Foto bersama para peserta ketika penutupan acara pembinaan pembina bina iman anak (BIA) Keuskupan Manado pada 2 s.d. 5 September 2013 di hotel Travello, Manado. Harapan dari pertemuan ini adalah terbinanya para peserta dalam menyiapkan materi BIA guna meningkatkan kualitas keimanan Katolik dan kualitas kerukunan umat beragama, demikian laporan ketua panitia.
Para peserta mendapatkan pembinaan terkait penyiapan materi BIA, penggunaan media dan sarana, psikologi anak dan pembentukan karakter anak. Semua materi ini bertujuan untuk mendekatkan diri anak kepada Tuhan, dan Tuhan kepada anak.
Selain itu para pembina BIA diajak untuk membina anak untuk mengenal dan menyadari perbedaan (kemajemukan) yang ada di sekitarnya agar menjadi anak yang toleran dan rukun sesama anak bangsa lainnya.
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Trima kasih mengunjungi blog kami!
Para pengunjung yth. semua isi blog ini ditulis atau disusun atas kemauan pribadi. Itu berarti blog ini berisi aneka pendapat, pemahaman, persepsi pribadi, dan pemikiran pribadi atas lingkungan kerja dan hidup sekitarnya. Harapan kami isi blog ini bermanfaat bagi pengunjung yang memerlukannya. Salam, GBU.
Minggu, September 08, 2013
Pembina BIA: Mendekatkan diri Anak kepada Tuhan

Penyusunan Model Materi Penyuluhan Kategori Anak, Remaja/ Orang Muda Katolik, Keluarga, dan Masyarakat Umum
Foto Direktur Urusan Agama Katolik, Fransiskus Endang, SH, MM, bersama tim penyusun materi penyuluhan agama Katolik di Hotel Papyrus Bogor dari 25 s.d. 28 Agustus 2013. Tema pertemuan tersebut Hasil pertemuan ini diharapkan tersusunnya model silabus dan materi penyuluhan untuk kategori Anak, Remaja/ Orang Muda Katolik, Keluarga, dan Masyarakat Umum yang dapat digunakan para penyuluh agama Katolik dalam mewujudkan masyarakat Katolik yang semakin beriman dan rukun. Romo Yohanes Driyanto menegaskan para penyuluh harus "blusukan", mengajar dan membantu umat menyelesaikan masalahnya seperti Yesus berkeliling, mengajar dan menyembuhkan orang.
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Rabu, April 17, 2013
Sosialisasi PBM, Sosialisasi Kerukunan Umat Beragama
Oleh Pormadi Simbolon
![]() |
Jangan lupakan Pancasila |
Sampai saat ini, masalah memperoleh IMB rumah ibadah masih menjadi menjadi
persoalan rumit bagi kaum minoritas. Padahal proses pendirian rumah ibadah sudah
melalui Peraturan Bersama Menteri Nomor 9/8 tahun 2006 yang salah satu di
dalamnya diatur bagaimana memperoleh IMB rumah ibadat.
Sebuat saja contoh, gereja GKI Yasmin, Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 127/PK/TUN/2009 pada 9 Desember 2009 telah memenangkan GKI Yasmin, namun Pemerintah Kota Bogor tidak melaksanakan putusan MA, malah mencabut IMB GKI Yasmin pada 11 Maret 2011.
Pertanyaannya, apakah sosialisasi PBM belum terlaksana dengan baik atau bagaimana sikap dasar kita terhadap PBM Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Tugas Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat sudah ditetapkan pada tanggal 21 Maret 2006?
Sebuat saja contoh, gereja GKI Yasmin, Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 127/PK/TUN/2009 pada 9 Desember 2009 telah memenangkan GKI Yasmin, namun Pemerintah Kota Bogor tidak melaksanakan putusan MA, malah mencabut IMB GKI Yasmin pada 11 Maret 2011.
Pertanyaannya, apakah sosialisasi PBM belum terlaksana dengan baik atau bagaimana sikap dasar kita terhadap PBM Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Tugas Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat sudah ditetapkan pada tanggal 21 Maret 2006?
Pendirian Rumah Ibadat
Masalah pendirian rumah
ibadat sudah diatur dalam Peraturan Bersama Menteri (PBM) oleh Menteri Agama
(Menag) dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006
tentang Pedoman Tugas Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan
Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian
Rumah Ibadat sudah ditetapkan pada tanggal 21 Maret 2006.
PBM tersebut dalam seluruh
prosesnya (10 putaran), materi rumusan bab dan pasal digarap langsung oleh
semua unsur majelis agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha dari draf
awal sampai rumusan akhir. Pemerintah bertindak sebagai fasilitator.
Baru-baru ini seminar dalam
rangka memperingati 7 tahun PBM tersebut diadakan oleh Puslitbang Kehidupan
Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI di Jakarta, Kamis
(21/3).
Menurut Kepala Badan Litbang
dan Diklat, Prof. Dr. Machasin, implementasi PBM tersebut kurang dipahami oleh
pemegang kekuasaan di daerah, meski Kemendagri telah melakukan sosialisasi ke
seluruh perangkat daerah.
Implementasi dan Problematika
PBM
Selama 7 tahun, keberadaan
PBM masih menimbulkan masalah dalam membangun kerukunan umat beragama secara
nasional. Masalah pendirian rumah ibadat masih masalah dominan.
Dalam seminar tersebut aturan
dalam PBM diakui belum menyelesaikan
masalah dalam mendirikan rumah ibadah. Ada yang berpendapat agar PBM dicabut
karena menjadi alat penguasa di daerah untuk melarang pembangunan rumah ibadah.
Pada konteks tertentu PBM ini dipakai kelompok tertentu yang tidak memiliki
kewenangannya untuk menolak keberadaan rumah ibadah tertentu.
Sejatinya, PBM ini ada untuk
kepentingan pembangunan kerukunan umat beragama karena PBM ini mengedepankan “roh”
kerukunan umat beragama menuju kerukunan nasional dalam kehidupan beragama,
berbangsa dan bermasyarakat.
Kerukunan Umat Beragama
Masalah pendirian rumah ibadah
dan kebebasan beragama terkait langsung dengan pembangunan kerukunan umat
beragama.
Pengertian kerukunan umat
beragama didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana sesama umat beragama yang
dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai
kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerja sama dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (PBM Menag dan Mendagri Nomor 9/8 Tahun 2006, Bab I, Pasal
1, poin 1).
Definisi tersebut
mengingatkan kita pada apa yang pernah diucapkan mantan Presiden Soeharto
berkaitan dengan makna kerukunan umat beragama dalam salah satu sambutannya. “Usaha
membina kerukunan hidup umat beragama, saya rasa perlu beroleh perhatian yang
lebih besar. Kerukunan mengandung makna hidup dalam kebersamaan. Oleh karena
itu, dalam usaha membina kerukunan hidup bangsa kita yang menganut berbagai
agama dan kepercayaan itu, kita harus berusaha membangun semangat dan sikap
kebersamaan di antara penganut berbagai agama dan kepercayaan di kalangan
bangsa kita”. (Sambutan Presiden Soeharto pada waktu menerima
peserta Rapat Kerja Departemen Agama, 12 Maret 1991 di Bina Graha, Jakarta).
Pencapaian kerukunan umat
beragama tersebut adalah imperatif dan menjadi tugas bagi setiap pemeluk dan
penganut agama dan kepercayaan, pemerintah daerah dan pemerintah. Artinya semua
komponen bangsa bekerja bersama-sama dan berkomitmen memelihara kerukunan umat
beragama baik secara internal maupun eksternal berdasarkan Pancasila dan UUD
1945.
Semangat membangun kerukunan
umat beragama menjadi “roh” kebersamaan dalam
kehidupan beragama, bermasyarakat dan berbangsa. Pandangan sempit, eksklusif
dan menganggap pihak lain sebagai ancaman kiranya hilang dengan sendirinya.
Sikap saling mencurigai dan merendahkan serta membenci antar umat beragama
harus dihilangkan. Stigmatisasi agama lain sebagai kafir, warisan penjajah atau
pendorong terorisme seyogiyanya sudah lenyap dari benak kita. Tidak ada lagi
sikap formalisme yang membuat Pancasila hanya sebagai retorika, dimana
nilai-nilainya tidak dilaksanakan. Semuanya harus mengedepankan roh kerukunan
dalam kebersamaan.
Demikian pula sebagai
fasilitator, pemerintah mulai dari kepala pemerintahan, gubernur, bupati/
walikota, camat, hingga pada lurah/ kepala desa wajib menciptakan dan
menumbuhkembangkan suasana kondusif untuk keharmonisan, saling pengertian,
saling menghormati dan saling percaya di antara umat beragama. Dengan demikian
suasana aman dan kondusif dalam menggapai Indonesia yang aman, damai, adil,
demokratis dan sejahtera dapat berlangsung.
Mengubah Sikap Dasar
Mengapa aturan-aturan PBM
belum mampu maksimal mengatasi masalah konflik pendirian rumah ibadah?
Jawabannya adalah sikap dasar semua pihak terhadap PBM. Kesulitan dalam pendirian rumah ibadah di
lapangan pada umumnya bukan pada soal
persetujuan warga setempat, tetapi ada faktor lain yang lebih besar dari luar
warga setempat, seperti kepentingan sesaat (politik dan ekonomi) kelompok tertentu.
Untuk itu perlu sosialisasi
PBM Menag dan Mendagri Nomor 9/8 Tahun 2006 secara bersahaja dan mengedepankan roh kerukunan yang berangkat
dari kerukunan umat beragama sebagai bahagian dari perwujudan kerukunan
nasional. Roh kerukunan menjadi sikap dasar dalam mewujudkan perbaikan keadaan bangsa dan negara yang
dicap terkorup dan hampir gagal menuju
Indonesia baru dengan keadaban baru. Roh kerukunan nasional menjadi awal
kesejahteraan dan kemajuan bangsa Indonesia. Mensosialisasikan PBM, berarti
mensosialisasikan kerukunan umat beragama.
Sosialisasi juga tidak
didasarkan sikap arogan dan mengedepankan pandangan mayoritas dan minoritas.
Sikap dasarnya adalah semangat kebersamaan dan kebersatuan dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Di sinilah peran pejabat pemerintah sebagai
fasilitator dan tugas FKUB dalam sosialisasi PBM.
Berhasil tidaknya pelaksanaan
sosialisasi PBM ini ada pada peran Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri
sebagai leading sector di bidang kehidupan beragama dan bernegara.
Sasaran utama sosialisasi ini
diprioritaskan kepada para elit pejabat pusat dan daerah agar lebih memahami
roh PBM ini. Para pejabat publik atau
politisi tidak memperalat agama sebagai jargon untuk kepentingan sesaat. Sebaliknya,
agama menjadi inspirasi dalam kehidupan bersama dan menjadi moralitas publik.
Selain itu ada Forum
Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Tugas FKUB adalah menjadi mediasi antara
masyarakat dan pemerintah. Tidak sebaliknya, anggota FKUB menjadi bagian dari
masalah kerukunan itu sendiri karena sikap dasarnya untuk memperhatikan kepentingan
kelompoknya sepihak, bukannya kepentingan yang lebih besar.
Selain memberi rekomendasi,
FKUB juga menjadi mediator dalam menyelesaikan masalah, mensosialisasikan
kebijakan di bidang kerukunan, karena kerukunan umat beragama merupakan syarat
tercapainya kesejahteraan nasional.
FKUB juga perlu memberikan
pencerahan kepada RT/RW sehingga roh PBM ini menjadi cakrawala baru dalam cara
pandang, cara pikir dan cara berelasi. Karena itulah FKUB pertama-tama
didirikan oleh masyarakat dan bukan oleh pemerintah.
Program FKUB juga adalah
bagaimana menjaga dan memelihara kerukunan, sampai pada mempengaruhi kebijakan
untuk menyejahterakan masyarakat. Maka FKUB menjadi partner pemerintah dalam
merumuskan perlindungan rakyat minoritas.
Sosialiasi PBM yang didasari
sikap dan roh kerukunan umat
beragama akan mengurangi konflik dalam
pendirian rumah ibadat.
Pada tataran nasional, untuk
implementasi dan mengatasi problematika PBM dibutuhkan peran fasilitator yaitu
Pemerintah dan Pemerintah Daerah, yang berperan besar dalam membangun kerukunan
umat beragama sebab leading sector pembinan ada pada fasilitator. Pemerintah
harus menindak tegas orang atau kelompok yang tidak memiliki kewenangan
melarang pendirian rumah ibadah di daerah tertentu. Pemerintah tidak terkesan
melakukan pembiaran.
Label:
agama,
berita,
imb,
katolik,
kerukunan umat beragama,
konflik agama,
kristen,
opini,
rumah ibadat

Senin, Maret 18, 2013
Sebuah Teladan Lebih Baik
Di tengah publik kerapkali kata dan makna integritas diri dipermainkan
atau sekedar ucapan manis di lidah.
Publik dapat menyaksikan salah satu contoh bahwa persyaratan untuk menjadi pemimpin, misalnya: lurah, camat, bupati, gubernur, anggota DPR, Presiden dan lain sebagainya adalah harus memiliki integritas diri.
Satu lagi syarat penting yang resmi dan biasa dipraktekkan di lingkungan pemerintahan untuk meneguhkan integritas seorang pemimpin adalah mengucapkan janji atau sumpah di hadapan Tuhan, dan didampingi salah seorang rohaniwan.
Faktanya, sebagian dari mereka yang terpilih itu selanjutnya dalam perjalanan kepemimpinannya banyak yang tidak memiliki integritas diri.
Banyak diantara mereka ketika berpidato resmi, melarang bawahan korupsi, namun mereka sendiri korupsi. Ketika mereka meminta bawahan disiplin, namun mereka lebih melanggar disiplin. Mereka meminta agar bawahan menjaga etika sopan santun, namun mereka sendiri yang tidak sopan-santun. Mereka melarang aksi pornografi namun mereka sendiri yang menonton video pornografi saat sidang.
Integritas diri
Integritas dikatakan sebagai satu padunya antara kata-kata dengan perbuatan. Seseorang dikatakan berintegritas bila kata-katanya terwujud di dalam perbuatan.
Ketika kampanye, Joko Widodo berjanji, jika menang dalam pemilihan gubernur, akan menerbitkan Kartu Jakarta sehat dan kartu Jakarta Pintar kepada masyarakat yang membutuhkan sebagai bentuk upaya membangun kesejahteraan masyarakat. Janji itu dipenuhi, ketika Joko Widodo (Jokowi) dan pasangannya Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) memenangkan Pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta.
Kemunafikan
Ketiadaan integritas sama halnya dengan kemunafikan. Kemunafikan menunjukkan ke permukaan suatu perbuatan hanya sebagai pencitraan diri, namun sebenarnya, ada kebusukan yang ditutup-tutupi.
Sama halnya, dengan beberapa pemuka agama atau ahli agama, "iso khotbah, ora iso ngelakoni", bisa berkhotbah, namun tidak bisa melakukannya. Ia mengkhotbahkan agar umat hidup menjauhi larangan Allah, namun ia menyimpang dari perintah Allah.
Tiada gunanya sambutan atau pidato seorang pemimpin, bila isinya tidak mempunyai daya guna dan efek samping bagi pendengar. Sebagai contoh, pidato tentang visi dan bangsa Indonesia yakni melindungi segenap warga bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum. Pidato ini tidak akan memiliki daya pengaruh bagi publik bila di lapangan ada sekelompok minoritas tidak dilindungi hak asasinya. Itu namanya munafik, dan tidak memiliki integritas.
Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Azyumardi Azra, melihat pemimpin bangsa ini mempraktekkan kemunafikan sebagai tanda tiadanya integritas diri. Akibatnya, disorientasi nilai terjadi hampir di berbagai aspek kehidupan. Sebagian masyarakat juga mengambil jalan menerabas, mencari jalan mudahnya, dan tidak lagi percaya pada hukum (Kompas, 8/3).
Kemunafikan menunjukkan lemahnya integritas pemimpin tersebut. Azyumardi mencontohkan, ketika pemimpin meminta elite politik tidak gaduh, tetapi pada saat sama justru gaduh dengan kemelut internal di partai politik.
Dibutuhkan Satu Contoh
Masyarakat sudah jemu melihat para pemimpin yang katanya berintegritas namun tidak memiliki integritas diri. Hal ini terlihat dari kemenangan pasangan Jokowi dan Ahok dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta.
Bagi publik, benarlah kata-kata orang bijak ini: satu contoh jauh lebih baik daripada 10,000 kata-kata nasehat. Bagi masyarakat, contoh pekerjaan Jokowi di Solo dan pekerjaan Ahok di Belitung Timur cukup meyakinkan untuk mendorong mereka memilih Jokowi-Ahok sebagai pemimpin.
Harapan ke depan, kata dan makna integritas diri dalam memilih para pemimpin tidak boleh lagi dipermainkan. Sebentar lagi akan ada pemilihan calon legislatif dan calon presiden dan calon wakilnya. Di sinilah kesempatan publik melihat contoh-contoh atau teladan yang telah diperbuat para calon legislatif maupun calon presiden dan calon wakil presiden. (Oleh Pormadi Simbolon, alumnus STFT Widya Sasana Malang)
Publik dapat menyaksikan salah satu contoh bahwa persyaratan untuk menjadi pemimpin, misalnya: lurah, camat, bupati, gubernur, anggota DPR, Presiden dan lain sebagainya adalah harus memiliki integritas diri.
Satu lagi syarat penting yang resmi dan biasa dipraktekkan di lingkungan pemerintahan untuk meneguhkan integritas seorang pemimpin adalah mengucapkan janji atau sumpah di hadapan Tuhan, dan didampingi salah seorang rohaniwan.
Faktanya, sebagian dari mereka yang terpilih itu selanjutnya dalam perjalanan kepemimpinannya banyak yang tidak memiliki integritas diri.
Banyak diantara mereka ketika berpidato resmi, melarang bawahan korupsi, namun mereka sendiri korupsi. Ketika mereka meminta bawahan disiplin, namun mereka lebih melanggar disiplin. Mereka meminta agar bawahan menjaga etika sopan santun, namun mereka sendiri yang tidak sopan-santun. Mereka melarang aksi pornografi namun mereka sendiri yang menonton video pornografi saat sidang.
Integritas diri
Integritas dikatakan sebagai satu padunya antara kata-kata dengan perbuatan. Seseorang dikatakan berintegritas bila kata-katanya terwujud di dalam perbuatan.
Ketika kampanye, Joko Widodo berjanji, jika menang dalam pemilihan gubernur, akan menerbitkan Kartu Jakarta sehat dan kartu Jakarta Pintar kepada masyarakat yang membutuhkan sebagai bentuk upaya membangun kesejahteraan masyarakat. Janji itu dipenuhi, ketika Joko Widodo (Jokowi) dan pasangannya Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) memenangkan Pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta.
Kemunafikan
Ketiadaan integritas sama halnya dengan kemunafikan. Kemunafikan menunjukkan ke permukaan suatu perbuatan hanya sebagai pencitraan diri, namun sebenarnya, ada kebusukan yang ditutup-tutupi.
Sama halnya, dengan beberapa pemuka agama atau ahli agama, "iso khotbah, ora iso ngelakoni", bisa berkhotbah, namun tidak bisa melakukannya. Ia mengkhotbahkan agar umat hidup menjauhi larangan Allah, namun ia menyimpang dari perintah Allah.
Tiada gunanya sambutan atau pidato seorang pemimpin, bila isinya tidak mempunyai daya guna dan efek samping bagi pendengar. Sebagai contoh, pidato tentang visi dan bangsa Indonesia yakni melindungi segenap warga bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum. Pidato ini tidak akan memiliki daya pengaruh bagi publik bila di lapangan ada sekelompok minoritas tidak dilindungi hak asasinya. Itu namanya munafik, dan tidak memiliki integritas.
Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Azyumardi Azra, melihat pemimpin bangsa ini mempraktekkan kemunafikan sebagai tanda tiadanya integritas diri. Akibatnya, disorientasi nilai terjadi hampir di berbagai aspek kehidupan. Sebagian masyarakat juga mengambil jalan menerabas, mencari jalan mudahnya, dan tidak lagi percaya pada hukum (Kompas, 8/3).
Kemunafikan menunjukkan lemahnya integritas pemimpin tersebut. Azyumardi mencontohkan, ketika pemimpin meminta elite politik tidak gaduh, tetapi pada saat sama justru gaduh dengan kemelut internal di partai politik.
Dibutuhkan Satu Contoh
Masyarakat sudah jemu melihat para pemimpin yang katanya berintegritas namun tidak memiliki integritas diri. Hal ini terlihat dari kemenangan pasangan Jokowi dan Ahok dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta.
Bagi publik, benarlah kata-kata orang bijak ini: satu contoh jauh lebih baik daripada 10,000 kata-kata nasehat. Bagi masyarakat, contoh pekerjaan Jokowi di Solo dan pekerjaan Ahok di Belitung Timur cukup meyakinkan untuk mendorong mereka memilih Jokowi-Ahok sebagai pemimpin.
Harapan ke depan, kata dan makna integritas diri dalam memilih para pemimpin tidak boleh lagi dipermainkan. Sebentar lagi akan ada pemilihan calon legislatif dan calon presiden dan calon wakilnya. Di sinilah kesempatan publik melihat contoh-contoh atau teladan yang telah diperbuat para calon legislatif maupun calon presiden dan calon wakil presiden. (Oleh Pormadi Simbolon, alumnus STFT Widya Sasana Malang)

Jumat, Maret 15, 2013
Harapan kepada Paus Fransiskus
Para Kardinal telah memilih Paus baru. Setelah asap putih mengepul dari cerobong asap Kapel Sistina di Vatikan, Rabu malam (13/3)M Kardinal Argentina Jorge Mario Bergoglio (76) terpilih sebagai Paus ke-266, menggantikan Paus Emeritus Benediktus XVI yang mengundurkan diri pada Kamis, 28 Februari 2013 lalu.
Direktur Jenderal Bimas Katolik Kementerian Agama RI, Semara Duran Antonius merasa sangat bahagia menyambut Paus baru yang berasal dari luar Eropa.
"Kami sebagai umat Katolik sangat bahagia bahwa sekarang sudah ada pemimpin Gereja Katolik sejagad yang memimpin 1,2 umat Katolik di seluruh dunia" kata Semara Duran Antonius kepada wartawan Kemenag.go.id.
Dengan terpilihnya paus baru Semara Duran Antonius berharap pembinaan iman umat Katolik lewat perangkat kepausan yang ada bisa berjalan dengan baik.
Lebih lanjut, ia berharap umat Katolik yang tersebar luas ke setiap negara bisa menjadi umat Gereja yang baik sekaligus juga menjadi warga negara yang baik.
"Umat Katolik adalah juga warga negara yang baik di negaranya," harapnya. (Pormadi/kemenag.go.id)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Direktur Jenderal Bimas Katolik Kementerian Agama RI, Semara Duran Antonius merasa sangat bahagia menyambut Paus baru yang berasal dari luar Eropa.
"Kami sebagai umat Katolik sangat bahagia bahwa sekarang sudah ada pemimpin Gereja Katolik sejagad yang memimpin 1,2 umat Katolik di seluruh dunia" kata Semara Duran Antonius kepada wartawan Kemenag.go.id.
Dengan terpilihnya paus baru Semara Duran Antonius berharap pembinaan iman umat Katolik lewat perangkat kepausan yang ada bisa berjalan dengan baik.
Lebih lanjut, ia berharap umat Katolik yang tersebar luas ke setiap negara bisa menjadi umat Gereja yang baik sekaligus juga menjadi warga negara yang baik.
"Umat Katolik adalah juga warga negara yang baik di negaranya," harapnya. (Pormadi/kemenag.go.id)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Kamis, Maret 07, 2013
Martabat Manusia versus Masalah HIV dan AIDS (perspektif agama Katolik)
Pengantar
Manusia diciptakan sebagai “gambar/citra Allah” karena
itu mulia derajatnya, banyak kemampuannya, besar tanggung jawabnya.Manusia
adalah makhluk paling berharga di mata Allah, oleh karena itu manusia harus
saling menjaga martabat mulia dan luhur itu dari bahaya kerusakan dan gangguan
atas hidupnya, termasuk dari bahaya HIV dan AIDS
Dalam Kitab Suci dikatakan bahwa manusia diciptakan
menurut gambar dan rupa Allah. “…, Baiklah kita menjadikan manusia menurut
gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan
burung-burung di udara dan atas ternak di atas seluruh bumi dan atas segala
binatang melata yang merayap di bumi” (Kej 1:26)
Mengenal HIV
dan AIDS dan Cara Penularannya
AIDS (acquired
Immune Deficiency Syndrome) merupakan salah satu penyakit berbahaya yang
disebabkan oleh virus yang merusakkan sistem kekebalan tubuh manusia dan
melemahkan kemampuan tubuh manusia melawan semua penyakit yang datang. Virus tersebut disebut HIV (Human Immunodeficiency Virus). Penyakit
AIDS menduduki peringkat keempat penyebab kematian pada manusia dewasa di
seluruh dunia.
Di Indonesia kasus HIV pertama kali ditemukan 24 tahun
yang lalu. Sejak tahun 2000, Indonesia tergolong sebagai Negara dengan epidemik
HIV terkonsenterasi (karena prevalensi HIV pada populasi pecandu narkoba
suntik/Penasun, PS/Penjaja seks, waria dan LSL/lelaki suka lelaki, di beberapa
kota mencapai lebih dari 5 %). Secara khusus di Propinsi Papua, , epidemik HIV
cenderung telah memasuki populasi umum yang menyebar 2,4 % populasi masyarakat
umum dewasa. Lima propinsi terbesar penderita HIV dan AIDS adalah Bali, Jakarta, Batam, Surabaya dan
Medan.
Cara penularannya meliputi (1) darah: transfusi darah,
terkena darah HIV positif pada kulit yang terluka, terkena darah menstruasi
pada kulit yang tertular, pemakaian jarum suntik yang tidak steril dan dipakai
bersama-sama, pemakaian alat tusuk yang menembus kulit (yang tidak steril dan
dipakai bersama); (2) hubungan seksual: carian semen, air mani, sperma dan peju pria. Misalnya laki-laki
berhubungan dengan badan tanpa kondom atau pengaman lainnya, oral seks. Carian
vagina pada perempuan. Misalnya berhubungan badan tanpa pengaman, pinjam
meminjam alat bantu seks, oral seks. (3) Melalui ibu yang HIV positif kepada
bayi yang dikandungnya: melalui proses kehamilan, proses menyusui, proses
persalinan.
Komitmen untuk Sosialisasi Pengetahuan Komprehensif
tentang HIV dan AIDS
Di tengah martabat manusia yang luhur itu, timbul penyakit
HIV dan AIDS yang membahayakan kehidupan
manusia. Di Indonesia, epidemi dan HIV
dan AIDS dari waktu ke waktu menunjukkan peningkatan yang dapat menghancurkan
generasi sekarang dan yang akan datang.
HIV dan AIDS dipandang tidak saja menyangkut masalah
kesehatan, tetapi juga terkait dengan masalah spiritualitas, psikososial,
lingkungan, sosial, ekonomi, hukum dan politik.
Untuk itu, semua agama berkomitmen untuk memberikan
tuntunan dan pedoman dalam semua aspek kehidupan termasuk sosialisasi HIV dan
AIDS guna mengupayakan pencegahan dan penanggulangannya.
Komitmen itu antara
lain: (1) meningkatkan ketahanan iman bagi seluruh umatnya, (2) memberikan
dukungan nyata kepada kelompok yang rentan terhadap penularan HIV agar tidak
dikucilkan dan diabaikan hak-haknya untuk mendapatkan layanan masyarakat secara
optimal, (3) melaksanakan ajaran agama yang menegaskan kasih sayang dalam upaya
pengobatan, perawatan dan dukungan bagi orang yang hidup dengan HIV dan AIDS,
orang yang terkena dampak HIV dan AIDS termasuk anak yatim piatu dengan HIV dan
AIDS, (4) mengikutsertakan orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) dalam upaya
pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS, (5) mendorong peran keluarga dalam
mendukung ODHA secara utuh baik jasmanai maupun rohani, (6) membentuk dan atau
mengaktifkan kelompok kerja di dalam organisasi agama dalam upaya pencegahan
dan penanggulangan HIV dan AIDS dan (7) Mendukung upaya pemerintah dalam
pencegahan penularan HIV melalui penggunaan napza suntik, hubungan seksual dan
penularan dari ibu ke bayi dan penanggulangan AIDS.
Kebersamaan semua agama dalam komitmen ini merupakan kekuatan
penting dalam mewujudkan kesinambungan upaya pencegahan dan penanggulangan HIV
dan AIDS. Sinergi dengan semua pihak terkait dapat mengoptimalkan upaya bersama
dalam melakukan pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS.
Penutup
Martabat manusia amat berharga di hadapan Tuhan, oleh
karena itu setiap orang harus menghargai tubuh dan kehidupannya, dan memuliakan dan
mengabdi Tuhan lewat ketubuhan dan kehidupannya untuk kebahagiaan semua umat
manusia. Bagi Indonesia, upaya pencegahan dan penanggulangan ini, dapat
mengurangi dampak bahaya HIV dan AIDS bagi generasi penerus bangsa. (Pormadi Simbolon – dari berbagai sumber)
Label:
agama katolik,
martabat manusia,
masalah HIV dan AIDS,
opini,
penyuluhan agama Katolik,
sosialisasi pengetahuan HIV dan AIDS

Selasa, Februari 19, 2013
Menyelenggarakan Sekolah Keagamaan Katolik Negeri
![]() | |||||||
Semara Duran Antonius (paling Kanan) bersama Nunius Vatikan dan para Uskup |
"Yang aktual dalam bentuk keikutsertaan masyarakat Katolik menyelenggarakan pendidikan keagamaan Katolik dalam bentuk Sekolah Tinggi Agama Katolik Negeri," kata Semara Duran Antonius, Direktur Jenderal Bimas Katolik seperti dikutip situs kemenag.go.id dalam pertemuan dengan wartawan di kantor Kementerian Agama, Jalan Thamrin Jakarta, Senin (18/2).
Semara Duran Antonius menjelaskan, Ditjen Bimas Katolik mengelola anggaran sebesar Rp 572 miliar dengan jumlah umat Katolik sebesar 8,9 juta jiwa. "Untuk anggaran pendidikan yaitu pengembangan dan pembinaan pendidikan agama Katolik sebesar 60,3 milyar. Karena kalau bicara pendidikan, SDM yang penting yakni, Guru. Guru dituntut empat kompetensi pokok, kepribadian, profesional, pedagogik dan sosial."
Ditjen Bimas Katolik memiliki satu program yaitu Program Bimbingan Masyarakat Katolik. Program tersebut dijabarkan dalam bentuk fasilitasi bagi umat Katolik Indonesia melalui: peningkatan kualitas kehidupan beragama, peingkatan kualitas kerukunan hidup beragama, peningkatan kualitas pendidikan agama dan pendidikan keagamaan Katolik dan peningkatan kualitas tata kelola kepemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Terkait masalah hangat dewasa ini, yaitu masalah sekolah Katolik agar memberi pelajaran agama sesuai agama siswa, Dirjen Bimas Katolik mengatakan, pihaknya telah berupaya mengingatkan sekolah-sekolah Katolik agar melaksanakan amanat Undang-undang, bahwa setiap sekolah harus memberikan mata pelajaran agama siswa sesuai agamanya masing-masing.
Dia mengatakan bahwa sekolah Katolik mempunyai kekhasan, tetapi sekolah katolik kalau mengajarkan agama Katolik tidak bertujuan untuk mengkatolikkan.
Selama ini sudah ada anjuran agar Sekolah-sekolah Katolik mencermati UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajar oleh pendidik yang seagama.
Menurutnya, dengan ketentuan itu, ada manfaat yang dialami yaitu: menjaga keutuhan dan kemurnian ajaran agama; kedua, dengan adanya guru agama yang seagama dan memenuhi syarat kelayakan mengajar akan dapat menjaga kerukunan hidup beragama bagi peserta didik yang berbeda agama tapi belajar pada satuan pendidikan yang sama, ketiga, pendidikan agama yang diajarkan oleh pendidik yang seagama menunjukkan profesionalitas dalam penyelenggaraan proses pembelajaran pendidikan agama.
Ketika ditanya wartawan tentang pengunduran diri paus, Semara Duran Antonius berkomentar, Paus mundur karena faktor kesehatan. "Kita tahu betul di beberapa momen dia jalan sudah setengah mati, karena itu dia sadar betul, sudah tua, memberi kesempatan yang lain", katanya. "Dalam ajaran iman kami tunduk pada Sri Paus, tapi sebagai warganegara kami taat pada NKRI", tegasnya. (Pormadi/kemenag.go.id)
Label:
berita,
BIMAS KATOLIK,
direktur jenderal bimas katolik,
GEREJA KATOLIK,
sekolah katoloik negeri

Langganan:
Postingan (Atom)