Trima kasih mengunjungi blog kami!

Para pengunjung yth. semua isi blog ini ditulis atau disusun atas kemauan pribadi. Itu berarti blog ini berisi aneka pendapat, pemahaman, persepsi pribadi, dan pemikiran pribadi atas lingkungan kerja dan hidup sekitarnya. Harapan kami isi blog ini bermanfaat bagi pengunjung yang memerlukannya. Salam, GBU.

Rabu, Juli 24, 2019

Berurusan dengan Ketidakpastian (Mary Douglas)


Berurusan dengan Ketidakpastian

(Ringkasan dari Dealing with Uncertainty  karya Mary Douglas —
Emeritus Professor, University College London – Multatuli Lecture, Leuven, 2001)

I.           Pendahuluhan
Dalam tulisan Dealing with Uncertainty, Multatuli Lecture, Leuven, 2001, Mary Douglas mendiskusikan ide tentang ketidakpastian. Masyarakat pasca-industri menginginkan kepastian di tengah jaman ketidakpastian. Kemajuan kebudayaan sejak abad pencerahan dan industri yang diyakini dapat memberi kepastian, ternyata justru melahirkan ketidakpastian. Untuk mendiskusikan soal kepastian dan ketidakpastian, Mary Douglas membandingkan kebudayaan masyarakat di berbagai belahan dunia, di luar Eropa (Seperti Afrika, Asia, dan lain-lain) yang menggunakan analogi kosmologis dalam mewujudkan suatu kepastian. Dari refleksinya, ia menyimpulkan bahwa  pencarian akan kepastian berasal dari kebutuhan sosial (control sosial), bukan dari kebutuhan intelektual.

II.        Berurusan dengan Ketidakpastian
Jaman pasca-industri merupakan kesempatan untuk merefleksikan bagaimana masyarakat menghadapi skeptisisme, keraguan, dan ketidakpastian.
Kepastian bukanlah suasana hati, atau perasaan, ia adalah lembaga, tesis Mary Douglas. Kepastian hanya mungkin karena ada kebijakan lembaga: sebagian besar keputusan individu tentang risiko diambil di bawah tekanan dari institusi. Jika kita mengenali lebih banyak ketidakpastian sekarang, karena sudah mencengkeram  lembaga yang ada. Inilah yangh harus dikaji.

Mengapa kita membutuhkan kepastian?
Dalam masyarakat kapitalis paska industri modern, institusilah yang kuat mengontrol pengetahuan. Lembaga profesional membuat dan menerapkan standar, dan memberikan hukuman atas penyimpangan. Fakta adalah materi forensik yang penting. Dalam keadaan seperti itu, mengapa kita masih memiliki rasa ketidakpastian meningkat? Karena jenis kepastian yang para ilmuwan capai adalah hasil dari cara berpikir, pengujian dan pembuktian, dan hasilnya memiliki penerapan yang sangat spesifik. Semakin kita mengandalkan kepastian pada sains, semakin banyak faktor yang harus diperhitungkan untuk menjelaskan segala sesuatu.
Kita membutuhkan kepastian sebagai dasar untuk menyelesaikan perselisihan. Ini bukan untuk kepuasan intelektual, bukan untuk akurasi atau prediksi untuk kepentingannya sendiri, tetapi untuk alasan politik dan forensik. Para ahli bukanlah ahli dalam segala hal, jadi bahwa solusi terbaik untuk kebijakan risiko adalah bahwa informasi harus dibuat lebih luas tersedia.
Masalah sebenarnya bukanlah pengetahuan tetapi kesepakatan. Para ahli, perwakilan masyarakat, dan lembaga pemerintah, semuanya memiliki konstituen yang berbeda. Semakin terbuka sebuah topik yang sensitif dibicarakan untuk diperdebatkan, semakin sulit untuk disatukan. Semakin banyak aspek teknis terbuka bagi non-ahli, semakin kecil harapan untuk mengambil keputusan tentang kebijakan. Demokrasi partisipatif bukan jawaban untuk segalanya, tapi merupakan ide yang menghasilkan perbaikan yang dapat diterima

Kepastian Sinis
Dalam demokrasi liberal kepastian memiliki aspek yang sinis. Ada berbagai strategi yang berfungsi untuk menciptakan otoritas impersonal dan tidak langsung. Misalnya, kelompok yang berusaha mengubah seperangkat keyakinan tertentu menjadi kepastian bisa menutup diri, menolak orang asing, memberi label kepada mereka orang barbar, mengeluarkan mereka dari komunitas, menolak pernikahan campuran, meninggikan gagasan ras murni. Prosedur ini bekerja dengan baik sebagai perlindungan terhadap kerusakan akibat ketidakpastian.
Demokrasi liberal tidak akan mengadopsi strategi-strategi ini. Komitmen untuk membuka penyelidikan merupakan bagian dari konstitusinya. Ini merupakan alasan mengapa kepastian memunculkan diri  sebagai masalah dalam kondisi ini. Jika harus ada tawar-menawar antara kepastian dan keterbukaan, demokrasi cenderung memilih melawan kondisi yang menumbuhkan kepastian.
Bagi kita, satu kesadaran penting, bahwa sekarang ketidakpastian secara resmi diakui. Untuk saat ini, yang pasti ketidakpastian akan hadir dalam berbagai bentuk dalam demokrasi terbuka. Ada fenomena mencari kepastian, dengan mencari praktik pengetahuan yang pasti.

Ketidakpastian
Kurang lebih 100 tahun terakhir telah terbukti serangkaian gerakan mulai menjauh dari pemikiran realisme dan fondasionalisme. Langkah-langkah tersebut dapat disimpulkan sebagai perjuangan panjang penganut Teori Konfirmasi. Logika deduktif menjadi alat menentukan validitas; cara menghasilkan kepastian. Logika induktif tidak memiliki aturan validasi; ia menghasilkan dugaan yang dapat dibantah oleh bukti.
Prinsip ketidakpastian adalah penemuan kontemporer. Ketidakpastian tersebut diketahui dalam kedudukan yang sangat kecil dalam peradaban kita, yaitu di komunitas kecil filsuf dan matematikawan. Itu bukan hal baru. Dalam elit intelektual, orang bijak Timur telah mengajarkan ketidakpastian yang melekat sejak jaman dahulu. Agama-agama dari setiap denominasi telah memberitakan keilahian Tuhan. Dan kemudian Gödel menunjukkan pada kita bahwa pembuktian matematis yang lengkap adalah mustahil. Teori Set[1] tidak pasti; inferensi statistik adalah terbuka; fisika kuantum mengembangkan prinsip ketidakpastiannya; Teori permainan tidak bisa menunjukkan hasil yang pasti; Quine[2] menyatakan bahwa semua teori ditentukan oleh fakta.
Pandangan-pandangan tersebut merupakan serangan terhadap terhadap adanya bukti dan kepastian. Kebanyakan orang dapat melanjutkan hidup mereka tanpa terganggu sama sekali. Perdebatan terhadap kesamaan menjadi lebih efektif. Kita mungkin tidak pernah sesederhana itu untuk berpikir bahwa kesamaan adalah milik benda-benda, tetapi merupakan ajaran filsuf yang sangat mengganggu: desakan Goodman[3] bahwa kesamaan tidak terletak pada sifat hal-hal yang kita anggap serupa. Pengakuan kesamaan tergantung pada praktik budaya. Ini seharusnya merupakan tamparan nyata terhadap kemungkinan suatu  kepastian, dorongan nyata menuju ketidakpastian.
Terlepas dari semua itu, sebagian besar dari kita mengandalkan analogi. Mengetahui bahwa analogi itu tidak dapat diandalkan karena didasarkan pada kesamaan. Hal ini dapat ditemukan ketika kita melakukan pembelajaran kebudayaan.
Hal yang luar biasa tentang ketidakpastian bagi antropologi adalah bahwa masalah misterius tentang pemikiran orang lain tiba-tiba menjadi pandangan umum bagi semua sebagai manusia. Kita semua adalah makhluk yang hidup dalam ketidakpastian, dan telah dilakukan sejak awal; sementara kita mengatasi ketidakpastian sebaik mungkin, kita terus mencari kepastian. Kita menciptakan institusi yang melindungi gagasan kita yang berharga.

Gagasan-Gagasan Pasti dari Orang Lain
Orang lain (di luar Eropa) berhasil menciptakan kepastian dalam hidup bersama di komunitas yang stabil dengan membenamkan analogi. Beberapa contoh ide-ide aneh yang dipatuhi orang dengan keyakinan penuh karena mereka telah membentuk semua model analogis untuk menjelaskan bagaimana dunia terbentuk.
Ketika Evans-Pritchard[4] melakukan studi lapangan di Sudan, dia menemukan keyakinan aneh yang dipegang dengan penuh keyakinan. Orang Nuer[5] mengatakan bahwa menurut pendapat mereka, kembar adalah burung[6]. Pernyataan itu mirip dengan kasus terkenal di mana orang Bororo di Amerika Selatan percaya bahwa Bororo adalah burung beo. Ini adalah kesempatan untuk menambah literatur yang sudah luas pada orang-orang yang percaya bahwa diri mereka sebagai burung, jadi dia mencoba menanyakan orang-orang Nuer menjelaskan apa yang sebenarnya mereka maksudkan. Dia tidak akan menerima penjelasan apa pun tentang keyakinan aneh mereka yang menggunakan mentalitas primitif, atau bahkan mentalitas yang berbeda dari kita, atau logika yang berbeda.
Orang Nuer memberi penjelasan struktural  tentang dunia. Kembar dekat dengan Tuhan. Tuhan tinggal di langit, manusia hidup di tanah, dan jauh dari Tuhan; burung hidup di langit dan lebih dekat kepada Tuhan daripada makhluk lain. Jadi jika kembar dekat dengan Tuhan dan burung-burung dekat dengan Tuhan, maka kembar adalah burung. Inilah alasannya mengapa mereka tidak pernah mengubur kembar yang mati di tanah. Evans-Pritchard secara bertahap menemukan bagian tak terungkap pada argumen mereka.
Dunia mereka diatur menurut analogi kosmos tertentu, atau klasifikasi, yang dibuat dengan membandingkan satu set dengan kebalikannya. Salah satu yang paling signifikan untuk kosmos mereka adalah kutub berlawanan dari kutub Atas dengan kutub Bawah. Banyak dari keyakinan agama mereka dibingkai melalui perbandingan ini. Analogi lain termasuk kontras antara binatang peliharaan dan liar, yang memberikan bingkai untuk kategori moral; kanan dan kiri membingkai kontras antara pria dan wanita, dan ada banyak lagi analogi yang cocok. Analogi bekerja pada level yang berbeda. "Kembar adalah burung" tidak bisa diuji. Ini hanya berlaku untuk tingkat kosmik yang paling inklusif: Kembar adalah burung adalah analogi utama yang berlaku ketika kita berpikir tentang Tuhan pencipta yang tempatnya di atas segalanya. Ini adalah hubungan di atas / di bawah yang mengatur kejadian.
Dengan melakukan berbagai ritual untuk kembar, Nuer menghormati skema besar penciptaan. Dan mereka telah mencapai kepastian penuh: Evans-Pritchard menemukan mereka arogan tentang kebenaran teori mereka sendiri. Entah bagaimana mereka telah melembagakan kepercayaannya. Analogi itu sendiri terlalu lemah untuk menjelaskan bagaimana mereka sampai pada kepastian mereka.

Pengetahuan dilembagakan oleh Berber
Mikrokosmos dari seluruh alam semesta mengatur kosmologi Berber dalam Bahasa Kabyle[7] yang dipelajari Pierre Bourdieu. Dia menyebut proses yang mengembangkan mikrokosmos "logika praktik". Para petani Afrika Utara ini memproyeksikan kosmos ke dalam organisasi kehidupan mereka. Mereka harus mewujudkan kategori utama dari pengetahuan mereka dalam rutinitas sehari-hari mereka. Kita telah melihat bahwa Nuer mempolarisasi kosmos dalam dimensi atas / bawah, dan menciptakan oposisi analogis lainnya seperti antara jinak dan liar. Orang Berber menggabungkan semuanya dalam fokus pada siklus musim tahunan.
Bagaimana seseorang harus berperilaku diberikan dengan kejelasan yang lengkap untuk setiap waktu atau tempat, dan kritik akan jatuh pada orang yang mengabaikan apa yang diyakini benar sebagai fakta kehidupan. Orang Berber telah mengembangkan struktur pengetahuan yang melindungi kategori-kategori alam semesta. Ini menghasilkan kepastian karena semua orang di komunitas itu harus menyesuaikan diri.
Pada titik ini kita harus mencatat bahwa biaya penyampaian kepastian melalui skema pemikiran yang mencakup segalanya adalah adanya  kesulitan yang menempatkan pandangan alternatif. Ada suatu moral di sini bagi Kelompok Bumi Datar,  Kreasionisme, dan juga untuk Galileo zaman akhir. Masyarakat tersebut telah memilih kepastian tidak toleran dan tidak berani bertualang secara intelektual.

Kelemahan Analogi
Adalah merupakan kelebihan analogi yang memungkinkan adanya kebebasan interpretasi. Sebuah analogi membandingkan dua hal yang sebagian mirip (tetapi tidak sepenuhnya atau mereka mungkin sama). Wilayah-wilayah keabu-abuan dan ketidakpastian hidup berdampingan dengan inti sifat-sifat yang sama. Ambiguitas ini membuka pikiran terhadap kemungkinan alternatif dan menumbuhkan inovasi. Rasa pas dan proporsional membawa keyakinan. Itu adalah ilusi. Kesamaan adalah akuisisi (perolehan) budaya.
Tetapi analogi tidak cukup dengan sendirinya bagi analogi untuk membawa keyakinan. Di atas semua makna harus diterima. Itu akan diterima dengan mudah selama pendengar meyakini sebagian hal itu cocok. Mereka akan menginginkannya selama dapat memperkuat pembenaran. Analogi hanya bisa menambah keyakinan jika orang berhasil diyakinkan.
Ini membawa kita ke bagian lain dari skeptisisme abad ke-20. Teori konvensi Thomas Schelling menghantam pretensi teori pilihan rasional untuk menjelaskan perilaku sosial. Suatu konvensi tidak harus memiliki alasan lain untuk ketaatannya kecuali kepentingan bersama dalam mengadakan konvensi. Konvensi terbaik adalah menertibkan diri sendiri. Kesiapan untuk menerima analogi adalah seperti kesiapan untuk mengadopsi sebuah konvensi.
Granet, Hocart, Durkheim, Mauss dan Hertz adalah pelopor yang menunjukkan bagaimana komunitas membentuk kategori-kategori dunianya dengan menanamkannya dalam jaringan analogi yang padat. Ini membuka pandangan interaktif yang dinamis tentang hubungan pengetahuan yang saling generatif dengan perilaku: analogi diambil dari praktik; latihan ini menjadi saksi atas keandalan pengetahuan; dan kepastian berhenti ketika pengetahuan digunakan untuk membenarkan tindakan. Pada saat ini ambiguitas analogi terbatalkan. Skema umum dari analogi-analogi besar yang saling mengikat menstabilkan kategori-kategori budaya.
Inilah cara bagaimana kepastian dilembagakan. Akan tetapi, meskipun klasifikasi besar yang mengedepankan logika praktik, mereka masih merupakan analogi yang rapuh. Lalu lahirlah konsep tabu sebagai salah satu teknik untuk mempertahankan sistem pengetahuan.

Tabu sebagai sebuah lembaga
Dalam sintesis penelitiannya tentang  tabu, Valerio Valeri menjelaskan tabu merupakan seperangkat aturan dimasukkan ke dalam kategori pengetahuan, dan sebagai alat menghadapi pelanggaran. Aturannya dapat dimulai dengan cukup informal, seperti sensor awal yang mengungkapkan ketidaksetujuan bersama.
Pada tataran ini,  perangkat aturan itu hanyalah merupakan embrio lembaga, kerabat dari 'pembenaran politik' yang kita kenal dalam hidup sehari-hari. Pembenaran politis mengambil sistematisasi lebih lanjut: daftar kata-kata ofensif secara sistematis dilarang demi melindungi komunitas dari bahaya rasisme atau pelecehan seksual. Tabu akhirnya dilembagakan.
Huaulu dari Seram, di Maluku, mempertahankan sistem pengetahuan mereka dengan menerapkan hukuman bagi yang melewati kategori batas. Kosmologi orang-orang yang tinggal di hutan khatulistiwa ini didominasi oleh gagasan kekejaman hutan dan agonisme (penyiksaan) antara makhluk hidup. Pemikiran mereka tentang masing-masing jenis hewan dan sayuran diatur, interaksi dikendalikan secara hati-hati, setiap jenis membagi ruangnya, waktu yang tepat, dan peringkatnya. Para pemburu hutan ini tidak memproyeksikan alam semesta mereka pada siklus musim, seperti Berber, atau pada sumbu atas / bawah, seperti Nuer, tetapi pada perbedaan antara spesies yang hidup.
Pada akhirnya pandangan dunia mereka berpijak pada perbedaan antara manusia dan hewan, dengan kontras antara pemburu dan diburu paling atas. Tabu yang diperlukan adalah tidak melakukan pelanggarab batas kategori spesies, sebagai rasa hormat terhadap pembagian kosmologis. Tidak menghormati  bila memakan spesies lainnya. Dari rasa hormat mereka menahan diri dari mengatakan hal-hal kasar tentang makhluk hidup, jadi tabu untuk menghina seekor anjing.

Biaya kepastian
Kosmologi tingkat jalanan, seperti contoh-contoh di atas, dapat menjadi koheren hanya jika populasi cukup stabil untuk memiliki sejarah bersama. Hal ini juga membutuhkan tingkat interdependensi yang tinggi dalam kehidupan masyarakat. Komunitas yang cukup ketat, dan cukup tertutup, dapat menganggap orang luar sebagai ancaman, ejekan, dan mengeksploitasinya.
Hal ini meyakinkan kita bahwa untuk suatu kepastian membutuhkan biaya dan pengorbanan. Selain itu, hal ini tidak alami, tetapi merupakan buatan. Ini bukan sesuatu untuk dimiliki, atau untuk dicapai, tetapi sesuatu yang dilembagakan.
Kesimpulan ganda adalah bahwa tidak ada masyarakat yang kuat tanpa kepastian, dan tidak ada kepastian tanpa pelarangan perdebatan. Kepastian dibutuhkan sebagai cara menyelesaikan perselisihan dan mengendalikan konflik sosial. Singkatnya, kebutuhan akan kepastian berasal dari kebutuhan sosial, bukan dari kebutuhan intelektual.

Determinisme sosial terbalik
Penjelasan yang ditawarkan di sini adalah bentuk determinisme sosial yaitu: kepastian adalah pasang surut budaya kita saat yang dipengaruhi faktor ekonomi dan teknologi mengubah komunitas kita. Jika ini benar, tidak ada gunanya merekomendasikan perubahan hati yang akan mengembalikan komunitas ke jalur yang benar. Biaya perubahan akan sangat tinggi sehingga akan sulit untuk merekomendasikan perubahan institusi yang efektif. Ada satu perubahan hati yang akan berguna dan bukan tidak mungkin. Transformasi Multatuli akan mengubah pemikiran kita tentang diri kita sendiri. Kita dapat memutuskan untuk melakukannya tanpa kepastian, untuk terjun secara sadar ke dalam apa yang harus tidak diketahui, menjauhi sensor, membiarkan ide-ide lain meresap tanpa meniadakannya atas nama kekuatan intelektual.
Pada abad ke-19 dan ke-20, fokus utama perdebatan tentang keyakinan pada determinisme sosial. Emile Durkheim menyampaikan pendapat provokatif bahwa gagasan tentang Tuhan adalah proyeksi masyarakat, dan bahwa kebutuhan sosial untuk otoritas moral di ranah dan di luar individu mengandalkan gagasan keadilan dan kebaikan ilahi.
Argumen umum Durkheim juga dapat didasarkan pada kebutuhan akan kepastian. Keberatan sekuler terhadap determinisme sosial adalah bahwa ia merendahkan rasionalitas individu, ia mengajarkan bahwa masyarakat memaksakan keyakinannya pada individu, mereka tidak bebas untuk memilih atau memutuskan, budaya mereka mencengkeram pikiran mereka dalam kurungan besi.
Durkheim dan Mauss menyatakan pandangan yang sama tentang kebebasan pemikiran individu di zaman modern. Dan pandangan ini didukung oleh kelompok para ilmuwan. Mereka mengasumsikan ketidakcocokan antara budaya liberal dan pengembangan paradigma kontrol. Namun, penyebab umumnya adalah bukan hanya budaya primitif yang tidak menyisakan ruang untuk pandangan-pandangan yang berbeda.

Kesimpulan
Melawan semua penalaran, dan membuka ruang diskusi dan memberikan akses bebas atas fakta akan mengurangi ketidakpastian.
Tesis ini sebagai perluasan argumen Bernard Williams tentang dasar-dasar logika.  Williams menunjukkan bahwa pencarian jawaban non-kontradiksi atas kebutuhan seseorang untuk diterima oleh teman-teman sebagai yang terhormat dan jujur. Tanpa non-kontradiksi, tidak mungkin ada logika formal. Jadi logika itu seperti Tuhan-nya Durkheim, logika itu tergantung pada masyarakat. Demikian juga, saya melihat pencarian kepastian berdasarkan pada kebutuhan untuk koordinasi.  Ide paling mendasar yang menjunjung tinggi kemungkinan masyarakat, bahkan lebih mendasar daripada gagasan tentang Tuhan, adalah gagasan bahwa ada pengetahuan tertentu. Dan ini ternyata luar biasa kokoh, penuh semangat dipertahankan oleh hukum dan tabu dalam peradaban kuno dan modern.

***


[1] Teori Set adalah cabang logika matematika yang diteliti, yang secara informal adalah koleksi objek.
[2] Willard Van Orman Quine (1908-2000) berkarya di bidang filsafat teoritis dan dalam logika. Dia barangkali paling dikenal karena argumennya melawan Empirisme Logika (khususnya, penggunaan perbedaan analitik-sintetik).
[3] Nelson Goodman jelas merupakan salah satu tokoh paling berpengaruh dalam estetika kontemporer dan filsafat analitik secara umum
[4] Sir Edward Evan Evans-Pritchard, FBA, yang dikenal sebagai E. E. Evans-Pritchard, adalah seorang antropolog Inggris yang berperan dalam pengembangan antropologi sosial. Dia adalah Profesor Antropologi Sosial di Universitas Oxford dari 1946 hingga 1970
[5] Orang-orang Nuer adalah kelompok etnis Nilotic yang terutama menghuni Lembah Nil. Mereka terkonsentrasi di Sudan Selatan.
[6] Pada tahun 1930an E. E. Evans-Pritchard meneliti bahwa orang Nuer di Sudan Selatan menganggap anak kembar mereka sebagai anak-anak kudus Tuhan. Dalam sebuah pernyataan yang kini masuk sebagai pernyataan formatif dalam sejarah antropologi budaya: 'kembar bukanlah manusia, ia adalah burung'.
[7] Kabyle, orang Berber dari Aljazair. Bahasa mereka, Kabyle (juga disebut Zouaouah, atau Zwāwah), adalah bahasa Berber dari keluarga Afro-Asiatic (sebelumnya Hamito-Semit).

Selasa, Juli 23, 2019

Ambruknya Komunisme Internasional

foto: amazon.co.uk

Pengantar
Leninisme  merupakan tokoh kunci dalam sosok ideologis komunisme di seluruh dunia. Dalam perjalanan sejarahnya, komunisme bercita-cita untuk mewujudkan suatu masyarakat yang anggota-anggotanya sama-sama bebas, sama-sama sejahtera, sama-sama terhormat dan solider satu sama lain. Namun cita-cita ini runtuh akibat perilaku para penguasa komunis sendiri, yang tidak konsisten pada ideologi dan tidak mempunyai etika politik. Dalam tulisan ini, akan dibahas mengapa komunisme runtuh. Pokok bahasan ini dipilih dengan maksud mengambil pelajaran berharga dari sejarah ambruknya komunisme. Pembahasan ini dimulai sejarah singkat pemikiran Karl Marx, Marxisme-Leninisme, mengapa komunisme internasional ambruk dan pelajaran berharga untuk jaman sekarang.

Dasar Pemikiran Karl Marx (1818-1883)[1]
Konteks dasar yang menentukan arah perkembangan (pemikiran) Karl Marx  sesudah menyelesaikan sekolah gymnasium adalah situasi politik represif di Prussia (negara yang menguasai sebagian besar Jerman Utara, salah satu dari puluhan negara berdaulat di tanah Jerman waktu itu) yang telah menghapus kembali hampir semua kebebasan yang diperjuangkan oleh rakyat dalam perang melawan Napoleon. Di Universitas Berlin, Marx segera terpesona pemikiran oleh filsafat Gerog Wilhelm Fridriech Hegel (1770-1831). Dari Hegel, ia mencari jawaban atas pertanyaan yang menggerakkannya: bagaimana membebaskan manusia dari penindasan sistem politik reaksioner (pemikiran tahap I)? Pemikiran Marx semakin berkembang setelah berkenalan dengan filsafat  Ludwig Feuerbah (1804-1872).  Sekarang Marx memaknai ciri reaksioner negara Prussia sebagai ungkapan keterasingan manusia dari dirinya sendiri (pemikiran tahap 2). Yang menjadi pertanyaan Marx adalah di mana ia harus mencari sumber keterasingan itu. Jawabannya ditemukan sesudah berjumpa dengan kaum sosialis radikal di Paris. Di Paris  Marx menjadi yakin bahwa keterasingan paling dasar berlangsung dalam proses pekerjaan manusia. Sebenarnya pekerjaan adalah kegiatan di mana manusia justru menemukan identitasnya, tetapi sistem hak milik pribadi kapitalis menjungkirbalikkan makna pekerjaan menjadi sarana eksploitasi. Melalui pekerjaan, manusia tidak menemukan, melainkan mengasingkan diri. Hal itu terjadi karena sistem hak milik pribadi membagi masyarakat ke dalam para pemilik modal dan para pekerja yang tereksploitasi. Manusia hanya dapat dibebaskan apabila hak milik pribadi atas alat-alat produksi dihapus melalui revolusi kaum buruh, dengan demikian, Marx sampai pada posisi pemikiran klasik sosialisme (pemikiran tahap 3).
Karena itu, Marx semakin memusatkan perhatiannya pada syarat-syarat penghapusan hak milik pribadi. Ia mengklaim bahwa sosialismenya adalah sosialisme ilmiah yang tidak hanya didorong oleh cita-cita moral, melainkan berdasarkan pengetahuan ilmiah tentang hukum-hukum perkembangan masyarakat . Dengan demikian pendekatan  Marx berubah dari yang bersifat murni filosofis menjadi semakin sosiologis. Sosialisme ilmiah itu disebut Marx sebagai “paham sejarah yang materialistis”: sejarah dimengerti sebagai dialektika antara perkembangan ekonomi di satu pihak dan struktur kelas-kelas sosial di pihak lain. Marx sampai pendapat yang akan menjadi dasar ajarannya, bahwa faktor yang menentukan sejarah bukanlah politik atau ideologi, melainkan ekonomi. Perkembangan dalam cara produksi lama-kelamaan  akan membuat struktur-struktur hak milik lama menjadi hambatan kemajuan. Dalam situasi ini akan timbul revolusi sosial yang melahirkan bentuk masyarakat yang lebih tinggi (pemikira tahap 4).
Persoalannya apakah pernah akan lahir masyarakat  di mana hak milik pribadi sama sekali terhapus? Jadi, apakah komunisme, masyarakat tanpa hak milik pribadi dan tanpa kelas-kelas sosial itu, pernah akan terwujud? Karena faktor yang menentukan perkembangan masyarakat adalah bidang ekonomi, pertanyaan itu harus dijawab melalui analisis dinamika ekonomi tertinggi, yang sudah dihasilkan oleh sejarah, kapitalisme. Itulah sebabnya, Marx makin lama makin memusatkan studinya pada ilmu ekonomi, khususnya ekonomi kapitalistis. Studi itu membawa Marx pada kesimpulan bahwa ekonomi kapitalisme niscaya akan menghasilkan kehancurannya sendiri, karena kapitalisme seluruhnya terarah pada keuntungan pemilik sebesar-besarnya, kapitalisme menghasilkan pengisapan manusia pekerja, dan karena itu, akan terjadi pertentangan kelas paling tajam.
Karena itu produksi kapitalisme semakin tidak terjual karena semakin tak terbeli oleh massa buruh yang sebenarnya membutuhkannya. Kontradiksi internal sistem produksi kapitalis itulah akhirnya niscaya akan melahirkan revolusi kelas buruh yang akan menghapus hak milik pribadi atas alat-alat produksi dan mewujudkan masyarakat sosialis tanpa kelas (pemikiran tahap 5).
Pemikiran Marx mengalami tahap perkembangan dan kesinambungan. Para ahli mengelompokkan tahap 1-3 sebagai pemikiran Marx Muda, dan tahap 4 dan 5 sebagai pemikiran Marx tua.

Marxisme Leninisme dan Ideologi Komunisme[2]
Ajaran Karl Marx mempengaruhi Vladimir Ilyic Lenin (1870-1924). Lenin mempelajari dan merealisasikan ajaran dan gagaran Marx seturut pemahamannya dengan tujuan pembebasan kelompok tertindas. Dengan Lenin, ajaran Marx semakin banyak dibahas dan dipelajari di dunia internasional.
Belum lama Lenin meninggal, Josef Vissarionovich, alias Stalin (1878-1953) sudah membakukan ajaran-ajarannya sebagai “Leninisme”. Sebagai bagian Marxisme-Leninisme, Leninisme  dengan demikian menjadi unsur kunci dalam sosok ideologis komunisme di seluruh dunia. Tidak berlebihan dikatakan bahwa hanya karena “Leninisme”, Marxisme menjadi alat perjuangan sebagian besar dari gerakan-gerakan revolusioner abad ke-20. Karena Lenin juga, komunisme menjadi salah satu kekuatan politik yang paling ditakuti di abad ke-20.
Pertanyaan mengenai bagaimana sampai pemikiran seorang Lenin, yang mengerahkan seluruh hidupnya demi pembebasan kelas-kelas tertindas bisa menjadi bagian dari sebuah ideologi yang menjadi legitimasi beberapa kejahatan paling mengerikan dalam sejarah manusia.
Konsepsi Lenin tentang partai kader membuat pengertian kunci Marx (muda) tentang kesatuan antara teori dan praxis pada akarnya. Bagi Marx, pemikiran filosofis merupakan bagian dalam dialektika perjuangan yang memotori sejarah. Teori Marx bukan produk pemikiran orang pintaryang kemudian dipakai untuk mengarahkan perjuangan proletariat, melainkan ungkapan teoritis perjuangan itu sendiri. Apa yang nyata-nyata dirasakan proletariat dalam kedudukannya sebagai kelas tertindas, dirumuskan dalam dimensi teori oleh Karl Marx untuk dikembalikan ke proletariat yang mengenalnya sebagai ungkapan konsepsional realitasnya sendiri. “Tujuan dan tindakan historis proletariat (apa yang dirumuskan dalam teori Marx tentang sosialisme, buku Franz Magnis-Suseno) sudah digariskan secara indrawi, tak terbantah dalam situasi kehidupannya maupun dalam seluruh organisasi masyarakat borjuis sejarang” (seperti dikutip Franz Magnis-Suseno). Dalam konsepsi ini kesadaran proletariat tentang sosialisme hanya dapat, dan memang akan, tumbuh dari perjuangannya. Begitu kesadaran sosialis-revolusioneer dipisahkan dari perjuangan buruh sendiri dan menjadi sesuatu yang harus dipompakan ke dalamnya dari luar, seluruh gagasan inti Marx tentang emansipasi manusia menguap. Manusia tetap terasing dari dirinya sendiri, “kekuatan-kekuatan hakikatnya”  tetap “terpecah-belah” dan buruh, dari pada memiliki diri dan mengalami revolusi sosialis sebagai realisasi keutuhan dirinya, tetap tergantung dari kekuatan luarnya. Dari perspektif Marx muda, konsepsi Lenin menanamkan kembali di inti teorinya apa yang mau dihapus dengannya, yaitu ketergantungan dan ketertindasan baru.
Masalahnya tidak sesederhana itu. Marx sendiri tidak mempertahankan keterkaitan dialektis teorinya dengan praxis revolusionernya proletariat secara konsisten. Marx dalam obsesinya untuk membedakan pemikirannya dari apa yang disebutnya “sosialisme utopis”, semakin memahaminya sebagai teori “ilmiah”. Sosialismenya adalah “sosialisme ilmiah”, hasil penemuannya tentang hukum-hukum perkembangan masyarakat objektif, yang oleh Friedrich Engels (1820-1938), dengan persetujuan Marx sendiri, diperbandingkan dengan teori evolusi Charles Darwin. Teori objektif  semacam itu tidak mempunyai kaitan internal dengan perjuangan kelas. Menurut Jurgen Habermas, Marx jatuh ke dalam “salah paham positivistik” terhadap teorinya sendiri. Akhirnya, “materiaslieme sejarah”, nama resmi teori Marx, menjadi “pandangan dunia ilmiah proletariat”. Teori itu bukan lagi teori proletariat sendiri, melainkan “demi proletariat” yang lalu harus disosialisasikan dulu ke dalamnya.
Dalam kenyataan, seluruh Marxisme pasca-Marx, dan bukan hanya Lenin, sama sekali lupa akan konsepsi Marx muda. Penegasan Marx tentang kaitan antara teori tentang revolusi sosialis dan perjuangan praktis proletariat sudah lama ditinggalkan. Pengertian Marxisme sebagai “teori yang sudah benar tentang hukum-hukum perkembangan kapitalisme” pada akhir  abad ke-19 menimbulkan perbedaan serius di kalangan kaumm Marxis: Bagaimana kenyataan yang semakin tidak terbantah ini harus dijelaskan, yaitu bahwa kapitalisme dunia bukannya semakin rapuh sebagaimana diramalkan oleh Marxisme, melainkan semakin jaya. Berhadapan dengan masalah ini muncul berbagai posisi. Salah satu posisi tersebut adalah Lenin. Lenin yang sependapat dengan  Luxemburg bahwa tidak ada revolusi tanpa kesadaran revolusioner kelas buruh, tetapi menyangkal anggapan Luxemburg bahwa kesadaran revolusioner kaum buruh akan berkembang secara spontan sebagai naif. Dengan sendirinya kelas buruh tidak bisa melampuai “kesadaran serikat buruh”. Hanya di bawah pimpinan sebuah partai kader revolusioner kelas buruh dapat membentuk kesadaran teoritis benar yang akan membuat mereka melaksanakan revolusi sosialis. Bertolak dari perlunya revolusi, Lenin menggagaskan sebuah partai  revolusioner yang bertugas menggiring kaum buruh yang sebenarnya, tidak revolusioner. Bagi Lenin, revolusi bukan lagi hal yang tak terelakkan, revolusi tergantung dari adanya kehendak revolusioner. Karena itu, Marxisme Lenin bersifat voluntaristik. Lenin menghendaki revolusi. Konsepsi Lenin yang sangat jauh dari Karl Marx ini akhirnya mendai kenyataan dalam sejarah dan ia menjadi bidan Komunisme.
Penyimpangan lainnya dari ajaran Karl Marx adalah soal kediktatoran proletariat. Marx tidak pernah memikirkan kediktatoran proletariat sebagai keadaan semi permanen yang bisa berjalan selama berpuluh-puluh tahun sebagaimana diantisipasi Lenin. Pengandaian Marx dan Lenin sama sekali berbeda. Menurut Marx, revolusi sosialis baru mungkin dilaksanakan apabila bagian terbesar masyarakat terdiri dari proletariat  yang berhadapat dengan segelintir pemilik modal. Proletariat memang untuk sementara waktu harus menjalankan kediktatoran keras untuk menindas usaha dari sisa-sisa kaum kapitalis untuk bangkit sekali lagi. Tetapi, begitu usaha itu ditumpas, masyarakat yang seluruhnya terdiri atas pekerja tidak mempunyai “musuh kelas” lagi dan karena itu aparat penindas negara tidak diperlukan lagi.
Situasi Lenin sama sekali lain. Di Rusia, kelas buruh industry yang merebut kekuasaan dalam Revolusi Oktober merupakan minoritas kecil di antara kelas-kelas lain (kelas tani, borjuasi, dan kaum feudal). Kelas-kelas itu, mayoritas besar bangsa Rusia, menentang mati-matian monopoli kekuasaan Bolshevik dan pemaksaan sosialisme. Jelaslah dalam situasi itu hanyalah penindasan tanpa ampun, kediktatoran tanpa kompromi, yang dapat menyelamatkan sosialisme. Hanya dengan menindas segala perlawanan dan melalui tindakan-tindakan dikatoris, sosialisme akan dapat dibangun dan kelas-kelas yang berbeda lama kelamaan dileburkan menjadi satu kelas pekerja. Mengingat keterbelakangan Rusia, pembangunan sosialisme, dan karena itu kediktatoran proletariat yang dilaksanakan partai komunis, akann berlangsung berpuluh-puluh tahun lamanya.
Argumentasi ini tidak dapat dibantah. Yang menjadi masalah adalah apakah masuk akal memaksanakan sosialisme apabila prasyarat yang dianggap menentukan oleh Marx, yaitu proletarisasi seluruh masyarakat, sama seali belum terwujud? Itulah sudut balik voluntarisme Lenin yang menggantikan dialetika keharusan sejarah dengan tekad revolusioner partai. Kesalahan Lenin adalah memaksakan sosialisme dalam situasi dimana sebagian besar masyarakat belum siap.
Komunisme Internasional
Pada tahun 1919 di Moskow didirikan KOMINTERN, Internasionale Komunis”, dengan tujuan untuk memperjuangakan “dengan segala cara yang tersedia, termasuk kekuatan bersenjata, penggulingan borjuasi internasional dan penciptaan republik Soviet internasional sebagai transisi ke tahap penghapusan total negara. Komintern mengorordinasikan kebijakan komunis di seluruh dunia. Moskow menjadi pusat komunisme inter nasional. Uni Soviet menjadi tanah air sosialisme radikal, menjadi tempat dan sumber arahan dan bantuan.

Pragmatisme Kekuasaan[3]
Para tokoh ajaran komunisme, seperti Lenin, Trotsky, dan semua tokoh Bolshevik, dan kemudian semua penguasa partai komunisme sadar betul bahwa revolusi tidak bisa lahir secara spontan dalam rangka  penghacuran kaum kapitalis. Oleh karena itu, fokus mereka akhirnya selalu tertuju pada kekuasaan. Demi sosialisme yang diyakininya, akhirnya Lenin, hanya mengenal satu sasaran: merebut kekuasaan dan pemakaiannya untuk memaksakan  pembentukan masyarakat sosialis. Akibatnya, ideologi komunisme pun, apalagi sesudah pembakuannya oleh Stalin, merosot menjadi sarana untuk membenarkan kekuasaan total di tangan pimpinan partai komunis. Cita-cita sosialis merosot menjadi pragmatisme kekuasaan.
Demi sosialisme, perbuatan apapun dapat dibenarkan. Upaya menciptakan sosialisme diserahkan kepada partai sebagai pelaksana. Melalui tangan besinya, partai boleh menumpas semua perlawanan dan memaksa semua buruh  untuk menerima kebijakan-kebijakan partai. Prinsip legitimasi mereka adalah membenarkan segala perbuatan apapun demi kemantapan kekuasaan di tangan komunis.

Tanpa Moralitas, Hukum dan Penghormatan HAM
Pragmatisme kekuasaan Leninistik ini dengan sendirinya menyingkirkan kemungkinan untuk mengadakan pertimbangan etis atau moral. Marxisme ortodoks, sesuai pemikiran Marx dan Hegel, memang selalu  meremehkan moral sebagai tipuan ideologis. Pragmatisme kekuasaan ini semakin menyingkirkan pertimbangan moral maupun etika. Pragmatisme kekuasaan menjadi tempat persemayaman benih-benih totalitarianisme. Karena itu partai meremehkan jatuhnya korban demi “membangun sosialisme”: darah ditumpahkan, pengritik dikubur dalam kam-kam kerja, proses hukum dikesampingkan, pertanggungjawaban demokratis dan hormat terhadap hak-hak asasi manusia ditertawakan.
Bagi partai komunis, stabilitas kekuasaan tidak bisa diganggu. Mengkritik kediktatoran aparat partai dengan mengacu pada moralitas dan bahkan cita-cita Marxisme sendiri mengancam stabilitas kekuasaan partai, dan karena itu harus ditindas. Itulah juga sebabnya, sampai pada tahun 1970-an, partai-partai komunis melarang semua diskurus-diskursus dalam partai tentang Marxisme.  Pemikir-pemikir Marxisme Leninis, seperti Lukaks, Korsch, dan Tan Malaka tidak bisa dibiarkan.
Dalam kurun waktu hanya 74 tahun, dari revolusi Oktober sampai 1991, rezim-rezim komunis sedunia membunuh sekurang-kurangnya 60 juta orang, suatu angka yang mengerikan. Angka ini berlum termasuk jumlah sekitar 65 juta orang terbunuh selama perjuangan Komunis di Tiongkok.

Sosialisme Eropa Melepaskan Marxisme
Akibat dari cara-cara  partai komunis yant tidak manusiawi tersebut, mayoritas kaum sosialis di Eropa menolak kekerasan dan teror. Bagi sosialis Eropa, pada hakekatnya sosialieme merupakan sesuatu yang etis dan karena itu, sosialisme hanya dapat diperjuangkan dengan cara-cara yang sesuai dengan tuntutan etika dan kemanusiaan. Lama-kelamaan, sosialisme  Eropa melepaskan Marxisme sebagai ideologi  perjuangan dan menggantikannya dengan sosialisme demokratis. Perkembangan ini dianggap sebagai kemenangan revisionism. Karl Kautsky dan banyak tokoh-tokoh ortodoks ajaran Marx lainnya menolak kebijakan terror Lenin.
            Sampai tahun 1975, kekuasaan komunis memuncak. Sepertiga umat manusia hidup dalam negara-negara yang dikuasai oleh partai Komunis. Pada tahun yang sama, tahun ini juga  sekaligus merupakan titik balik. Persatuan dunia komunis mulai retak. Pada tahun 1989, akhirnya komunisme internasional berakhir. Rezim-rezim komunis di Eropa  Timur kolaps, partai-partai komunis melepaskan kekuasaan, dan terbukalah pintu untuk demokrasi. Dengan sendirinya Pakta Warsawa (aliansi negara Komunis/blok Timur, pimpinan Uni Soviet,  sebagai tandingan NATO dan SEATO (blok Barat, pimpinan Amerika Serikat) ambruk.
Pada akhir tahun 1991, Uni Soviet, negara adikuasa kedua, pecah menjadi 14 Republik independen. Hanya di Cina, Korea Utara, Vietnam, Laos dan Kuba rezim-rezim komunis masih berhasil berpegang pada kekuasaan. Namun mereka pun berhadapan dengan pilihan dilematis: mengubah perekonomian menjadi ekonomi pasar  dan dengan demikian melepaskan sosialisme, atau ketinggalan zaman mirip fosil dari Jurassik Park.

Penutup
            Pragmatisme kekuasaan  yang menggunakan segala cara dan kediktatoran melalui Partai Komunis (baik pada tingkat nasional maupun tingkat internasional) demi mewujudkan sosialisme  yang dicita-citakan sejak awal, terbukti tidak berhasil karena mengabaikan ideologi, etika, penghormatan hak asasi manusia serta kesejahteraan masyarakat. Pelajaran berharga bagi penguasa-penguasa dan politisi jaman sekarang adalah bahwa suatu ideologi hanya dapat dan mungkin berhasil diwujudkan bila sistem kekuasaannya diterima dan dibenarkan oleh masyarakatnya.


DAFTAR PUSTAKA

Magnis-Suseno, Franz, 1999, Pemikiran Karl Marx, Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, Jakarta: Gramedia
---------------------------, 2003, Dalam Bayang-Bayang Lenin, Enam Pemikiran Marxisme Dari Lenin sampai Tan Malaka, Jakarta: Gramedia
----------------------------, 2013, Dari Mao ke Marcuse, Percikan Filsafat Marxis Pasca-Lenin, Jakarta: Gramedia


[1] Pemikiran Marx diambil dari Buku Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx, Gramedia: Jakarta, 1999, halaman 8-11.
[2] Diambil dari buku Franz Magnis-Suseno, Dalam Bayang-Bayang Lenin, Enam Pemikiran Marxisme dari Lenin sampai Tan Malaka, Gramedia, Jakarta: 2003, Hl. 42-50.
[3] Referensi dari buku Diambil dari buku Franz Magnis-Suseno, Dalam Bayang-Bayang Lenin, Enam Pemikiran Marxisme dari Lenin sampai Tan Malaka, Gramedia, Jakarta: 2003, Halaman. 234-238.
Powered By Blogger