AKSI KORUPSI DALAM IKATAN “PERSAUDARAAN” KELUARGA
OLEH PORMADI SIMBOLON
Korupsi adalah kejahatan biasa. Tetapi, di Indonesia dianggap luar biasa, sebab mewabah dan mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara," demikian pernyataan kriminolog dari Universitas Indonesia, Tubagus Ronny Rahman Nitibaskara, di Jakarta, Senin ( Kompas, 9/4).
Penulis berpendapat korupsi menjadi kejahatan luar biasa karena terjadi dalam fenomena ikatan “persaudaraan” keluarga. Mereka memiliki ikatan “persaudaraan” sesama pelaku. Kita tidak perlu heran lagi jika kasus korupsi melibatkan kakak-adik, anak-cucu, besan, kerabat, dan lain sebagainya dalam ikatan keluarga.
Tampaknya para koruptor akan menjadi bangga bila dapat memperkaya keluarga atau kerabatnya. Indikasi atau fenomena pelibatan keluarga dalam tindak korupsi tampak kasus Bulog (sedang proses pemeriksaan) dan impor beras (Nkasus Nurdin Halid) dan impor gula ilegal (Kasus adik Nurdin Halid) yang terjadi (Tempo Interaktif, Selasa, 05 Juli 2005)
Ikatan persaudaraan kekeluargaan itu begitu kuat sebagaimana kebudayaan Timur pada umumnya. Dengan demikian tindakan korupsi tidak gampang dibongkar karena berlindung dalam ikatan keluarga. Lalu pelaku korupsi tersebut akan merasa aman karena dibentengi oleh ikatan kekeluargaan tadi. Tindakan korupsi demikian akan menjadi kejahatan luar biasa seperti api dalam sekam bila tidak ketahuan ke ranah publik. Efeknya akan luar biasa kejam dalam menyengsarakan rakyat secara pelan-pelan banyak dalam durasi waktu bertahun-tahun. Korupsi menjadi amat dahsyat mengancam kepentingan nasional.
Korupsi itu ibarat tetesan air yang jatuh pada satu titik permukaan dinding atau tembok rumah yang lalu pelan-pelan dapat merusak dan merobohkan tembok. Tetesan demi tetesan yang jatuh pada dinding atau tembok rumah dapat melobanginya dan pada akhirnya menghancurkannya.
Demikian pula korupsi seperti sudah diketahui umum sudah terjadi dari lingkungan Rukun Tetangga (RT) hingga tingkat lingkungan pemerintahan tingkat tinggi.Korupsi terjadi mulai dari pengurusan KTP hingga pengurusan administrasi kepemerintahan lainnya. Awalnya tindakan korupsi itu biasa-biasa saja, namun lama-lama menjadi luar biasa karena sudah membudaya dan terjadi secara lambat tapi pasti merusak.
Jadi benar apa yang dikatakan kriminolog Nitibaskara bahwa kejahatan korupsi di Indonesia dianggap luar biasa. Luar biasa kejahatan korupsi itu karena bersifat warisan dari generasi tua hingga pada generasi muda. Kalau di Amerika Serikat kejahatan yang mengancam kepentingan nasional adalah terorisme, maka di Indonesia korupsi menjadi ancaman dalam memajukan dan menyejahterakan rakyat Indonesia.
Inilah kenyataan yang membuat kejahatan korupsi menjadi luar biasa. Pertama, korupsi yang sudah mapan tertanam pada diri para pelaku dan keluarganya sehingga sulit diubah karena memang eksistensi hidupnya sudah terlanjur tergantung pada tindakan jahat tersebut. Korupsi terjadi setetes demi setetes dalam frekwensi yang berkali-kali membuat para pelakunya dapat membeli rumah dan mobil dalam waktu relatif singkat. Kedua, korupsi dilakukan dalam suatu ikatan “persaudaraan” sesama koruptor, sehingga pembongkaran kasus korupsi sulit karena akan merusak persaudaraan sesama pelaku korupsi. Sebab jika tidak demikian, mereka semua akan dimasukkan dalam terali besi.
Tidak Sekedar Wacana
Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden telah menyetujui dan mengeluarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003). Salah satu poin pertimbangannya adalah bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka pemerintah bersama-sama masyarakat mengambil langkah-Iangkah pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi secara sistematis dan berkesinambungan.
Kurang lebih 9 tahun para pimpinan negeri ini berniat memberantas tindakan korupsi, namun hasilnya belum signifikan diindikasikan dengan sedikitnya kasus korupsi yang berhasil diselesaikan secara tuntas. Begitu banyak peraturan yang sudah dikeluarkan demi penghapusan atau sekurang-kurangnya mengurangi tindak pidana korupsi, namun korupsi masih berlangsung. Tampaknya ada kesan bahwa pemeriksaan kasus korupsi hanya ditujukan pada “lawan” politik yang memerintah sebelumnya.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah menginstruksikan kepada para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu, Jaksa Agung, Panglima TNI, Kapolri, para Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen, para gubernur, para bupati dan wali kota untuk sungguh-sungguh melaksanakan instruksi percepatan pemberantasan korupsi di instansi masing-masing. (Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi). Pemberantasan korupsi masih berjalan di tempat. Cuma koruptor kelas “teri” berhasil diproses.
Seperti diberitakan media massa, Presiden pernah menegaskan dalam pidato atau sambutannya, bahwa ia akan tegas dan dengan langkah-langkah konkrit melakukan perbaikan kehidupan rakyat. Salah satunya adalah pemberantasan korupsi di pemerintahannya. Pemerintahan SBY sudah berjalan kurang lebih 2,5 tahun. Hingga sekarang keluh kesah rakyat tentang pahitnya hidup mereka begitu banyak terdengar. Mulai dari mereka yang menjadi korban Lapindo hingga mereka yang menjadi korban himpitan ekonomi.
Sebelum Presiden SBY terpilih, ada beberapa tokoh masyarakat berpendapat bahwa kelemahan SBY adalah sikap tidak tegas alias sering ragu dalam mengambil keputusan. Nada serupa diakui oleh salah satu media nasional (Tajuk Rencana, Kompas, 10/4). Hasilnya bisa dilihat dengan kasat mata, kemiskinan, kelaparan, kebodohan, kekacauan dan ketidakpastian seperti sekarang masih dominan mewarnai kehidupan rakyat kebanyakan di Indonesia. Dengan kata lain pemerintahan sekarang perlu menyelesaikan pemberantasan korupsi demi perbaikan kehidupan bangsa.
Pemerintahan SBY tinggal dua setengah tahun lagi. Harapan semua orang, semoga peraturan-peraturan dalam rangka pemberantasan tindakan korupsi tidak menjadi sekedar wacana belaka. Kita menantikan ketegasan dan langkah-langkah konkritnya dalam menindak para pelaku tindak pidana korupsi dan keluarganya yang terlibat. Bersama semua rakyat pencinta pemerintahan yang bersih, tindak kejahatan korupsi akan dapat diberantas. Semoga.
* Pemerhati masalah sosial, lulusan STFT Widya Sasana Malang.
Trima kasih mengunjungi blog kami!
Para pengunjung yth. semua isi blog ini ditulis atau disusun atas kemauan pribadi. Itu berarti blog ini berisi aneka pendapat, pemahaman, persepsi pribadi, dan pemikiran pribadi atas lingkungan kerja dan hidup sekitarnya. Harapan kami isi blog ini bermanfaat bagi pengunjung yang memerlukannya. Salam, GBU.
Kamis, April 19, 2007
AKSI KORUPSI DALAM IKATAN “PERSAUDARAAN” KELUARGA

Jumat, Februari 02, 2007
KESEJATIAN PELAYANAN DAN TRANSFORMASI SIKAP
KESEJATIAN PELAYANAN DAN TRANSFORMASI SIKAP
Oleh Pormadi Simbolon
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyerukan kepada seluruh bangsa Indonesia agar melakukan tobat nasional. Salah satu butir seruan tersebut disebutkan agar bangsa Indonesia menjauhi perbuatan yang langsung atau tidak langsung menyebabkan murka Allah, seperti melakukan kezaliman, kepalsuan atau kepura-puraan, kebohongan, pengrusakan kehormatan dan martabat sesama, pengrusakan keseimbangan alam, korupsi/ keserakahan, pengkhianatan hukum, pengkhianatan terhadap amanat, menelantarkan penderitaan rakyat kecil dan sebagainya, demikian diberitakan beberapa media cetak nasional.
Seruan tersebut amat relevan teristimewa bagi mereka yang mengaku pemegang mandat rakyat, wakil rakyat, dan penegak hukum. Mereka mengklaim bahwa jabatan atau tugas pelayanan mereka berasal dari, oleh dan untuk rakyat. Nyatanya, yang lebih meruyak ke permukaan adalah penelantaran rakyat, korupsi/ keserakahan dan pengkhianatan terhadap amanat dan hukum.
Kenyataan demikian bisa terjadi karena mereka yang mengaku bekerja untuk rakyat sebenarnya tidak mengerti dan memahami kesejatian atau kodrat mereka sebagai pelayan rakyat. Sejatinya mereka yang mengaku pemegang mandat rakyat, wakil rakyat dan penegak hukum adalah untuk pelayanan rakyat kebanyakan.
Kesejatian Pelayanan
Terjadinya jurang yang dalam antara pelaksanaan tugas pelayanan sebagai pemegang mandat (baca: amanat) rakyat, wakil rakyat dan penegak hukum dengan kesejatian ketiga tugas tersebut disebabkan ketiadaan pemahaman atau kesadaran yang benar akan hakekat tugas tersebut atau mereka sebatas mengetahui tetapi tidak mengamalkannya.
Mengenai kesejatian tugas pelayanan tersebut pernah diperdebatkan oleh Sokrates dengan Thrasymachus dalam dialog Republic (yang ditulis Plato, dalam buku I). Pertanyaan awal untuk mencari hakekat atau kesejatian itu diawali dari pertanyaan apakah? Misalnya apakah keadilan? Apakah seni menggembalakan? Metode pertanyaan yang sama dapat diajukan terhadap hakekat sesuatu yang lainnya.
Bagi Thrasymachus, berdasarkan pengalamannya, keadilan adalah the advantages of stronger. Maksudnya, keadilan adalah keuntungan penguasa. Thrasymachus Menganalogikan kebenaran argumentasinya dengan menyimak art of shehperd. Menurutnya, seni gembala adalah melakukan tugas penggembalaannya untuk dan demi keuntungannya sendiri. Sokrates menguji argumentasi Thrasymachus dengan bertanya apakah seni menggembalakan itu? Apakah seni (dengan “seni” dimaksudkan kecerdasan, kecakapan, ketrampilan) itu? Sokrates menguji benarkah seni menggembalakan itu dimaksudkan untuk dirinya sendiri (sang gembala)? Baginya kodrat seni ialah untuk profesionalitas bidang yang bersangkutan. Maksudnya seorang dokter misalnya belajar dengan giat untuk bisa makin pandai dan terampil menyembuhkan penyakit sang pasien (jadi bukan untuk dirinya sendiri). Demikian juga soal seni gembala. Kecerdikan seorang gembala dimaksudkan agar domba-dombanya memperoleh keamanan, menemukan rerumputan hijau, terhindar dari serigala dan seterusnya. Jadi kodrat seni berkuasa pun lantas tidak untuk kepentingan sang penguasa. Apabila seni berkuasa untuk dirinya sendiri, jelas itu merupakan pelanggaran, kesalahan, dan pemanipulasian.
Jika kita ajukan pertanyaan yang sama misalnya apakah pemegang mandat rakyat itu? Apakah wakil rakyat itu? Dan apakah penegak hukum itu? Pemegang mandat rakyat, wakil rakyat dan penegak hukum pada kodratnya melayani rakyat banyak pertama-tama tidak untuk kepentingan diri sendiri, melainkan demi profesionalitas pelayanan yang semakin baik demi kesejahteraan umum (bonum commune).
Kenyataan di lapangan menunjukkan banyak pemegang mandat rakyat, wakil rakyat dan penegak hukum tidak melakukan tugas pelayanannya demi kepentingan umum melainkan demi keuntungan pribadi atau kelompoknya sendiri.
Kesan tebar pesona, dan bukan tebar karya yang terjadi di tengah masyarakat, ketidakpekaan para wakil rakyat (PP Nomor 37 tahun 2006, November lalu rakyat dikejutkan dengan langkah Presiden menandatangani PP Nomor 37 Tahun 2006 yang memperkaya anggota legislatif daerah dengan gaji puluhan juta rupiah), dan penegakan hukum secara tebang pilih yang mengejar para koruptor kecil-kecilan merupakan beberapa contoh pemanipulasian tugas pelayanan oleh sebagian pejabat negara.
Transformasi Sikap
Kesalahan para pejabat publik terjadi dalam kapasitas masing-masing, yang terlena oleh kepentingan pribadi atau kelompok. Oleh karena itu seruan tobat nasional oleh PBNU paling aktual dan relevan bagi mereka yang paling bertanggung jawab terhadap nasib rakyat. Mereka semua perlu lebih dulu mengubah sikap alias transformasi sikap karena merekalah seyogiyanya yang menjadi panutan masyarakat banyak.
Kelemahan para pejabat publik, mereka tidak pernah melakukan transformasi sikap. Mereka masih saja asyik dengan cara-cara lama, padahal keadaan globalisasi sudah sepenuhnya menuntut harus berubah. Bahkan dalam demokrasi pun, mereka seringkali lebih menuntut haknya, tetapi mereka tidak pernah mau melaksanakan kewajiban yang sesuai dengan kodrat tugas pelayanan mereka dalam kapasitasnya masing-masing.
Transformasi sikap yang mereka lakukan sejatinya mengacu pada kodrat tugas pelayanan yang diberikan dan dipercayakan oleh rakyat kepada lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Apakah lembaga eksekutif itu? Apakah lembaga legislatif itu? Apakah lembaga yudikatif itu? Pertanyaan ini akan mengarah pada kodrat dan kesejatian keberadaan ketiga lembaga tersebut bila memang mereka tidak dikendalikan oleh egoisme dan kepentingan partainya. Jika mereka masih terkungkung dan terikat pada kepentingan dan keuntungan mereka sendiri, maka di situlah terjadi pelanggaran, kesalahan dan pemanipulasian mandat rakyat, kepercayaan dan aspirasi rakyat banyak sebagaimana pengujian Sokrates atas pengertian seni gembala yang dikemukakan Thrasymachus.
Persoalannya sekarang, masih terbukakah pintu hati nurani, akal budi dan mata mereka terhadap kodrat tugas pelayanan mereka? Ataukah mereka masih lebih menuntut hak daripada menunaikan kewajiban mereka terlebih dahulu? Jika masih demikian halnya, Indonesia tidak akan pernah menjadi negara maju setingkat Malaysia dan Singapura sekalipun. Indonesia akan tetap menjadi terbelakang di mata internasional. Semakin mendesaklah seruan tobat dan transformasi sikap secara nasional teristimewa bagi para pejabat yang mengklaim tugasnya berasal dari, oleh dan untuk rakyat. Semoga.
Penulis adalah alumnus STFT Widya Sasana Malang
Oleh Pormadi Simbolon
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyerukan kepada seluruh bangsa Indonesia agar melakukan tobat nasional. Salah satu butir seruan tersebut disebutkan agar bangsa Indonesia menjauhi perbuatan yang langsung atau tidak langsung menyebabkan murka Allah, seperti melakukan kezaliman, kepalsuan atau kepura-puraan, kebohongan, pengrusakan kehormatan dan martabat sesama, pengrusakan keseimbangan alam, korupsi/ keserakahan, pengkhianatan hukum, pengkhianatan terhadap amanat, menelantarkan penderitaan rakyat kecil dan sebagainya, demikian diberitakan beberapa media cetak nasional.
Seruan tersebut amat relevan teristimewa bagi mereka yang mengaku pemegang mandat rakyat, wakil rakyat, dan penegak hukum. Mereka mengklaim bahwa jabatan atau tugas pelayanan mereka berasal dari, oleh dan untuk rakyat. Nyatanya, yang lebih meruyak ke permukaan adalah penelantaran rakyat, korupsi/ keserakahan dan pengkhianatan terhadap amanat dan hukum.
Kenyataan demikian bisa terjadi karena mereka yang mengaku bekerja untuk rakyat sebenarnya tidak mengerti dan memahami kesejatian atau kodrat mereka sebagai pelayan rakyat. Sejatinya mereka yang mengaku pemegang mandat rakyat, wakil rakyat dan penegak hukum adalah untuk pelayanan rakyat kebanyakan.
Kesejatian Pelayanan
Terjadinya jurang yang dalam antara pelaksanaan tugas pelayanan sebagai pemegang mandat (baca: amanat) rakyat, wakil rakyat dan penegak hukum dengan kesejatian ketiga tugas tersebut disebabkan ketiadaan pemahaman atau kesadaran yang benar akan hakekat tugas tersebut atau mereka sebatas mengetahui tetapi tidak mengamalkannya.
Mengenai kesejatian tugas pelayanan tersebut pernah diperdebatkan oleh Sokrates dengan Thrasymachus dalam dialog Republic (yang ditulis Plato, dalam buku I). Pertanyaan awal untuk mencari hakekat atau kesejatian itu diawali dari pertanyaan apakah? Misalnya apakah keadilan? Apakah seni menggembalakan? Metode pertanyaan yang sama dapat diajukan terhadap hakekat sesuatu yang lainnya.
Bagi Thrasymachus, berdasarkan pengalamannya, keadilan adalah the advantages of stronger. Maksudnya, keadilan adalah keuntungan penguasa. Thrasymachus Menganalogikan kebenaran argumentasinya dengan menyimak art of shehperd. Menurutnya, seni gembala adalah melakukan tugas penggembalaannya untuk dan demi keuntungannya sendiri. Sokrates menguji argumentasi Thrasymachus dengan bertanya apakah seni menggembalakan itu? Apakah seni (dengan “seni” dimaksudkan kecerdasan, kecakapan, ketrampilan) itu? Sokrates menguji benarkah seni menggembalakan itu dimaksudkan untuk dirinya sendiri (sang gembala)? Baginya kodrat seni ialah untuk profesionalitas bidang yang bersangkutan. Maksudnya seorang dokter misalnya belajar dengan giat untuk bisa makin pandai dan terampil menyembuhkan penyakit sang pasien (jadi bukan untuk dirinya sendiri). Demikian juga soal seni gembala. Kecerdikan seorang gembala dimaksudkan agar domba-dombanya memperoleh keamanan, menemukan rerumputan hijau, terhindar dari serigala dan seterusnya. Jadi kodrat seni berkuasa pun lantas tidak untuk kepentingan sang penguasa. Apabila seni berkuasa untuk dirinya sendiri, jelas itu merupakan pelanggaran, kesalahan, dan pemanipulasian.
Jika kita ajukan pertanyaan yang sama misalnya apakah pemegang mandat rakyat itu? Apakah wakil rakyat itu? Dan apakah penegak hukum itu? Pemegang mandat rakyat, wakil rakyat dan penegak hukum pada kodratnya melayani rakyat banyak pertama-tama tidak untuk kepentingan diri sendiri, melainkan demi profesionalitas pelayanan yang semakin baik demi kesejahteraan umum (bonum commune).
Kenyataan di lapangan menunjukkan banyak pemegang mandat rakyat, wakil rakyat dan penegak hukum tidak melakukan tugas pelayanannya demi kepentingan umum melainkan demi keuntungan pribadi atau kelompoknya sendiri.
Kesan tebar pesona, dan bukan tebar karya yang terjadi di tengah masyarakat, ketidakpekaan para wakil rakyat (PP Nomor 37 tahun 2006, November lalu rakyat dikejutkan dengan langkah Presiden menandatangani PP Nomor 37 Tahun 2006 yang memperkaya anggota legislatif daerah dengan gaji puluhan juta rupiah), dan penegakan hukum secara tebang pilih yang mengejar para koruptor kecil-kecilan merupakan beberapa contoh pemanipulasian tugas pelayanan oleh sebagian pejabat negara.
Transformasi Sikap
Kesalahan para pejabat publik terjadi dalam kapasitas masing-masing, yang terlena oleh kepentingan pribadi atau kelompok. Oleh karena itu seruan tobat nasional oleh PBNU paling aktual dan relevan bagi mereka yang paling bertanggung jawab terhadap nasib rakyat. Mereka semua perlu lebih dulu mengubah sikap alias transformasi sikap karena merekalah seyogiyanya yang menjadi panutan masyarakat banyak.
Kelemahan para pejabat publik, mereka tidak pernah melakukan transformasi sikap. Mereka masih saja asyik dengan cara-cara lama, padahal keadaan globalisasi sudah sepenuhnya menuntut harus berubah. Bahkan dalam demokrasi pun, mereka seringkali lebih menuntut haknya, tetapi mereka tidak pernah mau melaksanakan kewajiban yang sesuai dengan kodrat tugas pelayanan mereka dalam kapasitasnya masing-masing.
Transformasi sikap yang mereka lakukan sejatinya mengacu pada kodrat tugas pelayanan yang diberikan dan dipercayakan oleh rakyat kepada lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Apakah lembaga eksekutif itu? Apakah lembaga legislatif itu? Apakah lembaga yudikatif itu? Pertanyaan ini akan mengarah pada kodrat dan kesejatian keberadaan ketiga lembaga tersebut bila memang mereka tidak dikendalikan oleh egoisme dan kepentingan partainya. Jika mereka masih terkungkung dan terikat pada kepentingan dan keuntungan mereka sendiri, maka di situlah terjadi pelanggaran, kesalahan dan pemanipulasian mandat rakyat, kepercayaan dan aspirasi rakyat banyak sebagaimana pengujian Sokrates atas pengertian seni gembala yang dikemukakan Thrasymachus.
Persoalannya sekarang, masih terbukakah pintu hati nurani, akal budi dan mata mereka terhadap kodrat tugas pelayanan mereka? Ataukah mereka masih lebih menuntut hak daripada menunaikan kewajiban mereka terlebih dahulu? Jika masih demikian halnya, Indonesia tidak akan pernah menjadi negara maju setingkat Malaysia dan Singapura sekalipun. Indonesia akan tetap menjadi terbelakang di mata internasional. Semakin mendesaklah seruan tobat dan transformasi sikap secara nasional teristimewa bagi para pejabat yang mengklaim tugasnya berasal dari, oleh dan untuk rakyat. Semoga.
Penulis adalah alumnus STFT Widya Sasana Malang
Label:
berita,
integritas diri,
opini,
pelayanan,
tanggung jawab,
transformasi sikap

Kamis, Januari 25, 2007
JAKARTA BERWAJAH "PANAS"!
JAKARTA BERWAJAH “PANAS”!
Oleh: Pormadi Simbolon
Pasca lebaran 2006, banyak pemudik membawa sanak saudara, kenalan, atau sahabat untuk mencari sesuap nasi di Ibukota Jakarta. “Salah seorang sahabat pemudik dari daerah SUMUT sana pernah berkata, Panasnya Ibukota Jakarta Lae!
Jakarta memang panas! Suhu udaranya membuat orang setiap haria harus berkeringat dari pagi hingga pada sore hari. Dari berangkat ke kantor hingga pada saat pulang dari kantor. Panas terik matahari siap membakar kulit para penduduk Jakarta.
Jakarta memang “panas”! Penduduknya juga gampang ikut menjadi panas karena kotanya sednriri sudah panas. Mulai dari pedagang asongan hingga pedagang toko. Mulai dari insan-insan bis non-AC hingga bis ber-AC. Mulai dari sopir bajaj hingga sopir busway. “Kepanasan” kota Jakarta semakin menusuk dan menyengat ketika kemacetan di sana sini terjadi. Kata-kata kotor kerap kali menjadi santapan telinga setiap hari. Akhir-akhir ini kepanasan itu semakin terasa ketika pemerintah provinsi Jakarta lagi sibuk menyelesaikan proyek busway. Kemacetan pun semakin menjadi-jadi.Meskipun demikian, ibukota bak gula bagi para pendatang baru.
“Siapa suruh datang ke Jakarta!”. Slogan ini masih ada terpampang di sebuah terminal Bis tempat kedatangan dari daerah. Pernyataan ini mengingatkan bahwa kota Jakarta adalah kota yang penuh dengan kekerasan, cuaca panas, banyak penduduknya kasar, dan sebuah kota yang sangat membutuhkan kerja keras untuk mencari sesuap nasi. Itulah sebabnya kerap terdengar slogan lain yang berbunyi, tidak ada uang sama dengan mati atau maut di Jakarta.
Tidak berlebihan pula, banyak orang menyebut kota Jakarta sebagai kota yang kejam. Ibukota memang kejam, lebih kejam dari ibu tiri. Di ibukota ii, ekonomi betjalan melalui cara-cara yang kasar dan keras. Untuk mencari orang melakukan segala cara. Merampok, mencopet, dan membunuh pun terpaksa dilakukan demi mempertahankan hidup bukan hal baru di Ibukota. Penggusuran dan pengusiran para pedagang kaki lima tanpa solusi yang memuaskan sering pula menjadi tontonan mata.
Lebih jauh, Jakarta kerap dipandang menjadi tempat untuk menjadi kaya di Indonesia. Banyak cara dihalalkan. Seseorang bisa menjadi kaya bila dia kuat dan menghalalkan segala cara. Jakarta memungkinkan seseorang dengan mudah berkuasa karena uanglah syarat perdananya. Mungkin ini menjadi pelajaran yang dipetik oleh pejabat-pejabat daerah.
Di Jakarta, kebanyakan orang memandang dan menetapkan harkat dan martabat seseorang dari jumlah materi yang dimilikinya. Dengan modal uang seseorang merasa dengan gampang mendapatkan kekuasaan di bidang hidup seperti politik, sosial atau budaya. Dengan uang orang dapat menjadi ktua organisasi, pejabat pemerintah, bahkan menjadi tokoh penting dalam partai politik dalam masyarakat.
Tak jarang pula, Jakartalah yang menciptakan kepanasan di daerah. Pada masa Orde Baru, Jakartalah yang memberi ijin kepada Freeport untuk berusaha di Irian Barat alias Papua. Jakarta yang tidak memperhatikan nasib penduduk lokal mendorong Freeport ikut-ikutan melakukan hal yang sama. Panas pulalah Papaua jadinya!
Sebagian media melansir, memanasnya situasi masyarakat di beberapa daerah seperti di Poso dan daerah lainnya, disebabkan oleh panasnya kepentingan politik di Jakarta. Jika pernyataan media tersebut benar berarti Jakarta memang benar-benar panas dan kejam serta menjadi penebar “panas” ke berbagai daerah.
Ketika nasib rakyat kebanyakan semakin tidak menentu dan menderita akibat kenaikan BBM, Jakartalah yang menjadi penyebabnya. Menyedihkannya, dampak kenaikan BBM itu belum juga pulih hingga sekarang. Rakyat keseluruhan masih menderita karena Jakarta.
Mutu pendidikan kita semakin menurun juga disebabkan oleh Jakarta. Panasnya kepentingan politik para pejabat di Jakarta mendorong pemaksaan praktek Ujian Nasional sebagai proyek. Proyek Jakarta tersebut jelas sekali kelihatan lebih mengutamakan makna politis daripada proses edukatif. Kebijakan Jakarta berakibat pada pemborosan anggaran negara, dan mutu pendidikan kita menjadi panas.
Memang Jakarta merupakan pusat dan barometer kemajuan bagi semua provinsi di Indonesia. Sistem, kebijakan, perilaku para insan birokrasi di Jakarta dengan cepat direkam dan dipraktekkan di daerah. Kerapkali adanya permintaan “upeti” dari pejabat di Jakarta, mendorong pejabat bawahan di lapangan harus memenuhi target setoran. Jika target setoran tidak tercapai, siap-siaplah pejabat pusat akan menggantinya dengan orang-orang yang lebih mampu setor.
Jakarta memang panas. Jika hanya cuacanya saja yang panas masih bisa atasi dengan alat pendingin (AC). Namun bila orang-orang Jakarta, mulai dari rakyat biasa hingga pada tokoh-tokoh elit negara (pejabat eksekutif, legislatif dan judikatif) ikut menjadi “panas”, dengan apakah mereka didinginkan?
Penulis adalah alumnus STFT Widya Sasana Malang, tinggal di Jakarta.
Oleh: Pormadi Simbolon
Pasca lebaran 2006, banyak pemudik membawa sanak saudara, kenalan, atau sahabat untuk mencari sesuap nasi di Ibukota Jakarta. “Salah seorang sahabat pemudik dari daerah SUMUT sana pernah berkata, Panasnya Ibukota Jakarta Lae!
Jakarta memang panas! Suhu udaranya membuat orang setiap haria harus berkeringat dari pagi hingga pada sore hari. Dari berangkat ke kantor hingga pada saat pulang dari kantor. Panas terik matahari siap membakar kulit para penduduk Jakarta.
Jakarta memang “panas”! Penduduknya juga gampang ikut menjadi panas karena kotanya sednriri sudah panas. Mulai dari pedagang asongan hingga pedagang toko. Mulai dari insan-insan bis non-AC hingga bis ber-AC. Mulai dari sopir bajaj hingga sopir busway. “Kepanasan” kota Jakarta semakin menusuk dan menyengat ketika kemacetan di sana sini terjadi. Kata-kata kotor kerap kali menjadi santapan telinga setiap hari. Akhir-akhir ini kepanasan itu semakin terasa ketika pemerintah provinsi Jakarta lagi sibuk menyelesaikan proyek busway. Kemacetan pun semakin menjadi-jadi.Meskipun demikian, ibukota bak gula bagi para pendatang baru.
“Siapa suruh datang ke Jakarta!”. Slogan ini masih ada terpampang di sebuah terminal Bis tempat kedatangan dari daerah. Pernyataan ini mengingatkan bahwa kota Jakarta adalah kota yang penuh dengan kekerasan, cuaca panas, banyak penduduknya kasar, dan sebuah kota yang sangat membutuhkan kerja keras untuk mencari sesuap nasi. Itulah sebabnya kerap terdengar slogan lain yang berbunyi, tidak ada uang sama dengan mati atau maut di Jakarta.
Tidak berlebihan pula, banyak orang menyebut kota Jakarta sebagai kota yang kejam. Ibukota memang kejam, lebih kejam dari ibu tiri. Di ibukota ii, ekonomi betjalan melalui cara-cara yang kasar dan keras. Untuk mencari orang melakukan segala cara. Merampok, mencopet, dan membunuh pun terpaksa dilakukan demi mempertahankan hidup bukan hal baru di Ibukota. Penggusuran dan pengusiran para pedagang kaki lima tanpa solusi yang memuaskan sering pula menjadi tontonan mata.
Lebih jauh, Jakarta kerap dipandang menjadi tempat untuk menjadi kaya di Indonesia. Banyak cara dihalalkan. Seseorang bisa menjadi kaya bila dia kuat dan menghalalkan segala cara. Jakarta memungkinkan seseorang dengan mudah berkuasa karena uanglah syarat perdananya. Mungkin ini menjadi pelajaran yang dipetik oleh pejabat-pejabat daerah.
Di Jakarta, kebanyakan orang memandang dan menetapkan harkat dan martabat seseorang dari jumlah materi yang dimilikinya. Dengan modal uang seseorang merasa dengan gampang mendapatkan kekuasaan di bidang hidup seperti politik, sosial atau budaya. Dengan uang orang dapat menjadi ktua organisasi, pejabat pemerintah, bahkan menjadi tokoh penting dalam partai politik dalam masyarakat.
Tak jarang pula, Jakartalah yang menciptakan kepanasan di daerah. Pada masa Orde Baru, Jakartalah yang memberi ijin kepada Freeport untuk berusaha di Irian Barat alias Papua. Jakarta yang tidak memperhatikan nasib penduduk lokal mendorong Freeport ikut-ikutan melakukan hal yang sama. Panas pulalah Papaua jadinya!
Sebagian media melansir, memanasnya situasi masyarakat di beberapa daerah seperti di Poso dan daerah lainnya, disebabkan oleh panasnya kepentingan politik di Jakarta. Jika pernyataan media tersebut benar berarti Jakarta memang benar-benar panas dan kejam serta menjadi penebar “panas” ke berbagai daerah.
Ketika nasib rakyat kebanyakan semakin tidak menentu dan menderita akibat kenaikan BBM, Jakartalah yang menjadi penyebabnya. Menyedihkannya, dampak kenaikan BBM itu belum juga pulih hingga sekarang. Rakyat keseluruhan masih menderita karena Jakarta.
Mutu pendidikan kita semakin menurun juga disebabkan oleh Jakarta. Panasnya kepentingan politik para pejabat di Jakarta mendorong pemaksaan praktek Ujian Nasional sebagai proyek. Proyek Jakarta tersebut jelas sekali kelihatan lebih mengutamakan makna politis daripada proses edukatif. Kebijakan Jakarta berakibat pada pemborosan anggaran negara, dan mutu pendidikan kita menjadi panas.
Memang Jakarta merupakan pusat dan barometer kemajuan bagi semua provinsi di Indonesia. Sistem, kebijakan, perilaku para insan birokrasi di Jakarta dengan cepat direkam dan dipraktekkan di daerah. Kerapkali adanya permintaan “upeti” dari pejabat di Jakarta, mendorong pejabat bawahan di lapangan harus memenuhi target setoran. Jika target setoran tidak tercapai, siap-siaplah pejabat pusat akan menggantinya dengan orang-orang yang lebih mampu setor.
Jakarta memang panas. Jika hanya cuacanya saja yang panas masih bisa atasi dengan alat pendingin (AC). Namun bila orang-orang Jakarta, mulai dari rakyat biasa hingga pada tokoh-tokoh elit negara (pejabat eksekutif, legislatif dan judikatif) ikut menjadi “panas”, dengan apakah mereka didinginkan?
Penulis adalah alumnus STFT Widya Sasana Malang, tinggal di Jakarta.

Minggu, Oktober 15, 2006
Sumber Perusak Kebersamaan dan Kerjasama
Sumber Perusak Kebersamaan dan Kerjasama
Pada dasarnya kebersamaan yang sudah terjaga dengan baik di tengah rakyat Indonesia kembali dirusak oleh sejumlah orang yang tidak menginginkan keselamatan NKRI dan Pancasila.
Adapun ketiga hal yang menjadi perusak itu adalah:
Ambisi pribadi baupun kelompok. Yang lain tidak tau/ atau bodoh dan rendah/ hina.
Irihati. Ada sebagian orang malah menjadi iri bila orang lain berhasil dan sukses. Mereka malah ingin menjatuhkan orang lain yang sukses.
Batu sandungan. Sering kali orang atau kelompok berusaha menjebak orang lain supaya terperangkap pada kehancuran atau jatuh/ bangkrut dalam tugas atau pekerjaannya.
Sumber dari ketiga hal perusak tersebut adalah:
Kegagalan orang menerima diri atau kelompok dengan segala kekurangan dan kelebihan yang dia miliki.
Orang tak menghargai lagi kebijaksanaan Allah yang telah menciptakan semua orang dengan segala keunikan dan kehasannya masing-masing. Semuanya diciptakan dengan bijak adalah untuk saling menyempurnakan.
Untuk membangun kerjasama dan kebersamaan sebagai bangsa dalam NKRI dan Pancsila adalah perlunya membuang penyakit itu. Semoga.
Pada dasarnya kebersamaan yang sudah terjaga dengan baik di tengah rakyat Indonesia kembali dirusak oleh sejumlah orang yang tidak menginginkan keselamatan NKRI dan Pancasila.

Adapun ketiga hal yang menjadi perusak itu adalah:
Ambisi pribadi baupun kelompok. Yang lain tidak tau/ atau bodoh dan rendah/ hina.
Irihati. Ada sebagian orang malah menjadi iri bila orang lain berhasil dan sukses. Mereka malah ingin menjatuhkan orang lain yang sukses.
Batu sandungan. Sering kali orang atau kelompok berusaha menjebak orang lain supaya terperangkap pada kehancuran atau jatuh/ bangkrut dalam tugas atau pekerjaannya.
Sumber dari ketiga hal perusak tersebut adalah:
Kegagalan orang menerima diri atau kelompok dengan segala kekurangan dan kelebihan yang dia miliki.
Orang tak menghargai lagi kebijaksanaan Allah yang telah menciptakan semua orang dengan segala keunikan dan kehasannya masing-masing. Semuanya diciptakan dengan bijak adalah untuk saling menyempurnakan.
Untuk membangun kerjasama dan kebersamaan sebagai bangsa dalam NKRI dan Pancsila adalah perlunya membuang penyakit itu. Semoga.
Label:
agama,
berita,
BIMAS KATOLIK,
fundamentalis,
garis keras,
perusak indonesia,
politik

Kamis, Mei 11, 2006
POLITIK KOTOR DI TUBAN

Politik Kotor di Tuban
Oleh Pormadi Simbolon
Pemrotes hasil pemilihan ke-pala daerah (pilkada) Bupati dan Wakil Bupati melakukan "politik" bakar membakar. Akibatnya, selain kantor KPU Tuban serta pendopo kabupaten, dirusak pula sebuah hotel, dua pompa bensin dan 12 mobil. Sampai akhirnya aparat keamanan memberlakukan jam malam untuk menghentikan penularan kerusuhan ke daerah lain. Apapun alasannya, para pemrotes hasil pilkada di Tuban telah melakukan "politik kotor" dengan cara bakar membakar. Tindakan para pemrotes tersebut amoral dan mencederai jalan demokratisasi di Indonesia.
Hitler pernah berkomentar, "Tidak ada lapangan kehidupan yang demikian kotor seperti politik!" Komentar tersebut menjadi prinsip Hitler menjustifikasi tindakannya dalam rangka memusnahkan orang-orang Yahudi. Pemeo yang kebenarannya secara umum tidak ada yang menyangkal itu memang sangat diminati para partisipan lapangan kehidupan politik. Diminati untuk membenarkan, mengesahkan, melegalkan aneka praktek perjuangan kepentingan yang melanggar keadilan.
Peristiwa Tuban tidak berlebihan jika dikatakan bahwa sekelompok massa telah melakukan cara- cara ilegal dan tidak adil dalam memperjuangkan hak-hak politiknya. Cara-cara mereka semakin membenarkan pemeo bahwa politik itu kotor. Pembenaran pemeo ini tidak saja berbahaya melainkan juga tidak tepat. Tidak tepat karena merupakan pelukisan sebagian saja dari sisi kenyataan lapangan kehidupan yang pada umumnya dianggap benar demikian.
Karena itu pemeo ini tidak bisa dipakai sebagai prinsip moral pembenaran suatu tindakan politis. Prinsip moral tidak bisa diasalkan secara induktif dari lapangan kehidupan konkret sekadar berdasar pada ciri umum tidaknya elemen- elemen prinsip itu. Sebab apa yang umum bisa dibilang tidak dan atau belum tentu baik dan benar.
Jadi walaupun pada umumnya diakui bahwa dalam lapangan kehidupan konkret apa yang disebut politik itu merupakan realitas keras, brutal, dan kotor, tidak bisa disimpulkan lantas dalam politik segala bentuk tindakan disahkan secara moral. Setiap keyakinan yang menjustifikasi kekerasan dan aneka penyalahgunaan karena meyakini pemeo "politik itu kotor" sangat naif. Tampaknya inilah yang terjadi pasca pengumuman hasil pilkada di Tuban.
Pembenaran terhadap prinsip "politik itu kotor" berasal dari pemikiran yang memisahkan antara moral dan politik. Diyakini oleh paham itu, moral merupakan lapangan pertimbangan dosa dan tidak dosa. Sedangkan politik adalah lapangan kekuasaan. Dalam mengejar dan membela kekuasaan pertimbangan dosa atau tidak dosa disisihkan, karena bukan saja akan mengganggu tekad untuk memutuskan tindakan tertentu, melainkan juga terutama tidak relevan.

Pemikiran semacam itu merupakan ciri khas filsafat machiavellian. Machiavelli, sang pioner filsafat politik modern, membedakan dan memproklamirkan pemisahan antara moral politik dan moral keutamaan manusiawi. Kebijaksanaan-yang dalam moral keutamaan manusiawi sama dengan keutamaan orang baik-dalam moral politik dipahami sebagai kepandaian untuk berperang, meneror pihak-pihak lawan demi perebutan kekuasaan.
Bagi Machiavelli, seorang raja atau pangeran yang baik adalah dia yang merebut, membela, dan mempertahankan kekuasaan. Bagai- mana itu dilakukan, Machiavelli tidak mempedulikan aturan prinsip-prinsip normatif caranya (bdk. The Prince, Bab XV).
Konsekuensi logis yang mengalir dari paham ini harus diakui, lantas terjadilah penendangan terhadap prinsip-prinsip moral. Di tangannya pula, politik lantas pertama-tama adalah soal merebut dan membela kekuasaan.
Politik Sejati
Politik adalah lapangan kehidupan yang menyentuh hampir secara menyeluruh hubungan antarmanusia. Dalam filsafat politik klasik, pengertian politik menunjuk pada rangkaian urusan yang berkaitan dengan sistem kehidupan yang sempurna dalam polis.
Pengertian ini bukan merupakan idealisasi atau romantisasi makna politik, melainkan merupakan pemahaman yang lahir dari pengalaman akal sehat dan memiliki keterarahan yang selaras dengan tujuan kodrat (natura) eksistensi manusia. Para filosof klasik memandang bahwa dalam kodratnya manusia hanya akan menemukan kesempurnaannya apabila menjalin hubungan sedemikian rupa dengan sesamanya. Konsep manusia sebagai makhluk sosial dan politis menemukan artinya di sini, yaitu dalam usahanya yang secara kodrati menuju kesempurnaannya dalam kehidupan bersama. Kesendirian manusia tidak saja melukiskan kesepian, ketidaklengkapan, kengenasan, melainkan juga terutama ketidaksempurnaan.
Konsekuensi selanjutnya dari konsep ini ialah lantas setiap tindakan yang menghancurkan, membakar sesamanya siapapun mereka bukan saja merupakan tindakan keji, tetapi juga melawan kodratnya. Karena kodrat manusia berasal dari Allah, maka pencetus kerusuhan itu secara frontal melawan Sang Pencipta sendiri. Konsep bahwa kesempurnaan manusia terletak pada hubungan damai dengan sesamanya ini tidak melawan ajaran manapun juga, karena konsep ini didasarkan pada kodrat manusiawi.
Relasi politik dan moral sebenarnya langsung dan konkret. Hubungan langsung dan konkret tersebut dicetuskan dalam preferensi bukan kekuasaan atau pribadi pemegang kekuasaan (prinsip Machiavelli) melainkan hukum. Intisari kodrat pengertian hukum yang esensial ialah bahwa ia harus adil. Prinsip keadilan melekat dalam cara ada manusia menurut kodrat akal budinya.
Hukum sebagai produk akal budi manusia harus adil, sebab jika tidak hukum itu menyalahi prinsip kodrati akal budi manusia. Hukum tidak adil dari segi moral akan kehilangan daya ikatnya sebagaimana dimaksudkan oleh hukum.
Jika suatu hukum tidak adil toh diberlakukan, dan pelanggaran atas hukum itu dikenai sanksi, sanksi yang bersangkutan tidak ada sangkut pautnya dengan kesalahan moral, melainkan merupakan kesewenangwenangan dari pihak yang memberi sanksi.
Dalam kasus kerusuhan Tuban, para pemrotes hasil pilkada melakukan jalur politik kotor dalam upaya memperjuangkan kekuasaan. Di satu sisi, tindakan bakar-membakar, mereka lakukan karena jalur hukum tidak akan menyelesaikan masalah mereka, namun di sisi lain, cara-cara mereka amoral dan mencederai proses demokratisasi Indonesia. Persoalannya adalah bila hukum belum ditegakkan secara tegas dan adil, maka selama itu pulalah akan terjadi politik kotor. Politik kotor dari Tuban akan menyebar ke daerah lain.
Penulis adalah alumnus STFT Widya Sasana Malang, tinggal di Jakarta
SUARA PEMBARUAN DAILY , Selasa, 09 Mei 2006
Label:
agama,
berita,
integritas diri,
opini,
politik

Jumat, Mei 05, 2006
PRESIDEN, HATI DAN PERILAKU YANG BERSIH
Oleh Pormadi Simbolon dan Liong Kwei Cun
PRESIDEN DAN HATI YANG BERSIH
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah menyatakan kekecewaannya terhadap kebersihan dan sanitasi air di SD Negeri 01, Pulau Kelapa, Kepulauan Seribu, Jakarta saat berkunjung ke sana Minggu Siang (16/04).
Menurut Presiden, jika lingkungan sekolah tidak bersih maka hati juga tidak bersih dan perilaku juga bisa menjadi tidak bersih.
Pernyataan Presiden SBY tersebut menarik dan relevan jika dihubungkan dengan kekecewaannya terhadap pemborosan barang/ harta negara oleh para pejabat beberapa hari yang lalu (Kompas, 13/04). Boleh dikatakan, Presiden juga kecewa terhadap lingkungan pemerintahan yang dipimpinnya yang belum bersih. Artinya, hati dan perilaku individu pada jajaran pemerintahannya bisa jadi juga menjadi tidak bersih yang dicirikan dengan masih terjadinya sikap dan perilaku kotor seperti korupsi dan pemborosan barang/ harta negara.
Program SBY
Salah satu program pemerintahan SBY adalah penciptaan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Presiden juga mengeluarkan sembilan instruksi kepada para gubernur dalam rangka mendukung terciptanya pemerintahan yang bersih dan para pejabatnya bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Tidak hanya itu, Presiden juga menggagas delapan langkah dalam rangka pemberantasan korupsi. Dan lebih tegas dan berani lagi, hal itu dilaksanakan pertama-tama dimulai dari membersihkan Kantor Kepresidenan, Kantor Wakil Presiden, Sekretariat Negara serta Yayasan-yayasan.
Namun sampai saat ini, pencapaian pemerintahan dengan birokrasi yang bersih dari korupsi masih tetap tinggal harapan. Kita belum menyaksikan hasil yang signifikan.
Memang perubahan menuju pemerintahan dan birokrasi yang bersih bukan tanggung jawab melulu pemerintah sendiri, tetapi juga masyarakat melalui sistem kontrol dan pengamatan.
Persoalannya, seringkali modal institusional (institutional capital) yang dimiliki SBY seperti Kabinet Indonesia Bersatu, DPR, MPR, Kejaksaan dan kehakiman tidak semuanya mendukung terciptanya perubahan menuju pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Tidak adanya dukungan dari kelembagaan negara tersebut di atas guna menggapai pemerintahan yang bersih ditandai dengan adanya pemborosan barang/ harta negara oleh sebagian pejabat hampir di semua lembaga negara. Penggunaan telepon, air dan listrik di kantor lembaga-lembaga negara ternyata menghabiskan banyak uang negara. Pemborosan masih menjadi faktor inefisiensi pembangunan nasional di segala bidang. Mental mengumpulkan harta negara untuk diri sendiri atau kelompok amat kental dalam diri sekelompok pejabat dan pegawai negeri.
Bukan hanya itu, korupsi, kolusi dan nepotisme yang tampak pada rekrutmen Calon Pegawai Negari Sipil menunjukkan bahwa pemerintahan SBY masih kotor alias tidak bersih.
Yang menarik, baru Presiden SBY (selain Megawati Soekarnoputri yang menyebut pemerintahannya bagaikan keranjang sampah) yang pernah kecewa terhadap pemborosan oleh pejabat negara dan mengungkapkannya kepada publik. Namun pengungkapan kekecewaann tersebut semestinya harus diwujudkan dalam bentuk gerakan bersama yang mendesak mengubah budaya sikap dan perilaku boros aparatur negara menuju budaya hemat. Gerakan hemat energi yang digemakan tahun lalu ternyata berlaku hanya sementara. Nyatanya pemborosan harta/ barang negara oleh sekelompok pejabat negara dan pegawai negeri sipil masih terjadi. Untuk itulah diperlukan sebuah gerakan hemat bersama yang terus menerus digalakkan pemerintah. Bahkan kalau mungkin, pemerintah dengan tegas menindak para pejabat dan pegawai berperilaku boros tersebut.
Hati yang Bersih
Pengungkapan kekecewaan Presiden SBY baik terhadap keadaan lingkungan SD Negeri 01 Pulau Kelapa maupun terhadap pemborosan oleh para pejabat negara menunjukkan budaya dan perilaku seorang pemimpin yang bijaksana.
Menurut Presiden, lingkungan dan sanitasi air SD Negeri 01 Pulau Kelapa yang kotor dapat membuat hati menjadi tidak bersih dan dengan demikian juga dapat menyebabkan perilaku menjadi tidak bersih pula.
Lalu bagaimana dengan keadaan lingkungan pemerintahan? Ada benarnya, jika lingkungan pemerintahan tidak bersih maka hati dan perilaku aparatur negara bisa menjadi tidak bersih. Pemborosan harta/ uang negara lewat pemborosan telepon, air dan listrik pada dasarnya dilandasi sikap dan perilaku egoistik. Banyak aparatur negara berpikiran bahwa barang/ harta negara diboroskan karena ia milik negara, bukan milik sendiri. Mungkin jika itu milik sendiri, maka mereka akan berhemat dan memeliharanya. Sikap dan perilaku pegawai negari demikian melukai rakyat yang tengah kesulitan ekonomi.
Sikap dan perilaku pejabat negara dan pegawai negeri dengan mental “itu milik negara, bukan milikku” merupakan sikap dan perilaku yang tidak bersih alias kotor. Sikap dan perilaku demikianlah yang seyogiyanya dibuang dari lingkungan pemerintahan oleh semua aparatur negara dan segenap masyarakat sehingga hati dan perilakunya juga menjadi bersih.

Sikap dan perilaku yang bersih lahir dari hati yang bersih. Hati yang bersih tumbuh dan berkembang dari kultur atau budaya individual maupun kolektif. Artinya kebudayaan menjadi sentral dalam pembangunan mencapai terciptanya pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Kebudayaan seharusnya menjadi pusat perhatian dalam mencapai produk perubahan dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika tidak, perubahan itu bersifat semu dan superfisial.
Pemerintah seyogianya memprioritaskan pengelolaan pembangunan di bidang kebudayaan yaitu dengan mencoba mengejar perubahan sikap dan perilaku yang ditandai dengan kultur yang beradab. Semua elemen bangsa, baik aparatur negara maupun masyarakat perlu komit untuk mengubah cara berpikir, kebiasaan mental dan cara bertindak manusia secara fundamental.
Pada hakekatnya sikap dan perilaku yang bersih berasal dari hati yang bersih. Hati yang bersih dicirikan dengan budaya hemat, jujur, kerja keras, bersih, disiplin, moderat, adil, dan demokratis, seperti yang dipraktekkan para pemimpin negara yang sukses seperti Benjamin Franklin (1706–1790). Ia menjadi Presiden Amerika Serikat yang sukses karena berhasil mengubah kultur hidupnya sendiri dan masyarakatnya.
Penulis adalah peserta kelompok diskusi filsafat dan masalah-masalah sosial.
PRESIDEN DAN HATI YANG BERSIH

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah menyatakan kekecewaannya terhadap kebersihan dan sanitasi air di SD Negeri 01, Pulau Kelapa, Kepulauan Seribu, Jakarta saat berkunjung ke sana Minggu Siang (16/04).
Menurut Presiden, jika lingkungan sekolah tidak bersih maka hati juga tidak bersih dan perilaku juga bisa menjadi tidak bersih.
Pernyataan Presiden SBY tersebut menarik dan relevan jika dihubungkan dengan kekecewaannya terhadap pemborosan barang/ harta negara oleh para pejabat beberapa hari yang lalu (Kompas, 13/04). Boleh dikatakan, Presiden juga kecewa terhadap lingkungan pemerintahan yang dipimpinnya yang belum bersih. Artinya, hati dan perilaku individu pada jajaran pemerintahannya bisa jadi juga menjadi tidak bersih yang dicirikan dengan masih terjadinya sikap dan perilaku kotor seperti korupsi dan pemborosan barang/ harta negara.
Program SBY
Salah satu program pemerintahan SBY adalah penciptaan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Presiden juga mengeluarkan sembilan instruksi kepada para gubernur dalam rangka mendukung terciptanya pemerintahan yang bersih dan para pejabatnya bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Tidak hanya itu, Presiden juga menggagas delapan langkah dalam rangka pemberantasan korupsi. Dan lebih tegas dan berani lagi, hal itu dilaksanakan pertama-tama dimulai dari membersihkan Kantor Kepresidenan, Kantor Wakil Presiden, Sekretariat Negara serta Yayasan-yayasan.
Namun sampai saat ini, pencapaian pemerintahan dengan birokrasi yang bersih dari korupsi masih tetap tinggal harapan. Kita belum menyaksikan hasil yang signifikan.
Memang perubahan menuju pemerintahan dan birokrasi yang bersih bukan tanggung jawab melulu pemerintah sendiri, tetapi juga masyarakat melalui sistem kontrol dan pengamatan.
Persoalannya, seringkali modal institusional (institutional capital) yang dimiliki SBY seperti Kabinet Indonesia Bersatu, DPR, MPR, Kejaksaan dan kehakiman tidak semuanya mendukung terciptanya perubahan menuju pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Tidak adanya dukungan dari kelembagaan negara tersebut di atas guna menggapai pemerintahan yang bersih ditandai dengan adanya pemborosan barang/ harta negara oleh sebagian pejabat hampir di semua lembaga negara. Penggunaan telepon, air dan listrik di kantor lembaga-lembaga negara ternyata menghabiskan banyak uang negara. Pemborosan masih menjadi faktor inefisiensi pembangunan nasional di segala bidang. Mental mengumpulkan harta negara untuk diri sendiri atau kelompok amat kental dalam diri sekelompok pejabat dan pegawai negeri.
Bukan hanya itu, korupsi, kolusi dan nepotisme yang tampak pada rekrutmen Calon Pegawai Negari Sipil menunjukkan bahwa pemerintahan SBY masih kotor alias tidak bersih.
Yang menarik, baru Presiden SBY (selain Megawati Soekarnoputri yang menyebut pemerintahannya bagaikan keranjang sampah) yang pernah kecewa terhadap pemborosan oleh pejabat negara dan mengungkapkannya kepada publik. Namun pengungkapan kekecewaann tersebut semestinya harus diwujudkan dalam bentuk gerakan bersama yang mendesak mengubah budaya sikap dan perilaku boros aparatur negara menuju budaya hemat. Gerakan hemat energi yang digemakan tahun lalu ternyata berlaku hanya sementara. Nyatanya pemborosan harta/ barang negara oleh sekelompok pejabat negara dan pegawai negeri sipil masih terjadi. Untuk itulah diperlukan sebuah gerakan hemat bersama yang terus menerus digalakkan pemerintah. Bahkan kalau mungkin, pemerintah dengan tegas menindak para pejabat dan pegawai berperilaku boros tersebut.
Hati yang Bersih
Pengungkapan kekecewaan Presiden SBY baik terhadap keadaan lingkungan SD Negeri 01 Pulau Kelapa maupun terhadap pemborosan oleh para pejabat negara menunjukkan budaya dan perilaku seorang pemimpin yang bijaksana.
Menurut Presiden, lingkungan dan sanitasi air SD Negeri 01 Pulau Kelapa yang kotor dapat membuat hati menjadi tidak bersih dan dengan demikian juga dapat menyebabkan perilaku menjadi tidak bersih pula.
Lalu bagaimana dengan keadaan lingkungan pemerintahan? Ada benarnya, jika lingkungan pemerintahan tidak bersih maka hati dan perilaku aparatur negara bisa menjadi tidak bersih. Pemborosan harta/ uang negara lewat pemborosan telepon, air dan listrik pada dasarnya dilandasi sikap dan perilaku egoistik. Banyak aparatur negara berpikiran bahwa barang/ harta negara diboroskan karena ia milik negara, bukan milik sendiri. Mungkin jika itu milik sendiri, maka mereka akan berhemat dan memeliharanya. Sikap dan perilaku pegawai negari demikian melukai rakyat yang tengah kesulitan ekonomi.
Sikap dan perilaku pejabat negara dan pegawai negeri dengan mental “itu milik negara, bukan milikku” merupakan sikap dan perilaku yang tidak bersih alias kotor. Sikap dan perilaku demikianlah yang seyogiyanya dibuang dari lingkungan pemerintahan oleh semua aparatur negara dan segenap masyarakat sehingga hati dan perilakunya juga menjadi bersih.

Sikap dan perilaku yang bersih lahir dari hati yang bersih. Hati yang bersih tumbuh dan berkembang dari kultur atau budaya individual maupun kolektif. Artinya kebudayaan menjadi sentral dalam pembangunan mencapai terciptanya pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Kebudayaan seharusnya menjadi pusat perhatian dalam mencapai produk perubahan dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika tidak, perubahan itu bersifat semu dan superfisial.
Pemerintah seyogianya memprioritaskan pengelolaan pembangunan di bidang kebudayaan yaitu dengan mencoba mengejar perubahan sikap dan perilaku yang ditandai dengan kultur yang beradab. Semua elemen bangsa, baik aparatur negara maupun masyarakat perlu komit untuk mengubah cara berpikir, kebiasaan mental dan cara bertindak manusia secara fundamental.
Pada hakekatnya sikap dan perilaku yang bersih berasal dari hati yang bersih. Hati yang bersih dicirikan dengan budaya hemat, jujur, kerja keras, bersih, disiplin, moderat, adil, dan demokratis, seperti yang dipraktekkan para pemimpin negara yang sukses seperti Benjamin Franklin (1706–1790). Ia menjadi Presiden Amerika Serikat yang sukses karena berhasil mengubah kultur hidupnya sendiri dan masyarakatnya.
Penulis adalah peserta kelompok diskusi filsafat dan masalah-masalah sosial.

Senin, April 24, 2006
“ROH” PERATURAN BERSAMA MENAG DAN MENDAGRI 2006
“ROH” PERATURAN BERSAMA MENAG DAN MENDAGRI 2006
Oleh Pormadi Simbolon
Peraturan Bersama Menteri (PBM) oleh Menteri Agama (Menag) dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Tugas Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat sudah ditetapkan pada tanggal 21 Maret 2006. Salah satu “roh” atau semangat mendasar yang penting dipegang oleh semua pihak, menurut hemat penulis adalah poin “h” pada bagian Menimbang, yaitu bahwa kerukunan umat beragama merupakan bagian penting dari kerukunan nasional.
PBM tersebut dalam seluruh prosesnya (10 putaran), materi rumusan bab dan pasal digarap langsung oleh semua unsur majelis agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha dari draf awal sampai rumusan akhir. Pemerintah bertindak sebagai fasilitator.
Kita patut menyambut baik produk PBM Menag dan Mendagri Nomor 9/8 Tahun 2006 ini dengan sikap mengedepankan “roh” kerukunan umat beragama menuju kerukunan nasional dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bermasyarakat.
Kerukunan Umat Beragama
Definisi kerukunan umat beragama didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerja sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (PBM Menag dan Mendagri Nomor 9/8 Tahun 2006, Bab I, Pasal 1, poin 1).
Defini tersebut mengingatkan kita pada apa yang pernah diucapkan mantan Presiden Soeharto berkaitan dengan makna kerukunan umat beragama dalam salah satu sambutannya. “Usaha membina kerukunan hidup umat beragama, saya rasa perlu beroleh perhatian yang lebih besar. Kerukunan mengandung makna hidup dalam kebersamaan. Oleh karena itu, dalam usaha membina kerukunan hidup bangsa kita yang menganut berbagai agama dan kepercayaan itu, kita harus berusaha membangun semangat dan sikap kebersamaan di antara penganut berbagai agama dan kepercayaan di kalangan bangsa kita”. (Sambutan Presiden Soeharto pada waktu menerima peserta Rapat Kerja Departemen Agama, 12 Maret 1991 di Bina Graha, Jakarta).
Pencapaian kerukunan umat beragama tersebut adalah imperatif dan menjadi tugas bagi setiap pemeluk dan penganut agama dan kepercayaan, pemerintah daerah dan pemerintah. Artinya semua komponen bangsa bekerja bersama-sama dan berkomitmen memelihara kerukunan umat beragama baik secara internal maupun eksternal berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Semangat membangun kerukunan umat beragama menjadi “roh” kebersamaan dalam kehidupan beragama, bermasyarakat dan berbangsa. Pandangan sempit, eksklusif dan menganggap pihak lain sebagai ancaman kiranya hilang dengan sendirinya. Sikap saling mencurigai dan merendahkan serta membenci antar umat beragama harus dihilangkan. Stigmatisasi agama lain sebagai kafir, warisan penjajah atau pendorong terorisme seyogiyanya sudah lenyap dari benak kita. Tidak ada lagi sikap formalisme yang membuat Pancasila hanya sebagai retorika, dimana nilai-nilainya tidak dilaksanakan. Semuanya harus mengedepankan roh kerukunan dalam kebersamaan.
Demikian pula sebagai fasilitator, pemerintah mulai dari kepala pemerintahan, gubernur, bupati/ walikota, camat, hingga pada lurah/ kepala desa wajib menciptakan dan menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, saling menghormati dan saling percaya di antara umat beragama. Dengan demikian suasana aman dan kondusif dalam menggapai Indonesia yang aman, damai, adil, demokratis dan sejahtera dapat berlangsung.
Sekali lagi peran pemerintah tersebut hanyalah sebagai fasilitator, dan pemeran utama adalah setiap umat beragama. Hal ini pernah diutarakan mantan Presiden Soeharto dalam salah satu sambutannya semasa memerintah. “Adalah tidak benar dan tidak pada tempatnya apabila pejabat pemerintah mempersukar atau menghalang-halangi kegiatan keagamaan. Hal ini tidak boleh terjadi dalam negara kita yang berdasarkan Pancasila. Tetapi sebaliknya alat-alat negara memang tidak dapat berdiam diri apabila ada unsur-unsur yang menyalahgunakan keleluasaan ibadah agama itu dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat menimbulkan keonaran dalam masyarakat (sambutan Presiden Soeharto pada peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, 29 Januari 1980 di Istana Negara).
Kerukunan Nasional
Kita patut mensyukuri kemajemukan bangsa kita. Teristimewa kemajemukan agama. Itulah sebabnya roh kerukunan yang terdapat pada PBM Menag dan Mendagri Nomor 9/8 Tahun 2006 itu menjadi bagian penting dari kerukunan antar umat beragama menuju keadaan kerukunan nasional.
Kemajemukan bangsa kita dapat menjadi aset pembangunan bangsa sekaligus ancaman kehancuran bangsa yang mengarah pada fragmentasi. Semua komponen bangsa (aparatur negara dan masyarakat) wajib memelihara dan membangun kerukunan nasional agar tidak terjadi keterpecahbelahan bangsa dan macetnya pembangunan nasional.
Kerukunan nasional memang tidak didefinisikan dalam PBM Menag dan Mendagri No 9/8 Tahun 2006 tersebut. Namun pengertian dan maknanya tentu mencakup kerukunan segenap warga negara dan masyarakat Indonesia. Boleh dikatakan kerukunan nasional adalah keadaan hubungan sesama warga negara Indonesia yang hidup bersama dan dilandasi visi kebangsaan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pemeliharaan kerukunan nasional adalah imperatif bagi semua umat beragama, masyarakat keseluruhannya, pemerintah daerah dan pemerintah pusat.
Roh PBM Menag dan Mendagri Nomor 9/8 Tahun 2006 tersebut menandaskan bahwa kerukunan nasional merupakan bahagian penting dari perwujudan kerukunan hidup antar umat beragama. Dengan perkataan lain, kerukunan nasional dapat tergapai bila kerukunan umat beragama sudah diupayakan dan dipelihara bersama. Dalam arti ini kehadiran PBM Menag dan Mendagri Nomor 9/8 tahun 2006 patut disambut dengan lapang dada. Sebab ada roh kerukunan sebagai penggerak bersama dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bermasyarakat. Beberapa pihak memang masih merasa tidak puas. Tetapi kalau semua pihak berpegang pada roh kerukunan yaitu bahwa kerukunan umat beragama merupakan bagian penting dari kerukunan nasional maka Indonesia yang aman, damai, adil, demokratis dan sejahtera pelan-pelan bisa dituju.
Kita semua berharap, sosialisasi PBM Menag dan Mendagri Nomor 9/8 Tahun 2006 nantinya seyogiyanya mengedepankan roh kerukunan yang berangkat dari kerukunan umat beragama sebagai bahagian dari perwujudan kerukunan nasional dan juga perwujudan perbaikan keadaan bangsa dan negara di masa yang akan datang menuju Indonesia baru dengan keadaban baru. Dengan demikian kita tidak lagi disebut sebagai bangsa Indonesia yang pura-pura Pancasilais dan bangsa yang seolah-olah beragama, tetapi memang sungguh-sungguh bangsa Indonesia yang sejatinya melaksanakan seratus persen nilai-nilai Pancasila dan seratus persen pula ajaran agamanya dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan perkataan lain, setiap warga Indonesia bisa seratus persen Indonesia dan seratus persen pula menjadi pemeluk agamanya yang dilandasi nilai Pancasila dan nilai-nilai hak asasi manusia seperti yang dideklarasikan semua anggota Perserikatan Bangsa-bangsa, termasuk Indonesia.
Penulis adalah pemerhati masalah hidup keagamaan,
Alumnus STFT Widya Sasana Malang.
Oleh Pormadi Simbolon
Peraturan Bersama Menteri (PBM) oleh Menteri Agama (Menag) dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Tugas Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat sudah ditetapkan pada tanggal 21 Maret 2006. Salah satu “roh” atau semangat mendasar yang penting dipegang oleh semua pihak, menurut hemat penulis adalah poin “h” pada bagian Menimbang, yaitu bahwa kerukunan umat beragama merupakan bagian penting dari kerukunan nasional.
PBM tersebut dalam seluruh prosesnya (10 putaran), materi rumusan bab dan pasal digarap langsung oleh semua unsur majelis agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha dari draf awal sampai rumusan akhir. Pemerintah bertindak sebagai fasilitator.
Kita patut menyambut baik produk PBM Menag dan Mendagri Nomor 9/8 Tahun 2006 ini dengan sikap mengedepankan “roh” kerukunan umat beragama menuju kerukunan nasional dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bermasyarakat.
Kerukunan Umat Beragama
Definisi kerukunan umat beragama didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerja sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (PBM Menag dan Mendagri Nomor 9/8 Tahun 2006, Bab I, Pasal 1, poin 1).
Defini tersebut mengingatkan kita pada apa yang pernah diucapkan mantan Presiden Soeharto berkaitan dengan makna kerukunan umat beragama dalam salah satu sambutannya. “Usaha membina kerukunan hidup umat beragama, saya rasa perlu beroleh perhatian yang lebih besar. Kerukunan mengandung makna hidup dalam kebersamaan. Oleh karena itu, dalam usaha membina kerukunan hidup bangsa kita yang menganut berbagai agama dan kepercayaan itu, kita harus berusaha membangun semangat dan sikap kebersamaan di antara penganut berbagai agama dan kepercayaan di kalangan bangsa kita”. (Sambutan Presiden Soeharto pada waktu menerima peserta Rapat Kerja Departemen Agama, 12 Maret 1991 di Bina Graha, Jakarta).
Pencapaian kerukunan umat beragama tersebut adalah imperatif dan menjadi tugas bagi setiap pemeluk dan penganut agama dan kepercayaan, pemerintah daerah dan pemerintah. Artinya semua komponen bangsa bekerja bersama-sama dan berkomitmen memelihara kerukunan umat beragama baik secara internal maupun eksternal berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Semangat membangun kerukunan umat beragama menjadi “roh” kebersamaan dalam kehidupan beragama, bermasyarakat dan berbangsa. Pandangan sempit, eksklusif dan menganggap pihak lain sebagai ancaman kiranya hilang dengan sendirinya. Sikap saling mencurigai dan merendahkan serta membenci antar umat beragama harus dihilangkan. Stigmatisasi agama lain sebagai kafir, warisan penjajah atau pendorong terorisme seyogiyanya sudah lenyap dari benak kita. Tidak ada lagi sikap formalisme yang membuat Pancasila hanya sebagai retorika, dimana nilai-nilainya tidak dilaksanakan. Semuanya harus mengedepankan roh kerukunan dalam kebersamaan.
Demikian pula sebagai fasilitator, pemerintah mulai dari kepala pemerintahan, gubernur, bupati/ walikota, camat, hingga pada lurah/ kepala desa wajib menciptakan dan menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, saling menghormati dan saling percaya di antara umat beragama. Dengan demikian suasana aman dan kondusif dalam menggapai Indonesia yang aman, damai, adil, demokratis dan sejahtera dapat berlangsung.
Sekali lagi peran pemerintah tersebut hanyalah sebagai fasilitator, dan pemeran utama adalah setiap umat beragama. Hal ini pernah diutarakan mantan Presiden Soeharto dalam salah satu sambutannya semasa memerintah. “Adalah tidak benar dan tidak pada tempatnya apabila pejabat pemerintah mempersukar atau menghalang-halangi kegiatan keagamaan. Hal ini tidak boleh terjadi dalam negara kita yang berdasarkan Pancasila. Tetapi sebaliknya alat-alat negara memang tidak dapat berdiam diri apabila ada unsur-unsur yang menyalahgunakan keleluasaan ibadah agama itu dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat menimbulkan keonaran dalam masyarakat (sambutan Presiden Soeharto pada peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, 29 Januari 1980 di Istana Negara).
Kerukunan Nasional
Kita patut mensyukuri kemajemukan bangsa kita. Teristimewa kemajemukan agama. Itulah sebabnya roh kerukunan yang terdapat pada PBM Menag dan Mendagri Nomor 9/8 Tahun 2006 itu menjadi bagian penting dari kerukunan antar umat beragama menuju keadaan kerukunan nasional.
Kemajemukan bangsa kita dapat menjadi aset pembangunan bangsa sekaligus ancaman kehancuran bangsa yang mengarah pada fragmentasi. Semua komponen bangsa (aparatur negara dan masyarakat) wajib memelihara dan membangun kerukunan nasional agar tidak terjadi keterpecahbelahan bangsa dan macetnya pembangunan nasional.
Kerukunan nasional memang tidak didefinisikan dalam PBM Menag dan Mendagri No 9/8 Tahun 2006 tersebut. Namun pengertian dan maknanya tentu mencakup kerukunan segenap warga negara dan masyarakat Indonesia. Boleh dikatakan kerukunan nasional adalah keadaan hubungan sesama warga negara Indonesia yang hidup bersama dan dilandasi visi kebangsaan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pemeliharaan kerukunan nasional adalah imperatif bagi semua umat beragama, masyarakat keseluruhannya, pemerintah daerah dan pemerintah pusat.
Roh PBM Menag dan Mendagri Nomor 9/8 Tahun 2006 tersebut menandaskan bahwa kerukunan nasional merupakan bahagian penting dari perwujudan kerukunan hidup antar umat beragama. Dengan perkataan lain, kerukunan nasional dapat tergapai bila kerukunan umat beragama sudah diupayakan dan dipelihara bersama. Dalam arti ini kehadiran PBM Menag dan Mendagri Nomor 9/8 tahun 2006 patut disambut dengan lapang dada. Sebab ada roh kerukunan sebagai penggerak bersama dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bermasyarakat. Beberapa pihak memang masih merasa tidak puas. Tetapi kalau semua pihak berpegang pada roh kerukunan yaitu bahwa kerukunan umat beragama merupakan bagian penting dari kerukunan nasional maka Indonesia yang aman, damai, adil, demokratis dan sejahtera pelan-pelan bisa dituju.
Kita semua berharap, sosialisasi PBM Menag dan Mendagri Nomor 9/8 Tahun 2006 nantinya seyogiyanya mengedepankan roh kerukunan yang berangkat dari kerukunan umat beragama sebagai bahagian dari perwujudan kerukunan nasional dan juga perwujudan perbaikan keadaan bangsa dan negara di masa yang akan datang menuju Indonesia baru dengan keadaban baru. Dengan demikian kita tidak lagi disebut sebagai bangsa Indonesia yang pura-pura Pancasilais dan bangsa yang seolah-olah beragama, tetapi memang sungguh-sungguh bangsa Indonesia yang sejatinya melaksanakan seratus persen nilai-nilai Pancasila dan seratus persen pula ajaran agamanya dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan perkataan lain, setiap warga Indonesia bisa seratus persen Indonesia dan seratus persen pula menjadi pemeluk agamanya yang dilandasi nilai Pancasila dan nilai-nilai hak asasi manusia seperti yang dideklarasikan semua anggota Perserikatan Bangsa-bangsa, termasuk Indonesia.
Penulis adalah pemerhati masalah hidup keagamaan,
Alumnus STFT Widya Sasana Malang.
Label:
agama,
berita,
BIMAS KATOLIK,
departeman agama,
dialog agama,
kementerian agama,
kerukunan umat beragama,
opini,
peraturan bersama menteri

Langganan:
Postingan (Atom)