmonis.

Pertemuan ini diselenggarakan atas kerja sama Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik Departemen Agama RI dengan Keuskupan Agung Samarinda. Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik, Drs. Stef Agus, memandang perlunya saat ini, para tokoh, pemuka, cendekiawan, pelaku organisasi politik dan kemasyarakatan, instansi/lembaga karya sosial karitatif untuk sering berkumpul, duduk bersama membicarakan dan memahami bersama realitas sosio-politik dan sosio-ekonomi di wilayah provinsi Gerejawi Samarinda dan merumuskan kerangka pemberdayaan kader Katolik di bidang politik dan ekonomi sebagai upaya menanggapi keprihatinan sosial Gereja.

Pertemuan Forum Konsultatif semacam ini sudah 6 kali dilaksanakan di berbagai provinsi gerejawi di Indonesia (antara lain di Timika, Pontianak, Ledalero, Hokeng, Palembang, dan Medan). Pada kesempatan kali ini pertemuan forum konsultatif tokoh masyarakat Katolik dilaksanakan di Provinsi Gerejawi Samarinda. Direktur Jenderal Bimas Katolik memperkenalkan tokoh-tokoh masyarakat Katolik berskala nasional yaitu Dr. Cosmas Batubara, Dr. J. Riberu, Drs. Frans Meak Parera, dan Mayjen (Purn.) Herman Musakabe, yang akan memberikan masukan-masukan penting di bidang kaderisasi di bidang politik dan ekonomi. Pada kesempatan ini sedianya, Prof. Dr. J.B. Sumarlin hadir, namun karena ada halangan yang tidak bisa ditinggalkan, beliau tidak hadir.

Hadir para pimpinan Gereja Katolik dan tokoh masyarakat Katolik yang berkarya di pemerintahan. Para pimpinan Gereja Katolik dari wilayah Provinsi Gerejawi Samarinda atau perwakilannya: selain Uskup Agung Samarinda, juga ada Uskup Keuskupan Tanjung Selor, Mgr. Yustinus Harjosusanto,MSF; Vikjen keuskupan Banjarmasin, Pastor Th. Yuliono Prasetyo Adi, MSC; Vikjen Keuskupan Palangka Raya, Pastor Silvanus Subandi,Pr. Turut diundang para tokoh masyarakat Katolik, antara lain, Ibu Veridiana Huraq Wang, S.Pd, Petrus B. Kolin, Dr. Petrus Purwadi,MS, dan tokoh lainnya.

Keadaan Riil Lapangan
Berangkat dari situasi politik di lapangan, Uskup Agung Samarinda menengaskan umat Katolik harus terlibat aktif dalam politik. Terlebih lagi, awamlah yang paling dituntut untuk berperan politik praktis dengan memperjuangkan kesejahteraan umum dan kepemimpinan berwawasan nasional. Sementara peran Gereja, dalam hal ini hirarki, penting dalam menyuarakan firman Tuhan. Gereja harus menjadi nabi, meskipun tidak didengarkan, namun tidak jemu-jemu mewartakan kebenaran.
Di bidang ekonomi, masih ditemukan keadaan dimana terjadi pengeksploitasian sumber daya alam secara ngawur dan membabi buta. Peraturan pemerintah terlalu longgar, sangsi terhapus oleh uang pelicin. Oleh sebab itu penduduk yang terdiri dari kaum kecil terus mengalami penderitaan dan kemiskinan.

Sementara itu, Uskup Tanjung Selor menyampaikan keadaan riil di lapangan, masih ditemukan tantangan berat di tengah masyarakat, antara lain, mentalitas dan budaya orientasi uang, rendahnya mutu pendidikan, motivasi perjuangan yang rendah serta adanya kesenjangan peran dalam bidang ekonomi antara pendatang dan penduduk asli. Yang menarik, “mentalitas fee” yaitu berorientasi pada uang, mendorong umat menjual tanahnya. Dengan cepat pula uang habis. Banyak umat melepaskan tanahnya untuk perkebunan besar, bahkan ada umat rela tanahnya habis dijual demi uang yang cepat di dapat. Bila ini dibiarkan, masalah ekonomi bisa menjadi masalah serius, tegas uskup Tanjung Selor ini.

Sementara di Keuskupan Palangka Raya, umat merasakan kekurangan tenaga-tenaga handal di bidang politik dan ekonomi. Tenaga di bidang pastoral dan pendidikan saja amat kurang, apalagi tenaga di bidang politik dan ekonomi. Sekarang ini yang paling hangat digalakkan di Keuskupan Palangka Raya adalah soal kemandirian umat secara pribadi dalam beriman atas kesadaran dan inisiatif dari diri sendiri. Demikian rangkuman paparan Pastor Silvanus Subandi,Pr, Vikjen Keuskupan Palangka Raya.

Yang tidak kalah menarik juga adalah situasi dan keadaan di Keuskupan Banjarmasin dimana umat Katoliknya minoritas. Menurut Vikjen Keuskupan Banjarmasin, Pastor Th. Yuliono Prasetyo Adi, MSC, keadaan umat Katolik di Kalimantan Selatan, tidak jauh beda dengan dengan di daerah Kalimantan lain. Dalam tataran politik, umat Katolik tidak mempunyai pengaruh. Namun di bidang ekonomi, umat Katolik berpengaruh sebagai pelaku ekonomi. Banyak pengusaha di kota Banjarmasin beragama Katolik. Melalui bidang ekonomi, Gereja Katolik di Keuskupan Banjarmasin merangkul para pengusaha dalam mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat umum.



Masukan Inspiratif Tokoh-tokoh Masyarakat Katolik

Menurut Cosmas Batubara, semua peserta pertemuan ini sepakat bahwa kita harus berpartisipasi dalam politik. “Kita harus berpolitik, kalau kita tidak mau dipermainkan”, tegasnya. Dalam berpolitik, kita harus melihat kerangka politik nasional, sehingga kita bisa melihat kerangka politik lokal. Dalam berpolitik kita harus memperjuangkan kepentingan nasional. Dengan demikian, kepentingan kita juga ikut terselamatkan. “Orang Katolik tak usah berkecil hati. Mereka (kelompok lain, red.) akan mendukung kita kalau kita berprestasi dan menonjol serta memperjuangkan kepentingan nasional. Kita harus pandai berkomunikasi dan berargumentasi. Kita harus rajin dan mendalami masalah”, tegasnya.

Sementara itu, Dr. Jan Riberu melihat bahwa pembangunan umat Katolik di Provinsi Gerejawi Samarinda di bidang pendidikan adalah penting dan mendesak dilakukan. Selain sebagai sarana menghadirkan karya keselamatan Kristus, kita menciptakan kader-kader bangsa. Menurut Riberu, tanpa pendidikan, orang Katolik tidak bisa menjadi kader di bidang politik dan ekonomi yang profesional. Tujuan pendidikan adalah profesionalisme. Seseorang baru bisa disebut profesional kalau ia memiliki pengetahuan, keterampilan, sikap profesional, dan moralitas.

Di bidang media, Drs. Frans Meak parera mengungkapkan bahwa orang-orang Katolik juga bisa berperan di luar pemerintahan yaitu lewat pengembangan sarana dan prasarana media komunikasi. Di jaman sekarang ini berkembang kepemimpinan techno-culture dalam dunia global-teknokratif yaitu trend kepemimpinan masa depan melalui pendidikan. Hasilnya: orang semakin mampu berbicara, membaca, menulis, me-mange dengan baik. “Berdirinya Universitas Media Nusantara Kompas-Gramedia dan Politeknik Negeri Media Kreatif di Jakarta hendaknya menjadi inspirasi untuk memajukan kepemimpinan techno-culture di Kalimantan Timur”, demikian harapan Bapak Frans Meak Parera yang merupakan Mantan Kepala Bank Naskah Kompas-Gramedia Jakarta.

Di bidang pemerintahan, Mayjen (Purn.) Herman Musakabe, mantan Gubernur Nusa Tenggara Timur, menekankan pemberdayaan sumber daya manusia Katolik di bidang pemerintahan. Upaya yang pertama dan utama yang perlu ditempuh adalah menciptakan kerja sama sinergis antara tokoh-tokoh Katolik di pemerintahan daerah, baik eksekutif maupun legislatif, dengan pimpinan Gereja lokal untuk meningkatkan peran umat Katolik dalam pembangunan ekonomi dan politik.

Kesepakatan Bersama

Pertemuan forum konsultatif tokoh masyarakat Katolik Provinsi Gerejawi Samarinda ini pada hari terakhir menghasilkan 7 butir kesepakatan bersama. Para peserta pertemuan yang terdiri dari pimpinan Gereja/ hirarki dan tokoh-tokoh masyarakat bersepakat melakukan beberapa hal, antara lain: mendorong setiap Keuskupan untuk membentuk Forum Konsultatif Tokoh Masyarakat Katolik sebagai sarana sharing informasi dan dan kaderisasi politik dan ekonomi di wilayah propinsi.

Kemudian, disepakati adanya peningkatan komunikasi dan kerjasama sinergis antara tokoh masyarakat Katolik di lembaga eksekutif dan legislatif dengan pimpinan Gereja Katolik sebagai upaya mengembangkan peranserta umat Katolik dalam membangun tatanan sosial ekonomi-politik yang lebih mengutamakan kesejahteraan umum (bonum commune).

Kesepakatan lain: peningkatan komunikasi dan kerjasama antara Gereja Katolik dengan Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota berdasarkan prinsip kesetaraan; dibentuknya jejaring di antara para aktivis politik, birokrat dan politisi sebagai upaya memperkuat eksistensi umat Katolik di bidang politik dan ekonomi; dukungan kepada karya umat Katolik dalam mengembangkan lembaga keuangan mikro seperti credit union (CU); peningkatan kualitas SDM melalui pelayanan kesehatan dan pendidikan Katolik yang relevan dan bermutu untuk mengembangkan profesionalisme dan moralitas; dan upaya peningkatan kesadaran berpolitik melalui Catholic Centre yang sudah ada atau lembaga-lembaga lain di Kalimantan Timur sebagai sarana pendidikan politik dan wadah dialog-komunikasi antargenerasi muda dengan tokoh Katolik senior dan hirarki Gereja Katolik. (Sumber: dari Majalah HIDUP dan Buletin Bimas Katolik)

Senin, September 07, 2009

Kualitas Calon Imam Perlu Diperhatikan


Kualitas para imam kita menurun di bidang informasi peraturan dan hukum Pemerintah dan Negara. Seorang imam yang adalah pemimpin Gereja dan masyarakat Katolik seyogiyanya mampu berbicara atas dasar referensi informasi baik dari Gereja maupun dari Negara atau Pemerintah. Demikian salah satu keprihatinan menurut pengamatan seorang awam yang sekaligus sebagai Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat (Bimas) Katolik, Drs. Stef Agus pada pembukaan pertemuan para dosen Hukum Gereja, Teologi Moral dan Teologi Pastoral di Klaten, Jawa Tengah pada 21-24 Juli 2009.




Kualitas lain yang menurun dari seorang imam, lanjut Stef Agus adalah kothbah imam di mimbar Gereja. Ada kesan kurang persiapan dan kurang relevan dengan kehidupan konkrit umat. Kothbah semestinyamencerahkan dan menambah wawasan umat dalam menghadapi tantangan dan tuntutan zaman dewasa ini.




Hal lainnya terkait kompetensi imam yang menurun adalah gagal berdebad. Para calon imam perlu dilatih dan dibekali skill berbicara dan berdebad. Hal ini penting untuk meyakinkan pendengar baik dari kalangan Gereja maupun dari kalangan publik.




Pertemuan yang berlangsung selama kurang lebih 4 hari terselenggara atas kerja sama Direktorat Jenderal Bimas Katolik Departemen Agama RI dan mitra kerjanya dalam hal ini Komisi Seminari KWI bertujuan untuk menyusun pedoman atau kerangka acuan bagi studi Hukum Gereja, Teologi Moral dan Teologi Pastoral bagi dosen yang berguna bagi peningkatan mutu pendidikan calon imam.




Sementara itu, Ketua Komisi Seminari KWI yang diwakili Sekretaris Eksekutif Komisi Seminari KWI, Romo IGB. Kusumawanta, Pr menyampaikan ucapan terima kasih atas kerja sama yang baik selama ini. Kerja sama ini penting untuk memenuhi keinginan Gereja dalam mendidik calon imam yang sesuai dengan harapan Gereja. Sekretaris Eksekutif Komisi Seminari KWI mengharapkan agar Pemerintah tidak menyingkirkan pendidikan Katolik dalam kebijakan politiknya.




Pertemuan penting dan strategis bagi pembinaan calon imam itu dihadiri sekitar 30 orang yang terdiri para rektor, dosen dan pemerhati calon imam dari perguruan tinggi bernafaskan Katolik se-Indonesia. Para dosen perguruan tinggi tersebut antara lain hadir dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Fakultas Teologi Wedabhakti Yogyakarta, Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang, Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi St. Yohanes Sinaksak Pematang Siantar, Sekolah Tinggi Filsafat Ledalero, Fakultas Filsafat Widya Mandira Kupang, Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Seminari Pineleng, dan Sekolah Tinggi Teologi Pastor Bonus Pontianak. (Pormadi Simbolon)



Rabu, Agustus 19, 2009

Dari Pangkalpinang: Peran Prodiakon Penting Diperhatikan

Prodiakon adalah orang-orang terpilih dari antara umat dan merupakan pembagi kasih kepada umat dan semua orang, oleh karena itu peran dan tugas prodiakon di tengah umat bukan sembarangan. Mereka adalah tokoh-tokoh dan teladan di tengah umat Katolik dan masyarakat umum.




Demikian beberapa pokok pikiran Bapak Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Drs. H. Herman Faizudin dan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik Departemen Agama RI, Drs. Stef Agus pada pembukaan pertemuan pembinaan prodiakon paroki tingkat lokal Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (5 Agustus 2009) di Pangkalpinang.




Karena perannya dan ketokohannya sebagai prodiakon atau disebut juga asisten imam di altar suci dengan tugas membagi cinta kasih lewat Komuni Kudus, sudah seyogiyanya para prodiakon menjadi teladan dalam bersikap dan berperilaku di kalangan umat Katolik dan bagi masyarakat pada umumnya. Para prodiakon amat penting diperhatikan dan diteguhkan dalam tugas pelayanan mereka. Hal itu ditegaskan Bapak Dirjen Bimas Katolik sebelum membuka resmi pertemuan.




Sementara itu, Kepala kanwil Departemen Agama Prov. Kepulauan Bangka Belitung melihat peran tokoh-tokoh agama termasuk diantaranya para prodiakon, ikut menciptakan kerukunan umat beragama yang tetap terjaga dan berjalan dengan baik. “Di Kepulauan Bangka Belitung, Insya Allah, kita tidak pernah melihat dan mendengar konflik antar agama dan etnis, apalagi terorisme. Tidak ada terorisme di Kepulauan Bangka Belitung seperti yang terjadi di beberapa tempat lain di Indonesia”, tegas pejabat nomor satu di Kantor Wilayah Departemen Agama RI di Kepulauan Bangka Belitung ini.



Pertemuan Prodiakon yang diselenggarakan Ditjen Bimas Katolik Departemen Agama ini dimaksudkan sebagai upaya peningkatan pelayanan kehidupan umat beragama yang direalisasikan dari salah satu program kerjanya. Pemerintah sebagai fasilitator terus memberikan perhatian bagi para tenaga pelayan Gereja sebagaimana kegiatan yang sama juga dilaksanakan di berbagai provinsi lain di Indonesia.



Salah seorang prodiakon mengungkapkan, “Kami sangat senang karena diperhatikan sebagai asisten imam atau prodiakon di altar suci. Kami sangat berterima kasih atas pembekalan yang diberikan guna meningkatkan dan menguatkan semangat kami dalam tugas pelayanan kami”. “Semoga kami dapat melaksanakan tugas dengan makin baik setelah pertemuan ini”, lanjutnya ketika menyampaikan sepatah dua patah kata pada penutupan acara.






Pertemuan prodiakon yang berlangsung selama empat hari ini dihadiri sebanyak 30 orang prodiakon dari berbagai paroki (wilayah gerejani) di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Turut juga hadir para pejabat eselon III Kantor Wilayah Departemen Agama RI Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mendampingi Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. (Pormadi Simbolon).

Selasa, Agustus 18, 2009

RETRET GAK SD: “LANJUTKAN PANGGILAN SEBAGAI GURU AGAMA KATOLIK”

“LANJUTKAN!” itulah ungkapan para guru agama Katolik meniru motto Capres SBY-Boediono yang terpilih dalam Pilpres 2009 dalam kesimpulan refleksi mereka tentang panggilan hidup mereka sebagai Guru Agama Katolik (GAK) selama retret. Kalimat ini tepat sekali mengungkapkan pengalaman refleksi atas pengalaman suka-duka para guru agama Katolik pada acara Retret GAK Tingkat Lokal Provinsi DKI Jakarta yang berlangsung pada 22-24 Juni 2009 lalu di Sanno Hotel, Jakarta.

Retret merupakan kegiatan rohani dalam tradisi Gereja Katolik dalam rangka pembinaan kepribadian dan kerohanian hidup umat dalam terang Injil. Oleh karena itu Ditjen Bimas Katolik Departeman Agama RI memprogramkan kegiatan retret sebagai pembinaan kepribadian dan kerohanian para Guru Agama Katolik di Indonesia. Pembinaan kerohanian para guru agama Katolik tersebut bertujuan untuk meningkatkan keimanan dan menimba kekuatan spiritual. Pembinaan kerohanian dimaksudkan untuk peningkatan mutu pelayanan para guru yang didukung oleh peningkatan kecakapan rohani dan kompetensi kepribadian, dan pada akhirnya meningkatkan kemajuan iman peserta didik. Dalam sambutannya, Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik, Drs. Stef Agus berharap agar kegiatan olah batin atau retret ini dapat memberikan “masukan atau input” bagi para Guru Agama Katolik, secara khusus terkait pendampingan iman, pendidikan agama, dan pendidikan keagamaan peserta didik Katolik yang dipercayakan kepada mereka, di tempat mereka berkarya.
Retret yang dipimpin oleh Romo FX. Adisusanto, Sj dan Ibu Afra Siowardjaja ini berlangsung penuh hikmad dan meditatif. Semua peserta mengikuti acara dengan penuh semangat doa. Sebab pendamping retret membantu para peserta retret dengan berbagai metode seperti membaca Kitab Suci, sharing kelompok, renungan pribadi dan dialog berbentuk pleno. Retret juga disertai dengan perayaan Ekaristi dan Sakramen Pengakuan Dosa.



Kepala Pembimas Katolik DKI Jakarta, Drs. A.H. Yuniadi, MM, sekaligus sebagai Ketua Panitia retret ini melaporkan bahwa para peserta retret ini terdiri dari 30 orang yang berasal dari sekolah-sekolah tingkat dasar se-Provinsi DKI Jakarta. Peran para Guru Agama Katolik untuk mendidik peserta didik dari segi keimanan, penting ditingkatkan dan dimotivasi dengan berbagai acara kerohanian Katolik termasuk acara retret ini, tegasnya dalam laporannya. Retret ini mendapat antusiasme dari para guru agama Katolik dan mereka berharap retret diadakan sekali setahun. Antusiasme dan harapan mereka ini diungkapkan ketika menjawab pertanyaan mengenai saran mereka untuk acara retret di hari-hari mendatang pada saat evaluasi kegiatan dilaksanakan panitia. (Pormadi Simbolon).

Selasa, Juni 02, 2009

Sikap dan Perilaku Terbaik: TENANG

Bagaikan air di dalam sungai mengalir, segala kotoran dan debu secara pelan-pelan akan turun sehingga lama kelamaan air menjadi jernih dan apa yang ada di dalam air itu menjadi kelihatan. Benda-benda, kotoran dan lain-lain akan kelihatan jelas.

Demikian pun hidup kita yang sehari-hari selalu berada dalam kesibukan, kebisingan, jika bisa mencapai sikap dan perilaku tenang, maka hati, budi dan pikiran akan dapat melihat dan membeda-bedakan mana baik dan mana yang tidak baik.

Sikap dan perilaku tenang adalah sikap dimana hati, pikiran dan tindakan kita berada dalam keadaan santai/ rileks, hening, diam, sadar akan keadaannya, tidak tergesa-gesa dan pandangan mata yang terfokus.

Makna sikap dan tenang sama dengan ungkapan silent is gold. Tenang sama dengan diam. Dalam diam atau tenang kita kita dapat berpikir, bertindak dan bersikap dengan terhormat. Dengan tenang segala pekerjaan dan urusan dapat kita lakukan dengan baik. Apakah kita sudah bisa menjaga ketenangan dalam diri kita?

Jumat, Mei 01, 2009

PENINGKATAN KDRT DAN PERMASALAHANNYA

Catatan Komisi Nasional Perempuan menyebutkan, kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) selama tahun 2007 mengalami peningkatan. Pada tahun 2007 tercatat 17.772 kasus kekerasan terhadap istri, sedangkan tahun 2006 hanya 1.348 kasus.

Peningkatan KDRT ini antara lain karena berhasilnya sosialisasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Sosialisasi yang dilaksanakan melalui berbagai media ini mampu menyadarkan perempuan korban kekerasan untuk melapor karena ada “senjata” hukum yang melindungi.

Di tengah keberhasilan penyadaran para korban KDRT tersebut, timbul berbagai persoalan antara lain soal KDRT yang dipandang sebagai persoalan pribadi (domestik rumah tangga). Persoalan lain adalah implementasi KDRT di lapangan, di tengah masyarakat.

Dari Ranah Pribadi ke Ranah Publik

Sejak dikeluarkannya UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, pemerintah telah berani mengambil alih wilayah hukum yang sebelumnya termasuk ranah domestik kini menjadi ranah publik.

Selama ini ditemukan adanya pandangan bahwa tindak kekerasan terhadap perempuan, istri, dan anak-anak dipandang sebagai sesuatu yang wajar dan hal itu disikapi sebagai konflik rumah tangga semata.

Pandangan tersebut diperparah lagi oleh adanya mitor-mitos yang merendahkan martabat istri, perempuan dan anak-anak, sebaliknya ayah yang dominan terhadap anggota keluarga dalam rumah tangga dengan sikap yang berlebihan sebagai relasi kekuasaan antara perempuan dan laki-laki yang timpang berlangsung di dalam rumah tangga, bahkan diterima sebagai sesuatu kondisi yang benar yang melanggengkan KDRT.

Hambatan-hambatan di Lapangan

UU PKDRT merupakan implementasi UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak serta bentuk diskriminasi merupakan suatu isu global sekaligus pelanggaran Hak Asasi Manusia yang wajib diselesaikan oleh Negara dan masyarakat luas. Dengan adanya PKDRT tersebut, kini segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga menjadi tindak kriminal.

Salah satu dampak dari penerapan KDRT itu adalah terjadinya kesadaran publik atas KDRT. Tidak sedikit masyarakat semakin berani melapor kasus-kasus kekerasan karena adanya perlindungan korban KDRT. Di samping itu, timbul pula berbagai persoalan dalam menyelesaikan proses hukum KDRT, sekaligus sebagai kekurangan yang perlu diperhatikan pemerintah, LSM dan masyarakat luas.

Penerapan UU PKDRT di lapangan menghadapi berbagai kendala dan reaksi dari pelaku KDRT. Pertama, ditemukan bahwa aparat penegak hukum baik polisi, jaksa maupun hakim memiliki pemahaman yang beragam tentang kekerasan dalam rumah tangga. Ada aparat hukum menganggap kekerasan fisik berat jika korban tidak dapat menjalankan aktivitas rutinnya, sehingga korban yang masih dapat beraktivitas secara rutin dianggap sebagai kekerasan fisik ringan.

Kedua, aparat penegak hukum khususnya polisi dan hakim kesulitan menerapkan ketentuan UU PKDRT tentang perlindungan sementara dan penetapan perlindungan. Tidak adanya acuan atau petunjuk teknis pelaksanaan menjadi alasan mengapa perlindungan sementara belum ditempuh.

Ketiga, adanya status perkawinan yang hanya dilaksanakan di gereja atau secara adat dan tidak tercatat di kantor catatan sipil atau KUA seperti yang terjadi di berbagai daerah seperti di Medan, Semarang dan Yogyakarta. Hal ini menyulitkan penindaklanjutan proses hukum KDRT.

Keempat, kesulitan pembuktian kasus KDRT. Sulitnya pembuktian kekerasan pada perempuan adalah sekitar 70 persen perbuatan kekerasan dilakukan oleh orang terdekat korban seperti pacar, suami, orang tua, saudara atau orang terdekat lainnya. Tempat kejadiannya pun membuat sulit orang lain ikut campur seperti rumah, sekolah dan tempat-tempat pribadi.

Publik Ikut Bertanggung Jawab

Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang PKDRT pada pasal 5 dijelaskan bahwa kekerasan dalam rumah tangga mencakup kekerasan fisik, kekerasan seksual dan penelantaran rumah tangga. Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat (pasal6).

Kekerasan psikis dipandang sebagai perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/ atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Kekerasan seksual meliputi pemaksaan hubungan seksual terhadap orang yang menetap dalam rumah tangga dan terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/ atau tujuan tertentu. Penelantaran rumah tangga dimengerti sebagai tindakan mengabaikan tanggung jawab untuk memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang yang berada dalam tanggung jawabnya. Tindakan lain adalah yang mengakibatkan “ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan /atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut. (Pasal 6-9).

Pengertian kekerasan dan jenis-jenis di atas diharapkan segera tersosialisasi ke publik. Dengan peraturan PKDRT tersebut pula segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga bukan lagi menjadi ranah internal keluarga tetapi menjadi ranah publik.

Untuk itu publik atau masyarakat luas, menurut Undang-Undang KDRT tersebut wajib melakukan upaya-upaya yang sesuai dengan kemampuannya antara lain: (1) mencegah berlangsungnya tindak pidana, misalnya kekerasan atau bahkan sampai pada pembunuhan; (2) memberikan perlindungan kepada korban; (3) memberikan pertolongan darurat; dan (4) membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungannya.

Keluarga Tanpa Kekerasan

Melihat pentingnya penghapusan KDRT, maka pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama dalam mewujudkan kehidupan rumah tanggga tanpa kekerasan. Berbagai upaya masih harus diperhatikan dan dilakukan pemerintah dengan berkolaborasi dengan masyarakat peduli KDRT.

Pertama, perlu adanya kesamaan persepsi tentang kekerasan fisik entah berat atau ringan di kalangan aparat penegak hukum.

Kedua, diadakannya kerangka acuan atau petunjuk teknis tentang pelaksanaan perlindungan sementara dan penetapan perlindungan bagi KDRT.

Ketiga, pentingnya sosialisasi pencatatan perkawinan entah di kantor catatan sipil atau KUA. Dengan demikian proses hukum dan perlindungan korban kekerasan makin dipermudah.

Keempat, pentingya kampanye keluarga bahagia hidup tanpa kekerasan. Kampanye ini selain berlaku di tengah publik, para pemuka agama diharapkan menyuarakan hidup keluarga menjadi bahagia tanpa kekerasan. Hidup keluarga tanpa kekerasan merupakan nilai-nilai yang pasti diajarkan oleh semua agama.

UU PKDRT sudah disosialisasikan. Masyarakat luas semakin sadar bahwa KDRT bukan lagi melulu ranah pribadi tetapi sudah menjadi ranah publik KDRT sudah disikapi masyarakat sebagai isu global dan pelanggaran hak asasi manusia. Kita mensyukuri atas upaya negara dalam mewujudkan hidup keluarga tanpa kekerasan. Namun masih banyak tugas dan tanggung jawab baik pemerintah maupun publik dalam mewujudkan cita-cita bersama dan publik yaitu hidup keluarga tanpa kekerasan. Inilah tanggung jawab kita bersama. Mari kita bertanggung jawab dan peduli pada kehidupan keluarga tanpa kekerasan di rumah dan di sekitar kita.
(Disadur dari bulletin Bimas Katolik)
Powered By Blogger