Trima kasih mengunjungi blog kami!

Para pengunjung yth. semua isi blog ini ditulis atau disusun atas kemauan pribadi. Itu berarti blog ini berisi aneka pendapat, pemahaman, persepsi pribadi, dan pemikiran pribadi atas lingkungan kerja dan hidup sekitarnya. Harapan kami isi blog ini bermanfaat bagi pengunjung yang memerlukannya. Salam, GBU.

Sabtu, Maret 28, 2020

Meneropong Budaya Birokrasi di Nusantara

Foto: pemerintah.net

I.          Pendahuluan
            Budaya birokrasi di Indonesia mengalami proses pembentukan melalui sejarah yang panjang. Proses itu dimulai dari kerajaan-kerajaan tradisional, dilanjutkan dengan zaman colonial, zaman pergerakan nasional, hingga zaman kemerdekaan. Dari perjalanan sejarah budaya birokrasi tersebut terdapat satu pola budaya yang masih tetap dan tidak berubah hingga sekarang. Budaya birokrasi belum berorientasi pelayanan publik, tapi masih feodal. Pola tersebut masih mempengaruhi budaya birokrasi di Indonesia hingga sekarang. Pola birokrasi dewasa ini merupakan warisan sistem birokrasi tradisional.
            Dalam paper ini, penulis mencoba meneropong budaya birokrasi nusantara melalui penelitian kepustakaan yang diawali dengan budaya birokrasi kerajaan, masa kolonial, sampai dengan pasca kemerdekaan Indonesia.

II.          Budaya Birokrasi Kerajaan
a)      Kerajaan Mataram
       Budaya Birokrasi yang menonjol dapat dilihat pada pemerintahan kerajaan Mataran kuno (Hindu-Buddha) da modern (masa Islam). Kerajaan ini merupakan representasi dari sistem pemerintahan di Jawa, bahkan di Nusantara (Setianto, 169). Masuk akal, karena pusat kerajaan berkarakter Hindu-Buddha dan Islam pada umumnya dan mayoritas berada di pulau Jawa.
       Kerajaan-kerajaan tradisional di Indonesia pada umumnya terbagi dalam dua kategori, yaitu kategori maritim dan kerajaan pedalaman atau agraris. Dalam  kerajaan maritim birokrasi ditujukan untuk melayani sebuah ekonomi perdagangan, sedangkan kerajaan agraris memfokuskan ekonomi pada pertanian.
       Pada masa kerajaan, birokrasi memainkan peranan utama dalam warisan kerajaan-kerajaan agraris. Bergerak dari lingkungan kekuasaan pusat, pegawai negeri – sebagaimana para pendahulunya dari zaman kuno – berperan memancarkan kekuasaan sampai ke propinsi yang jauh-jauh. “Aparat Negara” itu lazim disebut pamong prajai, dan merupakan miniature penguasa. Ia adalah pancaran sang raja, dan seperti halnya raja, dia pun harus menjamin keselarasan di bagian dunia (mikrokosmos) yang telah dipercayakan kepadanya. Ia merupakan “anak buah” atau “orang kepercayaan” dari atasannya, yang menguasai suatu ruang  (mikrokosmos) yang lebih besar, dan yang telah mengangkatnya secara pribadi. “Pegawai” bertugas menjaga ketertiban dengan cara apapun dan dalam bidang apapun. Dia tidak mendapat gaji tetap sedikir pun, seperti halnya raja yang tidak mempunyai anggaran rumah tangga. Ia hanya mendapat hasil bumi atau imbalan yang sejenis. Idealnya, pegawai itu hidup dari daerah kekuasaannya, seperti halnya raja yang hidup dari kerajaannya. (Lombard, 71-71).

b)      Birokrasi Pemerintahan Kerajaan
       Birokrasi pemerintahan kerajaan memikiki ciri-ciri, seperti berikut ini: (1) penguasa menganggap dan menggunakan administrasi public sebagai urusan pribadi; (2) administrasi adalah perluasan rumah tangga istananya; (3) tugas pelayanan ditujukan kepada pribadi sang raja; (4) ‘gaji’ dari raja kepada pegawai kerajaan pada hakikatnya adalah anugerah yang juga dapat ditarik sewaktu-waktu sekehendak raja; dan (5) para pejabat kerajaan dapat bertindak  sekehendak hatinya terhadap rakyat, seperti halnya yang dilakukan oleh raja (Mohtar, 45)
       Pada era kerajaan, tidak terdapat perbedaan sistem pemerintahan yang diterapkan baik di Sumatera Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Sulawesi Selatan. Daerah Istimewa Yogyakarta, misalnya, merupakan wilayah kerajaan Mataram. Wilayah kerajaan Mataram meliputi hampir seluruh pulau Jawa, bahkan sampai ke Bali dan Lombok. Dalam menjalankan pemerintahan, birokrasi kerajaan Mataram dibagi menjadi dua bagian, yakni birokrasi pemerintahan pusat (kraton) dan birokrasi pemerintahan daerah di luar kraton (mancanegara). Birokrasi pemerintahan pusat dipimpin langsung oleh raja yang berkuasa berdasarkan pada garis kekuasaan kharismatik-tradisional.
       Wilayah kekuasaan birokrasi pemerintahan daerah meliputi daerah-daerah di luar kraton dan daerah-daerah pesisir. Menurut Suwarno (Nur Hasan, 1076), pada masa kerajaan Mataram hubungan antara pemerintah pusat dan daerah bersifat  dekonsentrasi atau bahkan sentralistis. Raja berusaha menguasai birokrat (pejabat-pejabat daerah) dengan sangat ketat melalui penangkatan para keluarga kerajaan, termasuk menempatkan pejabat pengawas yang dikoordinasi oleh Wedana, bupati untuk menjamin loyalitas para pejabat di daerah kepada pemerintahan pusat.
       Pengembangan aparat kerajaan dilakukan sesuai dengan perkembangan kebutuhan raja. Di dalam pemerintahan pusat (kraton), urusan pemerintahan diserahkan kepada  empat pejabat setingkat menteri (wedana lebet) yang dikoordinasikan oleh pejabat setingkat Menteri Koordinator (pepatih lebet). Pejabat-pejabat kerajaan tersebut masing-masing membawahi pegawai (abdi dalem) yang jumlahnya cukup banyak. Daerah di luar Kraton, seperti daerah pantai (pesisiran) raja menunjuk bupati-bupati yang setia kepada raja untuk menjadi penguasa daerah. Para bupati tersebut biasanya merupakan bupati lama yang ditaklukkan raja, pemuka masyarakat setempat, atau saudara raja sendiri. Pengawasan terhadap kinerja bupati dilakukan oleh pejabat tinggi pengawas (wedana) yang ditunjuk oleh raja. Tindakan pengawasan tersebut dilakukan karena posisi bupati memiliki bawahan, yang pola hubungannya dikembangkan sama seperti hubungan antara raja dan para bawahannya (Nur Hasan, 1076).
       Setelah perjanjian Gianti tahun 1755, kerajaan Mataram terpecah menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, sistem birokrasi  pemerintahan Kesultanan Yogyakarta masih melanjutkan sistem pemerintahan kerajaan Mataram. Sultan Hamengkubuwono I mengangkat seorang pejabat setingkat perdana menteri (pepatih dalem) dalam mengurusi pemerintahan sehari-hari, sedangkan pejabat pengawas para bupati di daerah tetap dipertahankan untuk mengkoordinasi daerah kekuasaan di luar kraton (mancanegara). Susunan birokrasi pemerintahan tradisional masih diikuti oleh birokrasi kesultanan, yakni dengan membagi urusan dalam kerajaan dan urusan luar kerajaan.
       Masalah internal kerajaan diurus oleh lebaga-lembaga yang dibentuk yaitu lembaga-lembaga kementerian (kanayakan), seperti kementerian yang mengurusi yayasan dan pekerjaan umum (Kanayakan Keparak Kiwo dan Kanayakan Keparak Tangen).  Lembaga yang mengurusi penghasilan dan keuangan kerajaan dilakukan oleh Kanayakan Gedhong Kiwo dan Kanayakan Ghedong Tangen. Masalah eksternal kerajaan diurus oleh lembaga kementerian yang mengurusi tanah dan pemerintahan (praja) yaitu: Kanayakan Siti Sewu  dan Kanayakan Bumijo, sedangkan Kanayakan Penumping dan Kanayakan Numbakanyar menguasai masalah pertahanan kerajaan Kedelapan kementerian tersebut merupakan dewan menteri yang diketuai oleh pepatih dalem yang dapat disebut sebagai Perdana Menteri.Para pejabat yang memimpin kementerian  (kanayakan) disebut nayaka, dan diberikan fungsi militer. Para pejabat  pimpinan kementerian masing-masing menjadi panglima perang yang memiliki prajurit sendiri dan sewaktu-waktu dapat maju ke medan perang ketika diperlukan (Nur Hasan, 1077).
      
III.          Budaya Birokrasi Masa Kolonial
a)      Sistem paternalistik
            Budaya birokrasi pada masa pemerintahan kolonial Belanda tidak terlepas dari sistem administrasi pemerintahan yang berlangsung sebelumnya, yaitu sistem pemerintahan kerajaan. Kedatangan penguasa colonial tidak banyak mengubah sistem birokrasi dan administrasi yang berlaku di Indonesia. Sistem birokrasi pemerintahan yang dikembangkan pemerintah colonial justru sepenuhnya ditujukan untuk mendukung semakin berkembangnya pola paternalistic yang telah menjiawai budaya birokrasi pada era kerajaan.
            Sistem birokrasi yang ada tidak begitu saja dihapus oleh pemerintah colonial Belanda. Sebagai bangsa pendatang yang ingin menguasai wilayah bumi nusantara, baik secara politik maupun ekonomi, pemerintah kolonial sepenuhnya menyadari keberadaannya tidak selalu aman. Pemerintah colonial kemudian menjalin hubungan politik dengan pemerintah kerajaan yang masih disegani oleh masyarakat. Motif utama pemerintah Belanda untuk menjalin hubungan politik adalah dalam rangka berupaya menanamkan pengaruh politiknya terhadap elit politik kerajaan. (Nur Hasan, 1088).
            Setelah perang Jawa (1825-1830), Orang Belanda menentang sistem tradisional, dengan menerapkan sistem administrasi kolonial yang berdampingan dengan administrasi kerajaan. Di daerah-daerah dengan administrasi langsung, terutama yang meliputi bagian terbesar Tanah Jawa, pembentukan pemerintah colonial Belanda menimbulkan perubahan yang sangat penting. Para pegawai terputus dari segala bentuk kekuasaan raja, dengan demikian terbentuklah semacam aristokrasi otonom: sistem strategi perkawinan terus berlangsung, tetapi tidak mengacu kepada tokoh raja lagi. Terputusnya kelangsungan kekuasaan raja tradisional tidak begitu dirasakan, sebab para raja tetap berada di tampuk pemerintahan dan bahkan diijinkan memiliki tentara, meskipun kebanyakan hanya bersifat simbolis (Lombard, 76)
    
b)      Sistem Pengawasan
            Sistem pemerintahan pada masa kolonial dijalankan dengan dua sistem: administrasi kolonial (Binnenlandsche Bestuur) dan sistem administrasi tradisional (Inheemsche Bestuur). Birokrasi pemerintahan kolonial  disusun secara hirarki yang puncaknya pada Raja Belanda. Dalam mengimplementasikan kebijakan pemerintahan di negara-negara jajahan, termasuk di Indonesia, Ratu Belanda menyerahkan kepada wakilnya, yakni seorang gubernur jenderal. Kekuasaan dan kewenangan gubernur jenderal meliputi seluruh keputusan politik di wilayah negara jajahan yang dikuasainya.
            Gubernur Jenderal di negara jajahan memiliki posisi yang sangat berkuasa atas segala sesuatu urusan di wilayah jajahan. Ia dibantu oleh gubernur dan residen dalam melaksanakan tugasnya. Gubernur merupakan wakil pemerintahan pusat yang berkedudukan di Batavia untuk wilayah provinsi, sedangkan di tingkat  kabupaten terdapat asisten residen dan pengawas (controleur). Keberadaan asisten residen dan pengawas diangkat oleh gubernur jenderal untuk membantu mengawasi bupati dan wedana dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari. Sistem tersebut menjadi pembeda perilaku birokrasi daerah sebelum pemerintah kolonial Belanda berkuasa. Pada jaman kerajaan, peran bupati sebagai kepala daerah diangkat dari kalangan pribumi yang mempunyai kekuasaan otonom dalam menjalankan pemerintahan, tanpa ada pengawasan dari sultan. Pengawasann dari raja hanya ditujukan pada momen-momen politik tertentu saja, seperti tradisi menghadap raja (paseban) setiap tahun disertai dengan mengirim upeti kepada raja. Kondisi tersebut berubah pada masa pemerintahan kolonial Belanda berkuasa. Wewenang bupati dalam memerintah daerahnya tidak lagi otonom, melainkan telah dibatasi undang-undang dengan mendapat control dari pengawas yang ditunjuk oleh pemerintah pusat (Nur Hasan, 1079).
            Pemerintahan kcolonial Belanda juga melakukan pembaharuan manajemen keuangan birokrasi pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 1915, dengan mulai pemberlakuan kas keuangan kesultanan yang terlepas dari keuangan pribadi sultan. Kas kesultanan setiap tahunnya menyusun anggaran untuk membiayai jawatan-jawatan yang mengurus kepentingan umum. Anggaran belanja untuk rumah tangga istana sultan diperoleh dari uang ganti rugi yang diberikan pemerintah kolonial  yang disebut “daftar sipil” dan ditentukan dalam kontrak politik yang harus ditandatangani oleh sultan menjelang penobatannya. Dengan adanya kebijakan tersebut, praktis pengaruh sultan sendiri semakin tersingkir dari pemerintahan umum. Sultan masih tetap berperan dalam menentukan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan urusan pemerintah dalam kraton, yang masih sarat dengan adat istiadat. (Nur Hasan, 1079).
            Perubahan birokrasi pemerintahan tersebut mendorong pemerintahan colonial Belanda untuk mengadakan pula perubahan hal pemakaian tanah rakyat. Pada tahun 1918 Pemerintah kolonial mengadakan perubahan hak pemakaian tanah. Petani yang semula mempunyai hak pakai tanah secara komunal, diubah menjadi hak pakai perseorangan dan dapat diwariskan atau dijual. Keberadaan tanah lunggu dan kebekelan (tanah pemberian kepada pejabat sebagai pengganti gaji, dapat digunakan untuk hidupnya, tapi tidak dapat dijual).dan yang mengelola tanah tersebut juga turut dihapuskan. Pemerintah kolonial  kemudian membentuk kelurahan dan pengaturan pemungutan pajak, Kontrak politik tahun 1921 yang ditandatangani Sultan Hmengku Buwono VIII mengatus pemisahan secara mutlak antara penghasilan kesultanan dan penghasilan sultan yang disebut “daftar sipil” untuk membiayai rumah tangga istana (Nur Hasan, 1080).

c)      Pemerintahan sentralistik
Kebijakan pembaharuan birokrasi yang dilakukan pemeintahan kolonial tersebut merupakan salah satu bentuk upaya yang dilakukan Belanda untuk tetap mengontrol dan mengurangi birokrasi tradisional. Kebijakan tersebut sangat menguntungkan pemerintahan kolonial. Sultan sebagai pusat kekuasaan dalam birokrasi kerajaan menjadi tidak berpengaruh secara formal politik sebagai pimpinan birokrasi kerajaan.
Meskipun terjadi pembaharuan sistem birokrasi pada masa pemerintahan kolonial, secara substansial sebenarnya tidak mengubah budaya atau corak birokrasi pemerintah dalam berhubungan dengan public. Sentralisasi kekuasaan dalam birokrasi masih tetap sangat dominan dalam praktik penyelenggaraan kegiatan pemerintahan. Pembuatan berbagai keputusan dan kebijakan public oleh birokrasi pemerintah tidak pernah bergeser dari penggunaan pola top-down. Kecenderungan semakin tingginya peran pemerintah pusat dalam proses formulasi kebijakan pemerintah masih sangat mewarnai sistem pemerintahan yang terbentuk. Inisiatif dan peran dari pemerintah lokal tidak banyak berfungsi, semua inisiatif kebijakan dan otoritas formal berasal dari pemerintah pusat. Hirarki kekuasaan sangat kentara pada semua tingkat komunikasi kebijaka dalam birokrasi yang berlaku. Unit-unit yang ada dalam birokrasi di daerah secara hirarkis-formal bertanggungjawab kepada pimpinan puncak birokrasi yaitu Gubernur Jenderal Belanda. Secara politik, birokrasi di Indonesia tidak pernah diperkenalkan pada konsep dan komitmen politik untuk bertanggung jawab kepada public, sebagai cerminan akuntabilitas public dari birokrasoi pemerintah.

IV.          Budaya Birokrasi Pasca-Kemerdekaan
a)      Awal Kemerdekaan
            Sistem pemerintahan pasca kemerdekaan adalah sistem pemerintahan kolonial bersamaan dengan gerakan nasional melalui  partai nasional Indonesia, dimana para penggeraknya adalah  para intelektual, jurnalis, profesional, dokter, pengacara, guru, pegawai negeri, dan murid. Mereka menaklukkan pemerintahan kolonial dan menjadikan negara kolonial sebagai milik mereka (Priyono, 27)
            Pasca kemerdekaan, pemerintahan Indonesia menerima warisan pemerintahan kolonial Belanda. Para peawainya tidak mempunyai ikatan lagi dengan kerajaan, kecuali di Daerah Istimewa Yogyakarta, tempat mereka paling tidak secara teoritis tetap berada di bawah wewenang Sultan. Sebagian diantaranya tertarik dengan PNI, yaitu partai Soekarno, Presiden negara yang baru merdeka. Golongan pegawai itu tidak hanyta terdiri dari orang Jawad dan Sunda dengan sistem mutasinya yang sangat bermanfaat untuk mendorong pembauran etnis dan membina kesadaran nasional. Karena etnis Jawa yang paling dominan, terjadilah pemindahan pegawai ke luar Jawa. (Lombard, 77).
            Yang tidak kalah pentingnya adalah peningkatan spesialisasi yang sudah dimulai pada dasawarsa-dasawarsa terakhir jaman colonial. Sesudah Indonesia merdeka, pegawai dibedakan menurut kementerian, seperti kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan dan Kementerian Keuangan. Selain itu perlu dicatat bahwa pembentukan suatu hirarki militer yang sejajar dengan pegawa negeri sipil. Kaum militer menganggap dirinya sebagai kaum priyayi lama dan menuntut hak istimewa, yang tampak dalam “dwifungsi” artinya militer melibatkan tugas selain di bidang keamanan, tetapi juga di bidang  pengelolaan perusahaan atau administrasi territorial (Lombard, 77,80).

b)      Era Sentralistik (Orde Baru)
            Pola pemerintahan masa Orde Baru masih mengadopsi sistem pemerintahan Kolonial Belanda. Untuk memperkuat wewenang negara sampai ke desa-desa, serta meningkatkan keterampilan pegawai negeri, pemerintahan Orde Baru mengambil alih konsep “dwifungsi” dengan menyerahkan kepada pihak militer sejumlah jabatan penting yang sampai saat itu masih diduduki oleh kaum sipil. Pada masa Orde Baru juga program “ABRI masuk Desa” dilaksanakan di daerah pedesaan guna membantu pengawasan keamanan dan ketertiban (Lombard, 80).
            Pada Orde Baru, peranann hubungan anta-individu dan terutama jaringan-jaringan klien mewarnai hubungan pegawai negeri dengan atasan maupun dengan bawahannya. Salah satu kunci sistem kepegawaian itu adalah apa yang disebut dengan asas kekeluargaan. Setiap bagian administrasi dilihat secara kekeluargaan, dan hubungan-hubungannya mencontoh hubungan ayah-anak.
            Selain itu, perllu dicatat menurut Lombard (Lombard, 81) kebiasaan korupsi pegawai sebetulnya merupakan warisan masa lampau, karena para pegawai tidak memperoleh ggaji yang tetap. Karena gaji yang tetap rendah, sekalipun diadakan kenaikan-kenaikan oleh pemerintahan Orde Baru, boleh dikatakan bahwa orang masih perlu melakukan korupsi. Bahkan kadang-kadang korupsi dikatakan “agak bermoral”, karena uang pelicinnya amat bervariasi tergantung besar-kecilnya nilai proyek yang bersangkutan.
            Korupsi secara structural juga dapat diakibatkanoleh adanya faktor dominannya posisi birokrasi pemerintah sebagai sumber utama penyedia barang, jasa, lapangan kerja, dan sebagai pengatur kegiatan ekonomi. Dominasi negara yang mengerdilkan kekuatan lain dalam masyarakat menjadikan birokrasi menguasai sebagian besar informasi kebijakan untuk mempengaruhi opini public. Hal ini juga disebabkan adanya ketimpangan antara birokrat dan rakyat dalam hal status, pendidikan, dan kepemilikan informasi (Nur Hasan, 1086).

c)      Era Desentralisasi
Budaya birokrasi di Indonesia mengalami perubahan dengan pemberian otonomi kepada penguasa lokal. Tetapi polanya sama, birokrasi melayani kepentingan pusat. Pemberian otonomi kepada penguasa lokal bukan dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan birokrasi kepada masyarakat, melainkan lebih atas dasar kepentingan politik kekuasaan. Para pejabat birokrasi lokal bagaikan raja-raja kecil yang mempunyai kekuasaan dan kedaulatan wilayah, serta dapat memaksakan kehendaknya kepada masyarakat. Tindakan apapun yang dilakukan pejabat birokrasi lokal terhadap rakyatnya tidak pernah mendapat teguran dari pemerintahan pusat, sepanjang pemerintah lokal memenuhi kewajibannya untuk loyal kepada pemerintahan pusat seperti upeti atau pajak secara teratur.
Berkaca pada pemerintahan kolonial, peran dan kedudukan  bupati misalnya, menjadi abdi pemerintah Belanda, bupati mementingkan kepentingan pemerintah pusat. Para bupati juga berfungsi sebagai agen bagi pemenuhan ambisi politik dan kepentingan pemerintah kolonial Belanda.
Berkembangnya sikap feodalisme di dalam birokrasi kolonial, membawa berbagai konsekuensi terhadap penyelenggaraan pelayanan public. Akuntabilitas birokrasi hanya ditujukan kepada pejabat atasnya, bukannya kepada public. Demikian pula loyalitas dan pertanggungjawaban aparat di tingkat bawah semata-mata hanya ditujukan kepada pejabat di atasnya. Prestasi kerja seorang aparat birokrasi di mata pimpinan hanya dilihat dari kriteria seberapa loyalitasnya kepada pimpinan. Aparat birokrasi di tingkat bawah hanya berupaya selalu menjaga kepuasan pimpinan sehingga memunculkan budaya kerja yang selalu menyenangkan pimpinan seperti membuat laporan kerja yang cenderung menyenangkan pimpinan tanpa berdasarkan fakta, berlomba-lomba menghormati pimpinan secara berlebihan guna mengambil hati pimpinan dan lain sebagainya Nur Hasan, 1084)
Pembentukan etos kerja juga mengalami feodalisasi, seperti dalam penyelesaian tugas hanya berorientasi pada petunjuk pimpinan, tumbuhnya image bahwa pimpinan selalu bertindak benar, pimpinan tidak dapat disalahkan, tetapi sebaliknya seorang bawahan yang dianggap tidak mampu menerjemahkan kehendak pimpinan, dan berbagai sikap yang memperlihatkan adanya kultur marjinalisme di kalangan aparat birokasi bawah, dengan gampang disalahkan. Demikian juga, aparat bawah yang berbeda pendapat dengan pimpinan tidak mendapat tempat di mata pimpinan.
            Faktor kultural dalam maayarakat Indonesia pada umumnya cenderung kondusif untuk mendorong terjadinya korupsi, seperti adanya nilai atau tradisi pemberian hadiah kepada pejabat pemerintah. Tindakan tersebut bagi masyarakat Eropa atau Amerika dianggap sebagai tindak korupsi, tetapi bagi masyarakat di Asia, seperti Indonesia, Korea Selatan, atau Thailand dianggap bukan merupakan tindakan korupsi. Bahkan dalam kultur Jawa pemebrian tersebut dianggap sebagai bentuk pemenuhan kewajiban oleh bawahan (kawula) kepada rajanya (Gusti). Akar kultur pada masyarakat Indonesia yang nepotism juga telah memberikan dorongan bagi terjadinya tindak korupsi. Masyarakat Jawa dan Indonesia pada umumnya sangat mementingkan kelluarga besar atau keturunan. Seorang pejabat yang mendapat desakan dari saudaranya untuk memberikan dispensasi atau kemudahan akses pelayanan akan sangat sulit menolaknya. Penolakan dapat diartikan sebagai pengingkaran terhadap kewajiban tradisional (Nur Hasan, 1085).
d)      Era Reformasi
Pasca runtuhnya rezim Orde Baru dan akibat buruk budaya birokrasi pemerintahan sebagai warisan kolonial, ada tuntutan dan kebutuhan untuk melakukan Reformasi Birokrasi secara nasional. Tuntutan reformasi birokrasi dilatarbelakangi rendahnya budaya birokrasi yang tidak berorientasi pelayan publik.
Sejak masa pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono, reformasi birokrasi menjadi agenda pembangunan yang penting. Kebijakan tentang cetak biru manajemen birokrasi yang modern, bersih, dan profesional lahir pada masa kepresidenannya. SBY getol mendorong lahirnya rupa-rupa regulasi administrasi tata pemerintahan dan kepegawaian negara.
Ada UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) yang berisi prinsip pengembangan dan tata kelola birokrasi modern dan berintegritas. Ada UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang memagari kemungkinan penyalahgunaan wewenang oleh pegawai negeri sipil. Ada juga Desain Besar Reformasi Birokrasi 2010-2025 yang masih relevan hingga hari ini.
Pada hakekatnya negara Indonesia mempunyai tujuan seperti diatur dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan bangsa serta menjaga ketertiban dunia.. Dalam mewujudkan tujuan tersebut dibutuhkan birokrasi dan aparatnya yang baik agar terjadi efisiensi dan efektivitas pemerintahan.  

V.          Catatan Penutup    
       Budaya birokrasi kerajaan dan birokrasi pemerintahan kolonial, merupakan warisan budaya birokrasi Indonesia. Sistem birokrasi pada era kerajaan masih menjiwai era pemerintaha kolonial Belanda. Meskipun terjadi pembaharuan sistem birokrasi pada masa kolonial, secara substansial sebenarnya tidak mengubah budaya birokrasi pemerintah dalam hubungannya dengan public. Sentralisasi kekuasaan dalam birokrasi masih tetap dominan dala praktik penyelenggaraan kegiatan pemerintahan. Pembuatan berbagai keputusan dan kebijakan publik oleh pemerintah tidak pernah bergeser dari penggunaan pola top-down. Substansi dari persoalan korupsi dalam birokrasi pada dasarnya masih merupakan bagian dari feodalisme yang terus dipelihara dalam sistem birokrasi.
       Ada sebuah harapan, yaitu pelaksanaan reformasi birokrasi guna mewujudkan pemerintahan berbasis pelayanan publik yang berintegritas, profesional dan  inovatif. Reformasi Birokrasi yang sudah berjalan merupakan proses yang lama guna mencapai tujuan yang diharapkan. Perlu keseriusan pemerintah dan dukungan masyarakat dalam mewujudkan reformasi birokrasi pemerintahan. Semoga.

***

Daftar Pustaka
Denys Lombard, Nusa Jawa:  Silang Budaya – Warisan Kerajan-Kerajaan Konsentris, Buku 3, Gramedia Pustaka Utama, 2005
B. Herry-Priyono, The Dutch Colonial State and the Rise of Nationalist Movement in Indonesia, London, 1996
Hasan, Nur, Corak Budaya Birokrasi pada Masa Kerajaan, Kolonial Belanda Hingga di Era Desentralisasi dalam Pelayanan Hukum, Jurnal Hukum, Vol. XXVIII, No. 2 Desember 2012, Unissula  Semarang, 2012
Setianto, Yudi, Birokrasi Tradisional di Jawa dalam Perspekif Sejarah, Jurnal Paramita Vol.20 No. 2 – Juli 2010,Hal. 169-177
Mas’oed, Mohtar, Politik, Birokrasi dan Pembangunan, Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 1994

Senin, September 23, 2019

Menggali Nilai-Nilai Lokal Nusantara


foto: pormadi
Buku ini berisi nilai-nilai kebijaksanaan lokal yang sudah lama tertanam dalam alam pikiran dan jiwa bangsa Indonesia. Menurut Soekarno, Pancasila adalah Philosophische Grondslag yaitu fundamen yang sedalam-dalamnya. Dia juga jiwa, hasrat yang sedalamdalamnya tempat didirikan gedung Indonesia merdeka yang kekal dan abadi (hal14).

Makna “sedalamdalamnya” dikembangkan dalam buku ini. Kedalaman hasrat, jiwa, dan filsafat bangsa inilah yang menjadi fondasi Indonesia merdeka sehingga lestari sepanjang masa.

Buku Kearifan Lokal-Pancasila, Butir-butir Filsafat Keindonesiaan salah satu kontribusi dan harapan sebagai pemicu untuk mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila. Nilai-nilai lokalitas dan kedaerahan diangkat untuk mengayakan, meluaskan, dan mengaktualisasikan cakrawala pengertian nilai-nilai Pancasila. Kearifan lokal digali dari budaya Nusantara, sehingga menampakkan “konsep filsafat keindonesiaan”.

Butirbutir kebijaksanan, antara lain berasal dari Jawa, Batak Toba, Manggarai, Minahasa, Sunda, Dayak, Bali, Toraja, dan Papua. Kearifan lokal tersebut selaras dengan Pancasila sebagai perekat bangsa yang digali Soekarno. Ini mulai dari nilai ketuhanan, kemanusiaan, kebersatuan, musyawarah, demokrasi serta tata keadilan. Itulah butir-butir emas filsafat keindonesiaan.

Ambil contoh kearifan lokal dari Papua: Pandangan tentang Alam/ Tanah. Bagi orang Papua, alam atau tanah dilihat sebagai supermal tempat mengambil hasil alam demi kelangsungan hidup. Tanah dipandang sebagai tempat berkebun dan mencuci. Tanah juga sebagai ibu yang melahirkan, membesarkan serta sebagai identitas diri. Maka, lingkungan alam harus dijaga dan dirawat (hal 496).

Kearifan lainnya, penyelesaian sengketa melalui bakar batu untuk harmoni dan keadilan. Sengketa bahkan peperangan menjadi bagian tak terpisahkan dalam pengalaman hidup harian orang Papua. Ada siklus: berkelahi, membayar denda, berdamai, bakar batu, lalu makan bersama. Masalah sudah selesai.

Denda dilihat sebagai ganti rugi atas penderitaan korban. Nilai yang digali harmoni, etos kesederajatan dan keadilan sebagai sesama manusia (hal 498). Para penulis kebanyakan berlatar belakang pendidikan filsafat, sehingga dalam pencarian akan kebijaksanaan lokal tidak diragukan. Belum seluruh kearifan lokal Indonesia bisa dijangkau buku ini karena keterbatasan ruang dan jangkauan.

Ada pesan tersirat ke depan yang menantang pembaca untuk mencari dan menggali kearifankearifan lokal yang masih tersebar di Nusantara untuk ditampilkan ke hadapan publik. Buku merupakan kontribusi para penulis dalam rangka memperkaya dan memperluas cakrawala pemahaman nilai-nilai Pancasila.

Buku ini perlu dibaca warga yang berkehendak baik agar Indonesia tetap berdiri di atas Pancasila sebagai dasar negara.

Diresensi Pormadi Simbolon, mahasiswa pascasarjana STF Driyarkara Jakarta

Senin, September 16, 2019

Sang Uskup Pancasila Menjadi Kardinal

foto: pormadi

Oleh: Pormadi Simbolon

Paus Fransiskus telah me­nunjuk dan me­ngangkat Monsignor (Mgr) Ignatius Su­­haryo yang sekarang se­dang me­ng­abdi sebagai Uskup Agung Jakarta men­jadi Kardinal (Minggu, 1 September 2019) bagi bangsa Indonesia. Figur Ignatius Suharyo, yang kerap disebut "uskup Pancasila" sekarang sudah dipilih menjadi Kardinal.

Dalam tradisi Katolik, kardinal adalah sebuah gelar rohani sangat tua yang secara hirarkis berada langsung dalam ling­karan Paus sebagai pemimpin ter­ti­nggi Gereja Katolik Sedunia. Para kar­dinal dipilih dan diangkat oleh Paus. Ini merupakan hak prerogatif Paus. Tu­juannya mendukung Paus dalam menja­lankan tugas kepausannya me­mimpin Gereja Katolik, baik secara individu, maupun secara kollegium.

Dilihat dari tugasnya, para kardinal menjalankan tugas dari memimpin perkantoran-perkantoran kuria di Vati­kan, hingga pemimpin gereja lokal ne­gara masing-masing dan penasihat ge­reja lokal. Tugas utama paling menonjol para kardinal adalah memilih paus yang baru. Ketika terjadi kekosongan jabatan paus di Roma, para kardinal sebagai kolle­gium memimpin roda pemerintahan Ge­reja Katolik. Para kardinal juga me­miliki hak dipilih menjadi Paus.

Kardinal ketiga Indonesia

Mgr Ignatius Suharyo yang juga men­jabat sebagai Ketua Presidium Kon­fe­rensi Waligereja Indonesia merupakan kar­­dinal ketiga Indonesia. Kardinal kedua adalah Mgr Julius Darmaatmadja yang ditunjuk pada tahun 1994 saat men­jabat Uskup Agung Semarang. Kardinal per­tama adalah Mgr Justinus Darmo­ju­wono yang dilantik pada 1967 di sela tugasnya tugasnya sebagai Uskup Agung Semarang pada 1963-1981.

Bangsa Indonesia sangat bersyukur atas terpilihnya Ignatius Suharyo men­jadi kardinal. Menteri Agama RI, Luk­man Hakim Saifuddin mengucapkan se­la­mat atas pengangkatan Ignatius Su­har­yo sebagai kardinal dan berharap men­jadi berkah bagi bangsa Indonesia. Uca­pan selamat juga datang dari tokoh na­sional, H Ahmad Syafii Maarif.

Semangat Menjaga Pancasila

Menurut Adi Prasojo, Sekretaris Ke­uskupn Agung Jakarta, keterpilihan Mgr Ign­asius Suharyo merupakan buah dari kepemimpinannya selama ini (Jawa Pos,3/9). Bagi umat Katolik Keuskupan Agung Jakarta, Uskup Suharyo sering digelari “Sang Uskup Pancasila”. Me­ngapa tidak, dialah yang menggagas agar umat Katolik Keuskupan Agung Jakarta menjadi persekutuan dan gerakan umat Allah, bercita-cita menjadi pembawa su­kacita injil dalam mewujudkan Kerajaan Allah yang Maharahim dengan menga­mal­kan Pancasila demi keselamatan ma­nusia dan keutuhan ciptaan (Arah Dasar KAJ 2016-2020)

Penulis, merupakan salah satu umat Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) sangat merasakan betapa Mgr Suharyo men­cintai tanah air Indonesia dan menjaga Pancasila. Uskup yang rendah hati ini dengan penuh semangat mengajak umat Keuskupan Agung Jakarta yang ber­jum­lah 499.485 jiwa (2014) menga­mal­kan Pancasila mulai sari sila pertama sampai de­ngan sila kelima dari tahun 2016 sampai dengan 2020.

Tahun 2016 umat Katolik KAJ diajak merefleksikan dan mengamalkan sila Per­tama Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Tema yang menjadi ba­han permenungan umat mulai dari ting­kat keuskupan, paroki hingga ling­ku­ngan (komunitas basis) adalah Amalkan Pan­casila: Kerahiman Allah Memer­de­kakan”.

Kemudian tahun 2017 umat Katolik KAJ bersama-sama mendalami sila ke­dua Pancasila, yaitu Kemanusiaan yang adil dan beradab. Harapannya, dengan meng­hayati sila kedua tersebut, umat ma­kin adil terhadap sesama, makin beradab. Semboyannya, Makin Adil, Makin Beradab.

Sila ketiga, yaitu Persatuan Indonesia dihayati pada 2018. Persatuan Indonesia adalah cita-cita bersama karena rea­litasnya bangsa Indonesia adalah ma­je­muk. Umat diajak agar menghayati per­satuan Indonesia dengan semboyan: Amalkan Pancasila, Kita Bhinneka, Kita Indonesia.

Pada tahun 2019 yang juga merupa­kan tahun pemilihan umum di Indonesia, Uskup Suharyo mengajak umat Katolik KAJ untuk mengamalkan sila ke­­empat yaitu Kerakyatan yang dipim­pin oleh hikmat kebijaksanaan dalam per­musyawaratan/perwakilan. Tema yang ditetapkan adalah Amalkan Panca­sila, Kita Berhikmat, Bangsa Ber­mar­ta­bat. Menurut Suharyo, berhikmat dalam bahasa Pancasila, sama dengan menjadi semakin sempurna dalam kesucian dalam bahasa Gereja Katolik.

Bagi Mgr Suharyo, sila pertama, ke­dua dan ketiga merupakan nilai-nilai yang menjiwai demokrasi di Indonesia. Sila keempat merupakan prosedur de­mo­krasi, dan sila kelima merupakan tujuan demokrasi, yaitu mewujudkan kesejah­teraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Tidak berlebihan karena gagasan dan cintanya pada Pancasila dan Indonesia, Mgr Suharyo kerapkali digelari “Sang Uskup Pancasila”. Bagi Mgr Suharyo, da­lam sejarah perjalanan bangsa ini, Pancasila sudah teruji dan ampuh dalam menjaga persatuan dan kerukunan nasional.

Anugerah bagi Indonesia

Dalam konteks Indonesia yang sudah 74 tahun merdeka, figur penjaga dan penegak Pancasila seperti Mgr Suharyo merupakan anugerah besar dan teladan. Indonesia dewasa ini butuh figur-figur penjaga Pancasila. Dewasa ini, gagasan men­gamalkan dan menjaga Pancasila sangat relevan dan aktual digemakan di te­ngah situasi terjadinya kemerosotan da­lam pengetahuan, pengamalan dan pe­ng­hayatan Pancasila hingga dewasa ini. Maraknya berita hoaks, ujaran keben­cian, fitnah, intoleransi ujaran ra­si­s­me dan perpecahan di tengah masya­ra­kat merupakan hal yang sepatutnya tidak terjadi jika Pancasila sudah diamalkan.

Karena kecintaannya pada tanah air dan Indonesia yang pancasilais, Uskup Su­har­yo sebagai Ketua Presidium Kon­ferensi Waligereja Indonesia ikut hadir menandatangani Deklarasi Umat Ber­agama di Jakarta (Senin, 21/2015). Da­lam kesempatan itu, Uskup Suharyo me­nga­takan bahwa “dengan menjaga Pan­casila, kita ikut menjaga kerukunan. Pan­ca­sila adalah landasan kuat dan men­dasar dalam menjaga harmoni dalam NKRI”.

Penulis ikut menyaksikan penanda­ta­nga­nan deklarasi tersebut pada acara yang diselenggarakan Kementerian Dalam Negeri empat tahun lalu dengan mak­sud sebagai upaya sinergi pemerin­tah dan majelis-majelis agama dalam mewujudkan kerukunan umat beragama.

Bangsa Indonesia bersyukur dan bergembira memiliki salah satu putera terbaik bangsa, Mgr Ignatius Suharyo, “Sang Uskup Pancasila” diangkat men­jadi kardinal. Kardinal bertugas bagi ba­ngsa dan Gereja Katolik Indonesia dalam menghadirkan keselamatan semua orang dan keutuhan ciptaan-Nya. Semoga ke­ha­diran Kardinal menjadi berkah bagi Indonesia.***

Penulis adalah umat KAJ dan mahasiswa pascasarjana STF Driyarkara Jakarta

Sumber:  Harian Analisa

Kamis, September 12, 2019

Herbert Marcuse dan Budaya Masyarakat Kapitalis Maju (Kritisisme atas kebudayaan)

foto: wikipedia.org
Pendahuluhan

Herbert Marcuse (1898-1979), salah satu anggota Mazhab Frankfurt, merupakan filosof dan berkarya pada Institute Penelitian Ilmu-ilmu Sosial. Dalam karyanya yang paling terkenal, One-Dimensional Man, 1964, Marcuse menganalisis kebudayaan masyarakat industri (kapitalis) maju. Analisanya didasarkan pada dua pengandaian. Pertama, bahwa manusia masyarakat industri maju sudah sama sekali terasing dari dirinya sendiri karena seluruhnya menyesuaikan diri dengan tuntutan efisiensi sistem produksi kapitalis. Kedua, bahwa dalam masyarakat industri maju tidak ada lagi kelas-kelas sosial yang menentang sistem, jadi bahwa dimensi kedua, bagian masyarakat yang menentang sistem, sudah tidak ada. Inti kritik Marcuse terhadap masyarakat industri maju adalah bahwa di dalamnya dimensi negatif disingkirkan, yang ada adalah dimensi afirmatif pada sistem yang berlaku. Berikut akan dibahas pemikiran Herbert Marcuse, dimulai dari masyarakat berdimensi satu, rasionlitas irasional, desublimasi represif, dimensi-dimensi desublimasi, de-erotisasi, Bahasa berdimensi satu, peran filsafat, budaya dan seni, the great refusal, dan diakhiri dengan catatan atas kritik Marcuse.

Manusia Berdimensi Satu: Kritik terhadap Masyarakat Kapitalis Maju

Melalui tulisan Marcuse dalam bukunya One Dimensional Man (1964), kekeroposan rasionalitas industri maju tampak di hadapan mata. Meskipun abstrak, banyak mengulang-ulang dan tidak disusun menurut suatu logika yang jelas, analisis-analisisnya tepat kena pada jantung permasalahan masyarakat kapitalis. Ekonomi pasar kapitalis tidak mampu memecahkkan masalah yang disebabkannya seperti masalah kemiskinan internasional, jurang antara negara kaya miskin menjadi lebih tajam, meskipun kaya raya, negara-negara kaya semakin tidak mampu menjamin hari tua warganya, dan tentu perubahan iklim.

Pada konteks jaman Marcuse, irasionalitas justru itu belum terlihat jelas. Masyarakat-masyarakat Barat justru merasa paling berhasil, paling puas diri, dan paling optimis. Kemiskinan terasa mulai teratasi. Kelas buruh industri semakin sejahtera, “negara sejahtera” menjamin bahwa taka da lagi orang terlantar. Masyarakat itulah yang dikritik Marcuse.


Masyarakat Berdimensi Satu

Inti kritik Marcuse terhadap masyarakat industri maju adalah bahwa di dalamnya dimensi negatif disingkirkan. Dalam semua masyarakat terdapat ada dua dimensi: dimensi afirmasi dann dimensi negatif. Dimensi afirmatif adalah semua unsur yang membenarkan dan mendukung kekuasaan yang bersangkutan. Sedangkan dimensi negatif adalah unsur-unsur yang menentang struktur-struktur masyarakat. Dimensi negatif itu penting: mengikuti Hegel dan Marxisme, Marcuse berpendapat bahwa “kekuatan negatiflah yang menentukan pengembangan pemikiran” dan dengan demikian memajukan masyarakat[1].

Menurut Marcuse, masyarakat industri maju berhasil mengintegrasikan unsur-unsur negatif sedemikian rupa sehingga malah mendukung sistem. Caranya adalah: ia menciptakan “produktivitas luar biasa dan standar hidup yang semakin tinggi. Maka dalam masyarakat industri maju, tidak ada unsur revolusioner lagi. Meskipun demikian, oposisi tetap ada, tetapi tidak lagi perlu ditindas, melainkan diberi ruang dan menjadi unsur dalam sistem yang ada, jadi tidak mengancamnya. Dengan demikian, semua ekspresi masyarakat industri maju menjadi satu dimensi yaitu afirmatif, membenarkan, dan memperkuat sistem kekuasaan yang ada.

Rasionalitas Irasional

Menurut Marcuse, masyarakat industri maju dapat mengintegrasikan seluruh dimensi negatif melalui manipulasi dua nilai paling khas bagi modernitas: rasionalitas dan kebebasan. Menurut Marcuse, meskipun masyarakat industri maju sebenarnya “tidak rasional” dan tidak membebaskan, namun ia kelihatan rasional dan bebas.

Mengikuti Max Weber, sebuah proses disebut rasional apabila yang “tercapai adalah hasil paling optimal dibandingkan dengan sarana-sarana yang dipakai. Dari sudut itu, masyarakat industri maju kelihatan sangat rasional. Untuk pertama kalinya dalam sejarah kelangkaan yang selalu menimpa bagian terbesar umat manusia berhasil diatasi. Kaum proletariat yang dulu selalu terancam kemiskinan dan kelaparan sekarang tidak hanya dapat makan cukup tetapi semakin menikmati konsumsi produk-produk yang dihasilkan oleh perekonomian kapitalis. Sistem perekonomian kapitalis berkesan rasional karena berjanji akan menjamin tingkat hidup yang semakin tinggi bagi semua.

Dalam masyarakat industri maju, masyarakat bisa menikmati kebebasan: kebebasan bergerak dan pergi ke mana-mana, kebebasan berpendapat, berkumpul dan berserikat, berpartisipasi dalam demokrasi, kebebasan beragama, berpikir dan mencari informasi, dan lain sebagainya. Kebebasan itu terasa begitu luas karena masyarakat industri maju tidak menindas atau melarangnya, melainkan membiarkannya, seraya mengintegrasikannya secara halus.

Marcuse berpendapat bahwa masyarakat secara keseluruhan dinilai menyenangkan karena para warga masyarakat memang merasa kebutuhan mereka terpenuhi, akan tetapi kebutuhan-kebutuhan itu sudah dimanipulasi oleh rasionalitas teknologis di mana yang rasional adalah kesesuaian dengan tuntutan efisiensi sistem produksi kapitalis. Tuduhan inti Marcuse adalah masyarakat industri maju sudah memanipulasikan kebutuhan-kebutuhan para warganya.

Kebutuhan manusia yang sebenarnya adalah agar ia dapat menentukan diri sendiri dan membangun hubungan antar-manusia yang tidak terasing, jadi untuk mengembangkan diri dan menjalin hubungan dengan orang lain atas dasar orang saling meminati dan saling menghormati martabatnya. Tetapi dalam masyarakat industri maju kebutuhan manusia yang sebenarnya itu sudah tertimbun oleh kebutuhan yang dirangsang oleh segala macam promosi dan iklan, oleh irama di tempat kerja, oleh sistem lalu lintas, oleh media, dan oleh mekanisme pasar. Hasil manipulasi itu adalah bahwa manusia sepertinya latah ingin membeli apa yang dilemparkan ke pasar. Hubungan dengan orang lain semakin terasing karena fungsinya dalam sistem produksi, sebagai sarana agar saya dapat berfungsi dalam rasionalitas teknologis sistem produksi kapitalis. Rasionalitas teknologis ternyata irasional.

Begitu pula rasa bebas manusia dalam masyarakat maju bersifat semu. Manusia sebenarnya tidak menentukan diri, melainkan dimanipulasi dan dengan demikian justru tunduk di bawah kediktatoran efisiensi sistem perekonomian kapitalis. Manusia juga tidak peduli, selama ia bisa berkonsumsi. “Tidak ada alasan untuk menuntut penentuan diri apabila hidup yang diatur merupakan hidup yang enak dan bahkan baik”[2].

Kritik Marcuse ini berdasarkan sebuah distingsi yang merupakan kunci untuk memahaminya, yaitu antara “kebutuhan benar dan palsu”[3]. Kebutuhan palsu adalah kebutuhan yang dimanipulasikan, di mana manusia merasakan membutuhkan sesuatu yang sebenarnya justru tidak dibutuhkan. yaitu untuk menjadi manusia utuh. Untuk menunjukkan ketidakbenaran masyarakat industri maju, Marcuse menunjuk pada kekerasan yang berlangsung di dalamnya, meskipun secara tersembunyi. “Produktivitasnya merusak pengembangan bebas kebutuhan-kebutuhan dan bakat-bakat manusia, perdamaiannya dipertahankan melalui ancaman perang”[4], “kemewahan sangat berlebihan dan pembatadan produktivitas, kebutuhan ekspansi agresif, ancaman perang terus-menerus, pengisapan yang semakin tajam, dehumanisasi[5].

Menurut Marcuse, cara masyarakat industri maju mampu memanipulasikan anggota-anggota sedemikian total melalui suatu mekanisme yang disebutnya “desublimasi represif”.

Desublimasi represif

Dalam teori psikoanalisis Sigmund Freud, pengembangan kebudayaan dijelaskan sebagai sublimasi dorongan-dorongan naluri manusia, khususnya seksualitas. Freud beranggapan bahwa melalui “pengalihan dorongan-dorongan seksual dari sasaran-sasaran seksual dan pengarahannya ke sasaran-sasaran baru, dimulailah proses yang pantas disebut sublimasi, dimana diperoleh komponen-komponen kuat untuk menciptakan kebudayaan[6]. Pendek kata, kebudayaan adalah hasil sublimasi seksualitas manusia. Pengalihan energi dorongan-dorongan instingtual menghasilkan energi psikis yang memampukan manusia menciptakan prestasi intelektual dan kultural.

Dengan memilih istilah desublimasi[7], Marcuse mau mengatakan bahwa dalam masyarakat industri maju proses itu dibalik. Energi psikis yang ada di belakang cita-cita intelektual dan kultural dialihkan kembali menjadi dorongan instingtual untuk menyesuaikan diri dengan kepentingan sistem kapitalisme maju. Cita-cita manusia mengalami pengosongan dan berubah menjadi dorongan psikis untuk berfungsi penuh dalam sistem produksi kapitalis. Rasionalitas manusia diciutkan menjadi rasionalitas teknologis semata-mata. Manusia tidak lagi hidup dan berusaha menurut cita-citanya, melainkan sekarang ia bercita-cita untuk menjadi salah satu roda gigi dalam pelancaran proses produksi kapitalisme. Ia justru merasa bahagia kalai ia seluruhnya “sesuai” dan trendy. Dengan demikian dimensi kedua, dimensi kritis, kemampuan untuk mengambil jarak dan berprotes, tersingkir.

Dengan desublimasi itu, masyarakat industri maju berhasil mengatasi apa yang oleh Hegel disebut “kesadaran yang tidak bahagia”[8]. Menurut Hegel, manusia merasa resah secara mendalam begitu ia menyadari bahwa realitas di dalamnya ia hidup berbeda dari cita-citanya. Kesadaran tidak bahagia itu amat penting karena dengan demikian manusia sadar bahwa ada yang tidak beres, sekaligus ia terdorong untuk berpikir. Dalam filsafat Hegel kesadaran-tak-bahagia melahirkan akal budi.

Marcuse menegaskan bahwa sublimasi itu represif. Sublimasi itu menindas cita-cita manusia yang sebenarnya. Hanya ia tidak sadar akan represi itu karena dilaksanakan secara halus, dengan memanipulasikan naluri-nalurinya. Dengan demikian, oposisi tidak bisa mengancam sistem itu sendiri.

Dimensi-dimensi Desublimasi

Desublimasi menyangkut seluruh kemampuan seluruh kemampuan luhur manusia. Manipulasi kebutuhan manusia yaitu bahwa manusia dalam masyarakat industri maju tidak lagi tahu apa yang sebenarnya ia inginkan, karena ia sudah dikerjakan sehingga ia “butuh” kelihatan trendy, sesuai dengan trend, butuh berpakaian, berkendaraan, bergaul, berpembawaan seperti model-model dalam iklan. Dengan demikian, dua kebutuhan paling dasar manusia, kebutuhan mengembangkan diri sesuai dengan cita-citanya sendiri dan kebutuhan akan hubungan dengan orang-orang yang betul-betul diminati sudah tertimbun. Manusia menjadi terasing dari dirinya.

De-erotisasi

Istilah “erotis” hampir sama artinya dengan “seksual”. Tetapi, penyamaan itu justru membuktikan desublimasi kemanusiaan. Ketertarikan seksual sebenarnya hanya salah satu unsur dalam ketertarikan erotis antar manusia. “Erotis” – sebagaimana dimaksud oleh Marcuse – berarti bahwa orang lain diminati pada dirinya sendiri dan bukan hanya sebagai pembawa salah satu fungsi. Maka, yang dituntut oleh sistem produksi adalah orang yang telah menyingkirkan segala unsur personal dan berfokus pada fungsinya.

Dengan demikian, alienasi hubungan antar manusia menjadi lengkap. Kita membutuhkan orang lain, tetapi tidak lagi demi dia itu sendiri, melainkan atau sebagai rekan pelaku fungsi-fungsi dalam sistem atau sebagai sarana pemenuhan kebutuhan seksual. Kebutuhan seksual sendiri justru mudah dimanipulasi – sebagian besar iklan memanfaatkan ketertarikan seksual – sehingga manusia semakin mudah dapat dimanipulasi. Itulah latarbelakang seksualisasi yang meresapi seluruh kebudayaan industri maju.

Bahasa Dioperasionalkan

Penyingkiran dimensi kedua didukung oleh manipulasi bahasa. Bahasa dimanipulasi sedemikian rupa hingga dwi-dimensionalitasnya hilang. Sebenarnya bahasa secara hakiki bersifat dwi-dimensional karena bahasa senantiasa melampauai fakta-fakta. Selalu ada “konflik antara konsep dan fakta terberi”[9]. Fakta tidak pernah memadai dengan konsep dan karena itu konsep membuka kekurangan setiap faktisitas.

Tetapi masyarakat industri maju telah menyingkirkan unsur-unsur transenden[10], unsur-unsur yang melampauai yang terberi itu. Dengan demikian manusia juga “berpikir berdimensi satu”. Sarana penghilangan dimensi dua dalam bahasa adalah operasionalisme[11]. Dengan demikian terjemahan paham umum ke dalam paham operasional menjadi pembatasan represif pemikiran. Pemakaian singkatan bisa mempunyai efek yang sama. “Singkatan dapat membantu untuk menyingkirkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak diinginkan”[12]. Marcuse menunjuk pada kenyataan bahwa “lembaga kebebasan berbicara dan berpikir (yang dijamin dalam masyarakat industri maju) tidak mempersulit penyesuaian kerohanian dengan realitas yang sudah dimantapkan (oleh sistem, istilah Franz Magnis Susesno), jadi dengan faktualitas.

Desublimasi itu sangat kelihatan dalam politik, di mana nilai-nilai seperti “kemerdekaan”, “perdamaian”, “keadilan”, “demi rakyat”, “kepentingan nasional”, atau “toleransi” didefinisikan sesuai dengan kepentingan sistem perekonomian kapitalis. Segi represif desublimasi itu kelihatan karena orang tidak menyesuaikan diri, jadi yang betul-betul menolak Bahasa yang sudah dimanipulasi, tidak akan diberi kesempatan untuk mempublikasikan pemikirannya, misalnya dengan alasan bahwa pemikirannya “aneh”, atau “sulit ditangkap maksudnya”, jadi ia akan disingkirkan.


Filsafat Masih Kritis?

Filsafat sebenarnya sejak semula merupakan kekuatan lawan yang ampuh. Filsafat memiliki “tugas historis untuk mencairkan, bahkan menghancurkan secara intelektual fakta-fakta terberi”[13]. Filsafat “mendekati tujuan itu sejauh membebaskan pemikiran dari perbudakannya terhadap kerajaan bahasa dan kelakuan yang terberi, mencerahkan negativitas realitas… dan memikirkan alternatif-alternatif”[14]. Filsafat selalu mengritik segala kemantapan, selalu mengajukan alternatif-alternatif, jadi selalu menjadi salah satu wakil ampuh dimensi negatif. Karena itu, untuk mencairkan daya kritis filsafat, “kaum intelektual suka diejek sebagai orang-orang yang tidak akrab dengan orang biasa”[15], jadi sebagai orang-orang aneh, pinggiran, lucu tetapi tidak praktis, sebagai pengkhayal jauh dari kenyataan. Namun menurut Marcuse, filsafat sendiri juga sudah kerasukan virus positivism yang menggerogoti pemikiran kritis negatif.

Positivisme adalah nama suatu aliran yang membatasi pengetahuan yang sah pada data-data positif yang terberi. Dengan demikian yang terberi harus diterima seadanya, tidak dapat disangkal secara kritis. Kecenderungan positivistik sudah tampak dalam empirisme, aliran filsafat sejak abad ke-18 yang membatasi pengetahuan pada pengalaman indrawi, kemudian dalam behaviorisme dan dalam positivism logis. “Empirisme membuktikan diri sebagai pemikiran positif”[16], bukan dalam arti pemikiran yang terpuji, melainkan sebagai pemikiran yang menyingkirkan dimensi negatif. “Behaviorisme dalam ilmu-ilmu sosial”[17] menuntut agar manusia dilihat dari apa yang dilakukannya dan bukan dari apa yang dimaksud. Dengan demikian, behaviorisme menyingkirkan kemungkinan untuk mengambil jarak kritis terhadap apa yang dilakukan.

Marcuse menegaskan bahwa filsafat harus memakai bahasanya sendiri, karena bahasa yang dipakai oleh masyarakat umum, sudah termanipulasi, “sehingga mereka apabila bicara dalam Bahasa mereka sendiri, juga bicara dalam bahasa tuan-tuan, pendana, dan penulis teks iklan”[18]. Filsafat harus mempertahankan bahasa yang menentang.

Peran Budaya dan Seni

Menurut Marcuse, seni dan budaya tinggi hidup dari oposisi terhadap faktualisme datar, dari perlawanan terhadap yang terberi. Seni “memuat rasionalitas pembantahan”[19]. “Apa yang semula menyatukan ilmu pengetahuan, seni, dan filsafat adalah kesadaran akan jarak antara yang nyata dan yang mungkin”[20]. Seni membuka kesadaran bahwa sesuatu mempunyai potensi-potensi yang melampaui realisasinya di tempat dan waktu tertentu.

Namun, “kemajuan rasionalitas teknologis sedang menyisihkan unsur-unsur oposisional dan transenden dalam ‘kebudayaan tinggi’[21]. Ini terjadi karena seni dan budaya tinggi diintegrasikan ke dalam sistem sehingga dimensi kritis mereka hilang. Dengan demikian, unsur-unsur kritis sebuah karya seni dijinakkan karena unsur seni yang lain, yang di seberang, yang mengejutkan, yang menantang, yang menyeleweng sudah diresap menjadi pendukung kenyamanan sistem masyarakat kapitalistik.

Penolakan yang agung – siapa yang melakukannya?

Marcuse mengharapkan agar masyarakat berdimensi satu dapat didobrak. Seni dan filsafat meski tetap dapat diandalkan untuk menolak faktualitas terberi, tapi terlihat sudah melemah. Marcuse juga menyuarakan harapan bahwa “para outsider”: korban pengisapan dan yang diburu dengan alasan ras dan warna kulit, para tuna-kerja dan mereka tidak mampu untuk bekerja … apabila mereka bersatu dan mulai berprotes di jalan”[22], bisa menjadi kekuatan pendobrak. Tetapi analisis dalam One Dimensional Man tidak mendukung harapan itu. Marcuse menjadi pesimis.

Akhirnya, hanya tinggal satu imbauan untuk melakukan “penolakan agung”, “the great refusal”[23]. Penolakan agung adalah penolakan heroik seseorang untuk ikut dalam sistem. Marcuse tidak menguraikan apa konsekuensi konkrit penolakan itu, misalnya apa orang akan menolak memiliki mobil sendiri .

Nilai penolakan agung terletak dalam kesaksiannya: bahwa masih ada orang yang tidak membungkuk terhadap binatang raksasa yang bernama sistem produksi kapitalis. Penolakan itu mengagumkan, satu-satunya sikap dasar yang dapat diambil. Tetapi, apakah sikap beberapa pribadi yang – istilah kita – hidup sederhana bisa menggoncangkan sistem yang mendasari dan mengorganisasikan masyarakat industry maju? Analisis masyarakat industri maju dalam One-Dimensional Man pada dasarnya pesimis.

Catatan dan Penutup
Marcuse tidak menyerah. Dalam pelbagai tulisan kemudian ia terus menjajaki kemungkinan sebuah “revolusi kebudayaan” total[24]. Namun siapa yang melakukan revolusi sosial tersebut? Marcuse yakin bahwa kelas buruh tidak dapat diharapkan lagi. Marcuse pessimis. Ia juga tidak bisa menujukkan jalan keluar.

Marcuse mengadakan analisanya didasarkan pada dua pengandaian. Pertama, bahwa manusia masyarakat industri maju sudah sama sekali terasing dari dirinya sendiri karena menyesuaikan diri dengan tuntutan efisiensi sistem produksi kapitalis. Kedua, bahwa dalam masyarakat industri maju tidak ada lagi kelas-kelas sosial yang menentang sistem.

Tetapi apakah dua pengandaian itu benar? Menurut Franz Magnis Suseno, gejala-gejala yang dianalisis Marcuse, dalam One-Dimensional Man sangat nyata. Ada manipulasi kebutuhan, ada konsumsi paksaan, ada pelbagai keterasingan. Ancaman bahwa orang larut dalam konsumerisme tidak dapat diragukan. Tetapi, itu semua adalah tendensi-tendensi, bukan deskripsi kenyataan. Masih banyak orang, dari semua kelas sosial yang menghayati nilai-nilai asli, entah dalam keluarga, dalam agama, dalam pelbagai kehidupan sosial, dalam kehidupan intelektual dan di bidang estetik.

Begitu pula tidak betul bahwa tidak ada kritik, protes, dan perlawanan. Luas disadari bahwa masyarakat industri belum memecahkan masalah kemiskinan. Di masyarakat industri maju sendiri, celah antara kaya miskin semkin besar dan pembiayaan jaringan keamanan sosial semakin mahal. Ditambah adanya kesadaran bahwa sistem produksi dapat menghancurkan lingkungan hidup tempat dan sumber kehidupan. Jelas sekali, dimensi kedua dalam masyarakat industri maju, dimensi negatif atau dimensi kritik masih ada.

Menurut Franz Magnis Suseno, tawaran pemikiran Marcuse selalu bergerak dalam paham totalitas. Yang ada hanyalah seluruhnya terasing atau seluruhnya terbebas. Tak ada yang di tengah. Bahwa kenyataan bersifat campur, abu-abu, serta pasang-surut, tidak dapat ditangkap dalam kerangka dialektika totalitas. Kritik itu sudah dikemukakan oleh Karl Popper[25].

Karena itu analisis Marcuse amat tajam dan membantu untuk melihat ancaman terhadap kemanusiaan kalau kita menyerah pada sistem produksi kapitalis, tetapi ia gagal untuk menunjukkan jalan keluar. Jalan keluar ini menjadi tantangan bagi generasi berikutnya.


***


DAFTAR PUSTAKA

Marcuse, Herbert, 1964, One-Dimensional Man, Studies in the ideology of advanced industrial society,London and New York: Routledge Classics 2002 by Routledge Magnis-Suseno, Franz, 2013, Dari Mao ke Marcuse, Percikan Filsafat Marxis Pasca-Lenin, Jakarta: Gramedia
[1] Magnis-Suseno, Franz, 2013, Dari Mao ke Marcuse, Percikan Filsafat Marxis Pasca-Lenin, hal. 270
[2] Marcuse, Herbert, 1964, One-Dimensional Man, Studies in the ideology of advanced industrial society, Hal. 49
[3] Ibid,Hal. 4
[4] Ibid. Hal. IX
[5] Ibid. Hal. 257
[6] Magnis-Suseno, Franz, 2013, Dari Mao ke Marcuse, Percikan Filsafat Marxis Pasca-Lenin, hal. 276
[7] Marcuse, Herbert, 1964, One-Dimensional Man, Studies in the ideology of advanced industrial society, Hal. 59
[8] Ibid Hal. 64
[9] Ibid. Hal. 102
[10] Ibid. Hal. 12
[11] Ibid. Hal. 86
[12] Ibid. Hal. 94
[13] Ibid. Hal. 185
[14] Ibid. Hal. 199
[15] Ibid. Hal 174
[16] Ibid. Hal 170
[17] Ibid. Hal. 12
[18] Ibid. Hal. 193
[19] Ibid. Hal. 63
[20] Ibid. Hal. 229
[21] Ibid. Hal. 56
[22] Ibid. Hal. 256
[23] Ibid. Hal. 65
[24] Magnis-Suseno, Franz, 2013, Dari Mao ke Marcuse, Percikan Filsafat Marxis Pasca-Lenin, hal. 130
[25] Magnis-Suseno, Franz, 2013, Dari Mao ke Marcuse, Percikan Filsafat Marxis Pasca-Lenin, hal. 292
Powered By Blogger