Khilafah, Pancasila dan Indonesia
Pormadi Simbolon
"Justru khilafah akan menyelamatkan bangsa dan umat Islam Indonesia," ujar Juru Bicara Hizbuth Tahrir Indonesia Ismail Yusanto pada pembukaan Konferensi Khilafah Internasional di Jakarta, Minggu (12/8) dalam menanggapi isu seputar maksud pertemuan itu. Dikatakan bahwa salah tujuan pertemuan tersebut adalah untuk kepemimpinan khilafah.
Khilafah adalah sebuah sistem pemerintahan yang khas dengan ideologi Islam dan perundang-undangan yang mengacu kepada Al Quran dan Hadis. Dalam sistem pemerintahan khilafah kepala negara tetap memegang jabatannya selama ia tunduk kepada syari’ah. Tegaknya khilafah diyakini mampu menegakkan syariat Islam dan mengembangkan dakwah ke seluruh penjuru dunia.
Enam puluh dua tahun Indonesia sudah merdeka, selama itu pula gerakan ekstremis bermunculan hendak mengubah dasar negara Indonesia dengan berdasarkan pada salah satu dogma agama tertentu. Hal itu semakin terlihat jelas pasca otoritarianisme Orde Baru. Kita menyaksikan tribalisme sektarian. Ruang-ruang publik dan hidup bersama kita dikepung sekawanan ekstremis yang memburu pembentukan Indonesia atas dasar dogma agama, dan mereka coba menghapus perbedaan antara "agama" dan "negara".
Tampaknya gerakan dan perjuangan pembentukan negara Islam di Indonesia tidak akan pernah berhenti. Hal itu tampak dalam pengalaman dan perjalanan sejarah bangsa Indonesia.
Sudah terbukti dalam sejarah bahwa gerakan mendirikan negara Islam yang dilakukan Darul Islam atau DI/TII pimpinan Kartosuwiryo, yang berlanjut di daerah-daerah lain, seperti Aceh dan Sulawesi Selatan tidak berhasil. Sekarang ini juga ada yang menginginkan negara agama dalam bentuk cita-cita tegaknya Khilafah Islamiyah.
Sementara itu, dewasa ini kelompok-kelompok Islam berkehendak mengubah memperjuangkan gerakan islamisasi negeri ini melalui peraturan-peratuan daerah (Perda). Apakah Perda itu dapat membuat warga menikmati hidup kesehariannya secara lebih baik?
Benarkah Khilafah Menyelamatkan Indonesia?
Kaum nasionalis umumnya menolak pemerintahan dengan sistem khilafah. Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama atau PBNU dengan tegas menolak penerapan sistem khilafah di Indonesia. Ide khilafah atau pemerintahan tunggal bagi umat Islam di seluruh dunia akan mendekonstruksi negara. (Kompas, 12/08/07)
Kaum nasionalis juga berpendapat bahwa politik transnasional tidak cocok diterapkan di Indonesia karena sistem politik yang dibawa dari Timur Tengah tersebut tidak sesuai dengan situasi politik di Indonesia.
Jika sistem khilafah diterapkan pasti akan berbenturan dengan sistem republik, bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Pancasila. Sebab jelas sekali, bahwa Negara Indonesia dibentuk bukan atas dasar salah satu agama. Dalam sistem khalifah, kepala negara memegang jabatannya selama ia tunduk pada syari’ah, sedang dalam sistem republik, kepala negara memegang jabatannya dalam waktu tertentu.
Pembentukan negara Indonesia yang sudah kita jalani selama 62 tahun ini oleh para bapa bangsa didasarkan pada prinsip ‘semua untuk semua’ bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan. Demikianlah Soekarno, proklamator RI ini pernah berkata, “Kita hendak mendirikan suatu negara Indonesia merdeka di atas weltanschauung apa? … Apakah kita hendak mendirikan Indonesia merdeka untuk seseorang, untuk suatu golongan? … Apakah maksud kita begitu? Sudah tentu tidak! Baik saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan di sini, maupun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat bahwa bukan negara yang demikian itulah yang kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara ‘semua buat semua’. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan… Maka yang selalu mendengung di dalam saya punya jiwa…ialah dasar pertama, yang baik dijadikan dasar buat negara Indonesia, [yaitu] dasar kebangsaan”. (M. Yamin, Naskah Persiapan Undang-undang Dasar 1945, Jakarta 1959, 68-69)
Pendiri bangsa ini telah melihat jauh ke depan, bahwa dasar negara Indonesia tidak tepat didasarkan pada dogma salah satu agama tertentu. Dasar negara seyogiyanya mengatasi kepentingan satu golongan, menembus kotak-kotak agama, merangkul semua penghuni negeri ini. Negara yang merangkul semua kepentingan warganya itulah yang akhirnya disepakai sebagai dasar negara dengan berdasarkan pada Pancasila yang berwawasan kebangsaan.
Baik tokoh-tokoh nasionalis maupun tokoh-tokoh muslimin sepakat menerima Pancasila sebagai dasar Negara RI berdasarkan pada prinsip: a) bahwa kaum muslim Indonesia melalui para pemimpinnya, ikut aktif dalam merumuskan dan sepakat menetapkan Undang-Undang Dasar 1945; b) bahwa nilai-nilai luhur Pancasila dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 menjadi dasar Negara dan disepakai dan dibenarkan menurut pandangan Islam. (H. Achmad Siddiq dalam Sudjangi, penyunting 1992).
Kehendak membentuk Negara Indonesia dengan sistem khilafah Islamiyah jelas sekali tidak sesuai dengan Indonesia yang multikultural. Gerakan konseptualisasi negara Islam, atau Khilafah Islamiyah sesungguhnya bertabrakan dengan demokrasi. Tabrakannya terletak pada prinsip dasar, seperti pluralisme, ide kedaulatan, dan konstitusi. Demokrasi jelas menolak ide kedaulatan Tuhan dan berlakunya syariat Islam di dalam komunitas masyarakat plural, yang di dalam konsep negara Islam sebagai sesuatu yang prinsip. Ditambah lagi, dengan tidak adanya contoh konkret negara Islam, atau Khilafah Islamiyah yang ideal di dunia, bahkan di Timur Tengah yang memiliki tradisi Islam kuat. Apakah Arab Saudi, Pakistan, Iran dapat disebut sebagai representasi prototipe negara Islam, atau Khilafah Islamiyah yang sesungguhnya? (Khamami Zada, Suara pembaruan, 21/06/2007).
Barangkali, gerakan yang berkehendak untuk mengubah dasar negara RI tidak akan pernah berhenti. Namun sejarah akan membuktikan bahwa sistem negara yang merangkul kepentingan semualah yang akan menyelamatkan Indonesia. Bukan sistem yang mengedepankan kepentingan satu orang atau kelompok yang menyelamatkan Indonesia, tetapi kepentingan bersama alias bonum commune-lah yang menyelamatkan Indonesia.
"Kita" adalah realitas plural yang tidak akan menjadi tunggal. Tetapi, "kita" juga pluralitas yang sedang membentuk sebuah Indonesia yang maju, adil, makmur dan bermartabat. Ideologi Pancasila sudah menyerap semua kepentingan warga bangsa ini. Pancasila adalah untuk semua. Dasar negara adalah semua untuk semua, bukan untuk satu orang atau golongan. Hidup Pancasila!
* Penulis adalah alumnus Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Widya Sasana malang,
Tinggal di jakarta
Trima kasih mengunjungi blog kami!
Para pengunjung yth. semua isi blog ini ditulis atau disusun atas kemauan pribadi. Itu berarti blog ini berisi aneka pendapat, pemahaman, persepsi pribadi, dan pemikiran pribadi atas lingkungan kerja dan hidup sekitarnya. Harapan kami isi blog ini bermanfaat bagi pengunjung yang memerlukannya. Salam, GBU.
Jumat, Agustus 24, 2007
Khilafah, Pancasila dan Indonesia
Label:
Indonesia,
khilafah,
nilai-nilai pancasila,
NKRI,
politik

DISIPLIN DAN KEMERDEKAAN
DISIPLIN DAN KEMERDEKAAN
Oleh Pormadi Simbolon*
Berdasarkan data Komisi Pemberantasan (KPK) per 15 Agustus 2007 tingkat kepatuhan bidang yudikatif hanya 43,77 persen. Dari total 20.991 penyeleggara negara, baru 9.188 orang yang telah melaporkan kekayaan ke KPK. Itu berarti hakim dan jaksa agung tergolong kelompok yang paling tidak berdisiplin.
Ketidakdisiplinan aparat penegak hukum melaporkan kekayaannya merupakan cermin kepribadian sebagian warga bangsa Indonesia. Jika para penyelenggara negara tidak berdisiplin, apalagi rakyatnya. Sebab kedisiplinan itu pada logikanya menetes dari para pimpinan (level atas) kepada masyarakat umum (level bawah).
Jika ditelusuri lebih dalam, para hakim dan jaksa merupakan salah satu pelaku penghakiman atas perilaku ketidaktaatan masyarakat pada hukum. Aneka putusan penggusuran terhadap sebagian warga masyarakat merupakan hasil dari keputusan para hakim. Namun justru kebanyakan dari mereka menjadi para pelaku ketidakdisiplinan itu.
Ketidakdisiplinan itu justru kontraproduktif terhadap kesejatian tugas mereka Mereka seharusnya bertugas menjaga supaya undang-undang negeri ditaati. Mereka semestinya bertugas mengadili dan memberikan keputusan perkara di pengadilan. Mereka seyogiyanya melakukan pemeriksaan dan menuntut hukuman bagi yang tidak mentaati aturan yang ada. Namun yang terjadi malah ketidaktaatan pada aturan yang mewajibkan mereka harus melaporkan kekayaannya.
Disiplin diri menjadi kunci kemajuan dan kesuksesan serta kebesaran orang-orang besar yang pernah hidup dalam sejarah. Seorang pemimpin, seorang olahragawan, seorang pengusaha, atau siapa saja bisa mencapai kesejatian di bidangnya masing karena pernah mempraktekkan disiplin diri. Sebut saja beberapa contoh pemimpin besar yang pernah ada, Presiden Soekarno, Sutan Syahrir, Haji Agus Salim. Disiplin dirilah yang menghantar mereka menjadi seorang pemimpin yang disegani dan dikagumi.
Presiden Amerika Serikat (AS) ke-26, Theodore Rosevelt (1858-1919) pernah mengatakan, With self-discipline, most anything is possible, yang terjemahan bebasnya, “dengan disiplin diri, kebanyakan hal menjadi mungkin”. Gary Ryan Blair, seorang motivator negeri paman Sam, pernah berkata, self-dicipline is an act of cultivating. It require you to connect today’s action to tomorrows results. There’s a seasons for sowing a season of reaping. Self-discipline helps you know which is which. Inti pernyataan tersebut mau mengatakan bahwa barang siapa melatih disiplin diri, maka dia akan menuai hasilnya pula. Orang yang tidak berdisiplin diri akan menerima akibatnya.
Kemerdekaan
Baru saja kita memperingati hari proklamasi kemerdekaan RI yang keenampuluhdua. Peringatan itu membawa kita pada cita-cita, semangat, dan perjuangan para Bapa bangsa. Negara merdeka, berpaham kebangsaan yang terbuka, berideologi Pancasila yang menyerap dan merangkul kepentingan semua insan pertiwi yang mereka cetuskan sangat relevan dan aktual bagi bangsa Indonesia yang multikultural.
Kita sudah merdeka selama 62 tahun. Sepuluh tahun pula masa krisis sudah kita lalui. Namun masalah kesadaran akan ketaatan pada hukum masih rendah. Kemerdekaan belum kita isi dengan perubahan sikap dan perilaku. Kemerdekaan masih penuh dengan sikap dan perilaku merdeka untuk memenuhi kepentingan pribadi atau kelompok masing-masing.
Terasa sekali selama 10 tahun reformasi berjalan semua seperti dibiarkan berjalan sendiri. Sangat terbatas teladan pendidikan hukum dan disiplin yang diberikan kepada rakyat untuk membuat mereka bisa memahami esensi disiplin dan ketaatan pada hukum di negeri ini.
Semua orang menafsirkan disiplin dan hukum atas dasar pemahamannya sendiri. Seolah-olah hukum dan disiplin itu berarti merdeka untuk mencari keuntungan diri dan kelompoknya sendiri. Bahkan tujuan hidup berbangsa dan bernegara itu diterjemahkan sesuai dengan keinginannya sendiri.
Enam puluh dua tahun merdeka dan sepuluh tahun pasca masa krisis ini seyogiyanya membuat kita terhentak untuk mengisi kemerdekaan ini dengan mengubah sikap dan perilaku dari sikap dan perilaku yang mengedepankan kepentingan pribadi dan kelompok kepada kepentingan bersama dalam hidup berbangsa dan bernegara dalam bingkai sebagai bangsa dan megara Indonesia. Sikap dan perilaku taat pada hukum yang disepakati bersama adalah kunci kesuksesan dan kemajuan bangsa ini.
Praktek penegakan hukum dan disiplin berbangsa dan bernegara menjadi modal utama dalam persaingan global. China, India dan Singapura bisa menjadi beberapa negara yang perkembangan ekonominya paling cepat di dunia karena penegakan hukum dan disiplin yang tegas dan pasti. Siapa saja pelaku ketidaktaatan pada hukum termasuk para pelaku tindak pidana korupsi harus dihukum, bahkan hukuman mati sekalipun.
Sayangnya di negeri ini, hukum dan sanksi hanya berlaku bagi wong cilik, tetapi tidak berlaku bagi para elit pejabat dan pengusaha di negeri ini. Para hakim dan jaksa yang tidak melaporkan kekayaannya misalnya, mereka tidak mendapat sanksi apapun atas ketidakdisiplinan melaporkan kekayaannya. Ketua MA, Bagir Manan sendiri mengamini bahwa ia tidak bisa memberi sanksi apapun termasuk sanksi administratif kepada bawahannya.
Jika sikap dan perilaku kita masih merdeka untuk memenuhi kepentingan diri dan kelompok dan bukan bagi kesejahteraaan umum, maka visi Indonesia 2030 akan menjadi sekedar wacana dan ide yang bagus di atas kertas. Padahal persaingan antar bangsa di era globalisasi dewasa ini sangat ketat dan cepat.
Untuk menjadi bangsa dan negara yang disegani dalam percaturan global, dibutuhkan pemimpin dan semua eselonnya yang mampu berdisiplin diri dan lalu menerapkan disiplin itu kepada masyarakatnya.
* Penulis adalah alumnus STFT Widya Sasana malang, tinggal di Jakarta
Oleh Pormadi Simbolon*
Berdasarkan data Komisi Pemberantasan (KPK) per 15 Agustus 2007 tingkat kepatuhan bidang yudikatif hanya 43,77 persen. Dari total 20.991 penyeleggara negara, baru 9.188 orang yang telah melaporkan kekayaan ke KPK. Itu berarti hakim dan jaksa agung tergolong kelompok yang paling tidak berdisiplin.
Ketidakdisiplinan aparat penegak hukum melaporkan kekayaannya merupakan cermin kepribadian sebagian warga bangsa Indonesia. Jika para penyelenggara negara tidak berdisiplin, apalagi rakyatnya. Sebab kedisiplinan itu pada logikanya menetes dari para pimpinan (level atas) kepada masyarakat umum (level bawah).
Jika ditelusuri lebih dalam, para hakim dan jaksa merupakan salah satu pelaku penghakiman atas perilaku ketidaktaatan masyarakat pada hukum. Aneka putusan penggusuran terhadap sebagian warga masyarakat merupakan hasil dari keputusan para hakim. Namun justru kebanyakan dari mereka menjadi para pelaku ketidakdisiplinan itu.
Ketidakdisiplinan itu justru kontraproduktif terhadap kesejatian tugas mereka Mereka seharusnya bertugas menjaga supaya undang-undang negeri ditaati. Mereka semestinya bertugas mengadili dan memberikan keputusan perkara di pengadilan. Mereka seyogiyanya melakukan pemeriksaan dan menuntut hukuman bagi yang tidak mentaati aturan yang ada. Namun yang terjadi malah ketidaktaatan pada aturan yang mewajibkan mereka harus melaporkan kekayaannya.
Disiplin diri menjadi kunci kemajuan dan kesuksesan serta kebesaran orang-orang besar yang pernah hidup dalam sejarah. Seorang pemimpin, seorang olahragawan, seorang pengusaha, atau siapa saja bisa mencapai kesejatian di bidangnya masing karena pernah mempraktekkan disiplin diri. Sebut saja beberapa contoh pemimpin besar yang pernah ada, Presiden Soekarno, Sutan Syahrir, Haji Agus Salim. Disiplin dirilah yang menghantar mereka menjadi seorang pemimpin yang disegani dan dikagumi.
Presiden Amerika Serikat (AS) ke-26, Theodore Rosevelt (1858-1919) pernah mengatakan, With self-discipline, most anything is possible, yang terjemahan bebasnya, “dengan disiplin diri, kebanyakan hal menjadi mungkin”. Gary Ryan Blair, seorang motivator negeri paman Sam, pernah berkata, self-dicipline is an act of cultivating. It require you to connect today’s action to tomorrows results. There’s a seasons for sowing a season of reaping. Self-discipline helps you know which is which. Inti pernyataan tersebut mau mengatakan bahwa barang siapa melatih disiplin diri, maka dia akan menuai hasilnya pula. Orang yang tidak berdisiplin diri akan menerima akibatnya.
Kemerdekaan
Baru saja kita memperingati hari proklamasi kemerdekaan RI yang keenampuluhdua. Peringatan itu membawa kita pada cita-cita, semangat, dan perjuangan para Bapa bangsa. Negara merdeka, berpaham kebangsaan yang terbuka, berideologi Pancasila yang menyerap dan merangkul kepentingan semua insan pertiwi yang mereka cetuskan sangat relevan dan aktual bagi bangsa Indonesia yang multikultural.
Kita sudah merdeka selama 62 tahun. Sepuluh tahun pula masa krisis sudah kita lalui. Namun masalah kesadaran akan ketaatan pada hukum masih rendah. Kemerdekaan belum kita isi dengan perubahan sikap dan perilaku. Kemerdekaan masih penuh dengan sikap dan perilaku merdeka untuk memenuhi kepentingan pribadi atau kelompok masing-masing.
Terasa sekali selama 10 tahun reformasi berjalan semua seperti dibiarkan berjalan sendiri. Sangat terbatas teladan pendidikan hukum dan disiplin yang diberikan kepada rakyat untuk membuat mereka bisa memahami esensi disiplin dan ketaatan pada hukum di negeri ini.
Semua orang menafsirkan disiplin dan hukum atas dasar pemahamannya sendiri. Seolah-olah hukum dan disiplin itu berarti merdeka untuk mencari keuntungan diri dan kelompoknya sendiri. Bahkan tujuan hidup berbangsa dan bernegara itu diterjemahkan sesuai dengan keinginannya sendiri.
Enam puluh dua tahun merdeka dan sepuluh tahun pasca masa krisis ini seyogiyanya membuat kita terhentak untuk mengisi kemerdekaan ini dengan mengubah sikap dan perilaku dari sikap dan perilaku yang mengedepankan kepentingan pribadi dan kelompok kepada kepentingan bersama dalam hidup berbangsa dan bernegara dalam bingkai sebagai bangsa dan megara Indonesia. Sikap dan perilaku taat pada hukum yang disepakati bersama adalah kunci kesuksesan dan kemajuan bangsa ini.
Praktek penegakan hukum dan disiplin berbangsa dan bernegara menjadi modal utama dalam persaingan global. China, India dan Singapura bisa menjadi beberapa negara yang perkembangan ekonominya paling cepat di dunia karena penegakan hukum dan disiplin yang tegas dan pasti. Siapa saja pelaku ketidaktaatan pada hukum termasuk para pelaku tindak pidana korupsi harus dihukum, bahkan hukuman mati sekalipun.
Sayangnya di negeri ini, hukum dan sanksi hanya berlaku bagi wong cilik, tetapi tidak berlaku bagi para elit pejabat dan pengusaha di negeri ini. Para hakim dan jaksa yang tidak melaporkan kekayaannya misalnya, mereka tidak mendapat sanksi apapun atas ketidakdisiplinan melaporkan kekayaannya. Ketua MA, Bagir Manan sendiri mengamini bahwa ia tidak bisa memberi sanksi apapun termasuk sanksi administratif kepada bawahannya.
Jika sikap dan perilaku kita masih merdeka untuk memenuhi kepentingan diri dan kelompok dan bukan bagi kesejahteraaan umum, maka visi Indonesia 2030 akan menjadi sekedar wacana dan ide yang bagus di atas kertas. Padahal persaingan antar bangsa di era globalisasi dewasa ini sangat ketat dan cepat.
Untuk menjadi bangsa dan negara yang disegani dalam percaturan global, dibutuhkan pemimpin dan semua eselonnya yang mampu berdisiplin diri dan lalu menerapkan disiplin itu kepada masyarakatnya.
* Penulis adalah alumnus STFT Widya Sasana malang, tinggal di Jakarta

Kamis, April 19, 2007
AKSI KORUPSI DALAM IKATAN “PERSAUDARAAN” KELUARGA
AKSI KORUPSI DALAM IKATAN “PERSAUDARAAN” KELUARGA
OLEH PORMADI SIMBOLON
Korupsi adalah kejahatan biasa. Tetapi, di Indonesia dianggap luar biasa, sebab mewabah dan mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara," demikian pernyataan kriminolog dari Universitas Indonesia, Tubagus Ronny Rahman Nitibaskara, di Jakarta, Senin ( Kompas, 9/4).
Penulis berpendapat korupsi menjadi kejahatan luar biasa karena terjadi dalam fenomena ikatan “persaudaraan” keluarga. Mereka memiliki ikatan “persaudaraan” sesama pelaku. Kita tidak perlu heran lagi jika kasus korupsi melibatkan kakak-adik, anak-cucu, besan, kerabat, dan lain sebagainya dalam ikatan keluarga.
Tampaknya para koruptor akan menjadi bangga bila dapat memperkaya keluarga atau kerabatnya. Indikasi atau fenomena pelibatan keluarga dalam tindak korupsi tampak kasus Bulog (sedang proses pemeriksaan) dan impor beras (Nkasus Nurdin Halid) dan impor gula ilegal (Kasus adik Nurdin Halid) yang terjadi (Tempo Interaktif, Selasa, 05 Juli 2005)
Ikatan persaudaraan kekeluargaan itu begitu kuat sebagaimana kebudayaan Timur pada umumnya. Dengan demikian tindakan korupsi tidak gampang dibongkar karena berlindung dalam ikatan keluarga. Lalu pelaku korupsi tersebut akan merasa aman karena dibentengi oleh ikatan kekeluargaan tadi. Tindakan korupsi demikian akan menjadi kejahatan luar biasa seperti api dalam sekam bila tidak ketahuan ke ranah publik. Efeknya akan luar biasa kejam dalam menyengsarakan rakyat secara pelan-pelan banyak dalam durasi waktu bertahun-tahun. Korupsi menjadi amat dahsyat mengancam kepentingan nasional.
Korupsi itu ibarat tetesan air yang jatuh pada satu titik permukaan dinding atau tembok rumah yang lalu pelan-pelan dapat merusak dan merobohkan tembok. Tetesan demi tetesan yang jatuh pada dinding atau tembok rumah dapat melobanginya dan pada akhirnya menghancurkannya.
Demikian pula korupsi seperti sudah diketahui umum sudah terjadi dari lingkungan Rukun Tetangga (RT) hingga tingkat lingkungan pemerintahan tingkat tinggi.Korupsi terjadi mulai dari pengurusan KTP hingga pengurusan administrasi kepemerintahan lainnya. Awalnya tindakan korupsi itu biasa-biasa saja, namun lama-lama menjadi luar biasa karena sudah membudaya dan terjadi secara lambat tapi pasti merusak.
Jadi benar apa yang dikatakan kriminolog Nitibaskara bahwa kejahatan korupsi di Indonesia dianggap luar biasa. Luar biasa kejahatan korupsi itu karena bersifat warisan dari generasi tua hingga pada generasi muda. Kalau di Amerika Serikat kejahatan yang mengancam kepentingan nasional adalah terorisme, maka di Indonesia korupsi menjadi ancaman dalam memajukan dan menyejahterakan rakyat Indonesia.
Inilah kenyataan yang membuat kejahatan korupsi menjadi luar biasa. Pertama, korupsi yang sudah mapan tertanam pada diri para pelaku dan keluarganya sehingga sulit diubah karena memang eksistensi hidupnya sudah terlanjur tergantung pada tindakan jahat tersebut. Korupsi terjadi setetes demi setetes dalam frekwensi yang berkali-kali membuat para pelakunya dapat membeli rumah dan mobil dalam waktu relatif singkat. Kedua, korupsi dilakukan dalam suatu ikatan “persaudaraan” sesama koruptor, sehingga pembongkaran kasus korupsi sulit karena akan merusak persaudaraan sesama pelaku korupsi. Sebab jika tidak demikian, mereka semua akan dimasukkan dalam terali besi.
Tidak Sekedar Wacana
Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden telah menyetujui dan mengeluarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003). Salah satu poin pertimbangannya adalah bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka pemerintah bersama-sama masyarakat mengambil langkah-Iangkah pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi secara sistematis dan berkesinambungan.
Kurang lebih 9 tahun para pimpinan negeri ini berniat memberantas tindakan korupsi, namun hasilnya belum signifikan diindikasikan dengan sedikitnya kasus korupsi yang berhasil diselesaikan secara tuntas. Begitu banyak peraturan yang sudah dikeluarkan demi penghapusan atau sekurang-kurangnya mengurangi tindak pidana korupsi, namun korupsi masih berlangsung. Tampaknya ada kesan bahwa pemeriksaan kasus korupsi hanya ditujukan pada “lawan” politik yang memerintah sebelumnya.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah menginstruksikan kepada para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu, Jaksa Agung, Panglima TNI, Kapolri, para Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen, para gubernur, para bupati dan wali kota untuk sungguh-sungguh melaksanakan instruksi percepatan pemberantasan korupsi di instansi masing-masing. (Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi). Pemberantasan korupsi masih berjalan di tempat. Cuma koruptor kelas “teri” berhasil diproses.
Seperti diberitakan media massa, Presiden pernah menegaskan dalam pidato atau sambutannya, bahwa ia akan tegas dan dengan langkah-langkah konkrit melakukan perbaikan kehidupan rakyat. Salah satunya adalah pemberantasan korupsi di pemerintahannya. Pemerintahan SBY sudah berjalan kurang lebih 2,5 tahun. Hingga sekarang keluh kesah rakyat tentang pahitnya hidup mereka begitu banyak terdengar. Mulai dari mereka yang menjadi korban Lapindo hingga mereka yang menjadi korban himpitan ekonomi.
Sebelum Presiden SBY terpilih, ada beberapa tokoh masyarakat berpendapat bahwa kelemahan SBY adalah sikap tidak tegas alias sering ragu dalam mengambil keputusan. Nada serupa diakui oleh salah satu media nasional (Tajuk Rencana, Kompas, 10/4). Hasilnya bisa dilihat dengan kasat mata, kemiskinan, kelaparan, kebodohan, kekacauan dan ketidakpastian seperti sekarang masih dominan mewarnai kehidupan rakyat kebanyakan di Indonesia. Dengan kata lain pemerintahan sekarang perlu menyelesaikan pemberantasan korupsi demi perbaikan kehidupan bangsa.
Pemerintahan SBY tinggal dua setengah tahun lagi. Harapan semua orang, semoga peraturan-peraturan dalam rangka pemberantasan tindakan korupsi tidak menjadi sekedar wacana belaka. Kita menantikan ketegasan dan langkah-langkah konkritnya dalam menindak para pelaku tindak pidana korupsi dan keluarganya yang terlibat. Bersama semua rakyat pencinta pemerintahan yang bersih, tindak kejahatan korupsi akan dapat diberantas. Semoga.
* Pemerhati masalah sosial, lulusan STFT Widya Sasana Malang.
OLEH PORMADI SIMBOLON
Korupsi adalah kejahatan biasa. Tetapi, di Indonesia dianggap luar biasa, sebab mewabah dan mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara," demikian pernyataan kriminolog dari Universitas Indonesia, Tubagus Ronny Rahman Nitibaskara, di Jakarta, Senin ( Kompas, 9/4).
Penulis berpendapat korupsi menjadi kejahatan luar biasa karena terjadi dalam fenomena ikatan “persaudaraan” keluarga. Mereka memiliki ikatan “persaudaraan” sesama pelaku. Kita tidak perlu heran lagi jika kasus korupsi melibatkan kakak-adik, anak-cucu, besan, kerabat, dan lain sebagainya dalam ikatan keluarga.
Tampaknya para koruptor akan menjadi bangga bila dapat memperkaya keluarga atau kerabatnya. Indikasi atau fenomena pelibatan keluarga dalam tindak korupsi tampak kasus Bulog (sedang proses pemeriksaan) dan impor beras (Nkasus Nurdin Halid) dan impor gula ilegal (Kasus adik Nurdin Halid) yang terjadi (Tempo Interaktif, Selasa, 05 Juli 2005)
Ikatan persaudaraan kekeluargaan itu begitu kuat sebagaimana kebudayaan Timur pada umumnya. Dengan demikian tindakan korupsi tidak gampang dibongkar karena berlindung dalam ikatan keluarga. Lalu pelaku korupsi tersebut akan merasa aman karena dibentengi oleh ikatan kekeluargaan tadi. Tindakan korupsi demikian akan menjadi kejahatan luar biasa seperti api dalam sekam bila tidak ketahuan ke ranah publik. Efeknya akan luar biasa kejam dalam menyengsarakan rakyat secara pelan-pelan banyak dalam durasi waktu bertahun-tahun. Korupsi menjadi amat dahsyat mengancam kepentingan nasional.
Korupsi itu ibarat tetesan air yang jatuh pada satu titik permukaan dinding atau tembok rumah yang lalu pelan-pelan dapat merusak dan merobohkan tembok. Tetesan demi tetesan yang jatuh pada dinding atau tembok rumah dapat melobanginya dan pada akhirnya menghancurkannya.
Demikian pula korupsi seperti sudah diketahui umum sudah terjadi dari lingkungan Rukun Tetangga (RT) hingga tingkat lingkungan pemerintahan tingkat tinggi.Korupsi terjadi mulai dari pengurusan KTP hingga pengurusan administrasi kepemerintahan lainnya. Awalnya tindakan korupsi itu biasa-biasa saja, namun lama-lama menjadi luar biasa karena sudah membudaya dan terjadi secara lambat tapi pasti merusak.
Jadi benar apa yang dikatakan kriminolog Nitibaskara bahwa kejahatan korupsi di Indonesia dianggap luar biasa. Luar biasa kejahatan korupsi itu karena bersifat warisan dari generasi tua hingga pada generasi muda. Kalau di Amerika Serikat kejahatan yang mengancam kepentingan nasional adalah terorisme, maka di Indonesia korupsi menjadi ancaman dalam memajukan dan menyejahterakan rakyat Indonesia.
Inilah kenyataan yang membuat kejahatan korupsi menjadi luar biasa. Pertama, korupsi yang sudah mapan tertanam pada diri para pelaku dan keluarganya sehingga sulit diubah karena memang eksistensi hidupnya sudah terlanjur tergantung pada tindakan jahat tersebut. Korupsi terjadi setetes demi setetes dalam frekwensi yang berkali-kali membuat para pelakunya dapat membeli rumah dan mobil dalam waktu relatif singkat. Kedua, korupsi dilakukan dalam suatu ikatan “persaudaraan” sesama koruptor, sehingga pembongkaran kasus korupsi sulit karena akan merusak persaudaraan sesama pelaku korupsi. Sebab jika tidak demikian, mereka semua akan dimasukkan dalam terali besi.
Tidak Sekedar Wacana
Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden telah menyetujui dan mengeluarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003). Salah satu poin pertimbangannya adalah bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka pemerintah bersama-sama masyarakat mengambil langkah-Iangkah pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi secara sistematis dan berkesinambungan.
Kurang lebih 9 tahun para pimpinan negeri ini berniat memberantas tindakan korupsi, namun hasilnya belum signifikan diindikasikan dengan sedikitnya kasus korupsi yang berhasil diselesaikan secara tuntas. Begitu banyak peraturan yang sudah dikeluarkan demi penghapusan atau sekurang-kurangnya mengurangi tindak pidana korupsi, namun korupsi masih berlangsung. Tampaknya ada kesan bahwa pemeriksaan kasus korupsi hanya ditujukan pada “lawan” politik yang memerintah sebelumnya.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah menginstruksikan kepada para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu, Jaksa Agung, Panglima TNI, Kapolri, para Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen, para gubernur, para bupati dan wali kota untuk sungguh-sungguh melaksanakan instruksi percepatan pemberantasan korupsi di instansi masing-masing. (Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi). Pemberantasan korupsi masih berjalan di tempat. Cuma koruptor kelas “teri” berhasil diproses.
Seperti diberitakan media massa, Presiden pernah menegaskan dalam pidato atau sambutannya, bahwa ia akan tegas dan dengan langkah-langkah konkrit melakukan perbaikan kehidupan rakyat. Salah satunya adalah pemberantasan korupsi di pemerintahannya. Pemerintahan SBY sudah berjalan kurang lebih 2,5 tahun. Hingga sekarang keluh kesah rakyat tentang pahitnya hidup mereka begitu banyak terdengar. Mulai dari mereka yang menjadi korban Lapindo hingga mereka yang menjadi korban himpitan ekonomi.
Sebelum Presiden SBY terpilih, ada beberapa tokoh masyarakat berpendapat bahwa kelemahan SBY adalah sikap tidak tegas alias sering ragu dalam mengambil keputusan. Nada serupa diakui oleh salah satu media nasional (Tajuk Rencana, Kompas, 10/4). Hasilnya bisa dilihat dengan kasat mata, kemiskinan, kelaparan, kebodohan, kekacauan dan ketidakpastian seperti sekarang masih dominan mewarnai kehidupan rakyat kebanyakan di Indonesia. Dengan kata lain pemerintahan sekarang perlu menyelesaikan pemberantasan korupsi demi perbaikan kehidupan bangsa.
Pemerintahan SBY tinggal dua setengah tahun lagi. Harapan semua orang, semoga peraturan-peraturan dalam rangka pemberantasan tindakan korupsi tidak menjadi sekedar wacana belaka. Kita menantikan ketegasan dan langkah-langkah konkritnya dalam menindak para pelaku tindak pidana korupsi dan keluarganya yang terlibat. Bersama semua rakyat pencinta pemerintahan yang bersih, tindak kejahatan korupsi akan dapat diberantas. Semoga.
* Pemerhati masalah sosial, lulusan STFT Widya Sasana Malang.

Jumat, Februari 02, 2007
KESEJATIAN PELAYANAN DAN TRANSFORMASI SIKAP
KESEJATIAN PELAYANAN DAN TRANSFORMASI SIKAP
Oleh Pormadi Simbolon
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyerukan kepada seluruh bangsa Indonesia agar melakukan tobat nasional. Salah satu butir seruan tersebut disebutkan agar bangsa Indonesia menjauhi perbuatan yang langsung atau tidak langsung menyebabkan murka Allah, seperti melakukan kezaliman, kepalsuan atau kepura-puraan, kebohongan, pengrusakan kehormatan dan martabat sesama, pengrusakan keseimbangan alam, korupsi/ keserakahan, pengkhianatan hukum, pengkhianatan terhadap amanat, menelantarkan penderitaan rakyat kecil dan sebagainya, demikian diberitakan beberapa media cetak nasional.
Seruan tersebut amat relevan teristimewa bagi mereka yang mengaku pemegang mandat rakyat, wakil rakyat, dan penegak hukum. Mereka mengklaim bahwa jabatan atau tugas pelayanan mereka berasal dari, oleh dan untuk rakyat. Nyatanya, yang lebih meruyak ke permukaan adalah penelantaran rakyat, korupsi/ keserakahan dan pengkhianatan terhadap amanat dan hukum.
Kenyataan demikian bisa terjadi karena mereka yang mengaku bekerja untuk rakyat sebenarnya tidak mengerti dan memahami kesejatian atau kodrat mereka sebagai pelayan rakyat. Sejatinya mereka yang mengaku pemegang mandat rakyat, wakil rakyat dan penegak hukum adalah untuk pelayanan rakyat kebanyakan.
Kesejatian Pelayanan
Terjadinya jurang yang dalam antara pelaksanaan tugas pelayanan sebagai pemegang mandat (baca: amanat) rakyat, wakil rakyat dan penegak hukum dengan kesejatian ketiga tugas tersebut disebabkan ketiadaan pemahaman atau kesadaran yang benar akan hakekat tugas tersebut atau mereka sebatas mengetahui tetapi tidak mengamalkannya.
Mengenai kesejatian tugas pelayanan tersebut pernah diperdebatkan oleh Sokrates dengan Thrasymachus dalam dialog Republic (yang ditulis Plato, dalam buku I). Pertanyaan awal untuk mencari hakekat atau kesejatian itu diawali dari pertanyaan apakah? Misalnya apakah keadilan? Apakah seni menggembalakan? Metode pertanyaan yang sama dapat diajukan terhadap hakekat sesuatu yang lainnya.
Bagi Thrasymachus, berdasarkan pengalamannya, keadilan adalah the advantages of stronger. Maksudnya, keadilan adalah keuntungan penguasa. Thrasymachus Menganalogikan kebenaran argumentasinya dengan menyimak art of shehperd. Menurutnya, seni gembala adalah melakukan tugas penggembalaannya untuk dan demi keuntungannya sendiri. Sokrates menguji argumentasi Thrasymachus dengan bertanya apakah seni menggembalakan itu? Apakah seni (dengan “seni” dimaksudkan kecerdasan, kecakapan, ketrampilan) itu? Sokrates menguji benarkah seni menggembalakan itu dimaksudkan untuk dirinya sendiri (sang gembala)? Baginya kodrat seni ialah untuk profesionalitas bidang yang bersangkutan. Maksudnya seorang dokter misalnya belajar dengan giat untuk bisa makin pandai dan terampil menyembuhkan penyakit sang pasien (jadi bukan untuk dirinya sendiri). Demikian juga soal seni gembala. Kecerdikan seorang gembala dimaksudkan agar domba-dombanya memperoleh keamanan, menemukan rerumputan hijau, terhindar dari serigala dan seterusnya. Jadi kodrat seni berkuasa pun lantas tidak untuk kepentingan sang penguasa. Apabila seni berkuasa untuk dirinya sendiri, jelas itu merupakan pelanggaran, kesalahan, dan pemanipulasian.
Jika kita ajukan pertanyaan yang sama misalnya apakah pemegang mandat rakyat itu? Apakah wakil rakyat itu? Dan apakah penegak hukum itu? Pemegang mandat rakyat, wakil rakyat dan penegak hukum pada kodratnya melayani rakyat banyak pertama-tama tidak untuk kepentingan diri sendiri, melainkan demi profesionalitas pelayanan yang semakin baik demi kesejahteraan umum (bonum commune).
Kenyataan di lapangan menunjukkan banyak pemegang mandat rakyat, wakil rakyat dan penegak hukum tidak melakukan tugas pelayanannya demi kepentingan umum melainkan demi keuntungan pribadi atau kelompoknya sendiri.
Kesan tebar pesona, dan bukan tebar karya yang terjadi di tengah masyarakat, ketidakpekaan para wakil rakyat (PP Nomor 37 tahun 2006, November lalu rakyat dikejutkan dengan langkah Presiden menandatangani PP Nomor 37 Tahun 2006 yang memperkaya anggota legislatif daerah dengan gaji puluhan juta rupiah), dan penegakan hukum secara tebang pilih yang mengejar para koruptor kecil-kecilan merupakan beberapa contoh pemanipulasian tugas pelayanan oleh sebagian pejabat negara.
Transformasi Sikap
Kesalahan para pejabat publik terjadi dalam kapasitas masing-masing, yang terlena oleh kepentingan pribadi atau kelompok. Oleh karena itu seruan tobat nasional oleh PBNU paling aktual dan relevan bagi mereka yang paling bertanggung jawab terhadap nasib rakyat. Mereka semua perlu lebih dulu mengubah sikap alias transformasi sikap karena merekalah seyogiyanya yang menjadi panutan masyarakat banyak.
Kelemahan para pejabat publik, mereka tidak pernah melakukan transformasi sikap. Mereka masih saja asyik dengan cara-cara lama, padahal keadaan globalisasi sudah sepenuhnya menuntut harus berubah. Bahkan dalam demokrasi pun, mereka seringkali lebih menuntut haknya, tetapi mereka tidak pernah mau melaksanakan kewajiban yang sesuai dengan kodrat tugas pelayanan mereka dalam kapasitasnya masing-masing.
Transformasi sikap yang mereka lakukan sejatinya mengacu pada kodrat tugas pelayanan yang diberikan dan dipercayakan oleh rakyat kepada lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Apakah lembaga eksekutif itu? Apakah lembaga legislatif itu? Apakah lembaga yudikatif itu? Pertanyaan ini akan mengarah pada kodrat dan kesejatian keberadaan ketiga lembaga tersebut bila memang mereka tidak dikendalikan oleh egoisme dan kepentingan partainya. Jika mereka masih terkungkung dan terikat pada kepentingan dan keuntungan mereka sendiri, maka di situlah terjadi pelanggaran, kesalahan dan pemanipulasian mandat rakyat, kepercayaan dan aspirasi rakyat banyak sebagaimana pengujian Sokrates atas pengertian seni gembala yang dikemukakan Thrasymachus.
Persoalannya sekarang, masih terbukakah pintu hati nurani, akal budi dan mata mereka terhadap kodrat tugas pelayanan mereka? Ataukah mereka masih lebih menuntut hak daripada menunaikan kewajiban mereka terlebih dahulu? Jika masih demikian halnya, Indonesia tidak akan pernah menjadi negara maju setingkat Malaysia dan Singapura sekalipun. Indonesia akan tetap menjadi terbelakang di mata internasional. Semakin mendesaklah seruan tobat dan transformasi sikap secara nasional teristimewa bagi para pejabat yang mengklaim tugasnya berasal dari, oleh dan untuk rakyat. Semoga.
Penulis adalah alumnus STFT Widya Sasana Malang
Oleh Pormadi Simbolon
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyerukan kepada seluruh bangsa Indonesia agar melakukan tobat nasional. Salah satu butir seruan tersebut disebutkan agar bangsa Indonesia menjauhi perbuatan yang langsung atau tidak langsung menyebabkan murka Allah, seperti melakukan kezaliman, kepalsuan atau kepura-puraan, kebohongan, pengrusakan kehormatan dan martabat sesama, pengrusakan keseimbangan alam, korupsi/ keserakahan, pengkhianatan hukum, pengkhianatan terhadap amanat, menelantarkan penderitaan rakyat kecil dan sebagainya, demikian diberitakan beberapa media cetak nasional.
Seruan tersebut amat relevan teristimewa bagi mereka yang mengaku pemegang mandat rakyat, wakil rakyat, dan penegak hukum. Mereka mengklaim bahwa jabatan atau tugas pelayanan mereka berasal dari, oleh dan untuk rakyat. Nyatanya, yang lebih meruyak ke permukaan adalah penelantaran rakyat, korupsi/ keserakahan dan pengkhianatan terhadap amanat dan hukum.
Kenyataan demikian bisa terjadi karena mereka yang mengaku bekerja untuk rakyat sebenarnya tidak mengerti dan memahami kesejatian atau kodrat mereka sebagai pelayan rakyat. Sejatinya mereka yang mengaku pemegang mandat rakyat, wakil rakyat dan penegak hukum adalah untuk pelayanan rakyat kebanyakan.
Kesejatian Pelayanan
Terjadinya jurang yang dalam antara pelaksanaan tugas pelayanan sebagai pemegang mandat (baca: amanat) rakyat, wakil rakyat dan penegak hukum dengan kesejatian ketiga tugas tersebut disebabkan ketiadaan pemahaman atau kesadaran yang benar akan hakekat tugas tersebut atau mereka sebatas mengetahui tetapi tidak mengamalkannya.
Mengenai kesejatian tugas pelayanan tersebut pernah diperdebatkan oleh Sokrates dengan Thrasymachus dalam dialog Republic (yang ditulis Plato, dalam buku I). Pertanyaan awal untuk mencari hakekat atau kesejatian itu diawali dari pertanyaan apakah? Misalnya apakah keadilan? Apakah seni menggembalakan? Metode pertanyaan yang sama dapat diajukan terhadap hakekat sesuatu yang lainnya.
Bagi Thrasymachus, berdasarkan pengalamannya, keadilan adalah the advantages of stronger. Maksudnya, keadilan adalah keuntungan penguasa. Thrasymachus Menganalogikan kebenaran argumentasinya dengan menyimak art of shehperd. Menurutnya, seni gembala adalah melakukan tugas penggembalaannya untuk dan demi keuntungannya sendiri. Sokrates menguji argumentasi Thrasymachus dengan bertanya apakah seni menggembalakan itu? Apakah seni (dengan “seni” dimaksudkan kecerdasan, kecakapan, ketrampilan) itu? Sokrates menguji benarkah seni menggembalakan itu dimaksudkan untuk dirinya sendiri (sang gembala)? Baginya kodrat seni ialah untuk profesionalitas bidang yang bersangkutan. Maksudnya seorang dokter misalnya belajar dengan giat untuk bisa makin pandai dan terampil menyembuhkan penyakit sang pasien (jadi bukan untuk dirinya sendiri). Demikian juga soal seni gembala. Kecerdikan seorang gembala dimaksudkan agar domba-dombanya memperoleh keamanan, menemukan rerumputan hijau, terhindar dari serigala dan seterusnya. Jadi kodrat seni berkuasa pun lantas tidak untuk kepentingan sang penguasa. Apabila seni berkuasa untuk dirinya sendiri, jelas itu merupakan pelanggaran, kesalahan, dan pemanipulasian.
Jika kita ajukan pertanyaan yang sama misalnya apakah pemegang mandat rakyat itu? Apakah wakil rakyat itu? Dan apakah penegak hukum itu? Pemegang mandat rakyat, wakil rakyat dan penegak hukum pada kodratnya melayani rakyat banyak pertama-tama tidak untuk kepentingan diri sendiri, melainkan demi profesionalitas pelayanan yang semakin baik demi kesejahteraan umum (bonum commune).
Kenyataan di lapangan menunjukkan banyak pemegang mandat rakyat, wakil rakyat dan penegak hukum tidak melakukan tugas pelayanannya demi kepentingan umum melainkan demi keuntungan pribadi atau kelompoknya sendiri.
Kesan tebar pesona, dan bukan tebar karya yang terjadi di tengah masyarakat, ketidakpekaan para wakil rakyat (PP Nomor 37 tahun 2006, November lalu rakyat dikejutkan dengan langkah Presiden menandatangani PP Nomor 37 Tahun 2006 yang memperkaya anggota legislatif daerah dengan gaji puluhan juta rupiah), dan penegakan hukum secara tebang pilih yang mengejar para koruptor kecil-kecilan merupakan beberapa contoh pemanipulasian tugas pelayanan oleh sebagian pejabat negara.
Transformasi Sikap
Kesalahan para pejabat publik terjadi dalam kapasitas masing-masing, yang terlena oleh kepentingan pribadi atau kelompok. Oleh karena itu seruan tobat nasional oleh PBNU paling aktual dan relevan bagi mereka yang paling bertanggung jawab terhadap nasib rakyat. Mereka semua perlu lebih dulu mengubah sikap alias transformasi sikap karena merekalah seyogiyanya yang menjadi panutan masyarakat banyak.
Kelemahan para pejabat publik, mereka tidak pernah melakukan transformasi sikap. Mereka masih saja asyik dengan cara-cara lama, padahal keadaan globalisasi sudah sepenuhnya menuntut harus berubah. Bahkan dalam demokrasi pun, mereka seringkali lebih menuntut haknya, tetapi mereka tidak pernah mau melaksanakan kewajiban yang sesuai dengan kodrat tugas pelayanan mereka dalam kapasitasnya masing-masing.
Transformasi sikap yang mereka lakukan sejatinya mengacu pada kodrat tugas pelayanan yang diberikan dan dipercayakan oleh rakyat kepada lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Apakah lembaga eksekutif itu? Apakah lembaga legislatif itu? Apakah lembaga yudikatif itu? Pertanyaan ini akan mengarah pada kodrat dan kesejatian keberadaan ketiga lembaga tersebut bila memang mereka tidak dikendalikan oleh egoisme dan kepentingan partainya. Jika mereka masih terkungkung dan terikat pada kepentingan dan keuntungan mereka sendiri, maka di situlah terjadi pelanggaran, kesalahan dan pemanipulasian mandat rakyat, kepercayaan dan aspirasi rakyat banyak sebagaimana pengujian Sokrates atas pengertian seni gembala yang dikemukakan Thrasymachus.
Persoalannya sekarang, masih terbukakah pintu hati nurani, akal budi dan mata mereka terhadap kodrat tugas pelayanan mereka? Ataukah mereka masih lebih menuntut hak daripada menunaikan kewajiban mereka terlebih dahulu? Jika masih demikian halnya, Indonesia tidak akan pernah menjadi negara maju setingkat Malaysia dan Singapura sekalipun. Indonesia akan tetap menjadi terbelakang di mata internasional. Semakin mendesaklah seruan tobat dan transformasi sikap secara nasional teristimewa bagi para pejabat yang mengklaim tugasnya berasal dari, oleh dan untuk rakyat. Semoga.
Penulis adalah alumnus STFT Widya Sasana Malang
Label:
berita,
integritas diri,
opini,
pelayanan,
tanggung jawab,
transformasi sikap

Kamis, Januari 25, 2007
JAKARTA BERWAJAH "PANAS"!
JAKARTA BERWAJAH “PANAS”!
Oleh: Pormadi Simbolon
Pasca lebaran 2006, banyak pemudik membawa sanak saudara, kenalan, atau sahabat untuk mencari sesuap nasi di Ibukota Jakarta. “Salah seorang sahabat pemudik dari daerah SUMUT sana pernah berkata, Panasnya Ibukota Jakarta Lae!
Jakarta memang panas! Suhu udaranya membuat orang setiap haria harus berkeringat dari pagi hingga pada sore hari. Dari berangkat ke kantor hingga pada saat pulang dari kantor. Panas terik matahari siap membakar kulit para penduduk Jakarta.
Jakarta memang “panas”! Penduduknya juga gampang ikut menjadi panas karena kotanya sednriri sudah panas. Mulai dari pedagang asongan hingga pedagang toko. Mulai dari insan-insan bis non-AC hingga bis ber-AC. Mulai dari sopir bajaj hingga sopir busway. “Kepanasan” kota Jakarta semakin menusuk dan menyengat ketika kemacetan di sana sini terjadi. Kata-kata kotor kerap kali menjadi santapan telinga setiap hari. Akhir-akhir ini kepanasan itu semakin terasa ketika pemerintah provinsi Jakarta lagi sibuk menyelesaikan proyek busway. Kemacetan pun semakin menjadi-jadi.Meskipun demikian, ibukota bak gula bagi para pendatang baru.
“Siapa suruh datang ke Jakarta!”. Slogan ini masih ada terpampang di sebuah terminal Bis tempat kedatangan dari daerah. Pernyataan ini mengingatkan bahwa kota Jakarta adalah kota yang penuh dengan kekerasan, cuaca panas, banyak penduduknya kasar, dan sebuah kota yang sangat membutuhkan kerja keras untuk mencari sesuap nasi. Itulah sebabnya kerap terdengar slogan lain yang berbunyi, tidak ada uang sama dengan mati atau maut di Jakarta.
Tidak berlebihan pula, banyak orang menyebut kota Jakarta sebagai kota yang kejam. Ibukota memang kejam, lebih kejam dari ibu tiri. Di ibukota ii, ekonomi betjalan melalui cara-cara yang kasar dan keras. Untuk mencari orang melakukan segala cara. Merampok, mencopet, dan membunuh pun terpaksa dilakukan demi mempertahankan hidup bukan hal baru di Ibukota. Penggusuran dan pengusiran para pedagang kaki lima tanpa solusi yang memuaskan sering pula menjadi tontonan mata.
Lebih jauh, Jakarta kerap dipandang menjadi tempat untuk menjadi kaya di Indonesia. Banyak cara dihalalkan. Seseorang bisa menjadi kaya bila dia kuat dan menghalalkan segala cara. Jakarta memungkinkan seseorang dengan mudah berkuasa karena uanglah syarat perdananya. Mungkin ini menjadi pelajaran yang dipetik oleh pejabat-pejabat daerah.
Di Jakarta, kebanyakan orang memandang dan menetapkan harkat dan martabat seseorang dari jumlah materi yang dimilikinya. Dengan modal uang seseorang merasa dengan gampang mendapatkan kekuasaan di bidang hidup seperti politik, sosial atau budaya. Dengan uang orang dapat menjadi ktua organisasi, pejabat pemerintah, bahkan menjadi tokoh penting dalam partai politik dalam masyarakat.
Tak jarang pula, Jakartalah yang menciptakan kepanasan di daerah. Pada masa Orde Baru, Jakartalah yang memberi ijin kepada Freeport untuk berusaha di Irian Barat alias Papua. Jakarta yang tidak memperhatikan nasib penduduk lokal mendorong Freeport ikut-ikutan melakukan hal yang sama. Panas pulalah Papaua jadinya!
Sebagian media melansir, memanasnya situasi masyarakat di beberapa daerah seperti di Poso dan daerah lainnya, disebabkan oleh panasnya kepentingan politik di Jakarta. Jika pernyataan media tersebut benar berarti Jakarta memang benar-benar panas dan kejam serta menjadi penebar “panas” ke berbagai daerah.
Ketika nasib rakyat kebanyakan semakin tidak menentu dan menderita akibat kenaikan BBM, Jakartalah yang menjadi penyebabnya. Menyedihkannya, dampak kenaikan BBM itu belum juga pulih hingga sekarang. Rakyat keseluruhan masih menderita karena Jakarta.
Mutu pendidikan kita semakin menurun juga disebabkan oleh Jakarta. Panasnya kepentingan politik para pejabat di Jakarta mendorong pemaksaan praktek Ujian Nasional sebagai proyek. Proyek Jakarta tersebut jelas sekali kelihatan lebih mengutamakan makna politis daripada proses edukatif. Kebijakan Jakarta berakibat pada pemborosan anggaran negara, dan mutu pendidikan kita menjadi panas.
Memang Jakarta merupakan pusat dan barometer kemajuan bagi semua provinsi di Indonesia. Sistem, kebijakan, perilaku para insan birokrasi di Jakarta dengan cepat direkam dan dipraktekkan di daerah. Kerapkali adanya permintaan “upeti” dari pejabat di Jakarta, mendorong pejabat bawahan di lapangan harus memenuhi target setoran. Jika target setoran tidak tercapai, siap-siaplah pejabat pusat akan menggantinya dengan orang-orang yang lebih mampu setor.
Jakarta memang panas. Jika hanya cuacanya saja yang panas masih bisa atasi dengan alat pendingin (AC). Namun bila orang-orang Jakarta, mulai dari rakyat biasa hingga pada tokoh-tokoh elit negara (pejabat eksekutif, legislatif dan judikatif) ikut menjadi “panas”, dengan apakah mereka didinginkan?
Penulis adalah alumnus STFT Widya Sasana Malang, tinggal di Jakarta.
Oleh: Pormadi Simbolon
Pasca lebaran 2006, banyak pemudik membawa sanak saudara, kenalan, atau sahabat untuk mencari sesuap nasi di Ibukota Jakarta. “Salah seorang sahabat pemudik dari daerah SUMUT sana pernah berkata, Panasnya Ibukota Jakarta Lae!
Jakarta memang panas! Suhu udaranya membuat orang setiap haria harus berkeringat dari pagi hingga pada sore hari. Dari berangkat ke kantor hingga pada saat pulang dari kantor. Panas terik matahari siap membakar kulit para penduduk Jakarta.
Jakarta memang “panas”! Penduduknya juga gampang ikut menjadi panas karena kotanya sednriri sudah panas. Mulai dari pedagang asongan hingga pedagang toko. Mulai dari insan-insan bis non-AC hingga bis ber-AC. Mulai dari sopir bajaj hingga sopir busway. “Kepanasan” kota Jakarta semakin menusuk dan menyengat ketika kemacetan di sana sini terjadi. Kata-kata kotor kerap kali menjadi santapan telinga setiap hari. Akhir-akhir ini kepanasan itu semakin terasa ketika pemerintah provinsi Jakarta lagi sibuk menyelesaikan proyek busway. Kemacetan pun semakin menjadi-jadi.Meskipun demikian, ibukota bak gula bagi para pendatang baru.
“Siapa suruh datang ke Jakarta!”. Slogan ini masih ada terpampang di sebuah terminal Bis tempat kedatangan dari daerah. Pernyataan ini mengingatkan bahwa kota Jakarta adalah kota yang penuh dengan kekerasan, cuaca panas, banyak penduduknya kasar, dan sebuah kota yang sangat membutuhkan kerja keras untuk mencari sesuap nasi. Itulah sebabnya kerap terdengar slogan lain yang berbunyi, tidak ada uang sama dengan mati atau maut di Jakarta.
Tidak berlebihan pula, banyak orang menyebut kota Jakarta sebagai kota yang kejam. Ibukota memang kejam, lebih kejam dari ibu tiri. Di ibukota ii, ekonomi betjalan melalui cara-cara yang kasar dan keras. Untuk mencari orang melakukan segala cara. Merampok, mencopet, dan membunuh pun terpaksa dilakukan demi mempertahankan hidup bukan hal baru di Ibukota. Penggusuran dan pengusiran para pedagang kaki lima tanpa solusi yang memuaskan sering pula menjadi tontonan mata.
Lebih jauh, Jakarta kerap dipandang menjadi tempat untuk menjadi kaya di Indonesia. Banyak cara dihalalkan. Seseorang bisa menjadi kaya bila dia kuat dan menghalalkan segala cara. Jakarta memungkinkan seseorang dengan mudah berkuasa karena uanglah syarat perdananya. Mungkin ini menjadi pelajaran yang dipetik oleh pejabat-pejabat daerah.
Di Jakarta, kebanyakan orang memandang dan menetapkan harkat dan martabat seseorang dari jumlah materi yang dimilikinya. Dengan modal uang seseorang merasa dengan gampang mendapatkan kekuasaan di bidang hidup seperti politik, sosial atau budaya. Dengan uang orang dapat menjadi ktua organisasi, pejabat pemerintah, bahkan menjadi tokoh penting dalam partai politik dalam masyarakat.
Tak jarang pula, Jakartalah yang menciptakan kepanasan di daerah. Pada masa Orde Baru, Jakartalah yang memberi ijin kepada Freeport untuk berusaha di Irian Barat alias Papua. Jakarta yang tidak memperhatikan nasib penduduk lokal mendorong Freeport ikut-ikutan melakukan hal yang sama. Panas pulalah Papaua jadinya!
Sebagian media melansir, memanasnya situasi masyarakat di beberapa daerah seperti di Poso dan daerah lainnya, disebabkan oleh panasnya kepentingan politik di Jakarta. Jika pernyataan media tersebut benar berarti Jakarta memang benar-benar panas dan kejam serta menjadi penebar “panas” ke berbagai daerah.
Ketika nasib rakyat kebanyakan semakin tidak menentu dan menderita akibat kenaikan BBM, Jakartalah yang menjadi penyebabnya. Menyedihkannya, dampak kenaikan BBM itu belum juga pulih hingga sekarang. Rakyat keseluruhan masih menderita karena Jakarta.
Mutu pendidikan kita semakin menurun juga disebabkan oleh Jakarta. Panasnya kepentingan politik para pejabat di Jakarta mendorong pemaksaan praktek Ujian Nasional sebagai proyek. Proyek Jakarta tersebut jelas sekali kelihatan lebih mengutamakan makna politis daripada proses edukatif. Kebijakan Jakarta berakibat pada pemborosan anggaran negara, dan mutu pendidikan kita menjadi panas.
Memang Jakarta merupakan pusat dan barometer kemajuan bagi semua provinsi di Indonesia. Sistem, kebijakan, perilaku para insan birokrasi di Jakarta dengan cepat direkam dan dipraktekkan di daerah. Kerapkali adanya permintaan “upeti” dari pejabat di Jakarta, mendorong pejabat bawahan di lapangan harus memenuhi target setoran. Jika target setoran tidak tercapai, siap-siaplah pejabat pusat akan menggantinya dengan orang-orang yang lebih mampu setor.
Jakarta memang panas. Jika hanya cuacanya saja yang panas masih bisa atasi dengan alat pendingin (AC). Namun bila orang-orang Jakarta, mulai dari rakyat biasa hingga pada tokoh-tokoh elit negara (pejabat eksekutif, legislatif dan judikatif) ikut menjadi “panas”, dengan apakah mereka didinginkan?
Penulis adalah alumnus STFT Widya Sasana Malang, tinggal di Jakarta.

Minggu, Oktober 15, 2006
Sumber Perusak Kebersamaan dan Kerjasama
Sumber Perusak Kebersamaan dan Kerjasama
Pada dasarnya kebersamaan yang sudah terjaga dengan baik di tengah rakyat Indonesia kembali dirusak oleh sejumlah orang yang tidak menginginkan keselamatan NKRI dan Pancasila.
Adapun ketiga hal yang menjadi perusak itu adalah:
Ambisi pribadi baupun kelompok. Yang lain tidak tau/ atau bodoh dan rendah/ hina.
Irihati. Ada sebagian orang malah menjadi iri bila orang lain berhasil dan sukses. Mereka malah ingin menjatuhkan orang lain yang sukses.
Batu sandungan. Sering kali orang atau kelompok berusaha menjebak orang lain supaya terperangkap pada kehancuran atau jatuh/ bangkrut dalam tugas atau pekerjaannya.
Sumber dari ketiga hal perusak tersebut adalah:
Kegagalan orang menerima diri atau kelompok dengan segala kekurangan dan kelebihan yang dia miliki.
Orang tak menghargai lagi kebijaksanaan Allah yang telah menciptakan semua orang dengan segala keunikan dan kehasannya masing-masing. Semuanya diciptakan dengan bijak adalah untuk saling menyempurnakan.
Untuk membangun kerjasama dan kebersamaan sebagai bangsa dalam NKRI dan Pancsila adalah perlunya membuang penyakit itu. Semoga.
Pada dasarnya kebersamaan yang sudah terjaga dengan baik di tengah rakyat Indonesia kembali dirusak oleh sejumlah orang yang tidak menginginkan keselamatan NKRI dan Pancasila.

Adapun ketiga hal yang menjadi perusak itu adalah:
Ambisi pribadi baupun kelompok. Yang lain tidak tau/ atau bodoh dan rendah/ hina.
Irihati. Ada sebagian orang malah menjadi iri bila orang lain berhasil dan sukses. Mereka malah ingin menjatuhkan orang lain yang sukses.
Batu sandungan. Sering kali orang atau kelompok berusaha menjebak orang lain supaya terperangkap pada kehancuran atau jatuh/ bangkrut dalam tugas atau pekerjaannya.
Sumber dari ketiga hal perusak tersebut adalah:
Kegagalan orang menerima diri atau kelompok dengan segala kekurangan dan kelebihan yang dia miliki.
Orang tak menghargai lagi kebijaksanaan Allah yang telah menciptakan semua orang dengan segala keunikan dan kehasannya masing-masing. Semuanya diciptakan dengan bijak adalah untuk saling menyempurnakan.
Untuk membangun kerjasama dan kebersamaan sebagai bangsa dalam NKRI dan Pancsila adalah perlunya membuang penyakit itu. Semoga.
Label:
agama,
berita,
BIMAS KATOLIK,
fundamentalis,
garis keras,
perusak indonesia,
politik

Kamis, Mei 11, 2006
POLITIK KOTOR DI TUBAN

Politik Kotor di Tuban
Oleh Pormadi Simbolon
Pemrotes hasil pemilihan ke-pala daerah (pilkada) Bupati dan Wakil Bupati melakukan "politik" bakar membakar. Akibatnya, selain kantor KPU Tuban serta pendopo kabupaten, dirusak pula sebuah hotel, dua pompa bensin dan 12 mobil. Sampai akhirnya aparat keamanan memberlakukan jam malam untuk menghentikan penularan kerusuhan ke daerah lain. Apapun alasannya, para pemrotes hasil pilkada di Tuban telah melakukan "politik kotor" dengan cara bakar membakar. Tindakan para pemrotes tersebut amoral dan mencederai jalan demokratisasi di Indonesia.
Hitler pernah berkomentar, "Tidak ada lapangan kehidupan yang demikian kotor seperti politik!" Komentar tersebut menjadi prinsip Hitler menjustifikasi tindakannya dalam rangka memusnahkan orang-orang Yahudi. Pemeo yang kebenarannya secara umum tidak ada yang menyangkal itu memang sangat diminati para partisipan lapangan kehidupan politik. Diminati untuk membenarkan, mengesahkan, melegalkan aneka praktek perjuangan kepentingan yang melanggar keadilan.
Peristiwa Tuban tidak berlebihan jika dikatakan bahwa sekelompok massa telah melakukan cara- cara ilegal dan tidak adil dalam memperjuangkan hak-hak politiknya. Cara-cara mereka semakin membenarkan pemeo bahwa politik itu kotor. Pembenaran pemeo ini tidak saja berbahaya melainkan juga tidak tepat. Tidak tepat karena merupakan pelukisan sebagian saja dari sisi kenyataan lapangan kehidupan yang pada umumnya dianggap benar demikian.
Karena itu pemeo ini tidak bisa dipakai sebagai prinsip moral pembenaran suatu tindakan politis. Prinsip moral tidak bisa diasalkan secara induktif dari lapangan kehidupan konkret sekadar berdasar pada ciri umum tidaknya elemen- elemen prinsip itu. Sebab apa yang umum bisa dibilang tidak dan atau belum tentu baik dan benar.
Jadi walaupun pada umumnya diakui bahwa dalam lapangan kehidupan konkret apa yang disebut politik itu merupakan realitas keras, brutal, dan kotor, tidak bisa disimpulkan lantas dalam politik segala bentuk tindakan disahkan secara moral. Setiap keyakinan yang menjustifikasi kekerasan dan aneka penyalahgunaan karena meyakini pemeo "politik itu kotor" sangat naif. Tampaknya inilah yang terjadi pasca pengumuman hasil pilkada di Tuban.
Pembenaran terhadap prinsip "politik itu kotor" berasal dari pemikiran yang memisahkan antara moral dan politik. Diyakini oleh paham itu, moral merupakan lapangan pertimbangan dosa dan tidak dosa. Sedangkan politik adalah lapangan kekuasaan. Dalam mengejar dan membela kekuasaan pertimbangan dosa atau tidak dosa disisihkan, karena bukan saja akan mengganggu tekad untuk memutuskan tindakan tertentu, melainkan juga terutama tidak relevan.

Pemikiran semacam itu merupakan ciri khas filsafat machiavellian. Machiavelli, sang pioner filsafat politik modern, membedakan dan memproklamirkan pemisahan antara moral politik dan moral keutamaan manusiawi. Kebijaksanaan-yang dalam moral keutamaan manusiawi sama dengan keutamaan orang baik-dalam moral politik dipahami sebagai kepandaian untuk berperang, meneror pihak-pihak lawan demi perebutan kekuasaan.
Bagi Machiavelli, seorang raja atau pangeran yang baik adalah dia yang merebut, membela, dan mempertahankan kekuasaan. Bagai- mana itu dilakukan, Machiavelli tidak mempedulikan aturan prinsip-prinsip normatif caranya (bdk. The Prince, Bab XV).
Konsekuensi logis yang mengalir dari paham ini harus diakui, lantas terjadilah penendangan terhadap prinsip-prinsip moral. Di tangannya pula, politik lantas pertama-tama adalah soal merebut dan membela kekuasaan.
Politik Sejati
Politik adalah lapangan kehidupan yang menyentuh hampir secara menyeluruh hubungan antarmanusia. Dalam filsafat politik klasik, pengertian politik menunjuk pada rangkaian urusan yang berkaitan dengan sistem kehidupan yang sempurna dalam polis.
Pengertian ini bukan merupakan idealisasi atau romantisasi makna politik, melainkan merupakan pemahaman yang lahir dari pengalaman akal sehat dan memiliki keterarahan yang selaras dengan tujuan kodrat (natura) eksistensi manusia. Para filosof klasik memandang bahwa dalam kodratnya manusia hanya akan menemukan kesempurnaannya apabila menjalin hubungan sedemikian rupa dengan sesamanya. Konsep manusia sebagai makhluk sosial dan politis menemukan artinya di sini, yaitu dalam usahanya yang secara kodrati menuju kesempurnaannya dalam kehidupan bersama. Kesendirian manusia tidak saja melukiskan kesepian, ketidaklengkapan, kengenasan, melainkan juga terutama ketidaksempurnaan.
Konsekuensi selanjutnya dari konsep ini ialah lantas setiap tindakan yang menghancurkan, membakar sesamanya siapapun mereka bukan saja merupakan tindakan keji, tetapi juga melawan kodratnya. Karena kodrat manusia berasal dari Allah, maka pencetus kerusuhan itu secara frontal melawan Sang Pencipta sendiri. Konsep bahwa kesempurnaan manusia terletak pada hubungan damai dengan sesamanya ini tidak melawan ajaran manapun juga, karena konsep ini didasarkan pada kodrat manusiawi.
Relasi politik dan moral sebenarnya langsung dan konkret. Hubungan langsung dan konkret tersebut dicetuskan dalam preferensi bukan kekuasaan atau pribadi pemegang kekuasaan (prinsip Machiavelli) melainkan hukum. Intisari kodrat pengertian hukum yang esensial ialah bahwa ia harus adil. Prinsip keadilan melekat dalam cara ada manusia menurut kodrat akal budinya.
Hukum sebagai produk akal budi manusia harus adil, sebab jika tidak hukum itu menyalahi prinsip kodrati akal budi manusia. Hukum tidak adil dari segi moral akan kehilangan daya ikatnya sebagaimana dimaksudkan oleh hukum.
Jika suatu hukum tidak adil toh diberlakukan, dan pelanggaran atas hukum itu dikenai sanksi, sanksi yang bersangkutan tidak ada sangkut pautnya dengan kesalahan moral, melainkan merupakan kesewenangwenangan dari pihak yang memberi sanksi.
Dalam kasus kerusuhan Tuban, para pemrotes hasil pilkada melakukan jalur politik kotor dalam upaya memperjuangkan kekuasaan. Di satu sisi, tindakan bakar-membakar, mereka lakukan karena jalur hukum tidak akan menyelesaikan masalah mereka, namun di sisi lain, cara-cara mereka amoral dan mencederai proses demokratisasi Indonesia. Persoalannya adalah bila hukum belum ditegakkan secara tegas dan adil, maka selama itu pulalah akan terjadi politik kotor. Politik kotor dari Tuban akan menyebar ke daerah lain.
Penulis adalah alumnus STFT Widya Sasana Malang, tinggal di Jakarta
SUARA PEMBARUAN DAILY , Selasa, 09 Mei 2006
Label:
agama,
berita,
integritas diri,
opini,
politik

Langganan:
Postingan (Atom)