Trima kasih mengunjungi blog kami!

Para pengunjung yth. semua isi blog ini ditulis atau disusun atas kemauan pribadi. Itu berarti blog ini berisi aneka pendapat, pemahaman, persepsi pribadi, dan pemikiran pribadi atas lingkungan kerja dan hidup sekitarnya. Harapan kami isi blog ini bermanfaat bagi pengunjung yang memerlukannya. Salam, GBU.

Senin, Juni 12, 2017

Kegalauan Orang Tua dan Pola Bina Anak di Era Digital


Oleh Pormadi Simbolon

Dewasa ini, tidak sedikit orang tua mengeluh bahwa anak-anak jaman sekarang tidak memiliki karakter tanggung jawab, cenderung egois dan kurang daya juang, kurang toleran, mental kerupuk, instan, suka membangkang, menentang, susah diatur, kurang mandiri, kurang menghormati orang tua (kurang sopan) dan lain sebagainya.

Tak jarang mereka menyalahkan pola pendidikan di sekolah dan gaya hidup kebanyakan masyarakat yang serba digital dan mewah. Orang tua kadang menjadi keras dalam menerapkan disiplin atau aturan dalam kehidupan keluarga, yang belum tentu manjur dalam pendidikan anak.

Reaksi orang tua yang demikian tidak sepenuhnya salah. Ada beberapa faktor yang dapat merusak pertumbuhkembangan diri anak. Perusak pertumbuhkembangan diri anak antara lain adalah siaran televisi. Banyak program televisi di Indonesia yang menjadi tontonan keluarga kerapkali kurang mendidik. Ada sinetron dan reality show tertentu yang mempertontonkan kurang sopan kepada orang yang lebih tua dan tidak toleran terhadap etnis dan agama yang berbeda.

Yang lebih parah lagi, lingkungan pendidikan sekolah sudah dirasuki tindakan kekerasan, bibit intoleransi dan radikalis. Ada guru TK mengajarkan radikalisme kepada anak sejak usia dini yang disebut dengan “tepuk anak sholeh”. Anak-anak diajarkan saling menepuk tangannya dengan slogan-slogan yang diucapkan bersama-sama “Muslim Yes, Kafir No”. Ini sangat merusak kebersamaan dalam masyarakat majemuk.

Pada hakekatnya anak adalah merupakan pribadi hasil pembentukan zamannya. Anak yang lahir pada tahun empat puluhan sampai dengan tahun enam puluhan pasti berbeda dengan anak yang dilahirkan pada tahun delapan puluhan sampai dengan sembilan puluhan. Anak yang lahir pada tahun empat puluhan sampai dengan tahun enam puluhan akan merasa lebih memiliki karakter tanggung jawab dibadingkan dengan anak yang dilahirkan pada tahun delapan puluhan sampai dengan Sembilan puluhan yang dicap kurang sopan.

Teori Generasi

Dalam teori generasi (Generation Theory) yang dikemukakan Graeme Codrington & Sue Grant-Marshall, Penguin, (2004) dibedakan 5 generasi manusia berdasarkan tahun kelahirannya, yaitu: (1) Generasi Baby Boomer, lahir 1946-1964; (2) Generasi X, lahir 1965-1980; (3) Generasi Y, lahir 1981-1994, sering disebut generasi millennial; (4) Generasi Z, lahir 1995-2010 (disebut juga iGeneration, Generasi Net, Generasi Internet); dan (5) Generasi Alpha, lahir 2011-2025. Kelima generasi tersebut memiliki perbedaan pertumbuhkembangan dalam kepribadian.

Menurut teori generasi, generasi Baby Boomer (BB) yang lahir 1946-1964 dan sekarang berusia 50-an tahun adalah generasi dengan pribadi yang lebih bertanggung jawab. Pada kenyataannya dari kecil mereka sudah diberi tanggung-jawab seperti menjaga adik, memasak air, membersihkan rumah dan lain sebagainya. Hasilnya, mereka selalu bekerja dengan penuh tanggungjawab. Namun di mata generasi muda sekarang ini, mereka dipandang sebagai pribadi yang memiliki sifat menunggu perintah, mesti semua sesuai dengan aturan, memiliki sifat agak mudah tersinggung, pelupa, bawel dan gagap teknologi.

Generasi berikutnya Generasi X (Gen-X), kelahiran 1965-1980 dan sekarang berusia 35-40-an. Generasi ini kerap dipandang memiliki kepribadian kerja keras, patuh pada orang tua, menghargai senior, memiliki jiwa sosial, tidak boros, pantang menyerah. Dilihat dari tahun kelahirannya, mereka memiliki orang tua yang termasuk Generasi BB. Pola mendidik anak pun masih ada kesamaan dengan generasi BB, yaitu dengan disiplin yang keras. Dengan didikan Generasi BB, mereka pun memiliki sikap tanggung jawab. Ketika mereka diserahi tugas apapun, dia akan mengerjakannya penuh tanggung jawab.

Generasi Y (Gen-Y) lahir 1981-1994 dan sekarang berusia 23-30-an tahun. Keadaan ekonomi orang tuanya sudah lebih baik. Kedua orang tua umumnya bekerja di luar rumah. Anak-anak yang lahir pada tahun ini kerap dicap memiliki ego-tinggi, individual, tidak suka diceramahi, suka menunda pekerjaan, kapan butuh baru dikerjakan, tergesa-gesa, cuek, menekankan ego, kurang disiplin, boros, ingin bebas dari orang tua dan suka memilih (membandingkan). Pada umumnya, anak generasi Y kurang mendapatkan latihan tanggungjawab yang berakibat mereka kurang memiliki tanggung jawab, suka yang serba instan, dan praktis.

Generasi Z (Gen-Z), lahir 1995-2010 dan sekarang berusia 7-20-an tahun. Mereka ini kerap disebut juga iGeneration, Generasi Net, Generasi Internet. Orangtua mereka berasal dari generasi X dan Y.

Generasi Alpha (Gen-A), lahir 2011-2025 dan sekarang masih berusia anak-anak. Generasi Alpa memiliki orang tua dari generasi Z, yang pola hidupnya sudah dipengaruhi oleh kemajuan teknologi (gadget). Pengasuhan dibantu oleh asisten Rumah Tangga. Dampaknya, terbentuklah anak-anak yang kerapkali harus minta dibantu, hampir tidak pernah mendapat latihan tanggungjawab. Pribadi Generasi Alpha terbentuk menjadi anak manja, daya juang kurang, dan cepat menyerah.

Berawal dalam keluarga

Dari teori generasi di atas, kita dapat berpendapat bahwa pola pebentukan kepribadian anak-anak tidak sepenuhnya merupakan kesalahan orangtua, pendidikan di sekolah dan masyarakat. Perkembangan zaman, teknologi informasi dan ilmu pengetahuan juga mempunyai pengaruhi besar dalam pembentukan karakter atau keperibadian seseorang. Pembentukan karakter pribadi seseorang pada tahun empat puluhan tidak sekompleks pembentukan pribadi anak di jaman sekarang.

Namun yang paling mendasar diketahui dari teori generasi tersebut adalah bahwa semua pertumbuhan karakter positif seseorang berawal dari dalam keluarga, dimana anak memulai kehidupannya sebagai bayi, bahkan sejak dalam kandungan. Demikian pula halnya masalah iman atau agama seseorang. Kualitas kehidupan iman atau kehidupan keagamaan seseorang bermula dalam keluarga. Kualitas keluarga menentukan kualitas iman atau agama setiap anak-anak yang lahir di dalam keluarga tersebut. Bila keluarga kacau, maka kepribadian anak pun sangat mungkin akan menjadi kacau.

Pertumbuhkembangan diri anak bisa diibaratkan dengan suatu benih. Setiap anak membawa potensi nilai-nilai yang baik dan yang buruk di dalam dirinya untuk berkembang. Namun potensi tersebut berkembang dan bertumbuh sesuai dengan kualitas tanah dan lingkungan sekitarnya. Konten siaran televisi harus diawasi. Lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat harus kondusif dalam pembentukan karakter anak. Yang kerap terjadi di lingkungan sekitar anak adalah kurangnya model atau keteladanan dalam keluarga.

Ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian semua pihak. Pertama, keluarga, sekolah, masyarakat dan pemerintah harus mengupayakan adanya model atau keteladanan atas “nilai-nilai” bagi anak-anak di rumah, sekolah dan masyarakat. Kalau anak sering melihat orang tuanya berdoa, bertanggung jawab atas ekonomi keluarga, membaca Kitab Suci, menolong sesama, mendengar dengan penuh kasih sayang, menghargai perbedaan – maka anak-anak akan menjadi pribadi yang baik, yang toleran, bertanggung jawab, saleh dan beriman/beragama.

Yang kedua, semua pihak perlu melakukan pola pendidikan anak yang memotivasi dan mendorong agar anak-anak melakukan hal-hal baik secara langsung, seperti praktek perilaku sopan santun, taat aturan, berdoa sebelum/sesudah tidur, sebelum/sesudah makan, menolong sesama, membereskan tempat tidur, membuang sampah pada tempatnya, mengunjungi dan memperkenalkan rumah ibadat agama lain, dan lain sebagainya. Anak-anak harus mengalami langsung praktek perbuatan “nilai” tersebut.

Yang ketiga, penggunaan gadget (smartphone) perlu diberi aturan yang jelas dan selalu dalam pengawasan orang tua atau guru,khususnya dalam hal konten media sosial Misalnya, bermain gadget dilarang pada saat makan bersama, rekreasi dan saat belajar. Konten media sosial yang dikonsumsi anak harus kondusif bagi pertumbuhkembangan pribadi anak.

Pada dasarnya, pembentukan karakter anak di era digital akan lebih bermaksa signifikan bila orang dewasa di sekitarnya memberi keteladanan yang baik. Perbuatan "nilai" yang dialami langsung oleh anak akan lebih bermakna dan berdampak positif daripada memasukkan seribu kata atau nasehat kepada anak-anak.

Penulis pemerhati pendidikan anak, ASN Kemenag

Rabu, Juni 07, 2017

Ditjen Bimas Katolik Gelar Pembinaan dan Sosialisasi Zona Integritas


Dalam rangka pembangunan Zona Integritas, langkah-langkah yang dilakukan pemerintah, dalam hal ini dimotori oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, maka, dikeluarkanlah peraturan baru yang mengintegrasikan instrumen Zona Integritas dengan instrumen Evaluasi Reformasi Birokrasi dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas dari Korupsi dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani di Lingkungan Instansi Pemerintah. Demikian disampaikan Ketua Panitia, Hari, mewakili Direktur Jenderal Bimas Katolik ketika membuka kegiatan Pembinaan dan Sosialisasi Pelaksanaan Zona Integritas dan Reformasi Birokrasi di lingkungan Direktorat Jenderal (Ditjen) Bimbingan Masyarakat Katolik di Bogor yang berlangsung dari Senin sampai dengan Kamis (29 Mei s.d. 1 Juni 2017).

Lebih lanjut, Hari mengajak peserta yang terdiri dari para pejabat eselon III, IV dan pegawai jabatan fungsional umum dan tertentu di lingkungan Ditjen Bimas Katolik untuk sungguh-sungguh mempelajari bagaimana menangani dokumen zona integritas yang sekaligus juga menjadi dokumen Reformasi Birokrasi.

“Dalam waktu yang tidak lama lagi, Ombudsman akan dating melakukan survey terkait pelayanan public Ditjen Bimas Katolik dan Inspektorat Jenderal akan memberikan catatan atas pembangunan Zona Integritas di lingkungan kerja kita. Saya mengajak kita semua agar belajar bagaimana menangani dokumen zona integritas. Saya berharap kita bisa berjalan lebih cermat dan menghimppun dokumen penting dalam membangun zona integritas” tegasnya.

Zona integritas adalah predikat yang diberikan kepada instansi pemerintah yang pimpinan dan jajarannya mempunyai komitmen untuk mewujudkan Wilayah Bebas Korupsi (WBK) /Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM) melalui reformasi birokrasi, khususnya dalam hal pencegahan korupsi dan peningkatan kualitas pelayanan publik.

Kegiatan pembinaan dan sosialisasi ini para peserta dibekali berbagai materi pembinaan antara lain: (1) Pembangunan Zona Integritas menuju WBK/WBBM pembicara dari Inspektorat Jenderal Kementerian Agama; (2) Reviu dan Perbaikan Standar Pelayanan dan SOP oleh Pembicara dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi; (3) Penetapan Kinerja Individu berbasis Online dalam kaitan Sistem informasi Kepegawaian oleh Pembicara dari Biro Organisasi dan Tatalaksana kemenerian Agama dan (4) Implementasi Pengendalian Gratifikasi, Benturan Kepentingan dan Pengaduan Masyarakat oleh Pembicara dari Komisi Pemberantasan Korupsi.

Mendalami materi para narasumber, Hari, sebagai ketua panitia mengajak para peserta membahas 26 item atau sub unsur pembangunan zona integritas yang diturunkan dari 6 komponen pengungkit (Manajemen Perubahan, Penataan Tatalaksana, Penataan Manajemen SDM, Penguatan Pengawasan, Penguatan Akuntabilitas Kinerja, dan Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik) dan 2 indikator hasil (Terwujudnya Pemerintahan yang Bersih dan Bebas KKN dan Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik)

. Sebelum kegiatan berakhir, panitia melakukan tindak lanjut dan koordinasi terkait pembentukan tim kerja Zona Integritas dan rencana aksi ke depan dalam rangka membangun zona integritas di lingkungan Ditjen Bimas Katolik antara lain melakukan penetapan standar pelayanan atas beberapa layanan publik yang ada pada Ditjen Bimas Katolik dan perbaikan SOP. (Pormadi)

Sabtu, Juni 03, 2017

Beragama dan Ber-Pancasila


Oleh Pormadi Simbolon

“Pancasila bukan agama. …karena itu, walaupun fungsi dan peran Pancasila dan agama berbeda, dalam negara Pancasila kita dapat menjadi pengamal agama yang taat sekaligus pengamal Pancasila yang baik. Karena itu, jangan sekali-kali ada yang mempertentangkan agama dengan Pancasila karena keduanya tidak bertentangan” (Presiden Soeharto, Pidato Kenegaraan tanggal 16 Agustus 1983).

Membaca kutipan pidato kenegaraan tersebut, kita disadarkan bahwa ketahanan negara Indonesia dapat kokoh jika seyogiyanya warga negara Indonesia menjadi pemeluk agama yang taat sekaligus pengamal Pancasila yang baik dalam bernegara dan bermasyarakat.

Sayangnya, beberapa bulan terakhir, kehidupan berbangsa masyarakat Indonesia sedang menghadapi tantangan. Masyarakat disuguhi berbagai sajian drama saling serang antar kubu yang berseberangan. Masyarakat menjadi terbiasa pada warta kebencian serta tidak malu-malu lagi untuk adu caci maki di hadapan publik.

Drama saling mewartakan kebencian tampak dalam dunia media sosial. Yang paling terasa, dalam Pilkada DKI Jakarta lalu, media sosial digunakan untuk identifikasi diri dan pihak lain sebagai dua kelompok berlawanan. Terkesan satu kubu lebih rasional, kubu lain lebih emosional. Yang lebih parah, ada kubu yang memanfaatkan identitas agama dan etnis, untuk menjatuhkan kubu lain. Ujung-ujungnya, masing-masing pendukung (kubu) hingga ke akar rumput mulai fanatik. Tak jarang persahabatan atau persaudaraan rusak gara-gara beda pilihan, kawan di-unfriend, kolega diblok, bahkan left grup keluarga hingga debad kusir di meja makan.

Fenomena keretakan sosial dalam bermasyarakat di atas membawa kesan bahwa sikap dan perilaku kita sebagai pemeluk salah satu agama dalam sistem negara Pancasila semakin memudar. Ada kesan, agama ditonjolkan, Pancasila diabaikan dalam hidup bernegara dan bermasyarakat.

Pancasila sebagai Kesepakatan Bersama

Kita sangat bersyukur atas konsensus yang dihasilkan para pendiri bangsa yang sekarang dikenal dengan sebutan empat pilar yaitu: Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Undang-Undang Dasar 1945. Nilai-nilai kearifan lokal dan agama dikristalkan dalam butir-butir nilai Pancasila.

Para pendiri bangsa menyadari bahwa masyarakat Indonesia beraneka ragam dari segi agama, etnis, budaya dan bahasa. Oleh sebab itu, Pancasila dijadikan sebagai philosofische grondslag (dasar falsafah) yang terdiri atas sila-sila: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusrawaratan/ perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila dengan lima butir tersebut disepakati dalam rapat pleno Panitia Persiapan Kemerdekaan pada tanggal 18 Agustus 1945 dalam rangka pengesahan UUD Negara Republik Indonesia, yang dalam pembukaannya, pada alinea keempat, tercantum rumusan Pancasila.

Pancasila sebagai philosofische grondslag, merupakan fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia yang kekal abadi (Pidato lahirnya Pancasila). Pancasila adalah dasar dan ideologi negara yang berfungsi juga sebagai suatu dasar moral dan ikatan moral seluruh bangsa Indonesia dalam bernegara dan bermasyarakat (Roeslan Abdulgani, 1977:16)

Tanpa Kehilangan Identitas

Berangkat dari lahirnya Pancasila, kita memperhatikan ada debat yang sangat alot antara golongan nasionalis dengan golongan Islam. Pada akhirnya, masing-masing perwakilan baik dari golongan nasionalis maupun Islam sadar bahwa negara yang mau dibangun ini hanya bisa kooh apabila dilema wewenang ideologis bisa teratasi.

Akhirnya, Pancasila diterima sebagai ideologi negara, di satu pihak dengan tidak memutlakkan cita-cita golongannya sendiri, sehingga golongan lain pun menjadi kerasan dalam hidup bersama, di pihak lain, karena Pancasila memang dianut oleh semua golongan, maka dalam menerima Pancasila, mereka tidak perlu mengorbankan apa pun dari identitas mereka sendiri. (Sudjangi, Depertemen Agama 1991/1992: 228).

Kesepakatan menerima Pancasila sebagai dasar berdirinya “rumah bersama” Indonesia, semua golongan baik Islam maupun nasionalis menjadi warga negara yang sama martabatnya. Pancasila menjamin bahwa pemeluk agama Islam dapat betul-betul hidup sebagai orang Islam, orang Kristen dapat hidup betul-betul sebagai orang Kristen, demikian juga pemeluk agama dan kepercayaan lainnya dalam sistem negara Pancasila.

Berangkat dari situasi kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang mengalami keretakan dewasa ini, sudah mendesak dilakukan pemantapan agama dan penyadaran Pancasila sebagai filosofi hidup bermasyarakat dan bernegara. Setiap warga negara Indonesia harus menjadi pemeluk agama terbaik sekaligus Pancasilais dalam bermasyarakat dan bernegara.

Pemantapan agama dilakukan melalui Kementerian Agama. Kementerian Agama mempunyai tugas dan fungsi memfasilitasi dan melayani semua agama agar menjadi pemeluk agama terbaik.

Pemantapan Pancasila dilakukan dengan cara antara lain menghidupkan kembali mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) di sekolah dasar dan menengah, dimana butir-butir Pancasila diimplementasikan dengan contoh praktek hidup sehari-hari. Mata pelajaran PMP yang penulis alami akhir tahun 1980-an dan awal tahun 1990-an sangat bermanfaat dalam perjalanan kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang majemuk.

Baik pemantapan kehidupan keagamaan maupun pemantapan falsafah Pancasila sebagai dasar bernegara dan bermasyarakat dapat dilakukan sosialisasi melalui media massa dan media sosial. Lagu-lagu kebangsaan sebaiknya ditayangkan layaknya iklan bukannya menayangkan lagu partai tertentu. Para tokoh masyarakat, tokoh agama dan pejabat negara memberikan teladan bijak menggunakan media sosial kepada para follower-nya, dengan mem-viralkan konten nilai-nilai agama yang pancasilais.

Tentu, pemerintah dan masyarakat perlu bekerjasama mengawasi dan menyelesaikan segala bentuk konten berisi bibit perusak kehidupan beragama dan bermasyarakat. Pemerintah perlu membuat ruang atau media online sebagai ruang pengaduan masyarakat atas akun media sosial yang terindikasi menyebarkan bibit-bibit perusak bangsa seperti intoleransi, radikalisme dan terorisme. Pemerintah harus menindaklanjuti laporan masyarakat agar berdaya efek jera, dan kejadian yang sama tidak terulang. Semoga. Selamat Hari Lahir Pancasila 2017.

Penulis ASN Kemenag, alumnus STF Widyasasana Malang
Powered By Blogger