Trima kasih mengunjungi blog kami!

Para pengunjung yth. semua isi blog ini ditulis atau disusun atas kemauan pribadi. Itu berarti blog ini berisi aneka pendapat, pemahaman, persepsi pribadi, dan pemikiran pribadi atas lingkungan kerja dan hidup sekitarnya. Harapan kami isi blog ini bermanfaat bagi pengunjung yang memerlukannya. Salam, GBU.

Jumat, Mei 09, 2008

KETIKA ANTAR-UMAT BERAGAMA BERSAHABAT

(ditulis 2005 lalu)

Oleh Pormadi Simbolon

Pada Hari Hari Raya Natal dan Raya Idul Fitri yang lalu, persahabatan sejati terbukti menembus sekat-sekat pembatas relasi di antara warga yang berbeda agama dalam tata hidup bersama bangsa ini. Persahabatan antar-umat beragama (baca: antar umat yang berbeda agama) tidak terpatahkan oleh perbedaan agama, suku, ras dan golongan. Sebab persahabatan adalah relasi manusia dengan sesama manusia yang dilandasi kasih sayang (cinta kasih).

Kehadiran Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono beserta Ibu dan Menteri Agama Muhammad Maftuh Basyuni beserta Ibu pada Perayaan Natal Nasional Umat Kristiani Tingkat Nasional (27/12/2005) lalu merupakan salah satu bukti nyata bahwa persahabatan antar-umat beragama dalam tata hidup bersama sangat ampuh melampaui perbedaan yang ada. Persahabatan sejati tidak mengenal pengkotak-kotakan atau pemecahbelahan sesama.
Persahabatan anta-umat beragama memang belum sepenuhnya seperti yang diharapkan dalam landasan idiil bangsa yaitu Pancasila. Namun hubungan persahabatan antar-umat beragama yang sudah berjalan dan sedang diusahakan semakin tampak ke permukaan patut dipuji dan dikemukakan.


Saling Memberi Ucapan Selamat


Bila kita coba mengelilingi jalan-jalan di Ibukota Jakarta, maka kita dapat menyaksikan spanduk berisi ucapan SELAMAT HARI NATAL DAN TAHUN BARU 2006 terpampang di pagar pembatas jalanan maupun pada dinding bangunan kota. Yang lebih menarik, ucapan tersebut tidak hanya datang dari organisasi massa atau partai nasionalis, tetapi juga dari organisasi massa atau kelompok masyarakat bernafaskan Islami seperti Nahdlatul Ulama.
Penulis amat terkejut bercampur bahagia, ketika penulis menerima ucapan Selamat Natal dari sahabat-sahabat beragama Islam melalui SMS, e-mail, milis group dan ucapan langsung saat bertemu. Bila anda bergabung dalam miling list seperti group pluralitas ICRP dan group filsafat, maka di sana anda akan dapat menyaksikan orang-orang yang berbeda latar belakang agama dan suku saling memberi ucapan selamat. Pada Hari Natal yang lalu, mereka yang beragama Islam memberi ucapan Selamat Natal. Demikian juga pada Hari Raya Idul Fitri sebelumnya, mereka yang beragama Kristen/ Katolik memberikan ucapan Selamat Idul Fitri atau Selamat Hari Lebaran.

Sungguh indah, ternyata latar belakang agama ataupun suku tidak dapat mematahkan semangat persahabatan pada kebanyakan warga bangsa ini. Lebih indah lagi, karena dalam ucapan selamat itu disertai permohonan maaf, “doa” dan “harapan” agar damai selalu menyertai persahabatan itu.

Sikap Berempati


Menjelang Natal 25 Desember 2005 lalu, Din Syamsudin, Ketua Umum Muhammadiyah menawarkan gedung sebagai tempat Perayaan Natal kepada umat Kristiani yang tidak lagi memiliki gedung tempat ibadah yang konon digusur atau dirusak karena tidak mempunyai surat ijin pembangunannya dan atau karena umatnya berjumlah sedikit. Sungguh sebuah empati dari seorang tokoh umat Muslim terhadap umat Kristiani.
Demikian pula, ketika Perayaan Natal sedang digerogoti ancaman bom atau gangguan lainnya, pimpinan Banser NU mengerahkan sejumlah besar anggotanya ke tempat-tempat ibadah umat Kristiani untuk ikut menjaga keamanan dan ketenteraman umat dalam merayakan Natal. Berkat bantuan penjagaan keamanan tersebut Perayaan Natal pun dapat berlangsung dengan damai dan hikhmad.


Sikap mau berempati demikian sungguh merupakan cetusan kepedulian dan persahabatan. Banyak Pemimpin Umat Muslim ikut merasakan kecemasan umat Kristiani setiap kali merayakan Natal dalam beberapa tahun belakangan ini.

Perbedaan itu Sendiri Yang Memungkinkan


Konteks dunia hidup manusia (man’s lifeworld) itu sendiri yang memungkinkan setiap orang membangun persahabatan sejati. Dalam persahabatan, hubungan “aku” dan “engkau” menemukan pengungkapan konkritnya. Dalam hubungan semacam ini tidak ada lagi “ia” atau “mereka”. Dengan kata lain, tidak ada lagi orang ketiga, orang lain atau orang yang dipandang di luar hubungan “aku” dan “engkau”.

Dalam persahabatan, “engkau” tidak lagi sebagai pribadi “lain” yang berbeda dari aku, melainkan menjadi “aku yang lain” (alteritas aku) yang berbicara kepadaku. Kesadaran mengenai “aku yang lain” atau pribadi lain sebagai aku yang lain diperlukan justru agar aku semakin menjadi aku sejati. Aku sejati adalah aku yang bukan aku egois melainkan aku subyek. Aku egois adalah aku yang bertindak demi dan untuk aku sendiri. Tindakan semacam ini jelas menyisihkan pribadi lain, menindas kepentingan orang lain, menegasi dan menyangkal keberadaan perbedaan yang dimiliki orang lain (bdk. :Riyanto, 2005:88)


Karena orang lain adalah “aku yang lain”, aneka pengalaman kegembiraan, harapan, penderitaan dan kecemasannya adalah kegembiraan, penderitaan, harapan, dan kecemasanku sendiri. Segala macam bentuk perlakuan kepadanya identik dengan segala macam perlakuan terhadapku.
Di sinilah letak persahabatan sejati yaitu ketika “aku yang lain” justru memperkaya aku, dan menjadi karunia bagiku, bukannya menjadi ancaman bagiku. Artinya “ke-lain-an” orang lain yang berbeda dari aku atau aku yang berbeda dari orang lain justru saling melengkapi dan meneguhkan kesejatian kemanusiaan kita.


Sebenarnya, pluralitas agama, suku, ras dan golongan warga bangsa dan perbedaan yang menyertainya justru sangat mendukung dan memungkinkan terjadinya persahabatan sejati. Bila kita bersahabat hanya dengan orang yang se-agama, se-suku, se-ras, dan se-golongan, apakah kelebihan kita sebagai makhluk berakal budi dari hewan atau binatang? Bukankah hewan atau binatang yang tidak berakal budi mampu juga melakukan hal yang sama?


Bila kita coba lihat, sebenarnya upaya membangun persahabatan itu terus diperjuangkan oleh semua orang yang berkehendak baik demi terciptanya tata hidup bersama yang sehat dan demi masa depan bangsa Indonesia yang damai, sejahtera dan bermartabat.


Teladan persahabatan itu dapat kita saksikan dalam sejarah perjuangan bangsa. Para bapa pendiri bangsa yang berbeda agama, suku, ras dan golongan mampu meletakkan landasan bangsa yaitu Pancasila hanyalah karena ada persahabatan sejati.


Pada hari Raya Idul Fitri yang lalu, sejumlah umat Gereja Katolik/ Kristen di ibu kota menyampaikan ucapan SELAMAT IDUL FITRI lewat spanduk yang dibentangkan di atas jalanan di depan gedung gereja. Para pemimpin Gereja juga menyampaikan ucapan selamat kepada para pemimpin umat muslim entah lewat kartu, SMS, email, milis group maupun telepon. Demikian juga pada Hari Natal Desember lalu, ucapan selamat berdatangan dari umat Muslim kepada umat Kristiani.


Kehadiran Presiden RI dan Menteri Agama RI yang beragama Islam pada perayaan Natal Nasional Umat Kristiani merupakan teladan peneguhan persahabatan antar-umat beragama. Hal ini semakin relevan terlebih karena sejumlah umat yang berbeda agama sempat bingung pasca keluarnya Fatwa MUI beberapa bulan yang lalu, yang mengharamkan mereka yang menghadiri Perayaan Natal Umat Kristiani.


Tahun 2006 adalah tahun harapan bagi kita untuk memupuk persahabatan sejati dan menyebarkan keindahan persahabatan itu di tengah warga bangsa Indonesia yang beraneka ragam. Tentu ajakan ini berlaku bagi semua orang yang berkehendak baik dan untuk menciptakan tata hidup bersama yang sehat, damai dan bermartabat. Amin

Penulis adalah alumnus STFT Widya Sasana Malang,
Tinggal di Jakarta

Rabu, April 23, 2008

UMAT BUTUH GEMBALA BERINTEGRITAS DIRI

Oleh: Pormadi Simbolon

Membaca tulisan seorang biarawati dalam rubrik Antarkita (HIDUP Edisi 26 Desember 2004) kita pasti tersentak dan heran mengapa seorang pastor berkelit dan tidak menepati janjinya? Biarawati tersebut merasa kecewa dan mempertanyakan kesejatian diri seorang pastor alias integritas diri seorang pewarta suara Tuhan.

Barangkali kejadian yang sama banyak terjadi dalam bentuk lain pada para gembala kita yang tidak muncul ke permukaan umum. Sikap seorang gembala yang “pembohong” akan membawa citra buruk bagi para gembala kita. Tegakah kita mempunyai gembala demikian?

Pastor, imam atau gembala dalam benak umat adalah tokoh penting, pewarta suara Tuhan dan pemimpin umat? Umat sangat menghormati mereka. Bahkan hampir semua semua umat melihat imam atau pastor sebagai sosok yang mengetahui banyak hal teristimewa pengetahuan tentang Kitab Suci atau Sabda Tuhan, sehingga bila umat mengalami berbagai masalah dalam kehidupan langsung mendatangi pastornya.

Yang lebih dalam lagi, pastor atau gembala adalah alter Kristus, man of God dan pakar rohani dalam pikiran umat. Umat sangat simpatik dan respek kepada para imam justru karena tahbisan imamat yang diterimanya dan karena mereka adalah orang-orang terpilih yang sanggup menjadi imam. Setiap kali umat mengalami percekcokan, keretakan, perceraian, dan kekerasan dalam rumah tangga dan lain sebagainya mereka langsung meminta nasehat dan petunjuk dari pastornya di paroki.

Bila banyak pastor atau gembala kita berperilaku seperti yang dialami oleh biarawati tersebut di atas, berapa banyak umat yang akan dikecewakan dan terkelabui?

Tulisan ini tidak untuk mengurangi rasa hormat kepada para pastor yang adalah gembala, nabi dan imam kami. Para pastor juga manusia biasa seperti umat. Pastor bukan malaikat. Bedanya dengan umat adalah tahbisan imamat atau panggilan khusus kepada para imam untuk melaksanakan tugas kegembalaan bagi umat. Kita mau mengatakan bahwa umat membutuhkan teladan dari gembala dengan memiliki integritas diri dan kredibilitas. Umat butuh imam yang memberi kesaksian harmonisnya antara kata-kata dan teladan hidupnya.

Integritas diri adalah kesatuan dan keseimbangan kualitas pribadi yaitu cinta (love), ketegasan (assertion), kelemahan (weakness), dan strength (kekuatan). Kita memiliki integritas diri bila kualitas love, assertion, weakness dan strength beroperasi secara seimbang dalam diri individu. Dengan integritas diri yang dimilikinya, seseorang niscaya mampu mencintai sesama dengan cinta universal (agape). Ia juga pasti tegas pada nilai dan prinsip sebagai insan beriman. Ia berani mengakui kelemahan dan kekuatan yang dimilikinya.

Menurut Dr. Dan Montgomery, praktisi konseling pastoral dalam bukunya Practical Counselling Tools for Pastoral Workers (Paulines, 1997: 11-15) menyebut Yesus Kristus sebagai model berkepribadian yang seimbang dan integral.

Kristus diutus ke dunia untuk menyelamatkan dunia, bukan membinasakannya (bdk. Yoh 3:17). Yesus Kristus adalah pengasih jiwa umatNya, sumber kebaikan dan Pengampun. Karena kasihNya, Dia mengampuni wanita yang ketahuan berzinah dan menyelamatkan wanita itu dari ancaman lemparan batu oleh orang banyak. Inilah kasih Yesus.

Dalam karyaNya, Yesus tidak gampang condong ke dalam situasi dan kondisi sosial politik jamannya. Yesus justru berada di garda depan dalam menentang ketidakadilan penguasa yang menimpa umatNya. Dengan tegas, Dia melawan semua kebohongan atau hipokrisi yang ditunjukkan orang-orang Farisi. Dia mengusir para penukar uang dan pedagang yang menyalahgunakan Bait Suci. Yesus tegas pada nilai kebenaran Allah.

Di samping cinta dan ketegasanNya, Yesus adalah sama seperti kita umatNya yang memiliki kelemahan dan kekuatan. Yesus juga mengalami kengerian dan ketakutan ketika akan menghadapi penderitaan di kayu salib. Tetapi melalui kelemahanNya, Dia menjadi kurban hidup bagi umatNya. Yesus mati dalam kelemahanNya agar bangkit sebagai Pangeran Perdamaian yang mendamaikan umatNya dengan Allah. Sebagai kekuatanNya, segala kuasa sebagai Raja, Imam, dan Nabi diberikan kepadaNya. Dia adalah Nabi yang mewartakan Kebenaran Allah, Raja yang menggembalakan umat dan imam yang merayakan Ekaristi bagi umat. Dengan kuasaNya, Dia bangkit dari maut untuk memberikan kekuatan kehidupan bagi orang-orang percaya.

Model Kristus juga merupakan model dan teladan bagi para gembala kita, yang menggembalakan umat menuju keserupaan dengan Kristus. Dalam keseluruhan hidup idealnya, para imam menjadi teladan Kristus di tengah umatnya.

Alangkah ironisnya bila banyak imam atau gembala mulai menjauh dari kesejatian tugasnya sebagai imam, raja dan imam bagi umatnya. Para imam adalah andalan umat satu-satunya yang paling dipercaya ketika ada masalah-masalah berat di tengah hidupnya. Bahkan umat dengan jujur dan terus terang menumpahkan segala isi hati dan kesulitannya kepada para imam justru karena kepakaran rohani, kepemimpinan dan keteladanannya.

Kita patut mengacungkan jempol kepada para gembala yang setia pada tugasnya sebagai gembala, imam dan nabi. Mereka rela meninggalkan segala tugasnya demi mengabdi Kerajaan Allah. Sebaliknya, kita akan kecewa bila kita mendengar para gembala yang menyimpang dari natura panggilannya. Kami, umat Allah sangat membutuhkan imam yang bertintegritas diri dan kredibel di tengah semakin kompleksnya tantangan dan permasalahan hidup umat di era teknologi dan informasi canggih ini.

*Pormadi Simbolon,
pemerhati masalah umat, tinggal di Jakarta

Selasa, April 01, 2008

BILA RAKYAT HIDUP TANPA NEGARA

Oleh Pormadi Simbolon

Baru-baru ini, rakyat memunculkan dan menggelar pengadilan versi mereka di Desa Keboromo, Jawa Tengah. Saat rakyaT desa mengetahui sejumlah pamong desa korupsi dengan “menggelapkan” hasil penjualan tanah desa untuk pelebaran jalan, rakyat membawa mereka ke meja hijau hasil buatan mereka sendiri.


Proses sidang rakyat tersebut berlangsung sembilan jam, pertanda seriusnya pelaksanaan pengadilan. Para pamong pun menyerah dan bersedia mengembalikan uang korupsi ke kas desa. Sidang berlangsung tanpa hukum acara, tanpa hukum pidana, tanpa jaksa penuntut umum, tanpa hakim negara, di luar pengadilan, dan syukurlah dapat berhasil baik.

Ada fenomena bahwa rakyat dapat hidup tanpa negara. Rakyat memproses dan memperbaiki ketidakberesan yang mengganggu kesejahteraan bersama. Apakah mungkin rakyat dapat hidup sekurang-kurangnya berkecukupan tanpa negara?

Fenomena Hidup Tanpa Negara

Para petani di Kabupaten Banyuasin dan Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan tidak bisa menikmati kenaikan harga beberapa komoditas seperti harga karet di pasar internasional. Harga karet pada Maret ini malahan turun lebih rendah daripada sebelumnya di atas Rp 12.000,- per kilogram menjadi Rp 11.000,-. (Kompas 24/03).

Nasib kebanyakan korban bencana alam di negeri ini kerap kali kurang mendapat perhatian serius dari negara seperti mereka yang menjadi korban lumpur Lapindo di Jawa Timur.

Kalau pendapat para pakar ekonomi seperti diberitakan media massa, pertumbuhan perekonomian nasional cukup baik, 6,3 persen. Namun realitas perikehidupan rakyat semakin digerogoti ancaman gizi buruk dan kelaparan karena kenaikan harga-harga kebutuhan pokok berlomba-lomba melonjak tinggi. Selain kenaikan harga kebutuhan pokok, kelangkaan beberapa bahan pokok seperti minyak tanah dan kedelai ikut menambah stres rakyat banyak.

Di tengah kehidupan rakyat yang demikian pemerintah dan DPR masih belum menemukan kesepakatan siapa calon gubernur Bank Indonesia yang disepakati bersama, yang konon turut menentukan kebijakan ekonomi negara. Padahal rakyat sudah mendesak untuk diperhatikan dan diperbaiki nasibnya.

Negara Ada karena Rakyat

Dalam sistem dan kehidupan demokrasi seperti Indonesia sekarang, kesejahteraan dan perbaikan kehidupan bersama menjadi prioritas kebijakan pengelola negara. Pemerintah Pusat dan Daerah merupakan hasil pilihan alias kesepakatan rakyat banyak. Itu artinya kepemimpinan mereka atas negara menjadi legitim.

Bisa dikatakan, negara sebagai entitas politik itu sendiri ada karena rakyat ada. Oleh karena itu otoritas negara atas warganya berlaku sejauh otoritas itu meningkatkan kesejahteraan umum.

Thomas Hobbes (1588-1679) dalam bukunya Leviathan mengatakan bahwa kodrat manusia-manusia yang utama adalah sama alias sederajat. Oleh karena itu sang pemimpin negara hanya menjadi mungkin apabila ada persetujuan (consent) dari manusia-manusia yang bersangkutan. Instansi yang memerintah hanya terjadi apabila masing-masing individu melakukan konvensi. Konvensi bisa tercapai apabila pemerintah tersebut mampu mencapai tujuan bersama yaitu mengatasi the state of nature atau keterancaman hidup manusia karena manusia menjadi serigala bagi sesamanya (homo homini lupus).

Untuk itu, pemerintah yang disepakati individu-individu untuk memerintah seyogiyanya memperhatikan nasib dan kehidupan mereka yang semakin terancam dari “serigala-serigala” yang semakin merajalela.

Gagalkah Pengelola Negara kita?

Melihat realitas kehidupan rakyat banyak dalam sistem dan kehidupan demokrasi Indonesia saat ini, apakah pengelola negara sudah berkompeten mengatur dan memperjuangkan kehidupan rakyat yang sejahtera, damai, adil dan makmur?

Wakil Presiden Jusuf Kalla pernah mengatakan bahwa pengelola negara baik nasional maupun lokal sebaiknya berlatar belakang pebisnis (Kompas 22/11/2006). Butet Kartarejasa mengajukan bahwa pemimpin negara itu sebaiknya berlatar belakang seniman. Para Filosof seperti Plato dan Aristoteles mengajukan bahwa pemimpin negara yang baik adalah mereka yang memiliki kebijaksanaan alias para filosof. Lain lagi dengan Machiavellian, seorang pemimpin sejati adalah adalah politikus sejati yang tahu merengkuh dan mempertahankan takhta kekuasaannya.
Siapapun pemerintah yang tepat dan berkompeten serta berlatar belakang apa pun dia, yang paling utama adalah mengenal raison d’être-nya negara Indonesia yang sudah digagas the founding fathers terdapat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu: “membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.

Apapun alasannya, rakyat tidak bisa mencapai kesejahteraan bersama bila tidak ada otoritas negara yang mengatur kehidupan mereka entah secara eksekutif, legislatif maupun judikatif. Bila tidak, maka “serigala-serigala” akan memangsa manusia-manusia lainnya.

Bila kita melihat ada fenomena negara tidak memperhatikan dan mengutamakan kebaikan rakyat banyak, maka saat itulah terjadi pelalaiaan raison d’être sekaligus visi dan misi pembentukan negara Indonesia. Bukan tidak mungkin, terpicu oleh keterancaman dan menderitanya kehidupan harian, rakyat akan “mencabut” kesepakatan atau pelegitimasian terhadap mereka mengelola negara.


Penulis adalah pemerihati sosial, alumnus STFT Widya Sasana Malang, tinggal di Jakarta.

Jumat, Maret 14, 2008

PRAYER IS NOT SOMETHING ACCESSORY

On Zenit.org (March 4, 2007), Pope Benedict XVI explained that “prayer is not something accessory, it is not ‘optional’, but rather a question of life or death.

Shortly for Christian, the Holy Father said “to pray is not to evade reality and responsibilities it entails, but to assume them to end, trusting in the faithful and inexhaustible love of the Lord”

Prayer is something important in someone’s life, including me. Praying make me my deepheart in peace. I feel strong to face the reality of my life. Prayer also make my life more profoundly. I think prayer also give me a awareness of myself and and take me to view everything in my life more wisely. If I forget praying, I feel empty. (Pormadi Simbolon)

Kamis, Desember 27, 2007

Departemen Agama: Ucapkan Selamat Natal Bagi Umat Kristiani

Ada hal menarik untuk natal 2007 ini. Departemen Agama sebagai lembaga yang mengurusi pembangunan agama memajangkan spanduk besar bertuliskan MENTERI AGAMA BESERTA JAJARANNYA MENGUCAPKAN SELAMAT HARI RAYA NATAL BAGI UMAT KRISTIANI, di halaman samping Kantor Sekretariat Kerukunan Umat Bragama di Jalan Kramat Raya Jakarta.

Dengan perayaan natal tahun ini diharapkan adanya peningkatan kualitas iman bagi perbaikan bangsa. Padahal selama ini ada kesan "ucapan selamat natal bagi umat kristiani" terkesan haram bila diucapkan oleh saudara/i beragama Islam. Ucapan Menteri Agama itu amat menyejukkan bagi umat Kristiani. Ucapan selamat demikian amat berarti dan berharga bagi umat kristiani sebagai bagian dari warga negara dan sebagai bagian pembinaan kerukunan nasional sebagaimana diamanatkan oleh

Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 Tahun 2006
tentang PEDOMAN PELAKSANAAN TUGAS KEPALA DAERAH/ WAKIL KEPALA DAERAH DALAM
PEMELIHARAAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA, PEMBERDAYAAN FORUM KERUKUNAN UMAT
BERAGAMA, DAN PENDIRIAN RUMAH IBADAT, yang sesungguhnya adalah buah-buah
pikiran para utusan dari lembaga-lembaga agama kiranya dapat ikut serta memberi
rambu-rambu sehingga cita-cita hidup rukun antar umat beragama semakin hari
semakin menjadi indah.

Yang lebih menarik lagi, ucapan natal kepada umat kristiani berdatangan lewat sms dan email. Hal ini terlihat dari pesan dan isi posting milis PLURALITAS, Forum Pembaca Kompas, dan berbagai milis lainnya. Secara pribadi, penulis menerima puluhan sms ucapan selamat natal dari teman-teman beragama Islam. Amat indah dan menyenangkan.

Natal 2007

Natal tahun 2007 aman dan damai. Itulah kesan pertama setelah menyaksikan pelaksanaan perayaan natal 2007 di berbagai kota di seluruh Indonesia. Mulai dari Gereja di kota-kota besar hingga ke pelosok-pelosok nusantara. Semua perayaan misa natal dan kebaktian natal 2007 berjalan damai dan khidmat.
Pesan natal tahun 2007 ini semua berfokus pada inti pesan natal 2007 yang digagas oleh Persatuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) - Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Desember lalu yaitu

“HIDUPLAH DENGAN BIJAKSANA, ADIL DAN BERIBADAH” (Bdk. Titus 2:12).

Pesan itu amat relevan dengan tantangan zaman sekarang dimana dampak negatif globalisasi, materialisme dan primordialisme kerap kali menguasai banyak orang. Semoga dengan perayaan natal dan ucapan selamat natal di Indonesia semakin memupuk persaudaraan dan semangat kebersamaan dalam menggapai bonum publicum (kesejahteraan bersama) menuju Indonesia yang aman, demokratis dan damai sejahtera. AMIN (Pormadi Simbolon)

Sabtu, November 17, 2007

HOMESCHOOLING: SEBUAH PENDIDIKAN ALTERNATIF

HOMESCHOOLING:
SEBUAH PENDIDIKAN ALTERNATIF

Oleh Pormadi Simbolon, SS

Pengantar

Setiap orang tua menghendaki anak-anaknya mendapat pendidikan bermutu, nilai-nilai iman dan moral yang tertanam baik, dan suasana belajar anak yang menyenangkan. Kerapkali hal-hal tersebut tidak ditemukan para orangtua di sekolah umum. Oleh karena itu muncullah ide orangtua untuk “menyekolahkan” anak-anaknya di rumah. Dalam perkembangannya, berdirilah lembaga sekolah yang disebut sekolah-rumah (homeschooling) atau dikenal juga dengan istilah sekolah mandiri, atau home education atau home based learning.

Latar Belakang

Banyaknya orangtua yang tidak puas dengan hasil sekolah formal mendorong orangtua mendidik anaknya di rumah. Kerapkali sekolah formal berorientasi pada nilai rapor (kepentingan sekolah), bukannya mengedepankan keterampilan hidup dan bersosial (nilai-nilai iman dan moral). Di sekolah, banyak murid mengejar nilai rapor dengan mencontek atau membeli ijazah palsu. Selain itu, perhatian secara personal pada anak, kurang diperhatikan. Ditambah lagi, identitas anak distigmatisasi dan ditentukan oleh teman-temannya yang lebih pintar, lebih unggul atau lebih “cerdas”. Keadaan demikian menambah suasana sekolah menjadi tidak menyenangkan.

Ketidakpuasan tersebut semakin memicu orangtua memilih mendidik anak-anaknya di rumah, dengan resiko menyediakan banyak waktu dan tenaga. Homeschooling menjadi tempat harapan orang tua untuk meningkatkan mutu pendidikan anak-anak, mengembangkan nilai-nilai iman/ agama dan moral serta mendapatkan suasana belajar yang menyenangkan.

Homeschooling
Istilah Homeschooling sendiri berasal dari bahasa Inggris berarti sekolah rumah. Homeschooling berakar dan bertumbuh di Amerika Serikat. Homeschooling dikenal juga dengan sebutan home education, home based learning atau sekolah mandiri. Pengertian umum homeschooling adalah model pendidikan dimana sebuah keluarga memilih untuk bertanggung jawab sendiri atas pendidikan anaknya dengan menggunakan rumah sebagai basis pendidikannya. Memilih untuk bertanggungjawab berarti orangtua terlibat langsung menentukan proses penyelenggaraan pendidikan, penentuan arah dan tujuan pendidikan, nilai-nilai yang hendak dikembangkan, kecerdasan dan keterampilan, kurikulum dan materi, serta metode dan praktek belajar (bdk. Sumardiono, 2007:4).

Peran dan komitmen total orangtua sangat dituntut. Selain pemilihan materi dan standar pendidikan sekolah rumah, mereka juga harus melaksanakan ujian bagi anak-anaknya untuk mendapatkan sertifikat, dengan tujuan agar dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya. Banyak orang tua Indonesia yang mempraktekkan homeschooling mengambil materi pelajaran, bahan ujian dan sertifikat sekolah rumah dari Amerika Serikat. Sertifikat dari negeri paman Sam itu diakui di Indonesia (Departemen Pendidikan Nasional) sebagai lulusan sekolah Luar Negeri (Kompas, 13/3/2005).

Dalam Pendidikan Nasional
Departemen Pendidikan Nasional menyebut sekolah-rumah dalam pengertian pendidikan homeschooling. Jalur sekolah-rumah ini dikategorikan sebagai jalur pendidikan informal yaitu jalur pendidikan keluarga dan lingkungan (pasal 1 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional – Sisidiknas No. 20/2003). Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Meskipun pemerintah tidak mengatur standar isi dan proses pelayanan pendidikan informal, namun hasil pendidikan informal diakui sama dengan pendidikan formal (sekolah umum) dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan (pasal 27 ayat 2).

Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Juga dijelaskan sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional (pasal 1).

Berdasarkan definisi pendidikan dan sistem pendidikan nasional tersebut, sekolah rumah menjadi bagian dari usaha pencapaian fungsi dan tujuan pendidikan nasional yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Sejarah Singkat

Filosofi berdirinya sekolah rumah adalah “manusia pada dasarnya makhluk belajar dan senang belajar; kita tidak perlu ditunjukkan bagaimana cara belajar. Yang membunuh kesenangan belajar adalah orang-orang yang berusaha menyelak, mengatur, atau mengontrolnya” (John Cadlwell Holt dalam bukunya How Children Fail, 1964). Dipicu oleh filosofi tersebut, pada tahun 1960-an terjadilah perbincangan dan perdebatan luas mengenai pendidikan sekolah dan sistem sekolah. Sebagai guru dan pengamat anak dan pendidikan, Holt mengatakan bahwa kegagalan akademis pada siswa tidak ditentukan oleh kurangnya usaha pada sistem sekolah, tetapi disebabkan oleh sistem sekolah itu sendiri.

Pada waktu yang hampir bersamaan, akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an, Ray dan Dorothy Moor melakukan penelitian mengenai kecenderungan orang tua menyekolahkan anak lebih awal (early childhood education). Penelitian mereka menunjukkan bahwa memasukkan anak-anak pada sekolah formal sebelum usia 8-12 tahun bukan hanya tak efektif, tetapi sesungguhnya juga berakibat buruk bagi anak-anak, khususnya anak-anak laki-laki karena keterlambatan kedewasaan mereka (Sumardiono, 2007: 21).

Setelah pemikirannya tentang kegagalan sistem sekolah mendapat tanggapan luas, Holt sendiri kemudian menerbitkan karyanya yang lain Instead of Education; Ways to Help People Do Things Better, (1976). Buku ini pun mendapat sambutan hangat dari para orangtua homeschooling di berbagai penjuru Amerika Serikat. Pada tahun 1977, Holt menerbitkan majalah untuk pendidikan di rumah yang diberi nama: Growing Without Schooling.

Serupa dengan Holt, Ray dan Dorothy Moore kemudian menjadi pendukung dan konsultan penting homeschooling. Setelah itu, homeschooling terus berkembang dengan berbagai alasan. Selain karena alasan keyakinan (beliefs) , pertumbuhan homeschooling juga banyak dipicu oleh ketidakpuasan atas sistem pendidikan di sekolah formal.

Di Indonesia

Perkembangan homeschooling di Indonesia belum diketahui secara persis karena belum ada penelitian khusus tetang akar perkembangannya. Istilah homeschooling merupakan khazanah relatif baru di Indonesia. Namun jika dilihat dari konsep homeschooling sebagai pembelajaran yang tidak berlangsung di sekolah formal alias otodidak, maka sekolah rumah sudah tidak merupakan hal baru. Banyak tokoh-tokoh sejarah Indonesia yang sudah mempraktekkan homeschooling seperti KH. Agus Salim, Ki Hajar Dewantara, dan Buya Hamka (Makalah Dr. Seto Mulyadi, 18 Juni 2006).
Dalam pengertian homeschooling ala Amerika Serikat, sekolah rumah di Indonesia sudah sejak tahun 1990-an. Misalnya Wanti, seorang ibu yang tidak puas dengan sistem pendidikan formal. Melihat risiko yang menurut Wanti sangat mahal harganya, dia banting setir. Tahun 1992 Wanti mengeluarkan semua anaknya dari sekolah dan memutuskan mengajar sendiri anak-anaknya di rumah. Ia mempersiapkan diri selama 2 tahun sebelum menyekolahkan anaknya di rumah. Semua kurikulum dan bahan ajar diimpor dari Amerika Serikat.Wanti sadar keputusannya mengandung konsekuensi berat. Dia harus mau capek belajar lagi, karena bersekolah di rumah berarti bukan anaknya saja yang belajar, tetapi justru orangtua yang harus banyak belajar.
Demikian juga Helen Ongko (44), salah seorang ibu yang mendidik anaknya dengan bersekolah di rumah, sampai harus ke Singapura dan Malaysia mengikuti seminar tentang hal ini. Dia ingin benar-benar mantap, baru mengambil keputusan. “Kebetulan waktu itu kondisi ekonomi sedang krisis sehingga kami banyak di rumah. Eh, ternyata enak ya belajar bersama di rumah,” kata Helen yang mulai mengajar anak di rumah tahun 2000 (Kompas, 13/3/2005).
Di Indonesia baru beberapa lembaga yang menyelenggarakan homeschoooling, seperti Morning Star Academy dan lembaga pemerintah berupa Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM).

Morning Star Academy, Lembaga pendidikan Kristen ini berdiri sejak tahun 2002 dengan tujuan selain memberikan edukasi yang bertaraf internasional, juga membentuk karakter siswanya.

Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) merupakan program pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan jalur informal. Badan penyelenggara PKBM sudah ada ratusan di Indonesia. Di Jakarta Selatan aja, ada sekitar 25 lembaga penyelenggara PKBM dengan jumlah siswa lebih kurang 100 orang. Setiap program PKBM terbagi atas Program Paket A (untuk setingkat SD), B (setingkat SMP), dan Paket C (setingkat SMA). PKBM sebenarnya menyelenggarakan proses pendidikan selama 3 hari di sekolah, selebihnya, tutor mendatangi rumah para murid. Para murid harus mengikuti ujian guna mendapatkan ijazah atau melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya. Perbedaan Ijazah dengan sekolah umum, PKBM langsung mengeluarkannya dari pusat.

Saat ini, perkembangan homeschooling di Indonesia dipengaruhi oleh akses terhadap informasi yang semakin terbuka dan membuat para orang tua memiliki semakin banyak pilihan untuk pendidikan anak-anaknya.

Faktor-Faktor Pemicu dan Pendukung Homechooling

Kegagalan sekolah formal
Baik di Amerika Serikat maupun di Indonesia, kegagalan sekolah formal dalam menghasilkan mutu pendidikan yang lebih baik menjadi pemicu bagi keluarga-keluarga di Indonesia maupun di mancanegara untuk menyelenggarakan homeschooling. Sekolah rumah ini dinilai dapat menghasilkan didikan bermutu.

Teori Inteligensi ganda
Salah satu teori pendidikan yang berpengaruh dalam perkembangan homeschooling adalah Teori Inteligensi Ganda (Multiple Intelligences) dalam buku Frames of Minds: The Theory of Multiple Intelligences (1983) yang digagas oleh Howard Gardner. Gardner menggagas teori inteligensi ganda. Pada awalnya, dia menemukan distingsi 7 jenis inteligensi (kecerdasan) manusia. Kemudian, pada tahun 1999, ia menambahkan 2 jenis inteligensi baru sehingga menjadi 9 jenis inteligensi manusia. Jenis-jenis inteligensi tersebut adalah:Inteligensi linguistik; Inteligensi matematis-logis; Inteligensi ruang-visual; Inteligensi kinestetik-badani; Inteligensi musikal; Inteligensi interpersonal; Inteligensi intrapersonal; Inteligensi ligkungan; dan Inteligensi eksistensial.

Teori Gardner ini memicu para orang tua untuk mengembangkan potensi-potensi inteligensi yang dimiliki anak. Kerapkali sekolah formal tidak mampu mengembangkan inteligensi anak, sebab sistem sekolah formal sering kali malahan memasung inteligensi anak.
(Buku acuan yang dapat digunakan mengenai teori inteligensi ganda ini dalam bahasa Indonesia ini, Teori Inteligensi Ganda, oleh Paul Suparno, Kanisius: 2003).

Sosok homeschooling terkenal
Banyaknya tokoh-tokoh penting dunia yang bisa berhasil dalam hidupnya tanpa menjalani sekolah formal juga memicu munculnya homeschooling. Sebut saja, Benyamin Franklin, Thomas Alfa Edison, KH. Agus Salim, Ki Hajar Dewantara dan tokoh-tokoh lainnya.
Benyamin Franklin misalnya, ia berhasil menjadi seorang negarawan, ilmuwan, penemu, pemimpin sipil dan pelayan publik bukan karena belajar di sekolah formal. Franklin hanya menjalani dua tahun mengikuti sekolah karena orang tua tak mampu membayar biaya pendidikan. Selebihnya, ia belajar tentang hidup dan berbagai hal dari waktu ke waktu di rumah dan tempat lainnya yang bisa ia jadikan sebagai tempat belajar.

Tersedianya aneka sarana
Dewasa ini, perkembangan homeschooling ikut dipicu oleh fasilitas yang berkembang di dunia nyata. Fasilitas itu antara lain fasilitas pendidikan (perpustakaan, museum, lembaga penelitian), fasilitas umum (taman, stasiun, jalan raya), fasilitas sosial (taman, panti asuhan, rumah sakit), fasilitas bisnis (mall, pameran, restoran, pabrik, sawah, perkebunan), dan fasilitas teknologi dan informasi (internet dan audivisual).

Homeschooling vs Sekolah Umum
Model pendidikan yang paling terkenal dan diakui masyarakat adalah sistem sekolah atau pendidikan formal baik yang diselenggarakan pemerintah maupun swasta. Sekolah umum seringkali dipandang sebagian orang lebih valid dan disukai.

Namun bagi sebagian orang, sistem sekolah umum merupakan sekolah yang tidak memuaskan bagi perkembangan diri anak. Sekolah umum menjadi kambing hitam atas output yang dikeluarkannya. Hal ini terlihat dari output pendidikan formal banyak menjadi koruptor, pelaku mafia peradilan, politisi pembohong, dan penipu kelas kakap. Alasan kekecewaan itulah memicu keluarga-keluarga memilih sekolah rumah alias homeschooling sebagai pendidikan alternatif.

Pada hakekatnya, baik homeschooling maupun sekolah umum, sama-sama sebagai sebuah sarana untuk menghantarkan anak-anak mencapai tujuan pendidikan seperti yang diharapkan. Namun homeschooling dan sekolah memiliki perbedaan.

Pada sistem sekolah, tanggung jawab pendidikan anak didelegasikan orang tua kepada guru dan pengelola sekolah. Pada homeschooling, tanggung jawab pendidikan anak sepenuhnya berada di tangan orang tua.

Sistem di sekolah terstandardisasi untuk memenuhi kebutuhan anak secara umum, sementara sistem pada homeschooling disesuaikan dengan kebutuhan anak dan kondisi keluarga.

Pada sekolah, jadwal belajar telah ditentukan dan seragam untuk seluruh siswa. Pada homeschooling jadwal belajar fleksibel, tergantung pada kesepakatan antara anak dan orang tua.

Pengelolaan di sekolah terpusat, seperti pengaturan dan penentuan kurikulum dan materi ajar. Pengelolaan pada homeschooling terdesentralisasi pada keinginan keluarga homeschooling. Kurikulum dan materi ajar dipilih dan ditentukan oleh orang tua.

Kelebihan dan Kekurangan Homeschooling
Dari perbedaan di atas, kita dapat menyebutkan kelebihan homeschooling, antara lain: adaptable, artinya sesuai dengan kebutuhan anak dan kondisi keluarga; mandiri artinya lebih memberikan peluang kemandirian dan kreativitas individual yang tidak didapatkan di sekolah umum; potensi yang maksimal, dapat memaksimalkan potensi anak, tanpa harus mengikuti standar waktu yang ditetapkan sekolah; siap terjun pada dunia nyata. Output sekolah rumah lebih siap terjun pada dunia nyata karena proses pembelajarannya berdasarkan kegiatan sehari-hari yang ada di sekitarnya; terlindung dari pergaulan menyimpang. Ada kesesuaian pertumbuhan anak dengan dengan keluarga. Relatif terlindung dari hamparan nilai dan pergaulan yang menyimpang (tawuran, narkoba, konsumerisme, pornografi, mencontek dan sebagainya); Ekonomis, biaya pendidikan dapat menyesuaikan dengan kondisi keuangan keluarga.

Di sisi lain, homeschooling mempunyai kelemahan-kelemahan yang dapat disebutkan berikut ini: membutuhkan komitmen dan tanggung jawab tinggi dari orang tua; memiliki kompleksitas yang lebih tinggi karena orangtua harus bertanggung jawab atas keseluruhan proses pendidikan anak; keterampilan dan dinamika bersosialisasi dengan teman sebaya relatif rendah; ada resiko kurangnya kemampuan bekerja dalam tim (team work), organisasi dan kepemimpinan; proteksi berlebihan dari orang tua dapat memberikan efek samping ketidakmampuan menyelesaikan situasi dan masalah sosial yang kompleks yang tidak terprediksi.

Penutup
Homeschooling merupakan sebuah pilihan dan khazanah alternatif pendidikan bagi orang tua dalam meningkatkan mutu pendidikan, mengembangkan nilai iman (agama), dan menginginkan suasana belajar yang lebih menyenangkan. Di sisi lain, ada sekolah umum yang memberikan bahan ajar dan kurikulum secara terpusat dan seragam, sesuai dengan harapan dan kebutuhan anak. Baik homeschooling maupun sekolah umum (pendidikan formal) sama-sama mempunyai kelebihan dan kekurangan dalam menghantarkan peserta didik mencapai tujuan pendidikan. Soal pilihan atas keduanya, semua diserahkan pada orangtua dan keluarga sesuai dengan kondisi keluarga.
Penulis adalah pemerhati pendidikan anak, tinggal di Jakarta.
REFERENSI:

Kompas Cyber Media, 29 Agustus 2005: “Home Schooling” Model Pendidikan Alternatif

Sarie Febriane/ Clara Wresti, Rumah Kelasku, Dunia Sekolahku, Harian Kompas, 13 Maret 2005

Yorgi Gusman, Ikutan Home Schooling, 08 September 2006

Paul Suparno, Teori Inteligensi Ganda, Kanisius: Yogyakarta, 2003

Sumardiono, Homeschooling, Lompatan Cara Belajar, PT. Elex Media Komputindo: Jakarta, 2007

Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Fokusmedia, Bandung 2003

13 PELAJARAN BERHARGA DARI BENJAMIN RANKLIN

13 PELAJARAN BERHARGA DARI BENJAMIN RANKLIN

Benjamin Franklin adalah mantan presiden Amerika Serikat. Ia berhasil menjadi negarawan berkat semangat perjuangannya untuk menjadi insan berguna bagi negara, sesama dan tentu keluarga serta diri sendiri. Ia tidak sempat mengecap pendidikan tinggi. namun berkat belajar otodidaknya (sekarang ada istilah homeschooling) ia berhasil menjadi pemimpin negara besar seperti Amerika Serikat.

Belajar otodidaknya tidak berlaku hanya untuk soal-soal pelajaran, tetapi juga soal “pelajaran” self formation atau pembentukan diri sendiri, sehingga ia menjadi insan berhasil di jamannya. Ada 13 hal pelajaran atau prinsip dalam pembentukan dirinya itu adalah keugaharian, diam, tertib teratur, keteguhan hati, hemat, rajin, kejujuran, keadilan moderat, kebersihan, ketengangan, kemurnian,dan kerendahan hati. Semuanya dicoba dalam praktek, dievaluasi dan dicoba lagi ketika gagal sampai ia berhasil mengendalikan dirinya.

1. KEUGAHARIAN.
Jangan makan dan minum terlalu banyak.

2. DIAM.
Bicaralah tentang hanya yang bermanfaat bagi orang lain, hindarilah omongkosong.

3. TERTIB TERATUR.
Letakkan hal dan barang anda di kedudukan dan tempatnya masing-masing. Bagi setiap unsur dari urusan anda, berilah waktunya sendiri-sendiri.

4. KETEGUHAN HATI.
Bersikaplah teguh untuk melaksanakan apa yang seyogiyanya anda lakukan. Laksanakanlah apa yang telah anda putuskan, jangan sampai gagal.

5. HEMAT.
Jangan mengeluarkan biaya selain untuk hal-hal yang baik bagi orang lain dan diri sendiri. Jangan menyia-nyiakan apapun.

6. RAJIN
Jangan ada waktu yang kosong. Selalulah mengerjakan sesuatu yang berguna. Hentikan tindakan-tindakan yang tiada gunanya.

7. KEJUJURAN
Jangan mempergunakan tipu muslihat yang menyakitkan hati. Berpikitlah bersih dan adil. Kalau anda berbicara, berbicaralah yang benar.

8. KEADILAN
Jangan menyalahkan orang lain dengan melakukan sesuatu yang tidak adil atau dengan melalakan hal-hal yang merupakan kewajibannya.

9. MODERAT
Hindari hal-hal yang ekstrim. Bersabarlah terhadap hal-hal yang kurang adil atas dirimu.

10. KEBERSIHAN
Jangan mentolerir hal-hal yang tidak bersih dalambadan, pakaian, atau rumahmu.

11. KETENANGAN
Jangan gugup karena hal-hal remeh, atau kejadian-kejadian buruk yang biasa atau yang tidak terhindarkan.

12. KEMURNIAN
Pergunakan seks hanya untuk kesehatan atau keturunan. Jangan pernah berlebihan atau bahkan hingga merusak dirimu sendiri atau reputasi dan ketenangan orang lain.

13. KERENDAH HATI
Bersikaplah rendah hati terhadap siapapun.

Ketigabelas pelajaran ini seyogianya amat berguna bagi para kaum muda yang hendak menjadi insan berguna bagi bangsa, negara, agama, keluarga dan tentu dirinya sendiri. Seperti halnya, Benjamin Franklin, ketigabelas pelajaran ini dipraktekkannya, dievaluasi dan dicoba lagi dari minggu ke minggu. Sehingga pada saatnya ia menjadi berhasil membentuk dirinya sendiri sebagai negarawan.
(Pormadi Simbolon, pencinta humaniora. Ditulis dari berbagai sumber)
Powered By Blogger