Trima kasih mengunjungi blog kami!

Para pengunjung yth. semua isi blog ini ditulis atau disusun atas kemauan pribadi. Itu berarti blog ini berisi aneka pendapat, pemahaman, persepsi pribadi, dan pemikiran pribadi atas lingkungan kerja dan hidup sekitarnya. Harapan kami isi blog ini bermanfaat bagi pengunjung yang memerlukannya. Salam, GBU.

Senin, September 22, 2008

AGAMA, HAK ASASI MANUSIA DAN TUGAS NEGARA


Beragama adalah salah satu Hak Asasi Manusia (HAM) yang harus ditegakkan dan dilindungi oleh Negara melalui aparaturnya। Dalam menjalankan tugasnya, Negara harus kuat dan tegas menegakkan dan menjamin HAM.
Agama dan HAM merupakan bagian-bagian yang saling mendukung dan menguatkan dalam suatu negara demokrasi।


Agama
Sebagai sebuah system kepercayaan kepada yang ilahi dan tanggapan iman kepadaNya, agama sangat berperan besar dalam kehidupan manusia। Peran itu bisa positif dan bisa juga negatif. Di satu sisi agama mengajarkan cinta-kasih-sayang kepada Pencipta dan sesama. Agama bisa menjadi rahmat bagi sesama-semesta bila moralitas dan cinta menjadi jantung kehidupan beragama (Yudi Latif, Kompas, 28/09/2006).


Di sisi lain agama dapat mendorong penganutnya untuk melakukan kekerasan, mengedepankan egoism, menampilkan wajah hipokrit dan menyebarkan kebencian terhadap agama lain। Di sini wajah agama menjadi menakutkan dan tidak simpatik.


Ajaran agama yang menekankan cinta-kasih-sayang menampilkan wajah agama yang sejuk, ramah, yang mengajarkan nilai-nilai luhur, menghargai dan menyenangkan sesama di tengah kehidupan bersama। Agama yang berwajah demikian menjadi daya pemikat tersendiri bagi yang memandang dan memeluknya. Itulah sebabnya, Pemerintah dalam hal ini Departemen Agama RI, mencita-citakan agar agama menjadi landasan etis-moral dan spiritual dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.


Dengan menjadikan agama demikian, Pemerintah sangat menjunjung tinggi peran agama dan berupaya meningkatkan dan memfasilitasi pelayanan, pengamalan dan penghayatan ajaran agama bagi setiap pemeluknya। Departemen Agama merupakan lembaga utama sebagai fasilitator pembangunan kehidupan keagamaan dan kerukunan umat beragama. Dengan demikian diharapkan, warga Negara Indonesia dapat hidup semakin sejahtera, aman, damai dan demokratis.


Meskipun demikian, Pemerintah melihat dan mengakui masih ada persoalan dalam kehidupan beragama di negeri ini yang belum terselesaikan dengan baik। Salah satu persoalan tersebut antara lain kurangnya internalisasi (pembatinan) inti ajaran agama sehingga kehidupan beragama (religiositas) terkesan belum menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia. Dengan kata lain, masih ada sekelompok orang yang mengatasnamakan agama untuk merugikan hak-hak asasi orang lain. Padahal substansi agama itu dalam sendiri sangat menghargai kemanusiaan alias hak asasi manusia.


Melukai Wajah Agama Sendiri
Kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok orang dengan manyalahgunakan agama yang terjadi di negeri ini sangat melukai dan merugikan warga masyarakat lainnya। Yang lebih menyedihkan lagi, tindakan tersebut melukai wajah agama yang menyuratkan cinta-kasih-sayang terhadap Sang Pencipta dan sesama.


Sejarah hubungan agama-agama mencatat, kekerasan dan rendahnya toleransi sangat mewarnai kehidupan beragama. Sejarah seperti ini sangat meredupkan image agama yang menampilkan kedamaian, kedalaman hidup, solidaritas dan harapan akan kebahagiaan.
Masuk akal jika Karl Marx mengatakan bahwa agama sebagai candu rakyat। Bahkan agama itu bisa jauh lebih berbahaya dari candu. Agama menjadi tragedy bagi manusia. Agama dapat mendorong orang untuk menganiaya sesamanya untuk mengagungkan perasaan dan pendapat mereka sendiri atas perasaan dan pendapat orang lain untuk mengklaim diri mereka sebagai pemilik kebenaran.


Hak Asasi Manusia
Pertanyaannya adalah mengapa para penganut agama-agama yang berbeda tidak bisa toleran dan menghargai perbedaan? Jawabannya adalah adanya kesulitan menerima perbedaan। Sulitnya menerima perbedaan ini mendorong terjadinya aksi kekerasan dan penganiayaan terhadap orang lain yang berbeda agama. Sejatinya, perbedaan itu mutlak ada dan merupakan hak asasi manusia sebab perbedaan itu berasal dari Sang Pencipta yang diabdi para pemeluk agama.


Sejarah peradaban manusia mencatat hampir tidak ada salah satu agama yang tidak ikut bertanggung jawab atas berbagai peperangan, tirani, kekerasan dan penindasan (Budhy Munawar Rachman, Kompas, 20/08/2005). Agama dalam hal ini gagal mendorong pemeluknya untuk menghargai kemanusiaan, tetapi malahan merendahkan kemanusiaan itu sendiri.
Warga dunia bersyukur atas inisiatif para pemimpin bangsa-bangsa dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 10 Desember 1948 untuk mendeklarasikan hak-hak asasi manusia yang berlaku universal. Hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia yang berlaku seumur hidup sejak awal dilahirkan dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun.
Dalam Deklarasi Universal HAM PBB, terdapat beberapa jenis dan bidang HAM yaitu hak asasi pribadi (personal right); hak asasi politik (political right); hak asasi hokum (legal equality right); hak asasi ekonomi (property right); hak asasi peradilan (procedural rights) dan hak asasi sosial budaya (social cultural right)।


Menurut Adnan Buyung Nasution dalam pengantar bukunya, Instrumen Internasional Pokok Hak-Hak Asasi Manusia (1997) deklarasi HAM PBB 1948 dapat dikatakan sebagai puncak peradaban manusia setelah dunia mengalami malapetaka akibat kekejaman dan keaiban yang dilakukan Negara fasis dan Nazi Jerman dalam Perang Dunia II। Tahun ini Deklarasi Universal HAM PBB memasuki usia 60 tahun. Deklarasi ini menjadi kebanggaan warga dunia yang masih harus ditingkatkan penegakannya.


Dengan deklarasi yang tersebut, bangsa-bangsa yang menjadi anggota PBB sepakat bahwa perbedaan setiap individu menurut agama, ras, suku bangsa, warna kulit, ideologi, golongan dan bahasa adalah hak pada diri manusia yang harus dihormati dan dihargai। Perbedaan adalah mutlak ada dan merupakan hak asasi manusia.


Negara Indonesia adalah salah satu anggota PBB yang meratifikasi dan menerima Deklarasi Universal HAM। Pada tahun 2005 lalu, Indonesia juga meratifikasi dua kovenan internasional yang diprakarsai PBB yaitu Kovenan Internasional tentang Hak sipil dan Politik dan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Itu berarti Indonesia menjunjung tinggi dan melindungi hak-hak asasi manusia yang berlaku universal. Dengan demikian tiap-tiap warga Negara Indonesia yang berbeda agama satu sama lain seyogiyanya merangkul kemanusiaan universal yang dimiliki oleh penganut agama lain.


Benarlah apa yang dikatakan oleh Mr। Mohammad Yamin dalam risalah Sidang BPUPKI, (29/5/1945) seperti dikutip oleh William Chang (2006) bahwa “Kedaulatan rakyat Indonesia dan Indonesia merdeka adalah berdasar perikemanusiaan yang universeel berisi humanisme dan internasionalisme bagi segala bangsa”.


Pertanyaannya sekarang adalah bisakah warga Negara yang menganut agama tertentu menerima dan menghormati warga lain yang berbeda agama sekaligus memegang teguh otentisitas kebenaran agamanya sendiri? Bila para pemeluk agama dapat merangkul hak asasi manusia universal, maka wajah agama yang ditampilkannya adalah wajah agama sejuk, ramah, simpatik, damai dan penuh cinta-kasih-sayang।


Tugas Negara
Pendiri Negara Republik Indonesia (RI) menjamin dan melindungi hak asasi warganya। Hal ini dirumuskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Negara RI dibentuk “untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Dalam pasal 28 E UUd 1945 (versi amandemen) dikatakan: “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya” (ayat 1) dan setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nuraninya (ayat 2).


Konstitusi Negara menjamin dan melindungi hak-hak asasi warganya। Lebih khusus lagi kebebasan beragama itu difasilitasi pemerintah melalui Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9/8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat sehingga para pemeluk agama yang berbeda satu sama lain dapat menjalankan hak asasinya.


Dengan dasar konstitusi dan peraturan-peraturan yang dikeluarkan, pemerintah berharap hubungan agama-agama dan kehidupan beragama di Indonesia rukun dan saling menghormati। Dengan demikian para pemeluk agama menampilkan agama yang berwajah kedamaian dan penuh cinta-kasih-sayang.


Dari dirinya sendiri, agama semestinya menjadi rahmat bagi sesama-semesta bila substansi ajaran agama benar-benar menjadi jantung kehidupan beragama.
Di sinilah tugas pemimpin Negara demokrasi yaitu menegakkan hak asasi manusia universal, memfasilitasi dan mendukung kehidupan beragama yang memeluk dan menghargai kemanusiaan. Sebab kebebasan beragama sebagai bagian HAM merupakan salah satu fundasi Negara demokrasi . SEMOGA !!! (Pormadi सिम्बोलों, ह्त्त्प://पोर्मादी.वर्डप्रेस.com)

Senin, September 15, 2008

Agama yang Didasari Ketakutan Tidak Tinggi Nilainya

Zainal Abidin Bagir,Ph.D (42), Direktur Eksekutif Center for Religiousand Cross-Cultural Studies, prog. Pascasarjana UGM Yogyaberkata, "Ketakutan muncul dari ketidaktahuan. Agama yang didasariketakutan nilainya tidak tinggi. kalau mau berani kita harus punyabanyak pengetahuan, diantaranya, mesti mengenal banyak orang dengansegala kompleksitasnya secara lebih baik" (Kompas).

Pendapat Zainal Abidin Bagir tersebut sangat relevan dengan keadaan dimana masih banyak pemimpin agama yang menakuti-nakuti umatnya dalam berdakwah. Pendekatan agama dengan cara menakut-nakuti pemeluknya akan akhirat sudah tidak jamannya lagi, tidak relevan lagi. Pendekatan demikian tidak mendalam dan membatin alias dangkal.

Untuk itu perlu pengetahuan yang diantaranya diberikan oleh cara berpikir filsafat. Cara berfilsafat adalah cara memertanyakan kebenaran segala hal yang dibahas dalam agama itu. Bertanya, berefleksi tentang isi Kitab Suci mendorng setiap orang menyadari eksistensinya di hadapan the Supreme Being. Pada akhirnya kita akan sampai pada kekaguman akan keagungan kasih Tuhan pada kita dan membuat kita semakin bijaksana dalam hidup, bukannya takut akan Tuhan (Pormadi Simbolon)
Powered By Blogger