Trima kasih mengunjungi blog kami!

Para pengunjung yth. semua isi blog ini ditulis atau disusun atas kemauan pribadi. Itu berarti blog ini berisi aneka pendapat, pemahaman, persepsi pribadi, dan pemikiran pribadi atas lingkungan kerja dan hidup sekitarnya. Harapan kami isi blog ini bermanfaat bagi pengunjung yang memerlukannya. Salam, GBU.

Selasa, Agustus 18, 2009

RETRET GAK SD: “LANJUTKAN PANGGILAN SEBAGAI GURU AGAMA KATOLIK”

“LANJUTKAN!” itulah ungkapan para guru agama Katolik meniru motto Capres SBY-Boediono yang terpilih dalam Pilpres 2009 dalam kesimpulan refleksi mereka tentang panggilan hidup mereka sebagai Guru Agama Katolik (GAK) selama retret. Kalimat ini tepat sekali mengungkapkan pengalaman refleksi atas pengalaman suka-duka para guru agama Katolik pada acara Retret GAK Tingkat Lokal Provinsi DKI Jakarta yang berlangsung pada 22-24 Juni 2009 lalu di Sanno Hotel, Jakarta.

Retret merupakan kegiatan rohani dalam tradisi Gereja Katolik dalam rangka pembinaan kepribadian dan kerohanian hidup umat dalam terang Injil. Oleh karena itu Ditjen Bimas Katolik Departeman Agama RI memprogramkan kegiatan retret sebagai pembinaan kepribadian dan kerohanian para Guru Agama Katolik di Indonesia. Pembinaan kerohanian para guru agama Katolik tersebut bertujuan untuk meningkatkan keimanan dan menimba kekuatan spiritual. Pembinaan kerohanian dimaksudkan untuk peningkatan mutu pelayanan para guru yang didukung oleh peningkatan kecakapan rohani dan kompetensi kepribadian, dan pada akhirnya meningkatkan kemajuan iman peserta didik. Dalam sambutannya, Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik, Drs. Stef Agus berharap agar kegiatan olah batin atau retret ini dapat memberikan “masukan atau input” bagi para Guru Agama Katolik, secara khusus terkait pendampingan iman, pendidikan agama, dan pendidikan keagamaan peserta didik Katolik yang dipercayakan kepada mereka, di tempat mereka berkarya.
Retret yang dipimpin oleh Romo FX. Adisusanto, Sj dan Ibu Afra Siowardjaja ini berlangsung penuh hikmad dan meditatif. Semua peserta mengikuti acara dengan penuh semangat doa. Sebab pendamping retret membantu para peserta retret dengan berbagai metode seperti membaca Kitab Suci, sharing kelompok, renungan pribadi dan dialog berbentuk pleno. Retret juga disertai dengan perayaan Ekaristi dan Sakramen Pengakuan Dosa.



Kepala Pembimas Katolik DKI Jakarta, Drs. A.H. Yuniadi, MM, sekaligus sebagai Ketua Panitia retret ini melaporkan bahwa para peserta retret ini terdiri dari 30 orang yang berasal dari sekolah-sekolah tingkat dasar se-Provinsi DKI Jakarta. Peran para Guru Agama Katolik untuk mendidik peserta didik dari segi keimanan, penting ditingkatkan dan dimotivasi dengan berbagai acara kerohanian Katolik termasuk acara retret ini, tegasnya dalam laporannya. Retret ini mendapat antusiasme dari para guru agama Katolik dan mereka berharap retret diadakan sekali setahun. Antusiasme dan harapan mereka ini diungkapkan ketika menjawab pertanyaan mengenai saran mereka untuk acara retret di hari-hari mendatang pada saat evaluasi kegiatan dilaksanakan panitia. (Pormadi Simbolon).

Selasa, Juni 02, 2009

Sikap dan Perilaku Terbaik: TENANG

Bagaikan air di dalam sungai mengalir, segala kotoran dan debu secara pelan-pelan akan turun sehingga lama kelamaan air menjadi jernih dan apa yang ada di dalam air itu menjadi kelihatan. Benda-benda, kotoran dan lain-lain akan kelihatan jelas.

Demikian pun hidup kita yang sehari-hari selalu berada dalam kesibukan, kebisingan, jika bisa mencapai sikap dan perilaku tenang, maka hati, budi dan pikiran akan dapat melihat dan membeda-bedakan mana baik dan mana yang tidak baik.

Sikap dan perilaku tenang adalah sikap dimana hati, pikiran dan tindakan kita berada dalam keadaan santai/ rileks, hening, diam, sadar akan keadaannya, tidak tergesa-gesa dan pandangan mata yang terfokus.

Makna sikap dan tenang sama dengan ungkapan silent is gold. Tenang sama dengan diam. Dalam diam atau tenang kita kita dapat berpikir, bertindak dan bersikap dengan terhormat. Dengan tenang segala pekerjaan dan urusan dapat kita lakukan dengan baik. Apakah kita sudah bisa menjaga ketenangan dalam diri kita?

Jumat, Mei 01, 2009

PENINGKATAN KDRT DAN PERMASALAHANNYA

Catatan Komisi Nasional Perempuan menyebutkan, kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) selama tahun 2007 mengalami peningkatan. Pada tahun 2007 tercatat 17.772 kasus kekerasan terhadap istri, sedangkan tahun 2006 hanya 1.348 kasus.

Peningkatan KDRT ini antara lain karena berhasilnya sosialisasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Sosialisasi yang dilaksanakan melalui berbagai media ini mampu menyadarkan perempuan korban kekerasan untuk melapor karena ada “senjata” hukum yang melindungi.

Di tengah keberhasilan penyadaran para korban KDRT tersebut, timbul berbagai persoalan antara lain soal KDRT yang dipandang sebagai persoalan pribadi (domestik rumah tangga). Persoalan lain adalah implementasi KDRT di lapangan, di tengah masyarakat.

Dari Ranah Pribadi ke Ranah Publik

Sejak dikeluarkannya UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, pemerintah telah berani mengambil alih wilayah hukum yang sebelumnya termasuk ranah domestik kini menjadi ranah publik.

Selama ini ditemukan adanya pandangan bahwa tindak kekerasan terhadap perempuan, istri, dan anak-anak dipandang sebagai sesuatu yang wajar dan hal itu disikapi sebagai konflik rumah tangga semata.

Pandangan tersebut diperparah lagi oleh adanya mitor-mitos yang merendahkan martabat istri, perempuan dan anak-anak, sebaliknya ayah yang dominan terhadap anggota keluarga dalam rumah tangga dengan sikap yang berlebihan sebagai relasi kekuasaan antara perempuan dan laki-laki yang timpang berlangsung di dalam rumah tangga, bahkan diterima sebagai sesuatu kondisi yang benar yang melanggengkan KDRT.

Hambatan-hambatan di Lapangan

UU PKDRT merupakan implementasi UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak serta bentuk diskriminasi merupakan suatu isu global sekaligus pelanggaran Hak Asasi Manusia yang wajib diselesaikan oleh Negara dan masyarakat luas. Dengan adanya PKDRT tersebut, kini segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga menjadi tindak kriminal.

Salah satu dampak dari penerapan KDRT itu adalah terjadinya kesadaran publik atas KDRT. Tidak sedikit masyarakat semakin berani melapor kasus-kasus kekerasan karena adanya perlindungan korban KDRT. Di samping itu, timbul pula berbagai persoalan dalam menyelesaikan proses hukum KDRT, sekaligus sebagai kekurangan yang perlu diperhatikan pemerintah, LSM dan masyarakat luas.

Penerapan UU PKDRT di lapangan menghadapi berbagai kendala dan reaksi dari pelaku KDRT. Pertama, ditemukan bahwa aparat penegak hukum baik polisi, jaksa maupun hakim memiliki pemahaman yang beragam tentang kekerasan dalam rumah tangga. Ada aparat hukum menganggap kekerasan fisik berat jika korban tidak dapat menjalankan aktivitas rutinnya, sehingga korban yang masih dapat beraktivitas secara rutin dianggap sebagai kekerasan fisik ringan.

Kedua, aparat penegak hukum khususnya polisi dan hakim kesulitan menerapkan ketentuan UU PKDRT tentang perlindungan sementara dan penetapan perlindungan. Tidak adanya acuan atau petunjuk teknis pelaksanaan menjadi alasan mengapa perlindungan sementara belum ditempuh.

Ketiga, adanya status perkawinan yang hanya dilaksanakan di gereja atau secara adat dan tidak tercatat di kantor catatan sipil atau KUA seperti yang terjadi di berbagai daerah seperti di Medan, Semarang dan Yogyakarta. Hal ini menyulitkan penindaklanjutan proses hukum KDRT.

Keempat, kesulitan pembuktian kasus KDRT. Sulitnya pembuktian kekerasan pada perempuan adalah sekitar 70 persen perbuatan kekerasan dilakukan oleh orang terdekat korban seperti pacar, suami, orang tua, saudara atau orang terdekat lainnya. Tempat kejadiannya pun membuat sulit orang lain ikut campur seperti rumah, sekolah dan tempat-tempat pribadi.

Publik Ikut Bertanggung Jawab

Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang PKDRT pada pasal 5 dijelaskan bahwa kekerasan dalam rumah tangga mencakup kekerasan fisik, kekerasan seksual dan penelantaran rumah tangga. Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat (pasal6).

Kekerasan psikis dipandang sebagai perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/ atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Kekerasan seksual meliputi pemaksaan hubungan seksual terhadap orang yang menetap dalam rumah tangga dan terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/ atau tujuan tertentu. Penelantaran rumah tangga dimengerti sebagai tindakan mengabaikan tanggung jawab untuk memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang yang berada dalam tanggung jawabnya. Tindakan lain adalah yang mengakibatkan “ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan /atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut. (Pasal 6-9).

Pengertian kekerasan dan jenis-jenis di atas diharapkan segera tersosialisasi ke publik. Dengan peraturan PKDRT tersebut pula segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga bukan lagi menjadi ranah internal keluarga tetapi menjadi ranah publik.

Untuk itu publik atau masyarakat luas, menurut Undang-Undang KDRT tersebut wajib melakukan upaya-upaya yang sesuai dengan kemampuannya antara lain: (1) mencegah berlangsungnya tindak pidana, misalnya kekerasan atau bahkan sampai pada pembunuhan; (2) memberikan perlindungan kepada korban; (3) memberikan pertolongan darurat; dan (4) membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungannya.

Keluarga Tanpa Kekerasan

Melihat pentingnya penghapusan KDRT, maka pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama dalam mewujudkan kehidupan rumah tanggga tanpa kekerasan. Berbagai upaya masih harus diperhatikan dan dilakukan pemerintah dengan berkolaborasi dengan masyarakat peduli KDRT.

Pertama, perlu adanya kesamaan persepsi tentang kekerasan fisik entah berat atau ringan di kalangan aparat penegak hukum.

Kedua, diadakannya kerangka acuan atau petunjuk teknis tentang pelaksanaan perlindungan sementara dan penetapan perlindungan bagi KDRT.

Ketiga, pentingnya sosialisasi pencatatan perkawinan entah di kantor catatan sipil atau KUA. Dengan demikian proses hukum dan perlindungan korban kekerasan makin dipermudah.

Keempat, pentingya kampanye keluarga bahagia hidup tanpa kekerasan. Kampanye ini selain berlaku di tengah publik, para pemuka agama diharapkan menyuarakan hidup keluarga menjadi bahagia tanpa kekerasan. Hidup keluarga tanpa kekerasan merupakan nilai-nilai yang pasti diajarkan oleh semua agama.

UU PKDRT sudah disosialisasikan. Masyarakat luas semakin sadar bahwa KDRT bukan lagi melulu ranah pribadi tetapi sudah menjadi ranah publik KDRT sudah disikapi masyarakat sebagai isu global dan pelanggaran hak asasi manusia. Kita mensyukuri atas upaya negara dalam mewujudkan hidup keluarga tanpa kekerasan. Namun masih banyak tugas dan tanggung jawab baik pemerintah maupun publik dalam mewujudkan cita-cita bersama dan publik yaitu hidup keluarga tanpa kekerasan. Inilah tanggung jawab kita bersama. Mari kita bertanggung jawab dan peduli pada kehidupan keluarga tanpa kekerasan di rumah dan di sekitar kita.
(Disadur dari bulletin Bimas Katolik)

Rabu, April 08, 2009

Mari Memilih 09 April 2009, JANGAN GOLPUT, JANGAN ADA SUARA YANG MUBAZIR

Saya mendapat SMS yang disebarkan KPU dengan bunyi: " Ingat 9 April 2009, bagi yang telah terdaftar di DPT, silahkan datang ke TPS dan berikan suara anda dengan tanda centang (V) di suarat suara" Ajakan ini merupakan niat serius dari KPU agar semua warga juga serius dalam hidup bernegara dan berdemokrasi dalam NKRI ini. Itu juga pertanda ajakan JANGAN GOLPUT.

Ayo memilih! Pada tanggal 09 April 2009, semua warga negara Indonesia yang terdaftar dalam DPT diajak secara konstitusional untuk ikut dalam memilih Caleg DPR, DPRD, DPD. Pemilihan ini merupakan penentu masa depan Indonesia kurang lebih untuk 5 tahun ke depan. Dalam memberikan suara, diandaikan si pemilih sudah punya ancar-ancar siapa caleg yang mau dipilih dan partai mana yang mau dipilih.Tiap orang mempunyai hak memilih dan menentukan pilihannya. Namun jika salah memilih, dan pilihannya mubazir, maka sangat disayangkan.

Alangkah baiknya jika setiap orang memilih caleg yang berintegritas diri, kompeten, dan track recordnya bagus. Alangkah baiknya jika papol yang dipilih itu yang nasionalis dan religius, bukan parpol yang hanya mementingkan sekelompok aliran atau agama tertentu saja. Parpol yang dipilih juga seyogiyanya partai politik yang ada kantor cabangnya di daerah pilihan. Sangat banget, jika terjadi adanya suara yang mubazir. Satu suara saja amat berharga bagi penentuan masa depan Indonesia 5 tahun ke depan. Ayo memilih.

50 Tahun Pernikahan: KASIH SAYANG TIDAK MAIN HITUNG-HITUNGAN

Di tengah perubahan jaman yang serba cepat, bahkan cenderung cepat sekali hamper pada semua segi kehidupan termasuk pergeseran-pergeseran sistem-sistem nilai. Jarang sekali institusi perkawinan yang dapat berlangsung hingga memasuki perayaan kesetiaan pada cinta yang kelimapuluh tahun. Tentu beberapa alas an antara lain, kerapuhan kesehatan dan juga gagal membina keluarga sejati. Namun tidak demikian halnya dengan usia kesetiaan pada cinta dalam pasangan Maria Joan D’Arc dan Johannes Berchman Soedarmanto Kadarisman. Pasangan yang akrab dipanggil Roeri dan Manto memasuki dan merayakan pesta 50 tahun kesetiaan dalam cinta, pesta emas perkawinan. Kegembiraan dan kebahagiaan cinta ini diwujudkan dalam upacara pembaharuan janji pernikahan dan perayaan Ekaristi yang dipersembahkan oleh Mgr. F.X. Hadisumarto,OCarm, 26 Desember 2008 di Jakarta.


Selain setia pada pasangan hidup dan mendidik anak-anaknya, Pak Kadarisman (demikian biasa dipanggil sahabat dan rekan kerja) setia pada pelayanan tugas. Hal inilah yang membuat sahabat dekatnya, Maftuh Basyuni (sekarang Menteri Agama RI) terkagum-kagum pada Pak Kadarisman. “...Betapa Pak Kadarisman memuja, mencintai, dan menghargai istrinya setinggi langit. Saya angkat topi deh!” pendapat menteri Kabinet Indonesia bersatu ini tentang Pak Kadarisman. Pak Kadarisman pernah menjabat Direktur Jenderal Protokol dan Konsuler sekaligus merangkap sebagai Kepala Protokol Negara pada masa kepemimpinan Soeharto sebagaimana ditulis dalam buku kenangan “Apa Kata Mereka tentang...”

Maftuh Basyuni juga menambahkan bahwa Pak Kadarisman betul-betul pekerja yang mengabdi pada tugas. “Bayangkan, ia dulu Soekarnois dan sempat ikut dalam Gerakan Pemuda Deplu. Bahwa setelah aktif di Departemen Luar Negeri (Deplu) kembali dan bertugas di istana di bawah kepemimpinan Soeharto, ia bisa menyesuaikan diri dan situasi, ini tentu karena prinsip yang dianutnya. Beliau mengabdi pada tugas”, aku pejabat nomor satu di lingkungan Departemen Agama RI itu. Pak Kadarisman adalah seorang birokrat dan diplomat karir yang telah banyak makan garam. Pernah menjadi Duta Besar di Negara Amerika Latin, Belanda dan Vatican.


Hidup itu Proses

Dalam kothbahnya, Mgr. F.X. Hadisumarto menyatakan, “perjalanan hidup dan karya Pak Kardarisman di bidang diplomatik (duta besar), di Deplu, merupakan proses pematangan, proses menuju kebahagiaan sejati. Kita semua harus menyadari itu”.

Bapak Uskup menambahkan, “Pilihan bacaan Injil tentang “Kothbah di Bukit” oleh Pak Kadarisman dan Ibu, merupakan tanda dan proses hidup bersama selama 50 tahun. Selama hidupnya, pasangan ini berusaha untuk bertindak dan bersikap menuju kebahagiaan sejati secara kristiani: miskin di hadapan Allah, lemah lembut, lapar dan haus akan kebenaran, murah hati, membawa damai, siap dianiaya oleh sebab kebenaran dan siap dicela dan dianiaya karena Kristus. Semuanya menuju kebahagiaan Kristiani”.

Pada bagian akhir homilinya, Uskup yang tahun depan memasuki 50 tahun pesta imamatnya, menegaskan kepada umat bahwa, kasih sejati itu tidak main kalkulasi melainkan kasih yang berasal dari hati yang ikhlas dan murni. Seperti Kristus telah mengasihi kita lebih dulu dan telah memberikan nyawaNya bagi kita. Inilah perintah Yesus, kasihilah seorang akan yang lain!

Cinta dan kesetiaan pada pasangan hidup, cinta dan kasih kepada anak serta “cinta tugas”, yang semuanya yang semuanya selaras dengan ajaran iman yang dihayati Pak Kadarisman. Sungguh teladan baik sebagai seorang beriman Katolik maupun sebagai abdi negara, pantas diteladani oleh keluarga-keluarga Katolik. Selamat Pesta Emas Pernikahan Bapak Kadarisman dan Nyonya, semoga panjang umur! (Pormadi Simbolon, hadir juga dalam acara tersebut)

Senin, November 24, 2008

BLOGGER: YANG DISUKAI DAN YANG DIBENCI


BLOGGER: YANG DISUKAI DAN YANG DIBENCI

Blog, yang selama ini diremehkan dan dipandang sebelah mata, kini mendapat angin segar dan sorotan publik. Blog yang bermutu akan diajak mempromosikan nilai-nilai kebudayaan dan hal-hal positif yang membawa kebaikan, tetapi blog-blog yang tidak bermutu, berbau SARA (suku, agama, ras dan antar golongan) akan dibenci dan diburu oleh mereka yang menjadi korban.

Blog bermutu dapat menghasilkan banyak peluang positif, seperti menghasilkan buku, tempat iklan produk, sharing resep masakan, pariwisata dan popularitas blogger, sedangkan blog pewarta hal-hal negatif, berbau SARA, kebencian, porno, akan ditinggalkan.

Sejak peristiwa komik nabi di situs blog wordpress yang membangkitkan amarah umat Islam Indonesia, eksistensi para blogger dan blog di tengah masyarakat semakin popular dan disorot. Publik entah apapun agama, pasti tidak setuju dengan pembuatan isi blog berbau SARA itu. Tidak sedikit pemuka agama baik Islam maupun kristiani mengutuk si pembuat blog kartun nabi itu.

Blog, jika digunakan secara bertanggungjawab akan mempunyai kekuatan luar biasa dan manfaat positif bagi blogger dan public, namun jika digunakan untuk merusak kehidupan bersama, maka blogger tersebut akan “dibunuh” atau mati pelan-pelan dengan sendirinya. Mari kita gunakan blog secara bertanggungjawab dan bermoral. (Pormadi)

Senin, September 22, 2008

AGAMA, HAK ASASI MANUSIA DAN TUGAS NEGARA


Beragama adalah salah satu Hak Asasi Manusia (HAM) yang harus ditegakkan dan dilindungi oleh Negara melalui aparaturnya। Dalam menjalankan tugasnya, Negara harus kuat dan tegas menegakkan dan menjamin HAM.
Agama dan HAM merupakan bagian-bagian yang saling mendukung dan menguatkan dalam suatu negara demokrasi।


Agama
Sebagai sebuah system kepercayaan kepada yang ilahi dan tanggapan iman kepadaNya, agama sangat berperan besar dalam kehidupan manusia। Peran itu bisa positif dan bisa juga negatif. Di satu sisi agama mengajarkan cinta-kasih-sayang kepada Pencipta dan sesama. Agama bisa menjadi rahmat bagi sesama-semesta bila moralitas dan cinta menjadi jantung kehidupan beragama (Yudi Latif, Kompas, 28/09/2006).


Di sisi lain agama dapat mendorong penganutnya untuk melakukan kekerasan, mengedepankan egoism, menampilkan wajah hipokrit dan menyebarkan kebencian terhadap agama lain। Di sini wajah agama menjadi menakutkan dan tidak simpatik.


Ajaran agama yang menekankan cinta-kasih-sayang menampilkan wajah agama yang sejuk, ramah, yang mengajarkan nilai-nilai luhur, menghargai dan menyenangkan sesama di tengah kehidupan bersama। Agama yang berwajah demikian menjadi daya pemikat tersendiri bagi yang memandang dan memeluknya. Itulah sebabnya, Pemerintah dalam hal ini Departemen Agama RI, mencita-citakan agar agama menjadi landasan etis-moral dan spiritual dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.


Dengan menjadikan agama demikian, Pemerintah sangat menjunjung tinggi peran agama dan berupaya meningkatkan dan memfasilitasi pelayanan, pengamalan dan penghayatan ajaran agama bagi setiap pemeluknya। Departemen Agama merupakan lembaga utama sebagai fasilitator pembangunan kehidupan keagamaan dan kerukunan umat beragama. Dengan demikian diharapkan, warga Negara Indonesia dapat hidup semakin sejahtera, aman, damai dan demokratis.


Meskipun demikian, Pemerintah melihat dan mengakui masih ada persoalan dalam kehidupan beragama di negeri ini yang belum terselesaikan dengan baik। Salah satu persoalan tersebut antara lain kurangnya internalisasi (pembatinan) inti ajaran agama sehingga kehidupan beragama (religiositas) terkesan belum menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia. Dengan kata lain, masih ada sekelompok orang yang mengatasnamakan agama untuk merugikan hak-hak asasi orang lain. Padahal substansi agama itu dalam sendiri sangat menghargai kemanusiaan alias hak asasi manusia.


Melukai Wajah Agama Sendiri
Kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok orang dengan manyalahgunakan agama yang terjadi di negeri ini sangat melukai dan merugikan warga masyarakat lainnya। Yang lebih menyedihkan lagi, tindakan tersebut melukai wajah agama yang menyuratkan cinta-kasih-sayang terhadap Sang Pencipta dan sesama.


Sejarah hubungan agama-agama mencatat, kekerasan dan rendahnya toleransi sangat mewarnai kehidupan beragama. Sejarah seperti ini sangat meredupkan image agama yang menampilkan kedamaian, kedalaman hidup, solidaritas dan harapan akan kebahagiaan.
Masuk akal jika Karl Marx mengatakan bahwa agama sebagai candu rakyat। Bahkan agama itu bisa jauh lebih berbahaya dari candu. Agama menjadi tragedy bagi manusia. Agama dapat mendorong orang untuk menganiaya sesamanya untuk mengagungkan perasaan dan pendapat mereka sendiri atas perasaan dan pendapat orang lain untuk mengklaim diri mereka sebagai pemilik kebenaran.


Hak Asasi Manusia
Pertanyaannya adalah mengapa para penganut agama-agama yang berbeda tidak bisa toleran dan menghargai perbedaan? Jawabannya adalah adanya kesulitan menerima perbedaan। Sulitnya menerima perbedaan ini mendorong terjadinya aksi kekerasan dan penganiayaan terhadap orang lain yang berbeda agama. Sejatinya, perbedaan itu mutlak ada dan merupakan hak asasi manusia sebab perbedaan itu berasal dari Sang Pencipta yang diabdi para pemeluk agama.


Sejarah peradaban manusia mencatat hampir tidak ada salah satu agama yang tidak ikut bertanggung jawab atas berbagai peperangan, tirani, kekerasan dan penindasan (Budhy Munawar Rachman, Kompas, 20/08/2005). Agama dalam hal ini gagal mendorong pemeluknya untuk menghargai kemanusiaan, tetapi malahan merendahkan kemanusiaan itu sendiri.
Warga dunia bersyukur atas inisiatif para pemimpin bangsa-bangsa dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 10 Desember 1948 untuk mendeklarasikan hak-hak asasi manusia yang berlaku universal. Hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia yang berlaku seumur hidup sejak awal dilahirkan dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun.
Dalam Deklarasi Universal HAM PBB, terdapat beberapa jenis dan bidang HAM yaitu hak asasi pribadi (personal right); hak asasi politik (political right); hak asasi hokum (legal equality right); hak asasi ekonomi (property right); hak asasi peradilan (procedural rights) dan hak asasi sosial budaya (social cultural right)।


Menurut Adnan Buyung Nasution dalam pengantar bukunya, Instrumen Internasional Pokok Hak-Hak Asasi Manusia (1997) deklarasi HAM PBB 1948 dapat dikatakan sebagai puncak peradaban manusia setelah dunia mengalami malapetaka akibat kekejaman dan keaiban yang dilakukan Negara fasis dan Nazi Jerman dalam Perang Dunia II। Tahun ini Deklarasi Universal HAM PBB memasuki usia 60 tahun. Deklarasi ini menjadi kebanggaan warga dunia yang masih harus ditingkatkan penegakannya.


Dengan deklarasi yang tersebut, bangsa-bangsa yang menjadi anggota PBB sepakat bahwa perbedaan setiap individu menurut agama, ras, suku bangsa, warna kulit, ideologi, golongan dan bahasa adalah hak pada diri manusia yang harus dihormati dan dihargai। Perbedaan adalah mutlak ada dan merupakan hak asasi manusia.


Negara Indonesia adalah salah satu anggota PBB yang meratifikasi dan menerima Deklarasi Universal HAM। Pada tahun 2005 lalu, Indonesia juga meratifikasi dua kovenan internasional yang diprakarsai PBB yaitu Kovenan Internasional tentang Hak sipil dan Politik dan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Itu berarti Indonesia menjunjung tinggi dan melindungi hak-hak asasi manusia yang berlaku universal. Dengan demikian tiap-tiap warga Negara Indonesia yang berbeda agama satu sama lain seyogiyanya merangkul kemanusiaan universal yang dimiliki oleh penganut agama lain.


Benarlah apa yang dikatakan oleh Mr। Mohammad Yamin dalam risalah Sidang BPUPKI, (29/5/1945) seperti dikutip oleh William Chang (2006) bahwa “Kedaulatan rakyat Indonesia dan Indonesia merdeka adalah berdasar perikemanusiaan yang universeel berisi humanisme dan internasionalisme bagi segala bangsa”.


Pertanyaannya sekarang adalah bisakah warga Negara yang menganut agama tertentu menerima dan menghormati warga lain yang berbeda agama sekaligus memegang teguh otentisitas kebenaran agamanya sendiri? Bila para pemeluk agama dapat merangkul hak asasi manusia universal, maka wajah agama yang ditampilkannya adalah wajah agama sejuk, ramah, simpatik, damai dan penuh cinta-kasih-sayang।


Tugas Negara
Pendiri Negara Republik Indonesia (RI) menjamin dan melindungi hak asasi warganya। Hal ini dirumuskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Negara RI dibentuk “untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Dalam pasal 28 E UUd 1945 (versi amandemen) dikatakan: “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya” (ayat 1) dan setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nuraninya (ayat 2).


Konstitusi Negara menjamin dan melindungi hak-hak asasi warganya। Lebih khusus lagi kebebasan beragama itu difasilitasi pemerintah melalui Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9/8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat sehingga para pemeluk agama yang berbeda satu sama lain dapat menjalankan hak asasinya.


Dengan dasar konstitusi dan peraturan-peraturan yang dikeluarkan, pemerintah berharap hubungan agama-agama dan kehidupan beragama di Indonesia rukun dan saling menghormati। Dengan demikian para pemeluk agama menampilkan agama yang berwajah kedamaian dan penuh cinta-kasih-sayang.


Dari dirinya sendiri, agama semestinya menjadi rahmat bagi sesama-semesta bila substansi ajaran agama benar-benar menjadi jantung kehidupan beragama.
Di sinilah tugas pemimpin Negara demokrasi yaitu menegakkan hak asasi manusia universal, memfasilitasi dan mendukung kehidupan beragama yang memeluk dan menghargai kemanusiaan. Sebab kebebasan beragama sebagai bagian HAM merupakan salah satu fundasi Negara demokrasi . SEMOGA !!! (Pormadi सिम्बोलों, ह्त्त्प://पोर्मादी.वर्डप्रेस.com)
Powered By Blogger