Trima kasih mengunjungi blog kami!

Para pengunjung yth. semua isi blog ini ditulis atau disusun atas kemauan pribadi. Itu berarti blog ini berisi aneka pendapat, pemahaman, persepsi pribadi, dan pemikiran pribadi atas lingkungan kerja dan hidup sekitarnya. Harapan kami isi blog ini bermanfaat bagi pengunjung yang memerlukannya. Salam, GBU.

Selasa, Januari 04, 2011

Kritik terhadap Aparatur Negara

Kritik terhadap pemerintah atau lembaga negara lainnya kerapkali disampaikan lewat berbagai cara dan media. Kritik itu amat pedas, karena menohok kelemahan atau kekurangan lembaga negara.

Ambil contoh kritik kepada DPR. Kritik bahwa lembaga DPR atau dulu disebut Parlemen Indonesia kekanak-kanakan pernah dilontarkan oleh mantan Presiden Gus Dur (Abdurrahman Wahid).

Kritik dengan cap kekanak-kanakan oleh Gus Dur bagi anggota DPR terjadi karena anggota DPR kerap beradu jotos alias berantam di gedung tempat DPR terhormat. Karena kritik Gus Dur itu, mungkin menjadi sala satu penyebab bahwa masa pemerintahannya tidak bertahan lama.

Contoh lain, kritik senada dengan sebutan kekanak-kanakan itu juga pernah dilontarkan pers luar negeri kepada Parlemen Indonesia sebagai kritik (1953)(lih.A.S.Sudiarja,SJ, Karya Lengkap Driyarkara: Gramedia: 2006, hlm.XXX). Pers Barat (tidak disebutkan nama pers darimana) menyebut bahwa Parlemen Indonesia itu childish (kekanak-kanakan), para pemimpin dan pegawainya tidak cakap, tidak jujur, terlalu banyak korupsi dan sebagainya.

Mendengar kritik (kekanak-kanakan), terlebih lagi bila dijadikan cap bagi kita akan menyakitkan. Kritik ini semestinya menjadi permenungan semua pemimpin di negeri ini.

Sebab nyata-nyatanya dewasa ini, kritik pers luar negeri tersebut masih relevan bagi bangsa kita. Masih banyak pemimpin entah di pusat atau di daerah, demikian juga anggota DPR dan aparatur negara lainnya yang masih belum optimal mewujudkan kesejahteraan rakyat. Sejumlah pegawai negeri tidak produktif, hanya datang ke kantor, duduk, nongkrong lalu menunggu absen dan pulang.

Malahan karena penegakan hukum lemah, kasus korupsi tetap merajalela. Kasus yang lain belum tuntas (kasus Bibit-Candra), kasus Gayus muncul menampar wajah penegak hukum.

Elit partai politik sibuk mempersiapkan pencitraan diri, sementara rakyat korban bencana belum pulih sepenuhnya dari penderitaannya.

Yang menjadi korban adalah rakyat kecil karena ulah yang tidak bertanggung jawab dan kekanak-kanakan oleh oknum aparatur negara.

Untuk itu, kritik semacam kritik dari pers luar negeri yang pedas tersebut perlu diterima bukan dengan emosi atau diabaikan saja.

Pada jamannya, Prof.Dr. N. Driyarkara memberi pendapat lewat tulisan di sebuah majalah "Warung Pojok": 'Orang sini mendengar berondongan kritik pedas macam itu tidak boleh marah atau juga tidak boleh tidur saja. Orang yang kalau dikritik lalu marah, membantah, tidak akan memperbaiki tindakannya. Sebaliknya, jika nekad, tidak peduli, ia akan celaka sendiri. Kritik Luar Negeri memang keras. Moga-moga saja orang sini tidak keras kepala' (Diarium Driyarkara, 20-4-1954, ibid. Sudiarja SJ).

Masukan atau pandangan Driyarkara tersebut benar-benar kena di hati jika kita membacanya dengan sepenuh hati. Namun, akan berlalu sia-sia begitu saja bila dibaca dengan setengah hati.

Mari kita peduli akan kritik dan menindaklanjutinya, bukan dengan marah atau pura-pura tidak dengar.
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Minggu, Januari 02, 2011

Sumbangan Pemikiran Prof.Dr.N. Driyarkara bagi Indonesia

Prof. Dr. N. Driyarkara merupakan salah satu pemikir awal Indonesia yang mempunyai reputasi nasional. Selain sebagai dosen filsafat di berbagai tempat (termasuk di St. Louis, Amerika Serikat), beliau juga termasuk politisi (anggota MPRS wakil. GOLKAR, 1962-1967 dan anggota DPA tahun 1965-1967)

Sebagai filosof, ia telah berjasa bagi Indonesia. Jasanya tidak pertama-tama terletak dalam menyajikan konsep-konsep jadi untuk diterapkan - kecuali mungkin pemikirannya mengenai pendidikan dan Pancasila yang memang sangat khas - melainkan dalam merintis, menantang, dan menghidupkan pembicaraan yang serius dan mendalam untuk menghadapi persoalan-persoalan masyarakat dan bangsa.

Ia memang setia dan taat pada hakekat filsafat, yang harus memanusiakan manusia lewat berpikir jelas, kritis, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Untuk Indonesia, ia membawa semboyan "sapere aude" untuk masyarakat Indonesia guna merintis zaman pencerahan Indonesia.

Bagi para peminat filsafat di Indonesia, mereka seyogiyanya menularkan teladan Prof. N.Driyarkara dalam membangun pencerahan lewat berpikir kritis, jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. Semoga

(Sumber: Karya Lengkap Driyarkara, Sudiarja, Dr.A, dkk., (penyunting), Gramedia: Jakarta 2006)

Powered by Telkomsel BlackBerry®

Yang Dilupakan dari Nilai-nilai Pancasila

Pancasila sudah mulai sepi dari pembicaraan publik. Padahal Pancasila sebagai dasar negara merupakan puncak kesepakatan nasional.
Melihat aneka sikap dan perilaku, tindakan dan perbuatan dari beberapa elit partai politik, pejabat negara, aksi sekelompok organisasi massa seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme, kekerasan terhadap penganut agama lain, mementingkan diri atau kelompok menunjukkan bahwa nilai-nilai Pancasila sudah mulai dilupakan.
Tak luput juga, hubungan antar pemeluk agama menjadi agak renggang, karena adanya larangan mengucapkan selamat natal, soal pendirian rumah ibadah dan kebebasan beribadah kelompok minoritas.
Alangkah baiknya jika setiap pejabat publik, elit politik, tokoh agama, segenap masyarakat, merefleksikan nilai-nilai dari setiap Sila Pancasila sebagai berikut:
A. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa:
(1) Percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab; (2) Hormat menghormati dan bekerja sama antara pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup; (3) Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya; (4) Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain.
B. Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab:
(1) Mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan persamaan kewajiban antara sesama manusia; (2) Saling mencintai sesama manusia; (3) Mengembangkan sikap tenggang rasa; (4) Tidak semena-mena terhadap orang lain; (5) Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan; (6) Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan; (7) Berani membela kebenaran dan keadilan; (8) Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia karena dikembangkan sikap hormat-menghormati dan bekerja sama dengan bangsa lain.
C. Sila Persatuan Indonesia: (1) Menempatkan persatuan, kesatuan, di atas kepentingan pribadi atau golongan; (2) Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara; (3) Cinta tanah air dan bangsa; (4) Bangga sebagai bangsa Indonesia dan ber-Tanah Air Indonesia; (5) Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.
D. Sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan: (1) Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat; (2) Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain; (3) Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama; (4) Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi semangat kekeluargaan; (5) Dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah; (6) Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur; (7) Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
E. Sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia: (1) Mengembangkan perbuatan-perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotong-royongan; (2) Bersikap adil (3) Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban; (4) Menghormati hak-hak orang lain; (5) Suka memberikan pertolongan kepada orang lain; (6) Menjauhi sikap pemerasan terhadap orang lain; (7) Tidak bersifat boros (8) Tidak bergaya hidup mewah; (9) Tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum (10) Suka bekerja keras; (11) Menghargai hasil karya orang lain; (12) Bersamai-sama berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.
Jika segenap masyarakat Indonesia benar-benar mengacu pada nilai-nilai Pancasila ini dalam kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat, maka pada saatnya kita akan melihat Indonesia sebagai bangsa yang nasionalis dan religius, sebab nilai-nilai Pancasila universal dan tidak bertentangan dengan agama manapun.
Dibutuhkan satu komitmen dan kemauan untuk Indonesia, agar Garuda dan Pancasila benar-benar didada segenap warga bangsa. Dengan demikian, kita yakin kita akan menjadi bangsa PEMENANG bukan pecundang. Semoga.
(Pormadi S., dari berbagai sumber)

Powered by Telkomsel BlackBerry®
Powered By Blogger