Trima kasih mengunjungi blog kami!

Para pengunjung yth. semua isi blog ini ditulis atau disusun atas kemauan pribadi. Itu berarti blog ini berisi aneka pendapat, pemahaman, persepsi pribadi, dan pemikiran pribadi atas lingkungan kerja dan hidup sekitarnya. Harapan kami isi blog ini bermanfaat bagi pengunjung yang memerlukannya. Salam, GBU.

Senin, Juni 12, 2017

Kegalauan Orang Tua dan Pola Bina Anak di Era Digital


Oleh Pormadi Simbolon

Dewasa ini, tidak sedikit orang tua mengeluh bahwa anak-anak jaman sekarang tidak memiliki karakter tanggung jawab, cenderung egois dan kurang daya juang, kurang toleran, mental kerupuk, instan, suka membangkang, menentang, susah diatur, kurang mandiri, kurang menghormati orang tua (kurang sopan) dan lain sebagainya.

Tak jarang mereka menyalahkan pola pendidikan di sekolah dan gaya hidup kebanyakan masyarakat yang serba digital dan mewah. Orang tua kadang menjadi keras dalam menerapkan disiplin atau aturan dalam kehidupan keluarga, yang belum tentu manjur dalam pendidikan anak.

Reaksi orang tua yang demikian tidak sepenuhnya salah. Ada beberapa faktor yang dapat merusak pertumbuhkembangan diri anak. Perusak pertumbuhkembangan diri anak antara lain adalah siaran televisi. Banyak program televisi di Indonesia yang menjadi tontonan keluarga kerapkali kurang mendidik. Ada sinetron dan reality show tertentu yang mempertontonkan kurang sopan kepada orang yang lebih tua dan tidak toleran terhadap etnis dan agama yang berbeda.

Yang lebih parah lagi, lingkungan pendidikan sekolah sudah dirasuki tindakan kekerasan, bibit intoleransi dan radikalis. Ada guru TK mengajarkan radikalisme kepada anak sejak usia dini yang disebut dengan “tepuk anak sholeh”. Anak-anak diajarkan saling menepuk tangannya dengan slogan-slogan yang diucapkan bersama-sama “Muslim Yes, Kafir No”. Ini sangat merusak kebersamaan dalam masyarakat majemuk.

Pada hakekatnya anak adalah merupakan pribadi hasil pembentukan zamannya. Anak yang lahir pada tahun empat puluhan sampai dengan tahun enam puluhan pasti berbeda dengan anak yang dilahirkan pada tahun delapan puluhan sampai dengan sembilan puluhan. Anak yang lahir pada tahun empat puluhan sampai dengan tahun enam puluhan akan merasa lebih memiliki karakter tanggung jawab dibadingkan dengan anak yang dilahirkan pada tahun delapan puluhan sampai dengan Sembilan puluhan yang dicap kurang sopan.

Teori Generasi

Dalam teori generasi (Generation Theory) yang dikemukakan Graeme Codrington & Sue Grant-Marshall, Penguin, (2004) dibedakan 5 generasi manusia berdasarkan tahun kelahirannya, yaitu: (1) Generasi Baby Boomer, lahir 1946-1964; (2) Generasi X, lahir 1965-1980; (3) Generasi Y, lahir 1981-1994, sering disebut generasi millennial; (4) Generasi Z, lahir 1995-2010 (disebut juga iGeneration, Generasi Net, Generasi Internet); dan (5) Generasi Alpha, lahir 2011-2025. Kelima generasi tersebut memiliki perbedaan pertumbuhkembangan dalam kepribadian.

Menurut teori generasi, generasi Baby Boomer (BB) yang lahir 1946-1964 dan sekarang berusia 50-an tahun adalah generasi dengan pribadi yang lebih bertanggung jawab. Pada kenyataannya dari kecil mereka sudah diberi tanggung-jawab seperti menjaga adik, memasak air, membersihkan rumah dan lain sebagainya. Hasilnya, mereka selalu bekerja dengan penuh tanggungjawab. Namun di mata generasi muda sekarang ini, mereka dipandang sebagai pribadi yang memiliki sifat menunggu perintah, mesti semua sesuai dengan aturan, memiliki sifat agak mudah tersinggung, pelupa, bawel dan gagap teknologi.

Generasi berikutnya Generasi X (Gen-X), kelahiran 1965-1980 dan sekarang berusia 35-40-an. Generasi ini kerap dipandang memiliki kepribadian kerja keras, patuh pada orang tua, menghargai senior, memiliki jiwa sosial, tidak boros, pantang menyerah. Dilihat dari tahun kelahirannya, mereka memiliki orang tua yang termasuk Generasi BB. Pola mendidik anak pun masih ada kesamaan dengan generasi BB, yaitu dengan disiplin yang keras. Dengan didikan Generasi BB, mereka pun memiliki sikap tanggung jawab. Ketika mereka diserahi tugas apapun, dia akan mengerjakannya penuh tanggung jawab.

Generasi Y (Gen-Y) lahir 1981-1994 dan sekarang berusia 23-30-an tahun. Keadaan ekonomi orang tuanya sudah lebih baik. Kedua orang tua umumnya bekerja di luar rumah. Anak-anak yang lahir pada tahun ini kerap dicap memiliki ego-tinggi, individual, tidak suka diceramahi, suka menunda pekerjaan, kapan butuh baru dikerjakan, tergesa-gesa, cuek, menekankan ego, kurang disiplin, boros, ingin bebas dari orang tua dan suka memilih (membandingkan). Pada umumnya, anak generasi Y kurang mendapatkan latihan tanggungjawab yang berakibat mereka kurang memiliki tanggung jawab, suka yang serba instan, dan praktis.

Generasi Z (Gen-Z), lahir 1995-2010 dan sekarang berusia 7-20-an tahun. Mereka ini kerap disebut juga iGeneration, Generasi Net, Generasi Internet. Orangtua mereka berasal dari generasi X dan Y.

Generasi Alpha (Gen-A), lahir 2011-2025 dan sekarang masih berusia anak-anak. Generasi Alpa memiliki orang tua dari generasi Z, yang pola hidupnya sudah dipengaruhi oleh kemajuan teknologi (gadget). Pengasuhan dibantu oleh asisten Rumah Tangga. Dampaknya, terbentuklah anak-anak yang kerapkali harus minta dibantu, hampir tidak pernah mendapat latihan tanggungjawab. Pribadi Generasi Alpha terbentuk menjadi anak manja, daya juang kurang, dan cepat menyerah.

Berawal dalam keluarga

Dari teori generasi di atas, kita dapat berpendapat bahwa pola pebentukan kepribadian anak-anak tidak sepenuhnya merupakan kesalahan orangtua, pendidikan di sekolah dan masyarakat. Perkembangan zaman, teknologi informasi dan ilmu pengetahuan juga mempunyai pengaruhi besar dalam pembentukan karakter atau keperibadian seseorang. Pembentukan karakter pribadi seseorang pada tahun empat puluhan tidak sekompleks pembentukan pribadi anak di jaman sekarang.

Namun yang paling mendasar diketahui dari teori generasi tersebut adalah bahwa semua pertumbuhan karakter positif seseorang berawal dari dalam keluarga, dimana anak memulai kehidupannya sebagai bayi, bahkan sejak dalam kandungan. Demikian pula halnya masalah iman atau agama seseorang. Kualitas kehidupan iman atau kehidupan keagamaan seseorang bermula dalam keluarga. Kualitas keluarga menentukan kualitas iman atau agama setiap anak-anak yang lahir di dalam keluarga tersebut. Bila keluarga kacau, maka kepribadian anak pun sangat mungkin akan menjadi kacau.

Pertumbuhkembangan diri anak bisa diibaratkan dengan suatu benih. Setiap anak membawa potensi nilai-nilai yang baik dan yang buruk di dalam dirinya untuk berkembang. Namun potensi tersebut berkembang dan bertumbuh sesuai dengan kualitas tanah dan lingkungan sekitarnya. Konten siaran televisi harus diawasi. Lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat harus kondusif dalam pembentukan karakter anak. Yang kerap terjadi di lingkungan sekitar anak adalah kurangnya model atau keteladanan dalam keluarga.

Ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian semua pihak. Pertama, keluarga, sekolah, masyarakat dan pemerintah harus mengupayakan adanya model atau keteladanan atas “nilai-nilai” bagi anak-anak di rumah, sekolah dan masyarakat. Kalau anak sering melihat orang tuanya berdoa, bertanggung jawab atas ekonomi keluarga, membaca Kitab Suci, menolong sesama, mendengar dengan penuh kasih sayang, menghargai perbedaan – maka anak-anak akan menjadi pribadi yang baik, yang toleran, bertanggung jawab, saleh dan beriman/beragama.

Yang kedua, semua pihak perlu melakukan pola pendidikan anak yang memotivasi dan mendorong agar anak-anak melakukan hal-hal baik secara langsung, seperti praktek perilaku sopan santun, taat aturan, berdoa sebelum/sesudah tidur, sebelum/sesudah makan, menolong sesama, membereskan tempat tidur, membuang sampah pada tempatnya, mengunjungi dan memperkenalkan rumah ibadat agama lain, dan lain sebagainya. Anak-anak harus mengalami langsung praktek perbuatan “nilai” tersebut.

Yang ketiga, penggunaan gadget (smartphone) perlu diberi aturan yang jelas dan selalu dalam pengawasan orang tua atau guru,khususnya dalam hal konten media sosial Misalnya, bermain gadget dilarang pada saat makan bersama, rekreasi dan saat belajar. Konten media sosial yang dikonsumsi anak harus kondusif bagi pertumbuhkembangan pribadi anak.

Pada dasarnya, pembentukan karakter anak di era digital akan lebih bermaksa signifikan bila orang dewasa di sekitarnya memberi keteladanan yang baik. Perbuatan "nilai" yang dialami langsung oleh anak akan lebih bermakna dan berdampak positif daripada memasukkan seribu kata atau nasehat kepada anak-anak.

Penulis pemerhati pendidikan anak, ASN Kemenag

Rabu, Juni 07, 2017

Ditjen Bimas Katolik Gelar Pembinaan dan Sosialisasi Zona Integritas


Dalam rangka pembangunan Zona Integritas, langkah-langkah yang dilakukan pemerintah, dalam hal ini dimotori oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, maka, dikeluarkanlah peraturan baru yang mengintegrasikan instrumen Zona Integritas dengan instrumen Evaluasi Reformasi Birokrasi dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas dari Korupsi dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani di Lingkungan Instansi Pemerintah. Demikian disampaikan Ketua Panitia, Hari, mewakili Direktur Jenderal Bimas Katolik ketika membuka kegiatan Pembinaan dan Sosialisasi Pelaksanaan Zona Integritas dan Reformasi Birokrasi di lingkungan Direktorat Jenderal (Ditjen) Bimbingan Masyarakat Katolik di Bogor yang berlangsung dari Senin sampai dengan Kamis (29 Mei s.d. 1 Juni 2017).

Lebih lanjut, Hari mengajak peserta yang terdiri dari para pejabat eselon III, IV dan pegawai jabatan fungsional umum dan tertentu di lingkungan Ditjen Bimas Katolik untuk sungguh-sungguh mempelajari bagaimana menangani dokumen zona integritas yang sekaligus juga menjadi dokumen Reformasi Birokrasi.

“Dalam waktu yang tidak lama lagi, Ombudsman akan dating melakukan survey terkait pelayanan public Ditjen Bimas Katolik dan Inspektorat Jenderal akan memberikan catatan atas pembangunan Zona Integritas di lingkungan kerja kita. Saya mengajak kita semua agar belajar bagaimana menangani dokumen zona integritas. Saya berharap kita bisa berjalan lebih cermat dan menghimppun dokumen penting dalam membangun zona integritas” tegasnya.

Zona integritas adalah predikat yang diberikan kepada instansi pemerintah yang pimpinan dan jajarannya mempunyai komitmen untuk mewujudkan Wilayah Bebas Korupsi (WBK) /Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM) melalui reformasi birokrasi, khususnya dalam hal pencegahan korupsi dan peningkatan kualitas pelayanan publik.

Kegiatan pembinaan dan sosialisasi ini para peserta dibekali berbagai materi pembinaan antara lain: (1) Pembangunan Zona Integritas menuju WBK/WBBM pembicara dari Inspektorat Jenderal Kementerian Agama; (2) Reviu dan Perbaikan Standar Pelayanan dan SOP oleh Pembicara dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi; (3) Penetapan Kinerja Individu berbasis Online dalam kaitan Sistem informasi Kepegawaian oleh Pembicara dari Biro Organisasi dan Tatalaksana kemenerian Agama dan (4) Implementasi Pengendalian Gratifikasi, Benturan Kepentingan dan Pengaduan Masyarakat oleh Pembicara dari Komisi Pemberantasan Korupsi.

Mendalami materi para narasumber, Hari, sebagai ketua panitia mengajak para peserta membahas 26 item atau sub unsur pembangunan zona integritas yang diturunkan dari 6 komponen pengungkit (Manajemen Perubahan, Penataan Tatalaksana, Penataan Manajemen SDM, Penguatan Pengawasan, Penguatan Akuntabilitas Kinerja, dan Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik) dan 2 indikator hasil (Terwujudnya Pemerintahan yang Bersih dan Bebas KKN dan Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik)

. Sebelum kegiatan berakhir, panitia melakukan tindak lanjut dan koordinasi terkait pembentukan tim kerja Zona Integritas dan rencana aksi ke depan dalam rangka membangun zona integritas di lingkungan Ditjen Bimas Katolik antara lain melakukan penetapan standar pelayanan atas beberapa layanan publik yang ada pada Ditjen Bimas Katolik dan perbaikan SOP. (Pormadi)

Sabtu, Juni 03, 2017

Beragama dan Ber-Pancasila


Oleh Pormadi Simbolon

“Pancasila bukan agama. …karena itu, walaupun fungsi dan peran Pancasila dan agama berbeda, dalam negara Pancasila kita dapat menjadi pengamal agama yang taat sekaligus pengamal Pancasila yang baik. Karena itu, jangan sekali-kali ada yang mempertentangkan agama dengan Pancasila karena keduanya tidak bertentangan” (Presiden Soeharto, Pidato Kenegaraan tanggal 16 Agustus 1983).

Membaca kutipan pidato kenegaraan tersebut, kita disadarkan bahwa ketahanan negara Indonesia dapat kokoh jika seyogiyanya warga negara Indonesia menjadi pemeluk agama yang taat sekaligus pengamal Pancasila yang baik dalam bernegara dan bermasyarakat.

Sayangnya, beberapa bulan terakhir, kehidupan berbangsa masyarakat Indonesia sedang menghadapi tantangan. Masyarakat disuguhi berbagai sajian drama saling serang antar kubu yang berseberangan. Masyarakat menjadi terbiasa pada warta kebencian serta tidak malu-malu lagi untuk adu caci maki di hadapan publik.

Drama saling mewartakan kebencian tampak dalam dunia media sosial. Yang paling terasa, dalam Pilkada DKI Jakarta lalu, media sosial digunakan untuk identifikasi diri dan pihak lain sebagai dua kelompok berlawanan. Terkesan satu kubu lebih rasional, kubu lain lebih emosional. Yang lebih parah, ada kubu yang memanfaatkan identitas agama dan etnis, untuk menjatuhkan kubu lain. Ujung-ujungnya, masing-masing pendukung (kubu) hingga ke akar rumput mulai fanatik. Tak jarang persahabatan atau persaudaraan rusak gara-gara beda pilihan, kawan di-unfriend, kolega diblok, bahkan left grup keluarga hingga debad kusir di meja makan.

Fenomena keretakan sosial dalam bermasyarakat di atas membawa kesan bahwa sikap dan perilaku kita sebagai pemeluk salah satu agama dalam sistem negara Pancasila semakin memudar. Ada kesan, agama ditonjolkan, Pancasila diabaikan dalam hidup bernegara dan bermasyarakat.

Pancasila sebagai Kesepakatan Bersama

Kita sangat bersyukur atas konsensus yang dihasilkan para pendiri bangsa yang sekarang dikenal dengan sebutan empat pilar yaitu: Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Undang-Undang Dasar 1945. Nilai-nilai kearifan lokal dan agama dikristalkan dalam butir-butir nilai Pancasila.

Para pendiri bangsa menyadari bahwa masyarakat Indonesia beraneka ragam dari segi agama, etnis, budaya dan bahasa. Oleh sebab itu, Pancasila dijadikan sebagai philosofische grondslag (dasar falsafah) yang terdiri atas sila-sila: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusrawaratan/ perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila dengan lima butir tersebut disepakati dalam rapat pleno Panitia Persiapan Kemerdekaan pada tanggal 18 Agustus 1945 dalam rangka pengesahan UUD Negara Republik Indonesia, yang dalam pembukaannya, pada alinea keempat, tercantum rumusan Pancasila.

Pancasila sebagai philosofische grondslag, merupakan fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia yang kekal abadi (Pidato lahirnya Pancasila). Pancasila adalah dasar dan ideologi negara yang berfungsi juga sebagai suatu dasar moral dan ikatan moral seluruh bangsa Indonesia dalam bernegara dan bermasyarakat (Roeslan Abdulgani, 1977:16)

Tanpa Kehilangan Identitas

Berangkat dari lahirnya Pancasila, kita memperhatikan ada debat yang sangat alot antara golongan nasionalis dengan golongan Islam. Pada akhirnya, masing-masing perwakilan baik dari golongan nasionalis maupun Islam sadar bahwa negara yang mau dibangun ini hanya bisa kooh apabila dilema wewenang ideologis bisa teratasi.

Akhirnya, Pancasila diterima sebagai ideologi negara, di satu pihak dengan tidak memutlakkan cita-cita golongannya sendiri, sehingga golongan lain pun menjadi kerasan dalam hidup bersama, di pihak lain, karena Pancasila memang dianut oleh semua golongan, maka dalam menerima Pancasila, mereka tidak perlu mengorbankan apa pun dari identitas mereka sendiri. (Sudjangi, Depertemen Agama 1991/1992: 228).

Kesepakatan menerima Pancasila sebagai dasar berdirinya “rumah bersama” Indonesia, semua golongan baik Islam maupun nasionalis menjadi warga negara yang sama martabatnya. Pancasila menjamin bahwa pemeluk agama Islam dapat betul-betul hidup sebagai orang Islam, orang Kristen dapat hidup betul-betul sebagai orang Kristen, demikian juga pemeluk agama dan kepercayaan lainnya dalam sistem negara Pancasila.

Berangkat dari situasi kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang mengalami keretakan dewasa ini, sudah mendesak dilakukan pemantapan agama dan penyadaran Pancasila sebagai filosofi hidup bermasyarakat dan bernegara. Setiap warga negara Indonesia harus menjadi pemeluk agama terbaik sekaligus Pancasilais dalam bermasyarakat dan bernegara.

Pemantapan agama dilakukan melalui Kementerian Agama. Kementerian Agama mempunyai tugas dan fungsi memfasilitasi dan melayani semua agama agar menjadi pemeluk agama terbaik.

Pemantapan Pancasila dilakukan dengan cara antara lain menghidupkan kembali mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) di sekolah dasar dan menengah, dimana butir-butir Pancasila diimplementasikan dengan contoh praktek hidup sehari-hari. Mata pelajaran PMP yang penulis alami akhir tahun 1980-an dan awal tahun 1990-an sangat bermanfaat dalam perjalanan kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang majemuk.

Baik pemantapan kehidupan keagamaan maupun pemantapan falsafah Pancasila sebagai dasar bernegara dan bermasyarakat dapat dilakukan sosialisasi melalui media massa dan media sosial. Lagu-lagu kebangsaan sebaiknya ditayangkan layaknya iklan bukannya menayangkan lagu partai tertentu. Para tokoh masyarakat, tokoh agama dan pejabat negara memberikan teladan bijak menggunakan media sosial kepada para follower-nya, dengan mem-viralkan konten nilai-nilai agama yang pancasilais.

Tentu, pemerintah dan masyarakat perlu bekerjasama mengawasi dan menyelesaikan segala bentuk konten berisi bibit perusak kehidupan beragama dan bermasyarakat. Pemerintah perlu membuat ruang atau media online sebagai ruang pengaduan masyarakat atas akun media sosial yang terindikasi menyebarkan bibit-bibit perusak bangsa seperti intoleransi, radikalisme dan terorisme. Pemerintah harus menindaklanjuti laporan masyarakat agar berdaya efek jera, dan kejadian yang sama tidak terulang. Semoga. Selamat Hari Lahir Pancasila 2017.

Penulis ASN Kemenag, alumnus STF Widyasasana Malang

Senin, Mei 22, 2017

Bimas Katolik Tanda Kehadiran Negara

Keberadaan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik merupakan pengakuan negara atas keberadaan umat Katolik Indonesia. Agama Katolik merupakan agama yang resmi diakui. Demikian salah satu benang merah sambutan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik melalui sambutan yang disampaikan oleh Direktur Urusan Agama Katolik, Sihar Petrus Simbolon, ketika membuka acara Pembinaan Pembina Keluarga Bahagia Provinsi Sumatera Utara dan Aceh di Medan (Selasa, 16/5/2017). 

"Ditjen Bimas Katolik dibentuk dan ditugaskan untuk melayani dan memfasilitasi umat Katolik agar menjadi pemeluk agam terbaik. Kita ini bukan umat Katolik yang dianggap liar. Kita memiliki hak dan kewajiban yang sama, sama seperti pemeluk agama lain yang di Indonesia" kata Sihar Petrus Imbolon.

Lebih lanjut ia mengatakan kepada 60 orang Pembina keluarga Katolik dari berbagai Kabupaten dan Kota di Provinsi Sumatera Utara dan Aceh, "Para Pembina Keluarga Katolik  merupakan utusan Tuhan yang bertugas membina keluarga Katolik di Paroki atau stasi masing-masing. Keluarga merupakan inti pembangunan bangsa dan Gereja. Jika keluarga hancur maka bangsa atau negara bisa hancur".

Ketua Panitia, Basuki Sigit Taruno, dalam laporannya mengatakan bahwa  pembinaan tenaga Pembina keluarga Katolik yang berlangsung dari Selasa (16/5) dan berakhir pada Jumat (19/5) merupakan program Kementerian Agama guna membangun keluarga agar memiliki daya tahan terhadap tantangan dan terbantu mengatasi permasalahan aktual dewasa ini seperti maraknya berita hoaks, intoleransi, radikalisme, masalah narkoba. 

Para tenaga Pembina keluarga Katolik dibekali oleh para narasumber dari otoritas Keuskupan, pakar kesehatan, akademisi/praktisi pembinaan keluarga dengan materi pembinaan di bidang ajaran iman dan hukum Katolik terkait perkawinan dan keluarga, edukasi kesehatan bagi keluarga, pengembangan ekonomi keluarga, pendekatan konseling pastoral dalam membantu umat menyelesaikan persoalan keluarga,  dan hakekat pembinaan iman anak di era digital dan informasi dan teknologi. 
Selain masukan dari para narasumber, para peserta diajak berdiskusi dalam kelompok terkait pelaksanaan pembinaan keluarga, menginventarisasi masalah dan mencari solusi serta saran-saran untuk tindak lanjut perbaikan pembinaan keluarga ke depan.
Pada hari terakhir, salah seorang peserta, Erlin Tandi dari Paroki Aek Kanopan mengatakan, "Pembinaan ini sangat baik. Semoga kami dapat membagikan pengetahuan dan informasi berharga ini, memperdalam dan menerapkannya di paroki atau stasi kami masing-masing. Kami berharap juga agar Bimas Katolik tetap mengadakan pembinaan Pembina keluarga setiap tahun".

Kegiatan pembinaan tenaga pembina keluarga Katolik merupakan program prioritas Ditjen Bimas Katolik Kementerian Agama guna mewujudkan masyarakat Katolik yang memiliki daya tahan menghadapi tantangan jaman dan seutuhnya Katolik yang meng-Indonesia. 

Acara pembinaan Pembina keluarga Katolik dihadiri Kepala Bagian Tata Usaha, Bapak Muhammad David Saragih mewakili kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sumatera Utara, dan Pembimas Katolik Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sumatera Utara, Yulia Sinurat (Pormadi) ‎

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Lindungi Anak dari Bibit Intoleransi

Oleh Pormadi Simbolon

Anak-anak paling rentan diracuni sikap intoleran dan radikalisme. Banyak peristiwa di lingkungan hidup anak tidak kondusif bagi pertumbuhan diri secara utuh. Dalam beberapa bulan terakhir, semakin sering demonstrasi dan tidak sedikit melibatkan anak. Lebih lagi, demonstran mengkhotbahkan doktrin radikalisme. Gema bibit radikalisme merupakan faktor perusak diri anak dalam masyarakat majemuk seperti Jakarta.

Banyak program televisi juga kurang mendidik. Ada sinetron dan reality show tertentu yang mempertontonkan adegan kurang sopan dan tidak toleran terhadap etnis dan agama yang berbeda. Yang lebih parah, ada lingkungan pendidikan sudah dirasuki bibit intoleransi dan radikalisme. Ada guru TK mengajarkan radikalisme sejak usia dini yang disebut “tepuk anak sholeh”. Anak-anak diajarkan saling menepuk tangannya dengan slogan-slogan yang diucapkan bersama-sama “Muslim yes, kafir no.” Ini sangat merusak kebersamaan dalam masyarakat majemuk.

Menurut Depkes, 0–5 tahun disebut usia dini dan usia anak-anak, 5–11 tahun. Usia tersebut merupakan masa emas pertumbuhan diri yang berawal dari dalam keluarga sebagai unit terkecil masyarakat. Keluarga menjadi tempat anak menerima dan menginternalisasi nilai-nilai iman (jangan membunuh, jangan berzina, jangan mencuri, jangan berbohong, dan sebagainya) dan kebaikan. Keluarga tempat terbaik penanaman nilai-nilai sejak dini. Rumah menjadi sekolah iman dan cinta.

Maka, ayah-ibu memiliki kewajiban menciptakan lingkup keluarga penuh semangat bakti kepada Allah dan kasih sayang terhadap sesama sebagai penunjang keutuhan pendidikan pribadi dan sosial anak-anak. Maka, keluarga adalah lingkungan pendidikan pertama akan keutamaan-keutamaan.

Pembangunan masyarakat harus berbasis keluarga.

Sebagai penerus bangsa, anak-anak di keluarga, sekolah, dan masyarakat perlu dilindungi dari racun intolerasi dan radikalisme. Bocah-bocah sejak dini harus dididik akan nilai-nilai cinta kasih kepada Tuhan dan sesama manusia sebagaimana telah dikristalkan dalam Pancasila.

Semua negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, termasuk Indonesia, melalui Konvensi Hak-hak Anak menyetujui pendidikan dan pembinaan anak-anak diarahkan, antara lain pada pengembangan menghormati hak-hak asasi manusia dan kebebasan hakiki. Kemudian, arah pengembangan menghormati orang tua, kebudayaan, bahasa, dan nilai-nilainya.

Lalu, arah persiapan anak untuk kehidupan yang bertanggung jawab dalam suatu masyarakat bebas. Ini dalam semangat pengertian, perdamaian, tenggang rasa, persamaan jenis kelamin, dan persaudaraan dengan semua orang (Pasal 29 Konvensi Hak Anak-anak PBB tanggal 20 November 1989)

Nilai-nilai

Lingkungan yang penuh kepalsuan, kemunafikan, kebohongan, mengembangkan kebencian terkait SARA, ajaran intoleransi dan radikalisme menjadi bibit kerusakan jiwa anak-anak. Bocah yang seharusnya bertumbuh kembang sesuai dengan nilai-nilai universal hak asasi manusia, bisa menjadi radikal, intoleran, pembohong, dan munafik.

Pertumbuhan anak-anak berawal dari keluarga, berlanjut di sekolah dan masyarakat. Pemerintah dapat memprogramkan pembangunan masyarakat berbasis keluarga. Negara harus hadir dalam pembangunan keluarga. Pembinaan keluarga melalui tahap pra dan pascanikah.

Sebelum pernikahan, calon suami-istri dibekali berbagai pengetahuan dan informasi, seperti ajaran nilai perkawinan, ekonomi keluarga, pemeliharaan keluarga yang sehat, dan penyiapan pendidikan anak-anak. Sesudah menikah, suami-istri perlu dibekali cara mendidik anak, di antaranya cara menanamkan nilai-nilai universal, seperti, jujur, kerja keras, tanggung jawab, tolong-menolong, kerja sama, dan rendah hati.

Nilai-nilai tersebut harus ditanamkan agar menjadi karakter anak-anak. Ayah-ibu juga perlu mendapat bantuan, seperti konselor keluarga dalam menyelesaikan masalah-masalah yang disediakan pemerintah. Di sekolah, pemerintah perlu mengawasi tenaga pendidik yang mengajarkan intoleransi dan radikalisme. Guru-guru demikian perlu dipertimbangkan untuk diberhentikan.

Siswa akan terlindungi bila tenaga pendidik sadar akan tugasnya untuk menumbuhkembangkan anak. Di sekolah, murid-murid mendapat pendidikan, pembelajaran yang menyenangkan serta keteladanan dari tenaga pendidik. Guru bersikap sopan, bersahabat, dan mendengarkan pandangan anak. Dia mengembangkan kreativitas, tidak memarahi peserta didik di depan siswa lain.

Masyarakat berperan melindungi anak-anak dari dampak negatif lingkungan yang intoleran dan radikal. Tokoh atau anggota masyarakat perlu mengawasi lingkungan sekitar yang terindikasi ada benih-benih sikap intoleran dan radikal. Tokoh-tokoh masyarakat dipanggil untuk ikut berperan dalam menumbuhkembangkan bocah dengan memberi teladan.

Program siaran televisi yang menampilkan kekerasan, bibit intoleransi, dan radikalisme selayaknya dihentikan. Program televisi harus berkualitas dan membangun kebersamaan dalam kehidupan yang majemuk. Pertumbuhan dan masa depan anak sangat ditentukan kehidupan dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat. Jika anak-anak mengalami keteladanan yang baik, akan menjadi generasi masa depan bangsa.

Penulis ASN Kemenag



Sumber: http://www.koran-jakarta.com/lindungi-anak-dari-bibit-intoleransi/

Senin, Mei 08, 2017

Berharap pada Pemerintahan Anies-Sandi

Oleh Pormadi Simbolon

Pasangan Cagub dan Cawagub DKI Jakarta, Anis-Sandi sudah terpilih menjadi Gubernur dan wakil gubernur periode 2017-2022. Suasana panas sebelum Pilkada sedikit mereda, kini suasana lebih sejuk, terlebih setelah pasangan yang kalah,  Ahok-Djarot bisa menerima hasil Pilkada Versi Quick Count. Ahok-Djarrot sudah menyampaikan ucapan selamat

Sebelum pencoblosan pilkada DKI Jakarta putaran 2, pada 19 April lalu, kesan nuansa SARA selama kampanye sangat terasa. Sampai ada elit politik menyuarakan bahwa kita ini sedang mencari pemimpin pemerintahan, bukan mencari pemimpin agama dengan harapan  tidak  mempergunakan isu SARA dalam pemilihan kepala daerah putaran kedua di Provinsi DKI Jakarta. 

Sejatinya kemenangan pasangan Anis-Sandi adalah kemenangan rakyat yang beraneka ragam suku, agama, ras dan antar golongan, yang menghendaki pemimpin pemerintahan bukan pemimpin agama. Hal ini sangat relevan dalam konteks Negara Indonesia yang memiliki Lambang Negara yaitu Garuda Pancasila dan semboyannya adalah Bhinneka Tunggal Ika (Pasal 36A UUD 1945). Itulah sebabnya, pasca Pilkada, baik pendukung Anis-Sandi maupun pendukung Ahok-Djarot  seyogiyanya kembali menjadi satu, melakukan rekonsiliasi mendukung pemimpin pemerintahan terpilih secara demokratis.

Pemimpin pemerintahan pada hakekatnya melaksanakan tugasnya sesuai dengan Konstitusi yang disepakati para pendahulu atau pendiri bangsa, berdasarkan fakta kemajemukan dan nilai-nilai kearifan lokal warga bangsa Indonesia. Nilai-nilai kearifan lokal (termasuk nilai-nilai agama) sudah dipadatkan dalam nilai-nilai yang terdapat dalam lima sila Pancasila. 

Hal senada disampaikan Marshal, pakar politik bahwa Pemimpin pemerintahan dalam negara demokrasi dipilih oleh warga negara yang beranekaragam suku, agama, ras dan golongan. Sebagai warga negara yang memiliki hak yang sama maka pemimpin pemerintahan sejatinya melayani semua warga negara tanpa memandang ras dan agama (Marshall, 1950). 

Gambaran seorang pemimpin pemerintahan "tidak mengenal" agama mirip dengan gambaran pemimpin yang digambarkan oleh Sokrates. Dalam dialog antara Socrates dengan Thrasymacus dalam buku Republic dilustrasikan bahwa pemimpin yang baik sebagai berikut: "Orang-orang baik tidak akan mau memerintah demi uang atau kehormatan. Karena mereka tidak ingin secara terbuka menentukan upah untuk memerintah demi uang atau kehormatan. Karena mereka tidak ingin secara terbuka menentukan upah untuk memerintah dan disebut bekerja demi uang, juga tidak ingin secara rahasia memetik manfaat saat memerintah dan disebut sebagai para pencuri. Demikian pula, mereka tidak ingin memerintah demi kehormatan karena mereka bukanlah pecinta kehormatan" dikutip dari buku,"Political Theory: Kajian klasik dan Kontemporer: Edisi Kedua karya Joseph Losco & Leonard Williams (2005).  Pemimpin pemerintahan ideal adalah orang yang bijaksana, yang melayani secara jujur, tulus, bersih dan sungguh-sunguh sesuai dengan hakekat tugas pemimpin, bukan pencuri, bukan demi uang dan kehormatan. 

Pasca Pilkada semua unsur masyarakat baik pendukung pemenang Pilkada maupun pihak yang kalah dipanggil menciptakan suasana kpndusif dan damai. Sejak masa kampanye putaran pertama hingga putaran kedua ini, tidak jarang isu suku, agama, ras dan antar golongan ditampilkan ke publik melalui spanduk yang beredar di ranah umum. Isu SARA melahirkan tensi politik tinggi dan menghabiskan energi dan tenaga yang tidak sedikit.

Paling tidak ada 2 alasan bahwa kepemimpinan Anis-Sandi adalah kepemimpinan pemerintahan, dan bukan pemimpin agama, sebagaimana selama ini pasangan Anis-Sandi, lebih dominan didukung tokoh agama dan ormas keagamaan. 

Pertama, masyarakat warga DKI Jakarta bukan homogen, tapi terdiri dari bermacam suku, agama, ras atau golongan. Masyarakat yang beraneka ragam membutuhkan pemimpin yang melindungi dan menjaga kehidupan masyarakat yang beraneka ragam. Negara hadir melalui pemimpin pemerintahan untuk menyelamatkan semua. Hal ini sesuai dengan amanat konstisusi kita (Pembukaan UUD 1945) bahwa negara dibentuk untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Jika ada calon pemimpin dalam rekam jejaknya diskriminatif terhadap suku, agama, golongan tertentu, maka sangat sulit diharapkan dia mampu melindungi semua.   

Alasan kedua, Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan bahwa negara dibentuk untuk memajukan kesejahteraan umum (bonum commune) dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk mewujudkan amanat tersebut, dibutuhkan pemimpin yang yang memperhatikan kesejahteraan umum dan pendidikan yang mencerdaskan. Barangkali untuk alasan amanat konstitusi ini pulalah, para pendahulu atau pendiri bangsa ini mendirikan Kementerian Agama memiliki pembangunan di bidang agama. Semua agama yang diakui negara dan penganut aliran kepercayaan difasilitasi dan dilayani.
 
Bukan didikte pemimpin agama
Kepemimpinan Anis-Sandi seyogiyanya tidak dapat didikte oleh pemimpin agama atau ormas tertentu.  Untuk konteks hidup bernegara dan bermasyarakat dalam negara kesatuan Republik Indonesia, pemimpin melindungi segenap warga tanpa melihat unsur SARA. 

Sejatinya, semua pemimpin di negeri ini, mulai dari tingkat  tertinggi sampai pada tingkat terendah "tidak mengenal" agama, dalam arti ia adalah pemimpin bagi warga yang beraneka ragam suku, agama, ras dan golongaan. Ia menganut suatu agama, tapi ia melayani semua sesuai dengan aturan yang berlaku. Aturan yang berlaku, sejauh pengetahuan penulis, tidak bertentangan dengan ajaran agama. Karena tugasnya sebagai pemimpin untuk semua maka ia harus merangkul dan melindungi semua. Mulai dari ketua RT, Kepala Lurah/Desa, Camat, Bupati, Walikota, Gubernur hingga Presiden terpilih hadir untuk semua, karena konstitusi kita mengamatkan itu. Pemimpin yang terpilih itu juga hadir sebagai pemimpin bagi warga beragama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu dan semua penganut kepercayaan yang ada.

Amat tidak adil dan sangat bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila misalnya, jika seorang Menteri Agama yang beragama Islam, hanya memperhatikan umat Islam. Seorang Menteri Agama adalah juga menteri yang melayani agama Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha dan lain sebagainya. Menteri Agama memfasilitasi semua agama dalam mewujudkan kesejahteraan umum dan mamajukan pembangunan bidang agama untuk semua agama yang diakui negara.
Bila  konflik antara warga dengan pemerintah kerap terjadi di daerah-daerah tertentu, patut dipertanyakan, apakah pemimpin-pemimpin di sana merupakan pemimpin pemerintahan atau pemimpin yang berpihak pada kelompok tertentu saja. 

Hasil Pemilihan Kepala Daerah Provinsi DKI Jakarta putaran kedua ini merupakan barometer bagi daerah lainnya dalam menampilkan pemimpin pemerintahan ideal. Provinsi DKI Jakarta dimana ibukota negara ada di dalamnya, juga merupakan cermin terdepan dan sorotan dunia internasional dalam melaksanakan demokrasi untuk kesejahteraan umum. 

Sejatinya, kita berharap kepemimpinan Anis-Sandi adalah kepemimpinan pemerintahan yang melayani semua, kepentingan semua, kesejahteraan umum, bukan pemimpin agama yang hadir hanya untuk agama tertentu dengan aturan dan ajaran agama yang bersangkutan. Mari kita dukung dan berharap Anis-Sandi menjadi pemimpin pemerintahan yang melayani semua dan untuk kemajuan semua. Semoga. 

Pormadi Simbolon, alumnus STFT Widyasasana Malang

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Powered By Blogger