Trima kasih mengunjungi blog kami!

Para pengunjung yth. semua isi blog ini ditulis atau disusun atas kemauan pribadi. Itu berarti blog ini berisi aneka pendapat, pemahaman, persepsi pribadi, dan pemikiran pribadi atas lingkungan kerja dan hidup sekitarnya. Harapan kami isi blog ini bermanfaat bagi pengunjung yang memerlukannya. Salam, GBU.

Jumat, September 27, 2013

Pemilu 2014: Umat Katolik Jangan Golput

"Saya menghimbau agar masyarakat Katolik tidak menjadi Golput pada Pemilu 2014. Saya berharap masyarakat Katolik berpartisipasi memilih pemimpin yang baik, baik track record-nya" guna mewujudkan kesejahteraan umum, demikian penegasan Semara Duran Antonius, Direktur Jenderal Bimas Katolik ketika menutup acara pertemuan tokoh agama dan tokoh masyarakat Katolik Keuskupan Denpasar yang terdiri berbagai unsur, para pastor, tokoh masyarakat lokal, Ormas PMKRI dan WKRI,  di Mataram yang berlangsung pada 22-25/9.

Semara Duran Antonius juga mengajak para tokoh agama dan tokoh masyarakat Katolik untuk bekerja sama sebagai mitra kerja dalam rangka membangun bangsa dan Gereja.

Sebelumnya, Eko Armada Ryanto, CM yang menjadi pembicara dalam pertemuan tersebut, menegaskan agar umat Katolik tidak ragu ikut berpartisipasi dalam politik karena politik itu sejatinya mewujudkan kesejahteraan umum dengan cara profesional dan berintegritas.

Dalam berpartisipasi, umat Katolik diharapkan sadar dan setia memperjuangkan ideologi Pancasila. Sebab dewasa ini, ideologi sudah mati, yang berlaku politik pragmatisme, dimana para politisi menjadi kutu loncat, guna mengejar kepentingan golongan atau kelompok.

Agar optimal dalam berkontribusi mewujudkan kesejahteraan umum, maka Pemerintah, Keuskupan (Lembaga Gereja) dan Masyarakat memberikan kesempatan studi lanjut bagi warga yang potensial, bahkan diharapkan sampai tingkat doktoral, lanjut Eko Armada Riyanto dalam paparannya.

 

Kompetensi, profesionalitas dan integritas

Pada hakekatnya, kita  dihormati dan eksis bukan karena jabatannya, melainkan karena kompetensi, profesionalitas dan integritasnya. Oleh karena itu, masyarakat diharapkan agar masyarakat Katolik meningkatkan kualitasnya agar profesional, kompeten dan berintegritas dalam berpartisipasi mewujudkan kesejahteraan umum, kata Dr. Harry Soeprianto, M.Si, dosen Universitas Mataram yang menjadi pembicara lainnya.

Selain masyarakat, organisasi massa Katolik memiliki peran strategis dalam menggapai kesejahteraan umum, ungkap, Selly Esther Sembiring, praktisi hukum di Mataram. Peran Ormas Katolik tidak sebatas bidang sosial karitatif, lebih dari itu, perbaikan kehidupan bersama, sesuai kebenaran Injili, antara lain menjadi calon legislatif atau politisi, tegasnya dalam presentasinya berjudul Peran ORMAS Katolik.

Pertemuan tokoh agama dan tokoh masyarakat Katolik Keuskupan Denpasar tersebut  menghasilkan tujuh (7) butir-butir kesepakatan atau komitmen yang hendak diwujudnyatakan.
Ketujuh butir-butir kesepakatan tersebut adalah: Ikut terlibat secara aktif dalam meningkatkan kualitas hidup umat di segala bidang kehidupan demi terwujudnya kesejahteraan umum (Bonum Commune); mendukung upaya Gereja dan Pemerintah dalam menyiapkan Generasi Muda Katolik yang potensial untuk studi lanjut; meningkatkan komunikasi dan kerjasama yang sinergis antara Lembaga Gereja Katolik Indonesia, Pemerintah dan lembaga keagamaan lainnya, menanamkan keberanian untuk masuk dan berpartisipasi dalam kehidupan sosial, budaya, dan politik melalui pemahaman yang menyeluruh atas pengalaman historis relasi umat dengan masyarakat dan Pemerintah, membangun "dapur politik" untuk menyiapkan politisi Katolik, berani menyuarakan "suara kaum tak bersuara" (the voice of the voiceless)  dan mendorong Gereja dan Pemerintah untuk lebih memperhatikan Ormas Katolik terutama dalam hal dukungan dana

Butir-butir kesepakatan tersebut diharapkan didengarkan dan didukung oleh pimpinan Gereja Katolik dan stakeholder lainnya, dalam hal ini Uskup Denpasar, pemerintah, Ormas terkait, demikian tegas Pastor Evensius Dewantoro
, Pr  salah satu tokoh agama Katolik. (Pormadi Simbolon)

Minggu, September 08, 2013

Guru Pendidikan Agama Katolik: Demi Bangsa Indonesia yang Cerdas dan Sejahtera

Guru Pendidikan Agama Katolik merupakan salah satu tenaga pendidik yang penting dan strategis dalam mewujudkan bangsa Indonesia yang cerdas dan sejahtera, untuk itu mereka harus dibina di bidang kompetensi-kompetensinya (pedagogis, profesionalitas, kepribadian, sosial, dan kepemimpinan) agar semakin profesional. Demikian salah satu benang merah sambutan Dirjen yang dibawakan oleh Bapak Sekretaris Ditjen Bimas Katolik, Drs. Agustinus Tungga Gempa,MM.

Para guru Pendidikan Agama Katolik mengikuti Pembinaan Kompetensi Guru Pendidikan Agama Katolik Tingkat Dasar Regional Sumatera Utara di Pematang Siantar dari 7 s.d. 11 September 2013 di hotel Sapadia. Fokus pertemuan ini difokuskan pada pembinaan kompetensi profesionalitas di bidang pembelajaran Pendidikan Agama Katolik versi Kurikulum 2013, guna meningkatkan pengetahuan dan keterampilan anak, dan pembentukan karakter anak.

Guru Pendidikan agama Katolik dibina disiapkan menyongsong pemberlakuan mata pelajaran agama versi kurikulum 2013 pada tahun 2014.

Powered by Telkomsel BlackBerry®

Pembina BIA: Mendekatkan diri Anak kepada Tuhan

Foto bersama para peserta ketika penutupan acara pembinaan pembina bina iman anak (BIA) Keuskupan Manado pada 2 s.d. 5 September 2013 di hotel Travello, Manado. Harapan dari pertemuan ini adalah terbinanya para peserta dalam menyiapkan materi BIA guna meningkatkan kualitas keimanan Katolik dan kualitas kerukunan umat beragama, demikian laporan ketua panitia.

Para peserta mendapatkan pembinaan terkait penyiapan materi BIA, penggunaan media dan sarana, psikologi anak dan pembentukan karakter anak. Semua materi ini bertujuan untuk mendekatkan diri anak kepada Tuhan, dan Tuhan kepada anak.

Selain itu para pembina BIA diajak untuk membina anak untuk mengenal dan menyadari perbedaan (kemajemukan) yang ada di sekitarnya agar menjadi anak yang toleran dan rukun sesama anak bangsa lainnya.
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Penyusunan Model Materi Penyuluhan Kategori Anak, Remaja/ Orang Muda Katolik, Keluarga, dan Masyarakat Umum

Foto Direktur Urusan Agama Katolik, Fransiskus Endang, SH, MM, bersama tim penyusun materi penyuluhan agama Katolik di Hotel Papyrus Bogor dari 25 s.d. 28 Agustus 2013. Tema pertemuan tersebut Hasil pertemuan ini diharapkan tersusunnya model silabus dan materi penyuluhan untuk kategori Anak, Remaja/ Orang Muda Katolik, Keluarga, dan Masyarakat Umum yang dapat digunakan para penyuluh agama Katolik dalam mewujudkan masyarakat Katolik yang semakin beriman dan rukun. Romo Yohanes Driyanto menegaskan para penyuluh harus "blusukan", mengajar dan membantu umat menyelesaikan masalahnya seperti Yesus berkeliling, mengajar dan menyembuhkan orang.
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Rabu, April 17, 2013

Sosialisasi PBM, Sosialisasi Kerukunan Umat Beragama


Oleh Pormadi Simbolon

Jangan lupakan Pancasila
Sampai saat ini, masalah memperoleh IMB rumah ibadah masih menjadi menjadi persoalan rumit bagi kaum minoritas. Padahal proses pendirian rumah ibadah sudah melalui Peraturan Bersama Menteri Nomor 9/8 tahun 2006 yang salah satu di dalamnya diatur bagaimana memperoleh IMB rumah ibadat. 

Sebuat saja contoh, gereja GKI Yasmin, Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 127/PK/TUN/2009 pada 9 Desember 2009 telah memenangkan GKI Yasmin, namun Pemerintah Kota Bogor tidak melaksanakan putusan MA, malah mencabut IMB GKI Yasmin pada 11 Maret 2011.


Pertanyaannya, apakah sosialisasi PBM belum terlaksana dengan baik atau bagaimana sikap dasar kita terhadap PBM Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Tugas Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat sudah ditetapkan pada tanggal 21 Maret 2006?

Pendirian Rumah Ibadat

Masalah pendirian rumah ibadat sudah diatur dalam Peraturan Bersama Menteri (PBM) oleh Menteri Agama (Menag) dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Tugas Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat sudah ditetapkan pada tanggal 21 Maret 2006.

PBM tersebut dalam seluruh prosesnya (10 putaran), materi rumusan bab dan pasal digarap langsung oleh semua unsur majelis agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha dari draf awal sampai rumusan akhir. Pemerintah bertindak sebagai fasilitator.

Baru-baru ini seminar dalam rangka memperingati 7 tahun PBM tersebut diadakan oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI di Jakarta, Kamis (21/3). 

Menurut Kepala Badan Litbang dan Diklat, Prof. Dr. Machasin, implementasi PBM tersebut kurang dipahami oleh pemegang kekuasaan di daerah, meski Kemendagri telah melakukan sosialisasi ke seluruh perangkat daerah.

Implementasi dan Problematika PBM

Selama 7 tahun, keberadaan PBM masih menimbulkan masalah dalam membangun kerukunan umat beragama secara nasional. Masalah pendirian rumah ibadat masih masalah dominan.

Dalam seminar tersebut aturan dalam  PBM diakui belum menyelesaikan masalah dalam mendirikan rumah ibadah. Ada yang berpendapat agar PBM dicabut karena menjadi alat penguasa di daerah untuk melarang pembangunan rumah ibadah. Pada konteks tertentu PBM ini dipakai kelompok tertentu yang tidak memiliki kewenangannya untuk menolak keberadaan rumah ibadah tertentu.

Sejatinya, PBM ini ada untuk kepentingan pembangunan kerukunan umat beragama karena PBM ini mengedepankan roh kerukunan umat beragama menuju kerukunan nasional dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bermasyarakat.

Kerukunan Umat Beragama

Masalah pendirian rumah ibadah dan kebebasan beragama terkait langsung dengan pembangunan kerukunan umat beragama.

Pengertian kerukunan umat beragama didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerja sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (PBM Menag dan Mendagri Nomor 9/8 Tahun 2006, Bab I, Pasal 1, poin 1).

Definisi tersebut mengingatkan kita pada apa yang pernah diucapkan mantan Presiden Soeharto berkaitan dengan makna kerukunan umat beragama dalam salah satu sambutannya. Usaha membina kerukunan hidup umat beragama, saya rasa perlu beroleh perhatian yang lebih besar. Kerukunan mengandung makna hidup dalam kebersamaan. Oleh karena itu, dalam usaha membina kerukunan hidup bangsa kita yang menganut berbagai agama dan kepercayaan itu, kita harus berusaha membangun semangat dan sikap kebersamaan di antara penganut berbagai agama dan kepercayaan di kalangan bangsa kita. (Sambutan Presiden Soeharto pada waktu menerima peserta Rapat Kerja Departemen Agama, 12 Maret 1991 di Bina Graha, Jakarta).

Pencapaian kerukunan umat beragama tersebut adalah imperatif dan menjadi tugas bagi setiap pemeluk dan penganut agama dan kepercayaan, pemerintah daerah dan pemerintah. Artinya semua komponen bangsa bekerja bersama-sama dan berkomitmen memelihara kerukunan umat beragama baik secara internal maupun eksternal berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Semangat membangun kerukunan umat beragama menjadi roh kebersamaan dalam kehidupan beragama, bermasyarakat dan berbangsa. Pandangan sempit, eksklusif dan menganggap pihak lain sebagai ancaman kiranya hilang dengan sendirinya. Sikap saling mencurigai dan merendahkan serta membenci antar umat beragama harus dihilangkan. Stigmatisasi agama lain sebagai kafir, warisan penjajah atau pendorong terorisme seyogiyanya sudah lenyap dari benak kita. Tidak ada lagi sikap formalisme yang membuat Pancasila hanya sebagai retorika, dimana nilai-nilainya tidak dilaksanakan. Semuanya harus mengedepankan roh kerukunan dalam kebersamaan.

Demikian pula sebagai fasilitator, pemerintah mulai dari kepala pemerintahan, gubernur, bupati/ walikota, camat, hingga pada lurah/ kepala desa wajib menciptakan dan menumbuhkembangkan suasana kondusif untuk keharmonisan, saling pengertian, saling menghormati dan saling percaya di antara umat beragama. Dengan demikian suasana aman dan kondusif dalam menggapai Indonesia yang aman, damai, adil, demokratis dan sejahtera dapat berlangsung.

Mengubah Sikap Dasar

Mengapa aturan-aturan PBM belum mampu maksimal mengatasi masalah konflik pendirian rumah ibadah? Jawabannya adalah sikap dasar semua pihak terhadap PBM.  Kesulitan dalam pendirian rumah ibadah di lapangan pada umumnya  bukan pada soal persetujuan warga setempat, tetapi ada faktor lain yang lebih besar dari luar warga setempat, seperti kepentingan sesaat (politik dan ekonomi) kelompok  tertentu.

Untuk itu perlu sosialisasi PBM Menag dan Mendagri Nomor 9/8 Tahun 2006 secara bersahaja dan  mengedepankan roh kerukunan yang berangkat dari kerukunan umat beragama sebagai bahagian dari perwujudan kerukunan nasional. Roh kerukunan menjadi sikap dasar dalam mewujudkan  perbaikan keadaan bangsa dan negara yang dicap terkorup dan hampir gagal  menuju Indonesia baru dengan keadaban baru. Roh kerukunan nasional menjadi awal kesejahteraan dan kemajuan bangsa Indonesia. Mensosialisasikan PBM, berarti mensosialisasikan kerukunan umat beragama.

Sosialisasi juga tidak didasarkan sikap arogan dan mengedepankan pandangan mayoritas dan minoritas. Sikap dasarnya adalah semangat kebersamaan dan kebersatuan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di sinilah peran pejabat pemerintah sebagai fasilitator dan tugas FKUB dalam sosialisasi PBM.

Berhasil tidaknya pelaksanaan sosialisasi PBM ini ada  pada peran  Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri sebagai leading sector di bidang kehidupan beragama dan bernegara.

Sasaran utama sosialisasi ini diprioritaskan kepada para elit pejabat pusat dan daerah agar lebih memahami roh PBM ini. Para pejabat publik  atau politisi tidak memperalat agama sebagai jargon untuk kepentingan sesaat. Sebaliknya, agama menjadi inspirasi dalam kehidupan bersama dan menjadi moralitas publik.

Selain itu ada Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Tugas FKUB adalah menjadi mediasi antara masyarakat dan pemerintah. Tidak sebaliknya, anggota FKUB menjadi bagian dari masalah kerukunan itu sendiri karena sikap dasarnya untuk memperhatikan kepentingan kelompoknya sepihak, bukannya kepentingan yang lebih besar.

Selain memberi rekomendasi, FKUB juga menjadi mediator dalam menyelesaikan masalah, mensosialisasikan kebijakan di bidang kerukunan, karena kerukunan umat beragama merupakan syarat tercapainya kesejahteraan nasional.

FKUB juga perlu memberikan pencerahan kepada RT/RW sehingga roh PBM ini menjadi cakrawala baru dalam cara pandang, cara pikir dan cara berelasi. Karena itulah FKUB pertama-tama didirikan oleh masyarakat dan bukan oleh pemerintah.

Program FKUB juga adalah bagaimana menjaga dan memelihara kerukunan, sampai pada mempengaruhi kebijakan untuk menyejahterakan masyarakat. Maka FKUB menjadi partner pemerintah dalam merumuskan perlindungan rakyat minoritas. 

Sosialiasi PBM yang didasari sikap dan roh  kerukunan umat beragama  akan mengurangi konflik dalam pendirian rumah ibadat. 

Pada tataran nasional, untuk implementasi dan mengatasi problematika PBM dibutuhkan peran fasilitator yaitu Pemerintah dan Pemerintah Daerah, yang berperan besar dalam membangun kerukunan umat beragama sebab leading sector pembinan ada pada fasilitator. Pemerintah harus menindak tegas orang atau kelompok yang tidak memiliki kewenangan melarang pendirian rumah ibadah di daerah tertentu. Pemerintah tidak terkesan melakukan pembiaran.

Pormadi Simbolon, Alumnus STFT Widya Sasana Malang, pemerhati masalah kerukunan umat beragama. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi

Senin, Maret 18, 2013

Sebuah Teladan Lebih Baik

Di tengah publik kerapkali  kata dan makna integritas diri dipermainkan atau sekedar ucapan manis di lidah.

Publik dapat menyaksikan salah satu  contoh bahwa persyaratan untuk menjadi pemimpin, misalnya: lurah, camat, bupati, gubernur, anggota DPR, Presiden dan lain sebagainya adalah harus memiliki integritas diri.

Satu lagi syarat penting yang resmi dan biasa  dipraktekkan di lingkungan pemerintahan  untuk meneguhkan integritas seorang pemimpin adalah mengucapkan janji atau sumpah di hadapan Tuhan, dan didampingi salah seorang rohaniwan.

Faktanya, sebagian dari mereka yang terpilih itu selanjutnya dalam perjalanan kepemimpinannya banyak yang tidak memiliki integritas diri.

Banyak diantara mereka ketika berpidato resmi, melarang bawahan korupsi, namun mereka sendiri korupsi. Ketika mereka meminta bawahan disiplin, namun mereka lebih melanggar disiplin. Mereka meminta agar bawahan menjaga etika sopan santun, namun mereka sendiri yang tidak sopan-santun. Mereka melarang aksi pornografi namun mereka sendiri yang menonton video pornografi saat sidang.

Integritas diri
Integritas dikatakan sebagai satu padunya antara kata-kata dengan perbuatan. Seseorang dikatakan berintegritas bila kata-katanya terwujud di dalam perbuatan.

Ketika kampanye, Joko Widodo berjanji, jika menang dalam pemilihan gubernur,  akan menerbitkan Kartu Jakarta sehat dan kartu Jakarta Pintar kepada masyarakat yang membutuhkan sebagai bentuk upaya membangun kesejahteraan masyarakat. Janji itu dipenuhi, ketika Joko Widodo (Jokowi) dan pasangannya Basuki Tjahaya Purnama (Ahok)  memenangkan Pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta.

Kemunafikan
Ketiadaan integritas sama halnya dengan kemunafikan. Kemunafikan menunjukkan ke permukaan suatu perbuatan hanya sebagai pencitraan diri, namun sebenarnya, ada kebusukan yang ditutup-tutupi.

Sama halnya, dengan beberapa pemuka agama atau ahli agama, "iso khotbah, ora iso ngelakoni", bisa berkhotbah, namun tidak bisa melakukannya. Ia mengkhotbahkan agar umat hidup menjauhi larangan Allah, namun ia menyimpang dari perintah Allah.

Tiada gunanya sambutan atau pidato seorang pemimpin, bila isinya tidak mempunyai daya guna dan efek samping bagi pendengar.  Sebagai contoh, pidato tentang visi dan bangsa Indonesia   yakni melindungi segenap warga bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum. Pidato  ini tidak akan  memiliki daya pengaruh bagi publik bila di lapangan ada sekelompok minoritas tidak dilindungi hak asasinya. Itu namanya munafik, dan tidak memiliki integritas.

Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Azyumardi Azra, melihat pemimpin bangsa ini mempraktekkan kemunafikan sebagai tanda tiadanya integritas diri. Akibatnya,  disorientasi nilai terjadi hampir di berbagai aspek kehidupan. Sebagian masyarakat juga mengambil jalan menerabas, mencari jalan mudahnya, dan tidak lagi percaya pada hukum (Kompas, 8/3).

Kemunafikan menunjukkan lemahnya integritas pemimpin tersebut. Azyumardi mencontohkan, ketika pemimpin meminta elite politik tidak gaduh, tetapi pada saat sama justru gaduh dengan kemelut internal di partai politik.

Dibutuhkan Satu Contoh
Masyarakat sudah jemu melihat para pemimpin yang katanya berintegritas namun tidak memiliki integritas diri. Hal ini terlihat dari kemenangan pasangan Jokowi dan Ahok dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta.

Bagi publik, benarlah kata-kata orang bijak ini: satu contoh jauh lebih baik daripada 10,000 kata-kata nasehat. Bagi masyarakat, contoh pekerjaan Jokowi di Solo dan pekerjaan Ahok di Belitung Timur cukup meyakinkan untuk mendorong mereka memilih Jokowi-Ahok sebagai pemimpin.

Harapan ke depan, kata dan makna integritas diri dalam memilih para pemimpin tidak boleh lagi dipermainkan. Sebentar lagi akan ada pemilihan calon legislatif dan calon presiden dan calon wakilnya. Di sinilah kesempatan publik melihat contoh-contoh atau teladan yang telah diperbuat para calon legislatif maupun calon presiden dan calon wakil presiden. (Oleh Pormadi Simbolon, alumnus STFT Widya Sasana Malang)


Jumat, Maret 15, 2013

Harapan kepada Paus Fransiskus

Para Kardinal telah memilih Paus baru. Setelah asap putih mengepul dari cerobong asap Kapel Sistina di Vatikan, Rabu malam (13/3)M Kardinal Argentina Jorge Mario Bergoglio (76) terpilih sebagai Paus ke-266, menggantikan Paus Emeritus Benediktus XVI yang mengundurkan diri pada Kamis, 28 Februari 2013 lalu.
Direktur Jenderal Bimas Katolik Kementerian Agama RI, Semara Duran Antonius merasa sangat bahagia menyambut Paus baru yang berasal dari luar Eropa.

"Kami sebagai umat Katolik sangat bahagia bahwa sekarang sudah ada pemimpin Gereja Katolik sejagad yang memimpin 1,2 umat Katolik di seluruh dunia" kata Semara Duran Antonius kepada wartawan Kemenag.go.id.

Dengan terpilihnya paus baru Semara Duran Antonius berharap pembinaan iman umat Katolik lewat perangkat kepausan yang ada bisa berjalan dengan baik.

Lebih lanjut, ia berharap umat Katolik yang tersebar luas ke setiap negara bisa menjadi umat Gereja yang baik sekaligus juga menjadi warga negara yang baik.

"Umat Katolik adalah juga warga negara yang baik di negaranya," harapnya. (Pormadi/kemenag.go.id)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Kamis, Maret 07, 2013

Martabat Manusia versus Masalah HIV dan AIDS (perspektif agama Katolik)



Pengantar
Manusia diciptakan sebagai “gambar/citra Allah” karena itu mulia derajatnya, banyak kemampuannya, besar tanggung jawabnya.Manusia adalah makhluk paling berharga di mata Allah, oleh karena itu manusia harus saling menjaga martabat mulia dan luhur itu dari bahaya kerusakan dan gangguan atas hidupnya, termasuk dari bahaya HIV dan AIDS
Dalam Kitab Suci dikatakan bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. “…, Baiklah kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak di atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi” (Kej 1:26)

Mengenal HIV dan AIDS dan Cara Penularannya

AIDS (acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan salah satu penyakit berbahaya yang disebabkan oleh virus yang merusakkan sistem kekebalan tubuh manusia dan melemahkan kemampuan tubuh manusia melawan semua penyakit yang datang.  Virus tersebut disebut HIV (Human Immunodeficiency Virus). Penyakit AIDS menduduki peringkat keempat penyebab kematian pada manusia dewasa di seluruh dunia.

Di Indonesia kasus HIV pertama kali ditemukan 24 tahun yang lalu. Sejak tahun 2000, Indonesia tergolong sebagai Negara dengan epidemik HIV terkonsenterasi (karena prevalensi HIV pada populasi pecandu narkoba suntik/Penasun, PS/Penjaja seks, waria dan LSL/lelaki suka lelaki, di beberapa kota mencapai lebih dari 5 %). Secara khusus di Propinsi Papua, , epidemik HIV cenderung telah memasuki populasi umum yang menyebar 2,4 % populasi masyarakat umum dewasa. Lima propinsi terbesar penderita HIV dan AIDS  adalah Bali, Jakarta, Batam, Surabaya dan Medan.

Cara penularannya meliputi (1) darah: transfusi darah, terkena darah HIV positif pada kulit yang terluka, terkena darah menstruasi pada kulit yang tertular, pemakaian jarum suntik yang tidak steril dan dipakai bersama-sama, pemakaian alat tusuk yang menembus kulit (yang tidak steril dan dipakai bersama); (2) hubungan seksual: carian semen, air mani,  sperma dan peju pria. Misalnya laki-laki berhubungan dengan badan tanpa kondom atau pengaman lainnya, oral seks. Carian vagina pada perempuan. Misalnya berhubungan badan tanpa pengaman, pinjam meminjam alat bantu seks, oral seks. (3) Melalui ibu yang HIV positif kepada bayi yang dikandungnya: melalui proses kehamilan, proses menyusui, proses persalinan.

Komitmen untuk Sosialisasi Pengetahuan Komprehensif tentang HIV dan AIDS

Di tengah martabat manusia yang luhur itu, timbul penyakit HIV dan AIDS  yang membahayakan kehidupan manusia.  Di Indonesia, epidemi dan HIV dan AIDS dari waktu ke waktu menunjukkan peningkatan yang dapat menghancurkan generasi sekarang dan yang akan datang.

HIV dan AIDS dipandang tidak saja menyangkut masalah kesehatan, tetapi juga terkait dengan masalah spiritualitas, psikososial, lingkungan, sosial, ekonomi, hukum dan politik.

Untuk itu, semua agama berkomitmen untuk memberikan tuntunan dan pedoman dalam semua aspek kehidupan termasuk sosialisasi HIV dan AIDS guna mengupayakan pencegahan dan penanggulangannya. 

Komitmen itu antara lain: (1) meningkatkan ketahanan iman bagi seluruh umatnya, (2) memberikan dukungan nyata kepada kelompok yang rentan terhadap penularan HIV agar tidak dikucilkan dan diabaikan hak-haknya untuk mendapatkan layanan masyarakat secara optimal, (3) melaksanakan ajaran agama yang menegaskan kasih sayang dalam upaya pengobatan, perawatan dan dukungan bagi orang yang hidup dengan HIV dan AIDS, orang yang terkena dampak HIV dan AIDS termasuk anak yatim piatu dengan HIV dan AIDS, (4) mengikutsertakan orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS, (5) mendorong peran keluarga dalam mendukung ODHA secara utuh baik jasmanai maupun rohani, (6) membentuk dan atau mengaktifkan kelompok kerja di dalam organisasi agama dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS dan (7) Mendukung upaya pemerintah dalam pencegahan penularan HIV melalui penggunaan napza suntik, hubungan seksual dan penularan dari ibu ke bayi dan penanggulangan AIDS.

Kebersamaan  semua agama dalam komitmen ini merupakan kekuatan penting dalam mewujudkan kesinambungan upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS. Sinergi dengan semua pihak terkait dapat mengoptimalkan upaya bersama dalam melakukan pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS.

Penutup
Martabat manusia amat berharga di hadapan Tuhan, oleh karena itu setiap orang harus menghargai  tubuh dan kehidupannya, dan memuliakan dan mengabdi Tuhan lewat ketubuhan dan kehidupannya untuk kebahagiaan semua umat manusia. Bagi Indonesia, upaya pencegahan dan penanggulangan ini, dapat mengurangi dampak bahaya HIV dan AIDS bagi generasi penerus bangsa. (Pormadi Simbolon – dari berbagai sumber)
 

Selasa, Februari 19, 2013

Menyelenggarakan Sekolah Keagamaan Katolik Negeri

Semara Duran Antonius (paling Kanan) bersama Nunius Vatikan dan para Uskup


Direktorat Jenderal  Bimas Katolik Kementerian Agama RI sedang mengupayakan  pendidikan Katolik Negeri, yang diselenggarakan oleh masyarakat Katolik guna mewujudkan salah satu misi pendidikan nasional, yaitu perluasan dan pemerataan pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia.

"Yang aktual dalam bentuk keikutsertaan masyarakat Katolik menyelenggarakan pendidikan keagamaan Katolik dalam bentuk Sekolah Tinggi Agama Katolik Negeri," kata Semara Duran Antonius, Direktur Jenderal Bimas Katolik seperti dikutip situs kemenag.go.id dalam pertemuan dengan wartawan di kantor Kementerian Agama, Jalan Thamrin Jakarta, Senin (18/2).

Semara Duran Antonius menjelaskan, Ditjen Bimas Katolik mengelola anggaran sebesar Rp 572 miliar dengan jumlah umat Katolik sebesar 8,9 juta jiwa.  "Untuk anggaran pendidikan yaitu pengembangan dan pembinaan pendidikan agama Katolik sebesar 60,3 milyar.  Karena kalau bicara pendidikan, SDM yang penting yakni, Guru. Guru dituntut empat kompetensi pokok, kepribadian, profesional, pedagogik dan sosial."

Ditjen Bimas Katolik memiliki satu program yaitu Program Bimbingan Masyarakat Katolik. Program tersebut dijabarkan dalam bentuk fasilitasi bagi umat Katolik Indonesia melalui: peningkatan kualitas kehidupan beragama, peingkatan kualitas kerukunan hidup beragama, peningkatan kualitas pendidikan agama dan pendidikan keagamaan Katolik dan peningkatan kualitas tata kelola kepemerintahan yang bersih dan berwibawa.

Terkait masalah hangat dewasa ini, yaitu masalah sekolah Katolik agar memberi pelajaran agama sesuai agama siswa, Dirjen Bimas Katolik mengatakan, pihaknya telah berupaya mengingatkan sekolah-sekolah Katolik agar melaksanakan amanat Undang-undang, bahwa setiap sekolah harus memberikan mata pelajaran agama siswa sesuai agamanya masing-masing.

Dia mengatakan bahwa sekolah Katolik mempunyai kekhasan, tetapi sekolah katolik kalau mengajarkan agama Katolik tidak bertujuan untuk mengkatolikkan.

Selama ini sudah ada anjuran agar Sekolah-sekolah Katolik mencermati UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajar oleh pendidik yang seagama.

Menurutnya, dengan ketentuan itu, ada manfaat yang dialami yaitu: menjaga keutuhan dan kemurnian ajaran agama; kedua, dengan adanya guru agama yang seagama dan memenuhi syarat kelayakan mengajar akan dapat menjaga kerukunan hidup beragama bagi peserta didik yang berbeda agama tapi belajar pada satuan pendidikan yang sama, ketiga, pendidikan agama yang diajarkan oleh pendidik yang seagama menunjukkan profesionalitas dalam penyelenggaraan proses pembelajaran pendidikan agama.

Ketika ditanya wartawan tentang pengunduran diri paus, Semara Duran Antonius berkomentar, Paus mundur karena faktor kesehatan. "Kita tahu betul di beberapa momen dia jalan sudah setengah mati, karena itu dia sadar betul, sudah tua, memberi kesempatan yang lain", katanya. "Dalam ajaran iman kami tunduk pada Sri Paus, tapi sebagai warganegara kami taat pada NKRI", tegasnya. (Pormadi/kemenag.go.id)




Powered By Blogger