Trima kasih mengunjungi blog kami!

Para pengunjung yth. semua isi blog ini ditulis atau disusun atas kemauan pribadi. Itu berarti blog ini berisi aneka pendapat, pemahaman, persepsi pribadi, dan pemikiran pribadi atas lingkungan kerja dan hidup sekitarnya. Harapan kami isi blog ini bermanfaat bagi pengunjung yang memerlukannya. Salam, GBU.

Sabtu, Mei 14, 2016

Pentingnya Penguatan Peran dan Fungsi Lembaga Agama Katolik

Lembaga Agama Katolik perlu bersinergi meningkatkan kualitas iman umat dan peran dalam rangka berpartisipasi membangun kebaikan bersama (bonum commune) baik internal Gereja Katolik Indonesia maupun di tengah masyarakat Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika  dalam negara Pancasila. Demikian benang merah pertemuan Pimpinan Lembaga Agama Katolik Provinsi Maluku dan Maluku Utara di Ternate, yang diselenggarakan Direktorat Jenderal Bimas Katolik Kementerian Agama RI Selasa-Kamis (10-13 Mei 2016) yang.
Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik, Eusabius Binsasi menyatakan bahwa fungsi dan peran lembaga agama Katolik harus dikuatkan melalui registrasi sebagai lembaga agama, registrasi rumah ibadah, rekomendasi sertifikasi aset atau tanah Gereja. "Lembaga Agama Katolik tidak boleh curiga, bila Pemerintah membuat registrasi lembaga agama, rumah ibadat dan rekomendasi tanah Gereja Katolik. Kegiatan registrasi merupakan penguatan peran dan fungsi lembaga agama Katolik, sehingga semakin maksimal dalam meningkatkan pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran iman Katolik yang minoritas di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk ", demikian disampaikan Eusabius Binsasi ketika memberikan sambutan di hadapan sekitar 70 pimpinan  lembaga Agama Katolik dan jajarannya Selasa, )10/5).
Pernyataan orang nomor satu pada DIrektorat Jenderal Bimas Katolik ini dipertegas kembali oleh Direktur Urusan Agama Katolik, sihar Petrus Simbolon. Ia mengatakan bahwa lembaga agama Katolik harus mendapat perhatian negara. "Sebagaimana amanat Nawacita Jokowi-JK, negara harus hadir di tengah umat dan lembaga Katolik, antara lain melalui registrasi lembaga agama, rumah ibadat, rekomendasi sertifikasi tanah gereja guna menguatkan fungsi dan peran lembaga agama Katolik. Lembaga Agama Katolik adalah mitra Pemerintah dalam  mewujudkan masyarakat Katolik menjadi pemeluk agama yang semakin baik. Selain itu, perlu pembentukan sebuah wadah pemberdayaan ekonomi umat melalui sebuah lembaga atau badan, seperti Badan Amal Gereja/Katolik", tegasnya.
Pastor Carolus B Rentany, Pastor Paroki Kao,  sangat terkesan dengan ide penguatan peran dan fungsi lembaga agama Katolik. Ia berharap, Pemerintah, dalam hal ini agar mensosialisasikan ide registrasi lembaga agama Katolik, registrasi rumah ibadat, rekomendasi sertifikasi tanah gereja,dan pembentukan badan amal Katolik kepada para Uskup. "Saya tertarik dengan ide-ide Pemerintah terkait  registrasi lembaga agama Katolik, registrasi rumah ibadat, rekomendasi sertifikasi tanah gereja,dan pembentukan badan amal Katolik. Saya harap hal ini disosialisasikan kepada Para Uskup di KWI (Konferensi Waligereja Indonesia, red) dan pusat Keuskupan-keuskupan", harapnya.
Sementara pembicara lain, Pastor Agustinus Ulahayanan, Sekretaris Eksekutif Koferensi Waligereja Indonesia, melihat peran dan fungsi lembaga agama Katolik amat strategis. Pimpinan lembaga  dan jajarannya merupakan agen perubahan. Pimpinan atau tokoh Agama Katolik merupakan agen perubahan dalam membangun kebaikan umum (bonum commune). Pastor Agus, panggilan akrabnya menjelaskan, "Pimpinan lembaga agama Katolik atau tokoh umat adalah agen perubahan.  Mereka berperan penting dalam meningkatkan kualitas tenaga pastoral dan perannya di tengah publik. Peningkatan kualitas dan peran tersebut harus berdasarkan kebutuhan, bukan berdasarkan kesukaan. Untuk itu, perlu membangun sinergi dan kemitraan dengan pemerintah, termasuk bermitra dengan tokoh-tokoh agama non Katolik dalam membangun kebaikan umum di tengah masyarakat  yang majemuk".
Para Pimpinan lembaga agama Katolik yang menjadi peserta pertemuan tersebut menghasilkan beberapa butir terkait bidang atau ruang kerjasama yang bisa ditindaklanjuti ke depan, antara lain legalisasi lembaga agama Katolik dan asetnya, registrasi rumah ibadat, kerjasama di bidang sosial keagamaan, sarana dan prasarana keagamaan,  dan pembinaan iman umat Katolik dalam rangka ikut serta membangun umat Katolik pada umumnya, dan secara khusus di Provinsi Maluku dan Maluku Utara. 
Pertemuan yang berlangsung empat hari ini, dihadiri juga oleh Kepala Kantor Kementerian agama Provinsi Maluku Utara, Drs. H. Abdullah Latopada, M.Pd.I, perwakilan keuskupan, Pastor Basilius Kolo, dan FX. Belekubun, Pembimas Katolik Kanwil Kementerian Agama Provinsi Maluku Utara. (Pormadi)


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Senin, Mei 02, 2016

Makna Kerja menurut Uskup Agung Ignatius Suharyo

Setiap tanggal 1 Mei dunia memperingati Hari Buruh Internasional.

Tidak ketinggalan Gereja Katolik Keuskupan Agung Jakarta ikut berpartisipasi merayakan Hari Buruh Internasional melalui Perayaan Ekaristi. Pada Minggu (1/5), Uskup Agung Jakarta. Mgr. Ignatius Suharyo bersama 7 imam lainnya memimpin Ekaristi dalam rangka memperingati Hari Buruh Internasional di Gereja Paroki Santa Helena (1/5), Karawaci, Tangerang.

Menurut Ignasius Suharyo, dunia kerja seyogianya semakin bermartabat, adi dan manusiawi. "Di hari Buruh Internasional ini, saya lebih suka menggunakan Hari Pekerja Internasional, karena rasa bahasa saya, kata "pekerja" lebih bermartabat dibandingkan kata "buruh". Dunia pekerja dewasa ini seyogianya semakin bermartabat, adil dan manusiawi" pesannya kepada umat Katolik yang mengikuti perayaan Ekaristi.

Lebih lanjut, Ignasius Suharyo mengungkapkan 3 lapis makna kerja. Menurutnya, makna pertama, kita bekerja untuk mencari nafkah, tetapi bukan melulu mencari nafkah‎, tetapi juga untuk memuliakan martabat manusia. 

Kedua, dengan bekerja kita merasa bahagia, dengan kata lain kita bekerja juga untuk aktualisasi diri.

Ketiga, makna kerja adalah demi datangnya Kerajan Allah, seperti dalam ungkapan Doa Bapa Kami. Bekerja bermakna agar manusia semakin manusiawi‎, membangun masyarakat semakin adil dan sejahtera. 

Dengan ketiga makna itu, ia menegaskan, "sekecil ap‎apun pekerjaan kita, 'sehina' apapun pekerjaan kita, itu baik kalau mendatangkan 'Kerajaan Allah'‎, kebaikan bagi sesama, kesejahteraan bersama, pekerjaan itu sangat bermakna".

Peringatan Hari Buruh Internasional ini menjadi momen peringatan bagi pekerja dan pemberi kerja, pemerintah dan masyarakat bahwa bekerja itu harus diupayakan agar semakin bermartabat, adil dan menyejahterakan umat manusi. 


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Kamis, April 28, 2016

Pengadaan Barang/Jasa harus Berbasis Kebutuhan Umat 

Jakarta (HB) - Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik, Eusabius Binsasi, mengharapkan agar pelaksanaan pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemerintah berbasis kebutuhan masyarakat. "Saya harapkan, Pejabat Pembuat Komitmen, Pejabat Pengadaan, dan prangkat lainya, membuat perencanaan dan pelaksanaan pengadaan barang dan jasa baik di Pusat maupun di Daerah, sesuai dengan aturan yang berlaku, bukan berdasarkan tafsiran sendiri, seperti ahli eksegese. Pengadaan barang juga harus berbasis kebutuhan masyarakat Katolik, jangan sampai, setelah barang diadakan, tidak tahu mau didistribusikan kemana", tegasnya ketika menutup Kegiatan Bimbingan Teknis (bimtek) Pengadaan Barang/Jasa melalui e-Purchasing dan e-Tendering di Jakarta, Kamis (28/4/2016)

Hal senada sebelumya juga disuarakan oleh Sekretaris Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik, Agustinus Tungga Gempa. Ia menegaskan bahwa regulasi menjadi hal mendasar yang harus dipahami oleh setiap pengelola barang milik negara, seperti pengelolaan aset negara  dan pelaksanaan pengadaan barang/jasa di lingkungan pemerintah. "Ikuti regulasi tentang pengelolaan Barang Miilik Negara dan proses pengadaan barang dan jasa. Laksanakan prosenya dengan hati-hati. Banyak orang terjerat hukum karena belum atau tidak mau memahami aturan yang berlaku", demikian tandasnya ketika membuka Kegiatan Bimbingan Teknis Pengadaan Barang/Jasa melalui e-Purchasing dan e-Tendering di Jakarta, Senin (25/4/2016)

Terkait proses pengadaan barang dan jasa pemerintah di era teknologi informasi sekarang ini, ia memberikan penegasan dan harapan kepada semua peserta. "Bahwa pengadaan Barang/Jasa secara elektronik merupakan tuntutan regulasi dan lebih menjamin terciptanya transparansi dan akuntabilitas prosesnya.  Untuk itu, dalam pelaksanaannya, pengadaan secara elektronik  membutuhkan tenaga terampil. Maka Bimtek ini strategis dan penting dalam menghasilkan tenaga teknis terampil  di bidang pengadaan barang jasa di lingkungan Bimas Katolik baik di Pusat maupun di Daerah. Ikuti kegiatan ini dengan sebaik-baiknya", pesan dan harapannya kepada peserta yang terdiri dari operator dan pejabat pengadaan barang dan jasa, pejabat pembuak komitmen di Bimas Katolik Pusat dan Daerah.

Ketua Panitia, Albertus Triyatmojo menjelaskan dalam laporannya, Bimtek ini diadakan untuk memenuhi tuntutan regulasi dan bertujuan untuk melahirkan aparatur Bimas Katolik baik Pusat maupun Daerah yang terampil  dalam mengadakan Barang /Jasa melalaui e-purchasing dan e-tendering.

Bimtek yang berlangsung selama tiga hari ini diisi pembekalan tentang teori pengelolaan Barang milik negara dengan pembicara dari Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, kemudian pelatihan praktek operasi aplikasi e-purchasing dan e-tendering oleh tim pendamping pelatihan dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah, pemaparan dan pengarahan dari Unit Layanan Pengadaan Barang dan Jasa pada Biro Umum  Kementerian Agama Pusat. (pormadi)‎

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Selasa, April 26, 2016

Ditjen Bimas Katolik Adakan Bimtek Aplikasi E-Purchasing dan E-Tendering

Direktorat Jenderal  Bimbingan Masyarakat Katolik mengadakan Bimtek (bimbingan teknis) pengadaan barang /jasa melalui aplikasi e-purchasing dan e-tendering dalam rangka meningkatkan kompetensi aparaturnya selama 3 hari di Jakarta (25 s.d. 28 April 2016).

Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik melalui Sambutan tertulis, yang dibacakan Sekretarisnya, Agustinus Tungga Gempa, Senin (25/4/2016), menegaskan bahwa regulasi menjadi hal mendasar yang harus dipahami oleh setiap pengelola barang milik negara, seperti aset dan pelaksana pengadaan barang/jasa di lingkungan pemerintah. Banyak orang terjerat hukum karena belum atau tidak mau memahami aturan yang berlaku. 

Terkait proses pengadaan di era teknologi informasi sekarang ini, ia melanjutkan, bahwa pengadaan Barang/Jasa secara elektronik merupakan tuntutan regulasi dan lebih menjamin terciptanya transparansi dan akuntabilitas prosesnya.  Untuk itu, dalam pelaksanaannya, pengadaan secara elektronik  membutuhkan tenaga terampil. Maka Bimtek ini strategis dan penting dalam menghasilkan tenaga teknis terampil  di bidang pengadaan barang jasa di lingkungan Bimas Katolik baik di Pusat maupun di Daerah.

Ketua Panitia, Albertus Triyatmojo menjelaskan dalam laporannya, Bimtek ini diadakan untuk memenuhi tuntutan regulasi dan bertujuan untuk melahirkan aparatur terampil Bimas Katolik baik Pusat maupun Daerah dalam mengadakan Barang /Jasa melalaui e-purchasing dan e-tendering.
Bimtek yang akan berlangsung kurang lebih tiga hari ini diisi pelatihan aplikasi e-purchasing dan e-tendering dari tim pendamping pelatihan dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah, pemaparan dan pengarahan dari Biro Umum  Kementerian Agama Pusat dan dari Direktorat Jenderal Jenderal Kekayaan Negara terkait pengadaan dan pengelolaan Barang/ Jasa Pemerintah. (pormadi)


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Selasa, April 19, 2016

Harus Responsif

Direktur Jenderal Bimas Katolik Eusabius Binsasi menegaskan bahwa penyuluh agama Katolik baik berstatus PNS maupun Non PNS harus responsif dan mencari solusi atas masalah-masalah yang dihadapi umat atau masyarakat seperti Narkoba, Radaikalisme, LGBT dan tindak intoleransi. Para Penyuluh agama harus kreatif dan inovatif dalam memberikan penyuluhan agar masyarakat sadar dan paham atas bahaya narkoba dan radikalisme. 

Hal ini ditegaskan Eusabius Binsasi  dalam sambutannya ketika membuka pertemuan pembinaan penyuluh agama Katolik PNS dan Non PNS Regio Jawa dan Sumatera yang berlangsung dari Selasa-Jumat (12-15/04/2016) di Yogyakarta.

Pembicara lain, Direktur Urusan Agama Katolik, Sihar Petrus Simbolon, menegaskan keberadaan penyuluh agama Katolik baik PNS maupun Non PNS adalah menghadirkan negara di tengah masyarakat dengan memberikan bimbingan dan  penyuluhan atas masalah-masalah yang dihadapi masyarakat Katolik melalui bahasa agama. 

Bahaya Narkoba dan radikalisme merupakan masalah serius. Indonesia sudah dalam keadaan darurat narkoba dan radikalisme. Jadi tenaga pastoral, dalam hal ini Katekis atau penyuluh agama Katolik PNS maupun Non PNS perlu memberikan penyadaran dan pemahaman kepada umat atau kelompok binaan mereka. 

Hal ini dikatakan Romo Sugiyana,Pr, Direktur Pastoral Sanjaya Muntilan, ketika memberikan paparannya kepada 50 orang Penyuluh Agama Katolik PNS dan Non PNS yang berasal dari Regio Jawa dan Sumatera din Yogyakarta, Kamis(14/4/2016).

Bahaya Narkoba
Berangkat dari informasi seperti yang dikutipnya dari media massa, Peredaran narkoba merasuk ke semua sektor kehidupan (usia, profesi, suku, agama, jenis kelamin). Kebanyakan lulusan SMU (20-30 th). Semula mereka diajak, merasakan dan akhirnya kecanduan. Rata-rata 50 orang meninggal tiap hari karena narkoba (sekitar 12.044 orang per tahun). 

Dampaknya, narkoba mengacaukan kehidupan, merusak kepribadian dan tanggung jawab sosial serta masa depan para penggunanya. Para pengguna mengalami rusak badan dan mentalnya serta hubungan-hubungan sosialnya dengan keluarga dan masyarakat. Hidup mereka makin buruk.

Menyadari bahaya narkoba tersebut, Gereja memiliki tanggung jawab sosial untuk mengambil bagian dalam usaha penanggulangan kejahatan narkoba. Gereja meneguhkan bahwa masih ada harapan untuk sembuh dan pulih bagi para korban dan Gereja siap untuk merawat, mendampingi dan menghidupkan kembali harapan akan masa depan yang lebih baik. 

Radikalisme
Dalam paparannya, Romo Sugiyana menjelaskan bahwa selain masalah bahaya Narkoba, juga makin maraknya fenomena  radikalisme dan kekerasan. Belakangan ini perkembangan pergerakan radikalisme dan terorisme di Indonesia sangatlah pesat. 

Radikalisme itu nyata melalui alam pemikiran dan gerakan-gerakan untuk melawan yang berbeda keyakinan maupun menghancurkan bangsa melalui peristiwa peledakan bom di berbagai tempat publik.

Menurut Romo Sugiyana, fenomena teroris perlu disadari dan diwaspadai.  Pertama, teror adalah kegiatan orang sesat yang sudah berlangsung sejak awal zaman. Wacana terorisme sekarang diperkeras oleh liputan media, komunikasi internet dan reaksi primordial Amerika. 

Kedua, teror adalah kegiatan biadab, acak yang tidak perlu dibela atas alasan apapun. 

Ketiga, teroris dilakukan orang sedikit dengan dedikasi banyak. Perlawanan terorisme bisa dilakukan oleh orang sedikit juga (ahli kontraterorisme) tapi karena kontra-teroris tidak sebebas teroris, upaya mereka perlu ditambah dengan dukungan orang banyak.  

Keempat, saluran dan mekanisme pelaporan harus dibuat secara fleksibel dan terbuka oleh pemerintah dan lembaga internasional tanpa dibumbui diskriminasi terhadap agama apapun.

Dalam pandangan  Romo Sugiyana, Gereja menerima sikap radikal demi kebaikan umum dan menolak sikap radikal yang menjurus pada kekerasan terhadap pihak lain. 

Gereja menerima sikap radikal. Sikap radikal adalah sikap yang mengungkapkan kesungguhan sampai pada sikap berani mati demi sebuah kebenaran yang diyakini atau keselamatan yang diperjuangkannya. Sikap ini justru menjunjung kebaikan umum.

Namun Gereja  menolak Radikalisme, apalagi kalau sudah menjurus pada kekerasan terhadap pihak lain. Radikalisme atas nama ideologi atau atas nama agama yang menjurus pada kekerasan bertentangan dengan ajaran agama manapun. Radikalisme adalah memaksakan keyakinan tunggal yang didasarkan pada kepentingan pribadi (golongan). Radikalisme cenderung mengorbankan orang lain yang tidak sejalan dengan dirinya.

Untuk itulah Gereja membutuhkan katekis atau penyuluh agama Katolik untuk memberikan penjelasan atas masalah-masalah serius yang dihadapi umat, seperti  bahaya Narkoba dan radikalisme, dalam terang Injili dan sikap Gereja. Ia menegaskan, "Gereja tidak mungkin tanpa Katekis atau penyuluh agama Katolik. ANDA adalah orang yang mengantar seseorang kepada Kristus melalui kesaksian, pengajaran dan pendampingan secara terencana dan terukur. Anda mampu menjumpai orang-orang yang tidak terjangkau oleh paroki atau pelayan Gereja pada umumnya". 

 Acara yang diselenggarakan Direktorat Urusan Agama Katolik Ditjen Bimas Katolik Kementerian Agama ini, juga mengundang pembicara, Asri Ispawati, Widyaiswara dari Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan dan Pendidikan dan Pelatihan Kementerian Agama. Asri Ispawati, lulusan doctoral tentang kompetensi penyuluh agama, memaparkan bahwa penyuluhan terkait masalah actual bisa dilaksanakan melalui karya tulis ilmiah baik berbasis penelitian lapangan maupun berbasis studi kepustakaan. 

Pembicara lain pada hari terakhir adalah Y.B. Margantoro, seorang wartawan senior Harian Bernas Yogya. Para penyuluh agama Katolik, dan kita semua adalah wartawan. Kita dipanggil untuk menjadi pewarta kebenaran, dan menjadi orang yang disiplin terhadap kebenaran. Penyuluh agama Katolik, yang juga sebagai "wartawan" harus belajar terus menerus dan berbagi kepada sesama.

Dalam laporannya, Ketua Panitia, Pormadi Simbolon, mengatakan bahwa kegiatan ini diadakan dengan maksud memberikan pembinaan dan peningkatan kompetensi 50 orang tenaga penyuluh agama Katolik PNS dan Non PNS Regio Jawa dan Sumatera di bidang karya tulis-menulis baik yang murni ilmiah maupun tulisan ilmiah populer di media massa, agar mereka  semakin profesional memberikan penyuluhan terkait masalah-masalah aktual dewasa ini (seperti bahaya Narkoba dan radikalisme) dalam terang kebenaran Injil dan ajaran Gereja Katolik. (Pormadi, dari Yogyakarta)

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Sabtu, Maret 26, 2016

Ideologi Menyimpang Marak, Dimana Penyuluh Agama?

Oleh Pormadi Simbolon

Tugas penyuluhan Agama dan  masalah aktual merupakan dua bidang saling terkait. Masalah aktual seyogianya menjadi bahan pembahasan relevan dan strategis bagi setiap insan yang diangkat dalam jabatan fungsional penyuluh agama berstatus pegawai negeri sipil (PNS) sebagai bahan penyuluhan dan pencerahan kepada umat melalui bahasa agama. 

Masalah ideologi menyimpang seperti radikalisme, neoliberalisme, LGBT (lesbi, gay, biseksual, transjender) dan intoleransi sedang marak dan menjadi buah bibir publik. Mulai dari bom Sarinah Tamrin Jakarta, doktrin keagamaan yang sempit, ajaran agama sempalan,  propaganga individualisme dan liberalisme, sampai dengan munculnya kecenderungan tampilnya gaya hidup LGBT adalah beberapa masalah aktual terkini yang butuh dijelaskan kepada umat. Lalu, dimana penyuluh agama selama ini?

Penyuluh Agama
Jabatan fungsional penyuluh agama baru lahir sejak tahun 2000-an yang lalu. Keberadan penyuluh agama sangat penting untuk menerangkan masalah-masalah aktual terkini kepada masyarakat melalui bahasa agama. Bagaimana suatu agama menyikapi masalah radikalisme, neoliberalisme, LGBT (lesbi, gay, biseksual, transjender) dan intoleransi. Masalah-masalah tersebut amat tepat  menjadi pokok bahasan untuk dijabarkan oleh para penyuluh agama dalam tugas bimbingan atau penyuluhan agama bagi semua tenaga penyuluh agama dari 6 agama resmi yang diakui negara.

Para penyuluh agama dari 6 agama resmi diakui negara diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan bimbingan atau penyuluhan agama dan pembangunan melalui bahasa agama. Oleh karena itu, tidak bisa tidak para penyuluh merupakan ujung tombak dalam melakukan penangkalan ideologi menyimpang dan penyadaran akan bahayanya melalui penerangan bahasa masing-masing agama. 

Menurut data Kementerian Agama tahun 2014, jumlah penyuluh agama berstatus PNS untuk pemeluk agama Islam sebanyak 4.016 orang. Untuk pemeluk agama Kristen jumlah tenaga penyuluh PNS sebanyak 264 orang. Di lingkungan Katolik, penyuluh agama berstatus PNS berjumlah 224 orang,  Saat ini tenaga penyuluh agama Hindu berstatus PNS sebanyak 198 orang. Sementara itu agama Buddha telah memiliki 60 orang penyuluh PNS. Selain itu juga terdapat sebanyak 100 orang penyuluh Non PNS agama Khonghucu. Saat ini Umat Khonghucu belum mempunyai penyuluh agama berstatus PNS.

Melihat perbandingan jumlah penyuluh agama dengan umat masing-masing pemeluk agama, maka jumlah penyuluh agama masih sedikit. Selain itu, jabatan fungsional agama relatif masih muda, baru resmi ditetapkan sejak dikeluarkannya 

Peraturan Menteri Koordinator Bidang Pengawasan Pembangunan dan Pendayagunaan Apatur Negara Nomor: 54/KEP/MK.WASPAN/9/1999 Tanggal 30 September 1999 tentang Jabatan Fungsional Penyuluh Agama dan Angka Kreditnya. Jika ditanya, sudah sampai dimana peran para penyuluh agama? Jawabannya, peran penyuluh agama belum maksimal dan masih terbatas di perkotaan. 

Padahal jabatan fungsional penyuluh agama ditetapkan dengan alasan tugas untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan nasional dan meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa serta kerukunan hidup beragama.

Menurut hemat Penulis, pelaksanaan tugas dan peran penyuluh agama di lapangan tidak maksimal karena belum mendapat perhatian dan penanganan serius dan bersahaja. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama (Pusat Diklat dan Balai Diklat Keagamaan di Daerah) dan pihak terkait dengan keterbatasan anggaran yang ada, boleh dikatakan tidak bisa menganggarkan anggaran pendidikan dan pelatihan (diklat) selain  Diklat prajabatan Calon Pegawai Negeri Sipil. Jika ditanya para penyuluh agama, berapa kali sudah pernah mengikuti Diklat di bidang penyuluhan, kebanyakan menjawab hanya 1 kali Diklat, yaitu Diklat prajabatan, yang memang semua CPNS harus mengikutinya sebelum definitif jadi PNS.
Karena alasan itu, bahkan ada sebagian kalangan yang menyebutkan bahwa tugas penyuluh agama tidak jelas dan tidak diberi pendidikan dan pelatihan untuk peningkatan kompetensi. Akibatnya, ada sebagian penyuluh yang beralih ke jabatan struktural atau jabatan fungsional umum. Akibat lain, tidak sedikit penyuluh agama harus diberhentikan karena tida dapat mengumpulkan angka kredit untuk kenaikan pangkat dan jabatan. 
Selain itu, menurut informasi di lapangan,  penyuluh agama kurang dikenal dan kurang dianggap keberadaannya, karena pelaksanaan tugas kurang profesional dan berkualitas, dan mereka kurang diberdayakan. 

Masuk akal jika  pelaksanaan tugas dan peran penyuluh agama belum maksimal. Bisa jadi juga, keberadaan penyuluh agama kurang eksis di lapangan karena kualitas kompetensinya kalah dibandingkan dengan tenaga teknis fungsional keagamaan dari lembaga agama di tengah masyarakat. 

Berdayakan Penyuluh Agama
Sudah saatnya Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama dan para stakeholder ikut memberdayakan tenaga penyuluh agama dengan memberikan Diklat, penataran, seminar atau kegiatan lainnya, sehingga kemampuan (skill), sikap/perilaku (attitude) dan pengetahuan (knowledge) semakin lebih baik bagi yang sudah diangkat menjadi penyuluh agama PNS. Bagi mereka yang akan diangkat, maka rekrutmen, pengangkatan, penempatan dan promosi jabatan harus didasarkan pada unsur kompetensi dan kualifikasi.

Adalah kewajiban Pemerintah untuk memberikan pendidikan dan pelatihan kepada setiap aparatur sipil negara agar mereka mampu memberikan pelayanan publik secara profesional dan berkualitas (Bandingkan Pasal 11, huruf b, UU No. 4 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara)
Dari pihak para penyuluh, dengan kesejahteraan (sekarang ini tunjangan kinerja PNS Penyuluh Agama 60%)  lebih baik saat ini, dibandingkan beberapa tahun lalu, semangat belajar dan mengembangkan diri dan kompetensi penyuluhan agama sudah menjadi keharusan. 

Melihat jumlah umat beragama dan sebarannya yang luas, kuantitas penyuluh agama berstatus PNS, perlu ditambah, khususnya di daerah pelosok, terluar dan perbatasan negara, sehingga dapat melayani lebih banyak umat. 
Regulasi tentang jabatan fungsional penyuluh agama yaitu Peraturan Menteri Koordinator Bidang Pengawasan Pembangunan dan Pendayagunaan Apatur Negara Nomor: 54/KEP/MK.WASPAN/9/1999 Tanggal 30 September 1999 tentang Jabatan Fungsional Penyuluh Agama dan Angka Kreditnya, sudah saatnya direvisi dan diperbaharui dengan mengacu kepada tuntutan reformasi birokrasi dan aturan baru tentang Aparatur Sipil Negara dan Peraturan Pemerintah tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (UU No.4 Tahun 2014 tentang ASN dan PP Nomor 53 Tahun 2010). Jenjang pangkat tertinggi penyuluh agama seyogianya tidak berhenti hanya pada golongan ruang IVC (pembina utama muda) tapi seharusnya sampai dengan IVE (pembina utama). 

Yang paling urgen dilaksanakan, para penyuluh agama harus secara serius diberdayakan,  diberi pendidikan dan pelatihan, dibekali ilmu pengetahuan dan pemanfaatan informasi-teknologi, agar ideologi menyimpang, ajaran sempalan,  tidak gampang merasuki pikiran masyarakat, khusunya anak-anak dan generasi muda. Mereka ini adalah penerus eksistensi bangsa dan negara ke depan. Mereka arus dilindungi dari bahaya radikalisme-paham agama yang sempit, neoliberalisme, LGBT dan intoleransi. 

Jika kualitas dan kuantitasnya meningkat, maka keberadaan dan kehadiran pelayanan para penyuluh agama semakin dirasakan oleh masyarakat. Dan memang Keberadaan dan fungsi para penyuluh agama amat berarti untuk menghadirkan negara, terutama di daerah-daerah-daerah yang belum terjangkau lembaga agama yang ada. Semoga

Pormadi Simbolon Bekerja di Kementerian Agama RI. Tulisan ini Pendapat Pribadi.


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Powered By Blogger