Trima kasih mengunjungi blog kami!

Para pengunjung yth. semua isi blog ini ditulis atau disusun atas kemauan pribadi. Itu berarti blog ini berisi aneka pendapat, pemahaman, persepsi pribadi, dan pemikiran pribadi atas lingkungan kerja dan hidup sekitarnya. Harapan kami isi blog ini bermanfaat bagi pengunjung yang memerlukannya. Salam, GBU.

Kamis, April 06, 2006

PNS: BUKAN PELAYAN PARPOL

PNS: BUKAN PELAYAN PARPOL
Oleh Pormadi Simbolon

Baru-baru ini Ketua Umum Golkar Jusuf Kalla dalam pidato politiknya saat peringatan ulang tahun ke-41 Partai Golkar, 26 Nopember 2005 yang lalu,, mewacanakan agar Pegawai Negeri Sipil (PNS) terjun ke kancah perpolitikan nasional. Latar belakang wacana tersebut rasional karena PNS yang rata-rata memiliki SDM (sumber daya manusia) yang lebih baik daripada kalangan swasta harus diberi kesempatan berkiprah dalam dunia politik.

Selain itu, banyak intelektual di jajaran birokrasi yang sangat layak untuk terjun dalam percaturan politik praktis. Pengalaman kebirokrasian, pendidikan dan pelatihan yang tertata secara sistematis menjadi kelebihan tersendiri bagi para insan PNS.

Pernyataan Jusuf Kalla yang adalah Ketua Umum Golkar itu menuai protes. Wacana yang berciri Orde Baru itu langsung ditolak mentah-mentah oleh Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI).

PNS dan Kedudukannya
PNS adalah setiap warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas lainnya dan digaji berdasarkan perundang-undangan yang berlaku (UU No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian).

Dalam Undang-undang yang sama ditegaskan bahwa PNS bekedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan dan pembangunan.

Dalam sejarahnya, PNS membentuk organisasi KORPRI bertujuan sebagai wadah penyaluran aspirasinya. Namun wadah tersebut pernah digunakan sebagai alat atau kendaraan politik untuk meraih kemenangan suara dalam Pemilu pada masa Oede Baru yang lalu.

Dari pengalaman masa lalu yang mencoreng nama baik KORPRI itu, para insan PNS menyadari perlunya kembali ke jati diri dan semangat awalnya yaitu sebagai abdi negara dan masyarakat tanpa diskriminasi. Hal itu dirumuskan dalam Panca Prasetya KORPRI dalam Munas yang diadakan pada tahun 1999, yang berbunyi: (1) Setia dan taat kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. (2) Menjunjung tinggi kehormatan bangsa dan negara serta memegang teguh rahasia jabatan dan rahasia negara. (3) Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat di atas kepentingan pribadi dan golongan. (4) Bertekad memelihara persatuan dan kesatuan bangsa serta kesetiakawanan Korps Pegawai Republik Indonesia dan 5. Berjuang menegakkan kejujuran dan keadilan, serta meningkatkan kesejahteraan dan profesionalitas.
Pelayan Semua, bukan Pelayan Parpol
Bila dilihat dari jati bdirinya, para insan PNS adalah pelayan untuk semua warga negara sesuai dengan bidang masing-masing tanpa diskriminasi atas suku, agama, ras dan golongan. Pegawai Negeri yang terdiri dari Pegawai Sipil, anggota TNI dan POLRI, akhir-akhir ini kembali diajak untuk terjun ke lautan politik praktis.

Berangkat dari pengalaman sejarah, ajakan kembali para PNS memasuki dunia politik tidak berlebihan bila disebut sebagai langkah mundur dan sebuah strategi yang tidak populis dan tidak menjanjikan lagi.

Memperhatikan kenyataan pada masa Orde Baru, KORPRI sebagai pemersatu insan PNS malah mengalami eksistensi yang tidak menguntungkan karena fungsi dan tujuan semula sebagai wadah mempersatukan anggotanya dan menyukseskan program pembangunan nasional serta mewujudkan pelaksanaan peraturan perundang-undangan Pegawai Republik Indonesia berubah menjadi alat atau kendaraan politik Golongan Karya demi meraih kemenangan dalam Pemilu pada waktu itu. KORPRI menjadi milik sekelompok masyarakat dengan aspirasi politik tertentu saja, dan lalu mengakibatkan pelayanan publiknya menjadi diskriminatif. Apakah KORPRI mau kembali jatuh kepada pengalaman masa lalu?

PNS yang berjumlah kira-kira 3,7 juta orang dan bergerak di birokrasi tersebut memang merupakan aset SDM yang patut diperhitungkan Parpol dalam merebut suara rakyat dan berkampanye dalam Pemilu. Namun PNS bisa menjadi batu sandungan alias penghambat pelayanan publik secara adil dan merata bila terjun kembali ke dunia politik.

Ajakan kembali PNS terjun ke dunia politik jelas tidak relevan lagi. Hukum positif yang sudah ada yaitu UU No. 43 Tahun 1999 tentang Kepegawaian dan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2004 jelas-jelas melarang PNS menjadi anggota Parpol atau pengurus Parpol dan justru dengan tegas mau menarik diri dari dunia politik praktis.

Demikian juga dalam UU No. 31 Tahun 2002 dikatakan bila ada PNS yang ingin menjadi anggota Parpol harus keluar dari PNS.

Sangat ironis dan tidak relevan memang, bila wacana penarikan PNS untuk terjun ke kancah perpolitikan nasional digulirkan kembali di era reformasi dan pasca reformasi. Sejak tahun 1998 sudah dikumandangkan bahwa PNS harus menjadi insan pelayan publik dan abdi negara, bukan mendua di tengah kepentingan umum dan kepentingan partai politik.

Semangat reformasi yang begitu indah didengar dan digembar-gemborkan belum lagi terwujud sepenuhnya selama 7-8 tahun terakhir, suatu ajakan untuk kembali ke “semangat” Orde Baru datang menggoda. Di tengah proses perwujudan semangat reformasi dan upaya pemerintah mereformasi birokrasi, mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, melakukan pelayanan publik secara prima tanpa diskriminasi, membangun sikap netral dalam politik demi mengayomi bangsa Indonesia, di situ pulalah muncul sebuah semangat lama yang ditentang insan-insan reformis. Ialah semangat penarikan kembali para insan PNS terjun ke dunia politik dan jelas-jelas tidak sehat bagi instansi birokrasi dan pemerintahan.

Citra PNS yang sering diidentikkan sebagian orang sebagai pelaku tindak korupsi harta negara secara pelan-pelan sedang proses menuju perubahan ke citra PNS yang bersih dan berwibawa, di saat itu pulalah PNS hendak dibawa kembali kepada keadaan yang semakin memperburuk citra PNS itu sendiri. Dengan masuknya para insan PNS ke dunia politik, itu berarti mereka harus berperan ganda dimana dua kepentingan yang saling berbeda harus mereka lakoni.

Yang paling mendasar dari jati diri para insan PNS adalah kedudukannya sebagai abdi masyarakat dan abdi negara yang hanya menjalankan kebijakan dan keputusan yang ditetapkan dalam undang-undang kenegaraan yang sah, entah siapapun pimpinan pemerintahan yang sah pula dan pengganti-penggantinya. Jadi para insan PNS beserta wadahnya KORPRI, bukanlah pelayan Parpol tertentu atau Golongan Karya versi Orde Baru tetapi pelayan semua dan diperuntukkan bagi semua warga negara dan masyarakat Indonesia.


Penulis adalah insan PNS, tinggal di Jakarta

Senin, Maret 27, 2006

BILA RAKYAT SEMAKIN GELISAH

Bila Rakyat Semakin Gelisah
Oleh Pormadi Simbolon

dimuat di harian SUARA KARYA, Jumat, 24 Februari 2006

Baru-baru ini, para ulama wakil sejumlah organisasi kemasyarakatan menyampaikan sejumlah kegelisahan dan kerisauan mereka atas berbagai masalah yang dihadapi bangsa (Senin, 13/2) kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dalam waktu yang tak berselang lama, para pengutang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) bergegas ke Istana menyampaikan keputusasaan karena persoalan mereka menemui jalan buntu akibat menjadi korban pemerasan dan dijadikan bola pimpong oleh oknum aparat pemerintah.

Para ulama dan debitor BLBI mendapat tempat di hati penghuni Istana Negara dan sudah pasti juga akan mendapat perhatian para anggota DPR. Lalu bagaimana dengan rakyat yang dalam keputusasaan karena kesulitan hidup bila datang ke Istana dan gedung DPR Senayan?
* * *

M Nadinir (36), seorang pemuda lajang dari Bekasi, harus gantung diri karena tidak kuat menanggung kesulitan ekonomi. Susahnya hidup membuat ia mengalami tekanan batin berkepanjangan. Ia putus asa, namun hanya diam dan tidak bisa berbuat apa-apa. Akhirnya ia memutuskan bunuh diri.

Lewat pemberitaan di layar televisi, media cetak dan internet, kita mengetahui betapa banyak rakyat mengeluh dan menjerit karena kesulitan hidup. Sebagian rakyat harus mencari kerak nasi dan sisa makanan tetangga untuk diolah ulang menjadi aking untuk makanan keseharian anak-anak dan keluarga. Ini terjadi akibat harga sembako yang terus membubung naik pasca- kenaikan harga BBM.

Para nelayan tidak bisa mencari ikan di laut karena harga solar semakin tidak terjangkau. Mereka hanya bisa mengeluh tanpa ada tanggapan berarti dari pemerintah. Mereka hanya berusaha untuk bertahan hidup dengan segala usaha yang mungkin dapat mereka lakukan.
Rasanya, nasib rakyat tidak banyak berubah dari masa pemerintahan satu ke pemerintahan lainnya. Tak pelak sempat muncul keluh kesah bahwa hidup di masa pemerintahan Soeharto lebih baik daripada di masa-masa pemerintahan sesudahnya. Sekarang ini hidup dirasakan semakin susah. Pekerjaan sulit didapat. Para petani tidak pernah bisa menikmati keuntungan hasil penjualan gabah mereka.

Kenaikan harga BBM dan kebijakan impor beras di masa pemerintahan SBY (dan pemerintahan sebelumnya) membuat hidup rakyat semakin sengsara dan berada dalam ketidakpastian. Kemiskinan selalu menggerogoti. Kematian akibat kekurangan gizi dan kelaparan pun selalu mengintai rakyat kecil.

Presiden SBY pernah meminta pengertian rakyat atas dicabutnya subsidi BBM yang katanya hanya dinikmati orang kaya. Rakyat pun diam dan mengerti seraya menanti adanya perubahan atas nasib mereka. Nyatanya, kehidupan rakyat semakin memburuk.

Menanggapi kritik dan demo anti-impor beras oleh warga masyarakat, pemerintah dan DPR cenderung apatis dan bersikap tidak peduli. L Wilardjo dalam sebuah artikel di media massa pun menyebut pemerintah dan DPR sudah tebal kuping alias ndableg.

Rakyat sering kali terpaksa harus mengalah pada kemauan pemerintah. Mereka harus menerima kebijakan pemerintah (lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif). Ketika rakyat berusaha memahami dilema yang dihadapi pemerintah, semakin lama mereka semakin menderita dan sengsara. Menangis!

Di saat sulit, gelisah dan putus asa, rakyat hanya bisa diam, memberontak tak akan berarti apa-apa. Mungkin pilihannya adalah "gantung diri" dan atau "mati pelan-pelan" dengan sendirinya?
Pasca-kenaikan harga BBM, kemiskinan selalu menggerogoti kehidupan rakyat. Kesulitan ekonomi membuat mereka ekstra ketat mengatur ekonomi keluarga. Apa pula yang terjadi pada rakyat kecil jika tarif dasar listrik (TDL) jadi dinaikkan dalam waktu dekat?

TDL memang belum dinaikkan. Namun indikasi terjadinya pengangguran dan PHK massal mulai tampak. Ratusan industri logam dan kimia di Sumatera Utara mulai merumahkan karyawannya. Demikian pula PT Sanyo Jasa Components mulai merumahkan 350 orang buruhnya agar bisa survive.

Bisa dibayangkan, kesulitan hidup semakin menjadi-jadi di kalangan rakyat. Mereka membutuhkan tempat mengadu. Bila mengadu ke Istana, rasanya sudah tidak ada artinya lagi. Ketika berdemo ke Istana soal kenaikan harga BBM dan anti-beras impor, rakyat cenderung dicuekin. Harga BBM naik, rakyat sengsara. Kebijakan impor beras dilanjutkan, rakyat tambah menderita.

Demikian pula ketika rakyat berharap pada lembaga perwakilannya sendiri di gedung DPR, yang mereka terima hanya "stempel" setuju atas impor beras. Rakyat pun kembali harus siap-siap menderita dan diacuhkan para wakilnya.

Baik kepada pemerintah (eksekutif) maupun DPR (legislatif), rakyat tampaknya sudah tidak mendapat tempat di hati mereka. Rakyat selalu dibujuk untuk coba mengerti pemerintah, bahkan pernah diberi sumbangan langsung tunai agar rakyat diam dan tenang.
Apakah kondisi negara demokratis ini masih merupakan manifestasi pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat?

Bila sejumlah tokoh elite ormas, pengusaha konglomerat dan pengutang besar datang ke Istana, mereka langsung mendapat sambutan hangat. Mereka dilayani dan dijamu dengan baik. Ini sebuah kenyataan yang ironis. Sementara rakyat?

Kehidupan rakyat semakin miskin, selain akibat kebijakan pemerintah yang tidak pro-rakyat, juga karena telah menjadi korban dari ulah para oknum pejabat pemerintah yang cenderung mementingkan kepentingan diri dan kelompoknya. Budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), mentalitas jalan pintas (jual-beli gelar, ijazah dan jabatan), gaya hidup mewah di kalangan pejabat, berbagai bentuk tindak ilegal (penyenludupan, pemalsuan, pembajakan) dan kekerasan merupakan budaya sekelompok oknum yang menyebabkan rakyat hidup miskin, lemah, marjinal dan semakin sengsara.

Solusi untuk mengurangi kesengsaraan hidup rakyat hanyalah dengan kemauan pemerintah dan DPR untuk membuka hati dan mendengarkan jeritan penderitaan rakyat. Penguasa juga dituntut memiliki kemauan keras menindak para pelaku budaya busuk dan perusak negara serta penyengsara rakyat. Pemerintah SBY dan jajarannya diharapkan bersedia mengubah kultur pemerintahan yang selama ini terkesan acuh tak acuh kepada rakyat miskin, menjadi kultur option for the poors, not for the richEs only.

Bila republik ini masih menganut pemerintahan demokratis, seyogianya pemerintah mengedepankan kepentingan rakyat banyak, sebab kekuasaan mereka berasal dari, oleh dan untuk rakyat.

Bila hati dan telinga pemerintah atau DPR tidak terketuk dan tak tergelitik untuk memperhatikan nasib rakyat, maka akibatnya hanya ada dua kemungkinan. Rakyat akan terus menderita tanpa henti atau terpaksa "mati pelan-pelan". ***

Penulis adalah pengamat masalah sosial,alumnus STFT Widya Sasana Malang.

KEMBALIKAN KULTUR PERSAHABATAN!

dimuat pada SUARA PEMBARUAN DAILY , 31/10/2005
Kembalikan Kultur Persahabatan!
Oleh Pormadi Simbolon

RESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono di satu sisi memiliki modal utama yaitu kepercayaan rakyat, di sisi lain, seolah dikelilingi "tembok" pembantu (dari wapres hingga menteri dan mungkin level-level lebih bawah) yang mempunyai posisi politis, sosial, dan ekonomis yang lebih kuat dari Yudhoyono, dan selalu terjadi tarik menarik kepentingan saat mengambil keputusan. Itulah yang digambarkan oleh Herri Tjahjono dalam artikelnya "Presiden Yang Kesepian".

Dari tulisan tersebut, penulis mencium adanya hubungan persahabatan yang terganggu antara Yudhoyono-Kalla (Jusuf Kalla). Artinya, relasi antara kedunya dibatasi oleh sekat-sekat kepentingan politis, sosial, dan ekonomis dari salah satu diantara mereka dalam upaya pengambilan keputusan dalam mengatur tata hidup bersama bangsa ini.

Amat relevan dan menarik bila kita coba melihat ulang kultur persahabatan di negeri ini saat negeri ini sedang mengalami kesulitan berat. Mulai dari harga minyak yang mencapai US$ 70 per barel, subsidi sebesar Rp 113 triliun, APBN yang terancam bolong, defisit tak tertutupi yang mencapai Rp 23 triliun, rupiah dan ekonomi berada di ambang krisis seperti tahun 1998, sehingga pemerintah harus menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) sekitar rata-rata di atas 100 persen.

Kerelevanan tersebut juga erat kaitannya dengan permasalahan yang ada di tengah masyarakat. Mulai dari penyakit polio, flu burung, kenaikan kedua BBM periode 1 Oktober setelah kenaikan periode pertama pada bulan Maret yang lalu, Bom Bali II, dan baru-baru ini merebaknya kembali penyakit demam berdarah dengue (DBD).

Kultur Persahabatan
Kultur persahabatan adalah peradaban antara orang yang satu dengan orang lain yang memperlihatkan dan berupaya memperlakukan orang lain sebagai sahabat. Maksudnya, dalam kultur persahabatan manusia diperlakukan sebagai sahabat agar "dia" dan "saya" sama-sama semakin memanusiawi secara sempurna, semakin sejahtera baik secara lahiriah maupun batiniah.

Dengan demikian, suatu kultur persahabatan amat diperlukan dan dibutuhkan setiap orang dalam tata hidup bersama agar ia semakin menjadi lebih manusiawi. Sebab persahabatan mengandaikan bahwa manusia pada hakekatnya harus hidup bersama dengan manusia yang lainnya. Persahabatan menegaskan pula bahwa manusia tidak dapat hidup sendirian. Bila manusia hidup sendirian maka ia akan semakin tidak memanusiawi.

Menurut Aristoteles, persahabatan amat perlu bagi siapapun dan kapan saja. Persahabatan merupakan keutamaan dan sangat dibutuhkan semua orang, entah kaya atau miskin, entah penguasa atau rakyat jelata, entah tua atau muda.

Aristoteles mengajarkan hal itu seperti tergambar dalam kutipan berikut ini, "Friendship is a virtue, or involves virtue, and besides is most necessary for our life. For no one would choose to live without friends even if he had all the other goods. For in fact, rich people and holders of powerful positions, even more than other people, seems to need friends... In poverty also, and in other misfortunes, people think friends are only refuge. Moreover the young need it to keep them from error. The old need to care for them and support the actions that fail because of weakness. And those in their prime need it, to fine actions; for them two go together they are more capable of understanding and acting" (Aristotle, Nichomachean Ethics, 1155, art. 1-15).

Soal persahabatan menjadi bidang penting dalam tata hidup bersama atau kehidupan politik. Dengan persa- habatan, orang dapat hidup berdampingan dengan damai, saling menolong, saling berbagi, saling menghormati dan menghargai satu sama lain.

Bahkan persahabatan itu mendobrak tembok-tembok pembatas relasi antar-manusia, seperti status dan kelas sosial, ekonomi, politik dan lain sebagainya. Itulah sebabnya Aristoteles menegaskan (Buku VIII-IX), jika dalam hidup bersama setiap orang adalah sahabat bagi yang lain sedemikian rupa, keadilan tidak diperlukan lagi. Tetapi jika setiap orang adalah adil, masing-masing harus menjalin persahabatan. Itu berarti persahabatan mengatasi keutamaan keadilan.

Aristoteles juga mengajarkan jika keadilan berkaitan dengan hal penataan hidup bersama, maka persahabatan tidak hanya mencakup apa yang ditawarkan keadilan, melainkan juga membuahkan kesetiakawanan, kebersamaan, kerukunan, kekerabatan, ketetanggaan, kekeluargaan, rasa senasib sependeritaan, seperjuangan dan hal lain yang luhur dan terpuji. Dengan kata lain, menurut Aristoteles, persahabatan itu adalah tata hidup bersama itu sendiri.

Di Indonesia
Di mana kultur persahabatan Indonesia? Sejauh pemberitaan di media massa, kultur persahabatan warga bangsa tercinta tampaknya pelan-pelan memudar. Kultur persahabatan yang merupakan warisan luhur nenek moyang kita lambat laun digantikan dengan kultur kekerasan alias gampang ngamuk, kultur tidak tahu malu atau hilangnya peran hati nurani, kultur hedonistik, konsumeristik dan instan. Hal itu tampak dari cetusan sikap, perilaku dan tindakan yang dipertontonkan oleh sejumlah warga bangsa ini.

Adanya perusakan sejumlah rumah ibadah, penyerangan terhadap rumah ibadah dan warga Ahmadiyah dengan tindakan anarkhisme oleh sekelompok orang merupakan contoh hilangnya kultur persahabatan.

Belum lagi sikap-sikap dan perilaku yang muncul pasca-kenaikan BBM. Tidak akuratnya pendataan penduduk miskin yang berhak mendapat dana kompensasi BBM dan adanya petugas pendata yang meminta bagian (dana kompensasi) sudah menunjukkan hilangnya kultur persahabatan.

Yang lebih menyedihkan lagi adalah sikap dan tindakan pendata rakyat miskin yang memasukkan keluarga dekat sebagai penerima dana kompensasi BBM. Demikian juga sikap dan tindakan berbohong sejumlah anggota PNS golongan III ke atas yang ikut mendapat kartu miskin.

Selain karena kenaikan BBM, juga karena akibat pelayanan publik yang buruk dari birokrasi pemerintahan dan ulah para koruptor mencuri harta negara menyebabkan kehidupan rakyat di negeri ini semakin serba sulit. Hal itu dicirikan dengan bertambahnya dua kali lipat jumlah pengemis di perempatan jalan dan lampu merah di ibu kota dan pula bertambahnya jumlah penderita sakit jiwa. Betapa menderitanya rakyat yang hidup di negeri ini.

Lembaga peradilan sebagai penegak hukum ternodai oleh tindak mafia peradilan di lingkungan peradilan yang melibatkan semua aparat hukum, seperti hakim, jaksa, polisi, advokat, panitera dan pegawai peradilan.

Yang lebih fatal lagi adalah jika benar ada keretakan relasi persahabatan antara Yudhoyono-Kalla, keretakan itu akan menjadi racun yang bisa menggagalkan penataan hidup bersama dalam mengatur hidup bersama guna mengejar kesejahteraan bangsa dan negara secara efektif dan efisien.

Di tengah aneka persoalan bangsa dan aneka penderitaan yang dialami kebanyakan rakyat Indonesia pasca-kenaikan BBM, kultur persahabatan setiap warga bangsa ini diuji dan dimurnikan.

Kultur Persahabatan Sudah Terbukti dalam Sejarah. Terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan hasil persahabatan efektif dari para bapa pendiri bangsa, tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh adat dan masyarakat lainnya. Meskipun mereka berbeda latar belakang, agama, suku, ras dan antar golongan, namun mereka berhasil menjalin persahabatan secara efektif.

Demikian pula, bila para pemuda kita dari lintas suku, partai dan agama berhasil mencetuskan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, tidak berlebihan jika dikatakan itu sebagai buah kultur persahabatan. Persahabatanlah yang mendorong para pemuda berseru bahwa mereka satu tanah air, bangsa dan bahasa yaitu Indonesia.

Sudah 60-an tahun Indonesia merdeka, 60-an tahun pula kita hidup bersama-sama, namun persahabatan di antara kita tampaknya bukannya semakin erat, namun pelan-pelan ia mulai terkalahkan oleh kepentingan primordial, sempit, egoistik dan perkara perut. Yang harus diupayakan bersama adalah mari kita mengembalikan kultur persahabatan itu. *

Penulis adalah alumnus STFT Widya Sasana Malang, tinggal di Jakarta
Last modified: 31/10/05

Kamis, Maret 23, 2006

MEMETIK BUAH WARTA KEBENCIAN

Memetik Buah Warta Kebencian
Oleh Pormadi Simbolon
dimuat di website Jaringan Islam Liberal, 28/11/2005

Di tengah kemajemukan tersebut penulis menghadapi perbenturan antara ajaran agama dan budaya setempat dengan yang penulis anut. Pada situasi demikian pula penulis melihat realitas bahwa ada beberapa pemimpin dan tokoh agama berlomba-lomba “menjual” dan mewartakan ajaran agamanya. Yang patut disesalkan adalah adanya sejumlah kecil dari mereka yang tidak segan-segan mengajarkan fanatisme berlebihan, penjelek-jelekan agama di luar agama yang dianutnya, pengajaran kebencian terhadap agama lain dan pemeluknya.

Akhir-akhir ini kekerasan, pembunuhan, bom bunuh diri dan tindak anarkhisme terhadap kelompok dan agama lain semakin kerap mewarnai kehidupan bangsa Indonesia. Mungkinkah aneka tindakan amoral tersebut merupakan buah-buah yang harus dipetik dari khotbah-khotbah kebencian yang pernah diwartakan sejumlah pemimpin agama?

Ketika duduk di Sekolah Dasar, penulis masih terkungkung dan terbelenggu dalam gua lingkungan masyarakat yang mayoritas beragama Kristen di kampung halamannya (sebuah desa di Sumatera Utara). Perasaan aman dan nyaman menjadi pengalaman tersendiri. Dunia ini terasa bagaikan milik kekristenan saja. Belum tercium adanya nuansa kebencian antaragama dan antar pemeluknya.

Namun ketika penulis harus merantau guna melanjutkan pendidikan ke Malang, mata hati dan budi penulis tercerahkan dan tersadarkan bahwa Indonesia itu pluralis dan beraneka ragam. Penulis merasa asing, aneh dan minoritas ketika berada di tengah masyarakat yang terdiri dari aneka suku, agama, ras dan antargolongan. Teristimewa karena tempat itu mayoritas berpenduduk dan berbudaya Islami.

Di tengah kemajemukan tersebut penulis menghadapi perbenturan antara ajaran agama dan budaya setempat dengan yang penulis anut. Pada situasi demikian pula penulis melihat realitas bahwa ada beberapa pemimpin dan tokoh agama berlomba-lomba “menjual” dan mewartakan ajaran agamanya. Yang patut disesalkan adalah adanya sejumlah kecil dari mereka yang tidak segan-segan mengajarkan fanatisme berlebihan, penjelek-jelekan agama di luar agama yang dianutnya, pengajaran kebencian terhadap agama lain dan pemeluknya. Pengalaman tersebut merupakan contoh yang mungkin juga terjadi di tempat lain.

Penyebaran warta kebencian dapat pula kita temui lewat media lain seperti majalah, bulletin, VCD/DVD dan internet. Warta kebencian tersebut kerap kita jumpai bila kita coba mengunjungi toko buku atau pasar loak (penjualan buku di pinggir jalanan).

Pewartaan Yang Keliru
Ajaran atau wejangan kebencian terhadap agama lain dikumandangkan oleh sejumlah pemimpin agama-agama Abrahamistik, entah di gereja atau di mesjid. Saat itu hari Jumat. Penulis naik sepeda ontel pulang dari kampus (di Malang) tiba-tiba telinga penulis menangkap dan mendengarkan khotbah yang mengajarkan kebencian terhadap agama lain. Agama lain kafir, agama kita sempurna, demikian kurang lebih inti wejangan itu. Sebagai salah seorang dari kaum minoritas, penulis merasa terkejut dan berkecil hati.

Demikian pula, ketika seorang dosen Teologi Kristen Protestantisme pernah menganjurkan para mahasiswa agar sekali-kali mau mengikuti peribadatan salah satu dari agama aliran kekristenan (sekte?) guna memahami lebih jauh tentang teologi mereka, penulis menemukan hal yang sama yaitu pewartaan kebencian terhadap agama lain lewat khotbah. Penulis pun bingung dan terkejut ketika terdengar kata-kata dari pengkhotbah gereja tersebut mengatakan bahwa agama lain itu sesat, berhala dan berasal dari iblis. Telinga terasa ditampar dan memerah.
Barangkali segelintir saja pemimpin agama yang menanamkan ajaran kebencian, permusuhan, penjelek-jelekan terhadap agama lain, namun berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat yang majemuk. Khotbah tersebut menyakitkan telinga dan melukai hati mayoritas warga yang menginginkan kedamaian, kerukunan dan keselamatan persatuan bangsa Indonesia.

Dari berbagai opini di media massa, mayoritas pemimpin dan tokoh agama dan masyarakat berjuang ekstra keras bagaimana mereka dapat membangun suatu perdamaian dan pertemuan antara agama-agama yang berbeda-beda secara otentik dengan mengedepankan universalitas ajaran agamanya tanpa menghilangkan keunikan dan kekhasan masing-masing agama.

Namun ada saja pemimpin (dari masing-masing agama) yang mencoba merusak perdamaian dan persahabatan yang sudah terjalin dengan membongkar lagi kejelekan, aib, konflik dan permusuhan antaragama yang terjadi pada masa ekspansi Muslim ke Eropa, Perang Salib dan sistem penyiaran agama yang dapat membuka kembali luka-luka agamis yang pernah terjadi. Bisa jadi kekerasan, pembunuhan dan aksi anarkhis terhadap kelompok lain merupakan buah dari pewartaan yang keliru tentang ajaran agama.

Karen Armstrong dalam bukunya Sejarah Tuhan (Mizan, 2001) mengajak pemeluk agama-agama Abrahamistik berhenti bertengkar. Dalam keseluruhan bukunya ia menegaskan betapa pertengkaran antara agama-agama anak-anak Abraham tentang siapa yang paling benar merendahkan harkat keagamaan semua. Dengan kata lain, ia mau mengajak umat dari agama-agama Abrahamistik supaya jangan mempermalukan Tuhan.

Sudah saatnya para pemimpin agama dan tokoh agama menyetop ajaran kebencian dan permusuhan terhadap agama lain pada umatnya. Dunia akan lebih layak dihuni bila para pemimpin agama dan tokoh agama membangun sikap pengampunan, persahabatan dan persaudaraan antar suku, agama, ras dan antargolongan. Sebab ajaran memandang agama lain kafir dan sesat hanya akan menciptakan citra negatif, imej yang menakutkan, menyeramkan dan menimbulkan kemarahan terhadap pemeluk agama lain.

Filosofi Bangsa Indonesia
Bisa dibayangkan, akan kemana dan apa peran agama-agama dalam menjaga persatuan dan keutuhan Indonesia bila masing-masing agama-agama saling mencap agama sendiri yang paling benar, sedangkan agama lain kafir, sesat dan jelek. Bangsa kita bisa berhenti pada retorika dan formalisme bahwa Pancasila adalah landasan filosofi bangsa Indonesia.

Kita, umat beragama sebagai warga Republik Indonesia (RI) yang berdasarkan Pancasila telah sepakat mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa dan negara di atas kepentingan sendiri, golongan, perbedaan agama dan lain-lain demi terciptanya tujuan nasional sebagaimana ditetapkan dalam UUD 1945 (bdk. Penjelasan KMA No. 70 Tahun 1978)

Namun kerapkali kita warga negara RI yang mengakui Pancasila sebagai filosofi negara dan ideologi nasional masih berada pada tahap ucapan bibir manis, formalis dan retoris. Hal inilah yang dikritik oleh Prof. Dr. Nurcholis Madjid (Cak Nur). Cak Nur pernah mengkritik orang-orang yang menyebut dirinya Pancasilais, namun nilai-nilai luhur yang merupakan hasil kristalisasi budaya Indonesia tidak dilaksanakan secara murni dan konsekwen. (bdk. Sudjangi, 1992: 272-273).

Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah menegaskan bahwa bila Pancasila hanya berfungsi membenarkan satu agama, berhentilah ia sebagai “aturan main” yang menghubungkan semua agama dan paham dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. (bdk. Ibid, 287)
Maka tantangan bagi pelaksanaan tugas dan peran pemerintah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di bidang agama adalah bagaimana supaya Pancasila dengan nilai-nilai luhurnya dapat dilaksanakan secara murni dan konsekwen. Bila perlu pemerintah melarang tegas dan keras para pemimpin dan tokoh agama mewartakan benih-benih kebencian dan permusuhan antaragama dan pemeluknya. Dengan demikian formalisme tidak menjadi begitu kuat hingga Indonesia seakan-akan negara seremonial belaka.

Tak bisa dipungkiri bahwa para pemimpin agama adalah inti kekuatan agama dan umat. Lewat perannya sebagai pengawal ajaran agama, juru bicara aspirasi dan kepentingan umat serta integrator umat yang dapat menyatukan seluruh potensi umat, para pemimpin dan tokoh agama (ulama, kyai, pastor, pendeta) seyogiyanya menyetop ajaran stigmatisasi agama lain sebagai agama sesat dan kafir dan lalu mengedepankan persaudaraan dan persahabatan antaragama, universalitas ajaran agamanya tanpa menghilangkan keotentikan dan keunikannya.

Bila semua pemimpin agama mengedepankan agama yang humanis dengan menekankan persaudaraan dan persahabatan, kerukunan dan kedamaian antaragama, kesejahteraan dan kebaikan bangsa Indonesia, maka aneka permasalahan bangsa pelan-pelan akan dapat diatasi secara bersama-sama.

Pada bagian penutup ini, penulis mau mengulangi apa yang pernah dikemukakan oleh Moh. Hatta (1977: 32) tentang Persatuan Indonesia. “Persatuan Indonesia menjadi syarat hidup bagi Indonesia. Persatuan Indonesia mengandung di dalamnya cita-cita persahabatan dan persaudaraan segala bangsa, diliputi oleh suasana kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran dan keindahan yang senantiasa dipupuk oleh alamnya”.

Unsur cita-cita persahabatan dan persaudaraan bangsa merupakan keharusan kodrati sesuai dengan kedudukan manusia sebagai ciptaaan Tuhan yang diciptakan dari satu keturunan dan dijadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar dapat menyelenggarakan kerja sama dalam menjalani hidup di dunia ini. Semoga.

* Pormadi Simbolon, alumnus STFT Widya Sasana Malang, tinggal di Jakarta, Tulisan ini merupakan pendapat pribadi.

Jumat, Maret 17, 2006

Hati Nurani vs Perkara Perut

Hati Nurani vs Perkara Perut

Oleh Pormadi Simbolon

Baru-baru ini Satijipto Rahardjo Guru Besar sosiologi Universitas Diponegoro, menggolongkan ribuan para hakim di negeri ini menjadi dua kategori. Kategori pertama hakim yang berpikir dengan hati nurani. Kategori kedua adalah hakim yang bertanya dulu kepada perut baru kemudian mencari pasal-pasalnya (Kompas, 21/09/05).

Pengkategorian tersebut dikemukakannya terkait dengan pemberantasan korupsi yang mengecewakan masyarakat banyak di republik tercinta.

Yang menarik diutarakan adalah ungkapan berpikir dengan nurani dan bertanya kepada perut. Barangkali kegagalan pemberantasan korupsi dan banyaknya persoalan bangsa lainnya atau krisis multidimensi belum teratasi karena perkara hati nurani dan perut tersebut.

Hati Nurani Sebagai Inti Manusia

Kata ‘hati nurani’ dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (Badudu-Zain, Sinar Harapan, 2001) diartikan perasaan yang dalam, batin. Makna yang sama dengan term tersebut digambarkan Harimurti Kridalaksana (Nusa Indah, 1974) sebagai perasaan hati yang murni, kata hati, hati kecil, batin, sanubari. Intinya hati nurani merupakan ungkapan terdalam yang datang dari hati yang murni dan terkait erat dengan hubungan manusia dengan ajaran Tuhan dan kehidupan lingkungannya.

Di dalam lubuk hati setiap insan hati nurani bekerja dan berbisik. Pada waktu tertentu ia memberi perintah untuk melakukan yang baik dan menyuarakan keadilan. Pada saat lain ia memberi perintah untuk mengelakkan yang jahat dan salah. Hati nurani menjadi pengontrol moralitas individu.

Hati nurani bekerja aktif karena ia dipertajam dengan pemaknaan atas pengalaman hidup, pendidikan, keluarga dan masyarakat lingkungannya. Artinya prinsip hati nurani adalah hasil kolaborasi keputusan akal budi dengan pengalaman hidup.

J.H. Newman dalam suratnya kepada Pangeran Norfolk V mengatakan hati nurani adalah ‘hukum roh’ dan juga ‘bisikan langsung’, di dalamnya terdapat gagasan pertanggungjawaban, kewajiban, ancaman dan janji… Jadi hati nurani terletak di dalam hati yang terdalam. Ia tidak dapat didengar bila si manusia tidak mau mendengarkan dan menanggapinya.

Jadi hati nurani merupakan petunjuk dan keputusan akhir dalam interaksinya dengan akal budi manusia dalam berhadapan dengan dirinya, orang lain dan Tuhannya. Atas dasar peran dan posisinya yang penting, para pemimpin Gereja Katolik merumuskan “hati nurani sebagai inti yang paling rahasia, sanggar sucinya; di situ ia seorang diri bersama Allah, yang sapaanNya menggema dalam batinnya” (Dokumen Konsili Vatikan II, GS 16).

Perkara Perut

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (idem) ‘perut’ diartikan bagian tubuh sebelah depan antara dada dengan kemaluan’. Fungsinya sebagai wadah yang mula-mula menampung makanan yang masuk ke dalam tubuh. Jadi perut tampak kasat mata, bersifat lahiriah, dapat diraba, digerakkan oleh nafsu terhadap apa saja yang bisa dimasukkan ke dalamnya. Dengan kata lain soal perut adalah perkara menjaga dan memelihara keselamatan, kebutuhan, dan keamanan tubuh.

Perut menjadi kelaparan bila semua isinya sudah mengalami proses pembakaran dalam tubuh. Lalu ia menuntut lagi makanan atau rezeki. Ia digerakkan oleh keinginan untuk mencari makanan.

Namun perut menjadi kegendutan bila diisi dengan terlalu banyak makanan dan minuman. Perut menjadi kelebihan muatan sebab si manusia memaksa masuk aneka makanan dan minuman. Perut kekenyangan dan lalu menjadi gendut dan akhirnya dapat menjadi sumber kecelakaan, kemalasan dan penyakit.

Tidak jarang banyak orang kaya mati karena kekenyangan, sedangkan orang miskin harus mati karena kelaparan dan gizi buruk yang mereka derita. Barangkali, Orang kaya yang kekenyangan mempunyai duit untuk berobat, namun orang miskin harus menerima nasibnya sebagai orang yang kelaparan, kecil melarat dan miskin.

Benar, semua orang memiliki perut. Semua orang pula harus mengisi perutnya dengan makanan yang sehat, secukupnya dan sesuai dengan volumenya. Benar pula manusia harus mengisi perut untuk hidup, bukan hidup untuk perut. Jadi hidup ini bukan perkara perut saja … Bung!

Menggunakan Hati Nurani atau Perut?

Warga bangsa ini sudah banyak disuguhi oleh media massa aneka persoalan bangsa. Krisis multidimensi negeri ini terjadi lebih merupakan akibat dari manusia yang menggunakan perut daripada hati nurani. Kehidupan di negeri ini begitu sulit, namun masih banyak oknum aparatur pemerintah masih lebih dahulu bertanya pada perut dalam pelayanannya kepada publik.

Tak heran bila pemberantasan korupsi mengecewakan masyarakat. Banyak dari para hakim memutuskan perkara di pengadilan setelah bertanya lebih dulu pada perut lalu mencari pasal-pasal. Sedangkan hakim yang memutuskan perkara korupsi dengan hati nurani, dalam hitungan minggu atau bulanan bisa jadi sudah hilang, tewas ditembak atau diracun.

Suap-menyuap dan korupsi gagal diberantas karena memang perkara perutlah yang menjadi dasarnya. Bila para penegak hukum bertanya pada perut, demikian juga para pelaku korupsi, maka kloplah keduanya dan terjadilah penggendutan perut. Gagallah pemberantasan korupsi.

Lihat saja kenyataan kehidupan bermasyarakat di lapangan. Karena menggunakan perut, banyak dari warga bangsa ini memunculkan aneka perilaku negatif: mudah tersinggung, bengis, beringas, main hakim sendiri, fanatik berlebihan dan gampang mengamuk. Sebagian warga terpaksa protes dan marah karena urusan perut mereka diganggu dan dipersulit karena memang sudah kelaparan dan merupakan tuntutan kebutuhan hidup. Namun sebagian warga masih asyik berpesta pora, berbagi jatah proyek, berpraktek calo untuk mengenyangkan perut yang sudah gendut.

Ketika terjadi busung lapar, malah pejabat berkomentar “busung lapar itu kecelakaan” (Kompas, 27/05/05). Pembelaan diri ini timbul karena perkara perut. Jika hati nurani yang berbicara maka yang muncul adalah penyesalan dan pernyataan konstruktif untuk mengatasi busung lapar.

Ketika terjadi penyerangan terhadap jemaat Ahmadiyah di empat Kabupaten Cianjur, seorang pejabat keamanan malah mengatakan “penyebab terjadinya perusakan terhadap masjid, madrasah dan rumah warga adalah akibat kelalaian pemerintah setempat (Suara Pembaruan, 21/09/05). Apakah ia menggunakan hati nurani atau perut? Anda sendiri yang menyimpulkan.

“Hari Begini Ngomong Hati Nurani?”

Sedikit saja orang yang sungguh-sungguh menggunakan hati nurani dalam soal kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat di negeri ini. Sebab hati nurani itu barangkali sudah klasik dan tidak sesuai lagi dengan trend yang ada di tengah masyarakat. Barangkali orang jaman ini akan berkata “Hari gini ngomong hati nurani, pengabdian, dan gotong-royong? Emangnya gue pikirin, so what begitu loh! Masa bodoh. Isi dulu perutmu, begitu loooh!! Hati nurani terkalahkan oleh perkara perut.

Hati nurani di negeri ini kerapkali terselimuti oleh kabut, selubung, kepentingan dan minat egoistik yang ujun-ujungnya adalah perkara perut, duit dan kenikmatan. Jangan-jangan perkara perut sudah menaklukkan dan menguasai hati nurani bangsa ini. Ah… mengenai hal ini saya pun tidak tahu persis…mari kita tanyakan hati nurani terdalam kita.

Hati nurani yang disebut J.H. Newman sebagai hukum roh dan bisikan langsung dalam diri manusia terdalam memuat gagasan pertanggungjawaban, kewajiban, ancaman dan janji. Bila manusia mendengarkan hati nuraninya maka kedamaian, kebahagiaan dan ketenangan batin akan datang menghampirinya. Namun bila manusia melulu mendengarkan perut maka ancaman dan hukuman dari hati nuraninya sendiri dan lingkungan sekitarnya akan menggerogotinya. Mendengarkan hati nurani atau bertanya pada perut sendiri memang keputusan setiap insan yang hidup di dunia ini. Persoalannya kita berada dan hidup dalam tata hidup bersama menuju kesejahteraan bersama pula.

*Penulis adalah warga biasa, tinggal di Jakarta.

LEMBAGA PERADILAN DI MATA WONG CILIK

LEMBAGA PERADILAN DI MATA WONG CILIK

Oleh Pormadi Simbolon

Keberpihakan lembaga peradilan beserta sejumlah aparatur penegak hukum terhadap wong berduit, oknum pejabat, penguasa dan pengusaha semakin jelas dengan terbongkarnya dugaan suap-menyuap yang melibatkan pegawai Makhamah Agung di dalamnya. Terbongkarnya dugaan kasus tersebut pula semakin mempertegas bahwa kebenaran hukum tampaknya semakin menjauh dari wong cilik.

Lembaga peradilan kita sedang mengalami krisis identitas ketika disinyalir ada drama suap-menyuap dan jual-beli praktek perkara yang dilakukan Harini Wijoso – advokat Probosutedjo – dengan beberapa pegawai MA, dan diduga melibatkan Bagir Manan, Parman Suparman dan Usman Karim. Sebagian orang menyebut kasus ini sebagai tindak mafia peradilan yang melibatkan semua aparat hukum: hakim, jaksa, polisi, advokat, panitera dan pegawai peradilan.

Tidak Terkejut

Kebanyakan insan praktisi hukum sebenarnya tidak terkejut mendengar mafia peradilan yang ada. Persoalannya aneka kasus tindak korupsi yang sampai ke lembaga peradilan pasca Orde Baru hingga sekarang seringkali berujung pada bebasnya para pelaku atau hanya mendapat hukuman ringan.

Sebagai orang yang awam tentang hukum, penulis dengan mata hati dan akal sehat melihat wajah lembaga peradilan telah tercoreng dan kredibilitasnya semakin merosot ke titik terendah.

Ada dua alasan yang dapat dikemukakan. Pertama, lembaga peradilan pada hakekatnya menjadi ukuran standar tentang apa yang benar dan adil yang berlaku di negara hukum, kini kehilangan dayanya (strength).

Kedua, lembaga peradilan seyogiyanya menjadi tempat pengaduan, pengungsian dan benteng pertahanan wong cilik atau warga bangsa yang terzalimi, tertindas dan teraniaya, kini kehilangan kepercayaan dari orang banyak (credibility).

Ukuran Kebenaran Hukum

Melihat kenyataan yang ada di lapangan, lembaga peradilan tampaknya bukan lagi diperuntukkan bagi semua warga negara, tetapi bagi sekelompok oknum penguasa, pengusaha atau penegak hukum sendiri. Lembaga peradilan yang semestinya milik semua warga negara, namun menjadi alat pemerkayaan diri para oknum. Ia adalah ukuran atas apa yang benar, adil, dan benar menurut hukum, namun diperalat untuk kepentingan egoistik.

Juga betapa ironisnya, oknum aparatur lembaga peradilan yang dipercaya warga negara sebagai penegak jaminan ukuran kebenaran hukum ternyata menjadi alat “pembebasan” dan “pembenaran” sekelompok orang saja. Ia menjadi partner segelintir orang dalam memuluskan suatu “titipan” vonis kasus korupsi oknum pengusaha dan penguasa, bukannya menjadi sarana penegakan hukum itu sendiri.

Di lapangan, kolusi antara hakim dan petugas pengadilan sudah terjadi sejak era Orde Baru. Gagalnya persidangan kasus penggelapan dana yayasan pimpinan mantan Presiden Suharto merupakan salah satu contoh. Kegagalan ini telah menegaskan bahwa sudah lama hukum sebagai ukuran kebenaran hukum rentan, rapuh dan lemah.

Yang lebih menyempurnakan reputasi jelek lembaga peradilan adalah ketika semua lembaga pemerintahan bangsa ini sedang gencar-gencarnya menggapai the good and clean governance tiba-tiba dikejutkan dengan adanya dugaan suap-menyuap dan jual beli praktek perkara yang melibatkan hampir semua aparat penegak hukum, teristimewa aparat makhamah agung.

Benteng Wong Tertindas

Lembaga peradilan sudah lama relatif tidak bisa diandalkan sebagai benteng wong tertindas, teraniaya, tersiksa, miskin/ melarat, cilik, lemah. Hal ini bisa dibuktikan di lapangan.

Ketika terjadi penyerangan sekelompok orang anti-Ahmadiyah terhadap rumah ibadah dan warga jemaat Ahmadiyah di empat kebupaten Cianjur, tak seorang pun pelaku tindakan anarkhis yang diadili atau ditindak secara hukum.

Ketika rakyat memrotes keberadaan Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu Bojong, Jawa Barat, aparat penegak hukum tanpa pikir panjang juga tanpa pandang bulu menembaki mereka.

Tidak heran, hilangnya kepercayaan pada lembaga peradilan sebagai benteng wong tertindas mendorong Suciwati menyandarkan harapan pada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menegakkan keadilan atas kematian suaminya, almarhum Munir, pejuang hak asasi manusia. Kasus tersebut pun belum tuntas hingga sekarang.

Rakyat Hanya Bisa Mengigit Jari

Skeptisisme rakyat terhadap aparat penegak hukum selama ini tampaknya terjelma dalam aneka perilaku negatif mereka. Banyak rakyat terpaksa melakukan tindakan anarkhis karena benteng pengaduan mereka tidak meperhatikan nasib mereka.

Bagi sebagian rakyat yang tertindas, teraniaya dan termarjinalkan hanya bisa menggigit jari dan menerima nasib apa adanya sebagai wong cilik. Suara mereka tidak terdengar, tetapi jeritan batin mereka sesungguhnya rindu dan haus akan kebenaran dan keadilan. Mereka tak bisa berbuat apa-apa. Hukum sebagai tempat jaminan atas apa yang benar dan adil bukan diperuntukkan bagi mereka.

Apakah negeri ini menjadi tempat yang baik bagi mereka untuk hidup, itulah yang selalu menjadi pertanyaan dalam batin mereka. Mereka menginginkan sebuah negeri yang bisa melindungi hak-hak asasi mereka sebagai warga negara. Kelihatannya negeri ini bukan tempat baik sebagai tanah air mereka. Semestinya, seperti ungkapan lama dalam bahasa Perancis, dimana orang dapat hidup dengan baik, sebenarnya tempat itulah tanah air mereka (Où l’on est bien, là est la patrie).

Menjadi relevan apa yang pernah dikatakan oleh Satjipto Rahardjo, Guru Besar Sosiologi Universitas Diponegoro tentang penegakan hukum dalam rangka pemberantasan korupsi. Ia mengkategorikan ribuan aparat hakim di negeri ini menjadi dua kategori. Kategori pertama hakim yang berpikir dengan hati nurani. Kategori kedua hakim yang bertanya dulu kepada perut baru kemudian mencari pasal-pasalnya. (Kompas, 21/09)

Lembaga peradilan kita tampaknya tidak berpihak pada the poors (kaum miskin dan lemah) melainkan pada the haves (kaum kaya dan kuat). Lembaga peradilan pada hakekatnya merupakan tempat seni menegakkan apa yang benar dan adil (le droit est l’art du bien et du juste), tampaknya seringkali melenceng lebih menjadi tempat seni mengumpulkan harta kekayaan dan penggendutan perut.

*Penulis adalah alumnus STFT Widya Sasana Malang,

tinggal di Jakarta.

TIDAK MENCAP SESAT, TAPI MENYAPA. MUNGKINKAH?

TIDAK MENCAP SESAT, TAPI MENYAPA. MUNGKINKAH?

Oleh Pormadi Simbolon

Dalam beberapa waktu lalu (Kompas 31/08/2005), Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjelaskan fatwanya yang pernah dikeluarkan beberapa waktu lalu kepada DPR. Dalam penjelasannya, MUI menyatakan bahwa aliran Ahmadiyah sebagai aliran sesat dan menyesatkan, serta orang yang mengikutinya sebagai orang murtad (keluar dari Islam).

Aliran Ahmadiyah dicap sesat karena mengajarkan adanya nabi setelah Nabi Muhammad SAW, yakni Mirza Ghulam Ahmad dan lalu dianggap telah keluar dari Islam. MUI juga menyerukan kepada para pengikut aliran Ahmadiyah untuk kembali kepada ajaran Islam yang sejalan dengan Al-Quran dan Hadist.

Hal mengeluarkan fatwa atau “Surat Gembala” mencap sesat bahkan mengutuk kelompok keyakinan lain yang berbeda penafsiran alkitabiah atau ajaran juga pernah terjadi dalam sejarah Gereja Katolik sekitar abad ketujuhbelas. Bahkan pada masa yang sama terjadi propaganda dalam Gereja Katolik bahwa “Di luar Gereja tiada keselamatan” (extra ecclesiam nulla salus).

Bila kita coba lihat dari perspektif kebebasan beragama, yang patut direnungkan secara lebih mendalam adalah apakah kita berhak mencap bahkan mengutuk orang lain yang berbeda agama/ keyakinan sesat dan menyesatkan? Yang lebih membuat rasa kemanusiaan kita terusik adalah bila “Surat Gembala” atau Fatwa itu menebarkan benih tindak kekerasan untuk memaksa mengubah apa yang diyakini orang lain seturut hati nuraninya? Bukankah cap sesat dan tindak kekerasan yang menyertainya konfrontatif dengan iman yang kita miliki? Tidakkah kita lebih baik menyapa, merangkul alias berdialog dengan mereka yang berbeda keyakinan dengan kita?

Bertentangan Dengan Ungkapan Iman Sendiri?

Bila kita sependapat, entah agama apa pun yang kita anut, pada dasarnya agama mengajarkan bahwa kasih sayang (cinta kasih) kepada Allah dan sesama manusia (relasi vertikal dan horisontal), maka kita akan sependapat pula bahwa tindakan mencap keberagamaan/ keyakinan orang lain yang berbeda agama dengan kita sesat dan menyesatkan adalah tindakan yang bertentangan dengan iman kita sendiri. Terlebih lagi bila stigma sesat dan menyesatkan itu disertai tindakan kekerasan baik secara fisik maupun secara psikologis.

Perkenankan penulis memberi contoh pengalaman sejarah Gereja Katolik (karena penulis berlatarbelakang Katolik). Dalam Gereja Katolik, kelompok Yansenisme pada abad XVII pernah mempropagandakan bahwa di luar Gereja tiada keselamatan (extra ecclesia nulla salus). Pada dasarnya propaganda yang berasal dari Santo Cyprianus (abad III) ini merupakan sikap apologetis dan eksklusif. Gereja bersikap demikian karena mengalami ketakutan eksistensial karena pertemuannya dengan agama-agama/ keyakinan di luar dirinya.

Selanjutnya dalam perjalanan sejarah, Gereja Katolik sadar akan penting masa depan eksistensinya dan kenyataan pluralitas agama dan budaya lalu ia belajar dari pengalaman anggotanya yang minoritas di Asia dan Timur Tengah atau belahan dunia lainnya. Di tempat minoritas, umat Katolik harus belajar hidup berdampingan dengan umat beragama di luar dirinya yang mungkin menjadi mayoritas seperti di Asia pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya.

Kesadaran inilah yang menjadi salah satu pendorong dan penguat Gereja Katolik untuk mengadakan pembaruan dan perubahan wajah Gereja dalam sidang Konsili Vatikan II, dan mengeluarkan Konstitusi Lumen Gentium) yang berisi sikap terhadap umat beragama yang bukan Katolik. Sikap Gereja tidak lagi apologetis dan eksklusif melainkan mengajak agama non-Katolik dan Ateis sekalipun untuk duduk berbicara bersama. Ia menyadari bahwa mengutuk atau mencap sesat agama/ keyakinan yang lain justru bertentangan dengan ungkapan imannya yang seyogiyanya menyapa, merangkul dan berjalan bersama-sama dengan semua orang yang berkehendak baik untuk membangun dunia.

Keberbedaan keyakinan (pluralitas agama dan budaya) adalah kenyataan yang menjadi keharusan dan ia berkembang seturut perkembangan pemikiran, penghayatan dan pengalaman iman manusia atas realitas hidupnya. Keberbedaan itu seyogiyanya menjadi kekayaan tak ternilai dan pula tidak saling mengurangi kehormatan dan kebenaran masing-masing agama.

Penulis yakin bahwa hidup keberagamaan kita tidak dibatasi atau berhenti pada ritus keagamaan di gedung masjid, gereja atau tempat ibadah lainnya dan juga tidak hanya pada hari Jum’at siang atau Minggu pagi melainkan dalam segala dimensi kehidupan kita sebagai umat beragama.

Artinya penghayatan dan pengamalan ajaran agama harus diterapkan dalam praksis kehidupan sehingga membuahkan kedamaian dan persahabatan. Penerapan itu tidak terbatas pada umat seagama atau yang lain yang sudah beragama tetapi pada umat manusia pada umumnya, bahkan kepada penganut ateis sekalipun.

Lebih Baik Menyapa atau Berdialog

Berangkat dari kenyataan realitas yang pluri-agama dan pluri-budaya kehidupan, adanya mayoritas dan minoritas penganut agama di belahan dunia yang berbeda, semua agama harus belajar untuk hidup berdampingan, saling menyapa alias berdialog, maka akan tercipta perdamaian dan persahabatan antar umat beragama khususnya dan umat manusia pada umumnya.

Itu bukan berarti mengurangi kebenaran iman agama-agama masing-masing, tetapi justru mendorong untuk saling menghormati di antara mereka dan dengan tulus berani untuk berkata, “Kami yakin bahwa hanya agama kami yang benar (entah Islam, Kristen, Katolik, Buddha, Hindu, dll), namun kami juga tidak menolak mengakui dengan penuh hormat nilai-nilai rohani dan moral dari agama/ kepercayaan di luar diri kami”.

Untuk mencapai sikap terbuka dan saling menyapa atau dialogis demikian membutuhkan beberapa syarat. Syarat pertama, kejelasan tentang apa yang mau didialogkan atau disampaikan. Syarat kedua, perlunya kelembutan hati. Artinya, kecongkakan hati, saling menyerang dan semacamnya harus ditanggalkan lalu berani untuk saling mendengarkan dengan lembut dan rendah hati. Syarat ketiga adalah kepercayaan. Kepercayaanlah yang menumbuhkan persahabatan yang semakin akrab. Lalu keempat adalah kebijaksanaan. Dengan kebijaksanaan, persahabatan antar penganut agama yang berbeda akan semakin diteguhkan (bdk. Armada Riyanto, 1995:37).

Melihat era mondialisasi dewasa ini, semua penganut agama sudah seyogiyanya membangun rasa satu dunia, dialogis dan terbuka melihat keanekaragaman agama dan budaya. Alam semesta ini pula diciptakan untuk umat manusia pada umumnya, bukan untuk umat beragama tertentu saja.

Keyakinan bahwa setiap orang berhak hidup atas kebenaran sebagaimana diyakini suara hatinya dan menampilkannya dalam hidup yang baik atau menghasilkan buah-buah kebaikan, kedamaian dan persahabatan, maka dengan keyakinan itu pula para penganut agama yang berbeda akan dapat saling menyapa dan berdialog dan lalu membangun dunia secara bersama-sama, tapi tidak lagi saling mengutuk atau memberi stigma sesat. Tapi apakah itu mungkin?

Penulis adalah alumnus STFT Widya Sasana Malang, tinggal di Jakarta.

Tulisan ini merupakan pendapat pribadi
Powered By Blogger